jennoonaa

dedicated to myself and nominist

Netra sipit milik Jaziel hanya memberikan sebuah tatapan datar pada sosok yang tengah memajukan bibir. Kepalanya sedikit tertunduk, sedangkan kedua manik mata bulat miliknya bergerak gelisah. Pandangan Jaziel turun pada sebuah akurium kecil yang tengah ditenteng oleh sang pemilik.

Pertemuan pertama Jaziel dengan Udin dan Adin.

Matanya masih mengarah pada ikan hias milik Jeanath. “Kenapa jadi berantem?” tanya Jaziel yang akhirnya bersuara setelah menarik Jeanath menjauh dari tempat kontes ikan cupang.

Suara yang terdengar membuat Jeanath tersentak kaget. Ia mengerjap sebelum menunjukkan kekesalannya.

“Gue gak terima Udin sama Adin dikatain jelek,” gerutu Jeanath. “Masa katanya Udin sama Adin gak boleh ikut lomba gara-gara harganya murah?! ‘Udah murah jelek lagi.’ Gitu katanya! Yaudah gue balikin aja kalau ikan gue jauh lebih cakep daripada mukanya yang kayak pentil ban. Terus ya berantem deh,” lanjutnya.

Di sela sesi ceritanya, Jeanath mengembuskan napas kasar. Padahal, ia sudah pakai baju bermerk agar tak dipandang sebelah mata, tapi akhirnya tetap direndahkan juga. Hanya karena ia masih menjadi seorang pelajar.

“Dia bilang katanya kalau mau nyari duit gak usah ikut kontes cuman dengan modal cupang murah. Sok tau banget dih. Padahal gue ikut kontes bukan buat menang, tapi biar Udin sama Adin bisa ketemu cupang lain. Gue juga mau mereka lihat dunia luar karena selalu gue simpen di dalam ruangan.”

Masih terbayang jelas dalam benak Jeanath kejadian yang membuatnya dongkol setengah mati.

“Kenapa sih orang yang lebih tua suka merasa paling superior? Ngerendahin yang lebih muda mulu. Kayak ya gue juga tau lo hidup lebih dulu dan ngalamin banyak hal. Tapi jangan samain lo yang dulu sama gue. Karena dulu lo gak bisa afford cupang mahal it doesn’t mean that it’ll be happen to me either. Lo ngerti gak sih Xenon?!”

Oh, ini pertama kalinya Jeanath memanggil nama Jaziel dengan benar.

Sosok yang mendengarkan masih terdiam. Mengamati wajah Jeanath yang memerah akibat amarah. Setelah napas yang berderu lambat-laun kembali menjadi stabil, Jaziel menatap Jeanath tepat pada manik matanya.

“Udah?” Sepasang netra yang pergerakannya terkunci oleh sang obsidian membulat. Ia mengangguk kecil atas pertanyaan yang terlontar. “Udah,” jawab Jeanath pelan.

Kontak mata keduanya terputus tatkala Jeanath menundukkan pandangan. Jaziel lantas menghela napasnya. Ia memerhatikan sekitar, berusaha mencari sesuatu yang dapat meredam kekesalan Jeanath.

Hingga netranya menemukan sebuah kedai es krim.

“Mau es krim?” Jaziel menawarkan, mengganti topik pembicaraan mereka.

Rupanya tawaran itu berhasil membuat Jeanath mendongakkan kepala dengan cepat. Dengan setitik binar pada manik mata yang sempat sayu, ia tersenyum. “Mau!” jawabnya riang.

Jaziel mengangguk, kemudian ia berjalan mendahului Jeanath menuju kedai es krim yang berada di seberang. Keduanya berjalan dalam kebisuan, hingga tepat ketika sampai di sana, Jeanath lah yang memesan pertama kali.

“Gue cari tempat duduk dulu.” Jaziel hanya mengangguk sebagai jawaban.

Sambil menunggu pesanan, sosok dengan kacamata yang bertengger di hidungnya memandang sekeliling. Sebuah stiker winner badge yang berada di atas meja kasir menarik atensinya.

“Mba, ini dijual?” tunjuk Jaziel pada stiker winner badge yang dituju.

Aktivitas seorang kasir yang sibuk menyiapkan pesan terheti sesaat. “Iya? Oh, nggak. Ini bekas tadi acara ulang tahun yang dirayain di sini.”

“Boleh saya beli?” Sosok kasir itu menggeleng, “Ambil aja mas, gak usah dibeli.”

“Makasih, mba.”

“Iya, sama-sama. Ini pesanannya.”

Jaziel mengucapkan terima kasih sekali lagi, kemudian berjalan menghampiri Jeanath. Dari kejauhan, Jaziel dapat melihat Jeanath yang asyik menatap kedua ikan miliknya yang tengah berenang. Ia tak menyadari kehadiran Jaziel, sebelum melihat sesuatu yang menempel di akuariumnya.

“Apa ini?” tanya Jeanath sambil menunjuk stiker winner badge yang ditempelkan oleh Jaziel.

Sosok yang baru saja datang menyimpan nampan pada meja. “Tanda penghargaan buat Udin sama Adin karena jadi Cupang of the Year,” jawab Jaziel seraya menatap Jeanath.

Kemudian, ia menempelkan satu stiker winner badge yang lain. Kali ini, pada kening milik Jeanath.

“Kalau yang ini buat apa?” Jeanath bertanya kembali.

“Apa aja. Soalnya gue nemu 3.”

Manik mata bulat itu mengerjap, sebelum tersadar. “Satu lagi mana?”

Tak ada jawaban.

Hal pertama yang Jeanath lihat tatkala tiba di ruang belajar khusus adalah Jaziel yang tengah memandang ke luar jendela. Mendengar pintu yang bedecit, sosok itu menoleh, membuat keduanya saling bertatapan. Jeanath yang pertama memutuskan kontak mata mereka. Pandangannya beralih pada sepotong tiramisu di atas meja.

Ada setitik binar pada netra bulat milik Jeanath.

“Woah,” ucapnya terkesiap.

Kaki jenjangnya melangkah mendekat pada Jaziel. Menarik salah satu kursi, lalu duduk seraya menatap sepotong tiramisu dengan mata yang bersinar. Tangannya hampir mengambil sendok yang tergeletak di samping makanan manis itu, sebelum terhenti seketika.

Binar pada manik matanya menghilang, digantikan oleh kabut gelap yang membuat tatapannya menjadi sendu. Bibir tipisnya lantas mengerucut.

“Dimarahin nggak?” tanya Jeanath pelan.

“Apanya?” Jaziel balik bertanya, obsidian miliknya memandang Jeanath yang tengah terpaku pada keik di atas meja.

Jeanath menghela napasnya berat, lalu berkata, “Itu, nilai gue kan kecil. Nyampe angka 7 aja nggak.”

Suara kursi yang bergesekan dengan lantai menimbulkan bunyi nyaring, membuat Jeanath mendongak hingga mempertemukan netranya dengan obsidian milik Jaziel.

“Kenapa gue harus marah? You did your best. Lihat lo yang beberapa hari ke belakang ini belajar aja nunjukin kalau lo emang udah berusaha. Hasilnya bagus atau jelek, I don’t really care. You should be proud of yourself for making minus 23 to 65. It was a great job,” ucap Jaziel seraya tersenyum tipis.

Pujian itu tak dikeluarkan penuh kelembutan, masih dengan intonasi datar, tetapi mampu menimbulkan kehangatan. Kemudian Jeanath, termenung atas apa yang ia dengar. Ia tak mengingat kapan terakhir kali dirinya mendapatkan apresiasi. Perasaan hangat yang menjalar pada relung dada membuatnya merasa sedikit sentimental.

Mengapa rasanya begitu menyenangkan ketika mendengar pujian atas apa yang telah ia lakukan?

Jeanath ingin mendengarnya terus menerus hingga menjadi alunan yang meneguhkan sanubari.

Menimbulkan sebuah senyuman manis hingga netranya menyipit. “Did I?” tanya Jeanath pelan.

Anggukan dari sosok yang duduk di hadapannya membuat rasa senang Jeanath melambung tinggi. “Yes, you did.” Jaziel melanjutkan perkataannya, “Tuh makan tiramisunya.”

Dengan semangat, Jeanath mengambil sendok tanpa keraguan. Mulai memasukan potongan kecil tiramisu ke dalam mulutnya. Ia menatap Jaziel sekilas dan tersadar bahwa dirinya tengah diperhatikan. Jeanath lantas menunduk.

“Thank you,” bisik Jeanath yang masih terdengar oleh Jaziel

“Anytime.”

Hidup Jeanath kini dipenuhi dengan tutor yang membuat otaknya selalu berkecamuk. Setelah hampir satu bulan mengenal Jaziel, ia merasa mereka tak pernah dekat. Bukan berarti Jeanath menginginkan untuk dekat hingga berteman dengannya, Jeanath hanya penasaran dengan sosok Jaziel. Ingat, bukan ingin berteman. Hanya sebuah rasa penasaran. Walaupun mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi interaksi mereka terbatas pada sesi tutor saja. Bahkan, bertukar sapa tatkala keduanya bertemu pun tak pernah.

Aneh

Bagi Jeanath, sosok berkacamata itu selalu aneh dan tidak dapat ditebak.

Tidak ada yang salah dengan Jaziel. Selain terlihat sangat teladan, sosok itu juga tampan, ralat, maksud Jeanath adalah sedikit baik. Ia tidak seseram apa yang Jeanath pikirkan dulu, meskipun tetap menyebalkan karena sering memberinya hukuman militer yang kadang sampai membuat tubuh Jeanath encok. Seharusnya Jaziel tidak pantas disalahkan karena hal ini. Jeanath sendiri yang sering membuat masalah dengan Jaziel, salah satunya jarang mengerjakan tugas yang diberikan.

Bukan tanpa alasan Jeanath selalu bermasalah. Motto hidupnya adalah “Hidup untuk mencari masalah dan masalah merupakan bagian dari kehidupan. Jadi bermasalahlah selama hidupmu.”

Jaziel tak pernah marah tanpa sebab dan Jeanath mengakui jika sosok yang kini berada di hadapannya mengajar dengan baik. Padahal dulu, Jeanath mengira bahwa Jaziel tak dapat mengajarinya dengan benar dan pelit ilmu. Ternyata ia salah besar. Tutor yang dibayangkan Jeanath sebelumnya mungkin jauh lebih buruk dibandingkan realita. Imajinasi Jeanath terhadap Jaziel yang akan berubah menjadi monster jahat ketika ia tak mengerti penjelasan sang tutor perlahan ditepis oleh kenyataan bahwa Jaziel tidaklah seperti itu.

Ngomong-ngomong tentang Jaziel, sosoknya sekarang tengah diperhatikan tanpa jeda oleh Jeanath. Netra yang membulat dengan bulu mata lentik itu memerhatikan bagaimana Jaziel memeriksa jawaban post-test Jeanath. Pembawaannya selalu tenang, kadang Jeanath ingin melihat Jaziel yang menunjukkan ekspresi marahnya. Atau bagaimana jika Jeanath membuatnya menangis? Kan, Jeanath menjadi semakin penasaran.

Merasa bosan atas kegiatannya sendiri, Jeanath menyimpan pipi kirinya di atas meja. Sensasi dingin yang menjalar dari permukaan meja tak Jeanath hiraukan. Pandangannya tertuju pada jendela.

Sosok yang duduk pada kursi di seberang Jeanath menaruh pena miliknya di atas meja. Netranya menatap surai legam milik Jeanath, lalu bertanya, “Ulangan harian kimia di kelas lo kapan?” Suara Jaziel memecah keheningan yang menyelimuti mereka.

Tanpa menoleh pada lawan bicaranya, Jeanath menjawab, “Jumat.” Manik matanya terus menerawang keluar jendela, entah apa yang tengah ia cari.

Kacamata yang sedikit turun itu dinaikkan oleh sang pemilik, fokusnya masih berada pada Jeanath. “Target nilai lo berapa?” Jaziel kembali bertanya.

Terdapat sebuah kerutan halus pada kening Jeanath. Ia tak mengerti maksud dari pertanyaan Jaziel. Apa tadi? Target nilai? Memangnya ada hal yang seperti itu? Seumur hidupnya, Jeanath tak pernah memiliki target untuk apapun itu. Target hidup pun tidak punya, apalagi target nilai yang notabenenya ia tak peduli sama sekali dengan hal tersebut.

“Empat lima?” Bukannya menjawab, Jeanath malah bertanya kepada dirinya sendiri. Ragu atas tutur kata yang terucap.

Di depannya, Jaziel menghela napas. Berusaha untuk memahami keraguan Jeanath. “Nilai kimia lo paling tinggi berapa?”

Sejujurnya, Jeanath tidak tahu. Ia tak pernah mengingat nilai-nilai yang pernah ia dapatkan. Kecuali nilai minus dua puluh tiga yang menggiringnya pada kegiatan tutor hari ini.

“Empat puluh delapan kayaknya.” Nada yang penuh kebingungan itu membuat Jaziel mengerutkan kedua alisnya sekilas.

“Kalau lo dapet nilai di atas KKM, gue turutin semua kemauan lo,” ujar Jaziel, membuat kesepakatan.

Kelopak mata yang hampir terpejam itu kini melebar atas ujaran Jaziel. Pada sepasang netra elok, hadir setitik binar yang menghiasi. Jeanath lantas mengangkat pipi yang menempel pada meja.

“Yang bener?” tanyanya.

Jaziel hanya mengangguk sebagai jawaban.

Sebuah senyuman lebar tercetak pada wajah yang kini tengah berseri. “Apa aja?” tanya Jeanath kembali. “Apa aja,” ulang Jaziel.

Senyumannya semakin lebar. “Termasuk gue yang boleh nyuruh lo lari 20 keliling? Push up 100 kali? Ngebersihin halaman sekolah depan belakang? Ngebersihin kamar mandi semua lantai?”

Lagi-lagi Jaziel mengangguk. “Ya.”

“Deal!” Jeanath berseru, bersamaan dengan rasa senang yang menggebu.

Kemudian, Jeanath mengulurkan tangannya. Jaziel hanya terdiam menatap uluran tangan Jeanath, tak berniat untuk membalasnya sama sekali. Tidak hingga Jeanath menarik tangan miliknya secara paksa dan membuatnya berjabat tangan.

Semilir angin malam ditambah dengan hawa yang mencekam berhasil membuat bulu kuduk Jaemin meremang. Tubuhnya sedikit begetar, berada di ambang antara kedinginan dan ketakutan. Suara burung hantu yang saling bersautan seolah menjadi latar musik aktivitas sekumpulan anak umur 20 tahun yang sedang mengumpulkan potongan tubuh mayat.

“Udah semua,” ucap salah satu dari mereka yang bernama Haechan.

Dinginnya malam seakan tak menjadi hambatan peluh yang keluar dari pori-pori kulit. Sosok yang paling tinggi di sana mengangguk, lalu mulai membuka buku usang yang terus dalam genggaman.

“Jisung, kalau beneran gimana?” Akhirnya Jaemin bersuara.

Seluruh atensi sekarang berpusat pada Jaemin. Ekspresi takutnya terpatri begitu jelas, tetapi teman-temannya seolah tak peduli. Mereka termakan sebuah rasa penasaran yang tinggi.

“Ssst, Nana. Diem,” jawab sosok lain yang memiliki tubuh paling munggil.

Jaemin hanya bisa pasrah ketika melihat Jisung mulai mengumpulkan semua persyaratan untuk memulai ritualnya. Melihat Jaemin yang bergetar ketakutan, Chenle —sosok yang berada di sampingnya menggenggam erat tangan Jaemin. Memberikan sedikit kekuatan kepadanya, menegaskan bahwa ia tidak sendirian di sana.

Tiba-tiba hawa di sekitar kumpulan pemuda itu berubah. Langit yang tadinya cerah kini dipenuhi kumpulan awan hingga menutup cahaya sang rembulan. Kemudian gemuruh datang entah dari mana asalnya. Didekap rasa takut hingga dadanya merasa sesak, Jaemin memejamkan matanya seraya menggigit bibir bawah.

Dalam hati, Jaemin mengutuk Jisung yang menyeretnya paksa sehingga terlibat ke dalam sebuah ritual kuno. Jika saja sosok itu percaya akan cerita kakeknya tentang kesaktian leluhur mereka, Jaemin mungkin sekarang sedang bergulung dalam hangatnya selimut seraya menonton drama korea kesukaannya.

Ketika merasakan tanah yang mereka pijak bergetar, Jaemin membuka mata perlahan. Ia dapat melihat teman-temannya yang mulai panik. Termasuk Jisung yang sekarang tengah menatap kosong sesajen di tengah-tengah mereka. Jaemin dapat merasakan genggaman tangan Chenle lebih erat dari sebelumnya. Sedangkan Haechan dan Renjun sudah berpelukan dengan tubuh yang bergetar ketakutan.

Kemudian datang kilatan cahaya yang menyambar sesajen. Pengelihatan Jaemin menjadi kabur. Ia tak bergeming di tempatnya, bahkan ketika teriakan nyaring Chenle terdengar hampir memecahkan gendang telinga. Kepala Jaemin mendadak kosong. Matanya tak dapat melihat apapun di depan sana dan kakinya merasa begitu lemas seolah tak dapat digerakkan. Ia bahkan tidak sadar jika hanya dirinya yang tersisa di sana. Teman-temannya yang lain sudah lari terbirit-birit untuk menyelamatkan nyawa.

Sekonyong-konyong petir muncul di hadapan Jaemin, membuat pemiliki hazel coklat itu hampir meloncat. Jaemin merasakan jika kepalanya menjadi lebih ringan. Kemudian napasnya tercekat ketika melihat sosok lain yang belum ia lihat sebelumnya. Sepasang obsidian itu mengunci pergerakan manik Jaemin. Antara rasa takut dan kagum akan pahatan sosok di depannya hanya dibatasi oleh sebuah garis tipis.

“Ini di mana, ya?”

Hal terakhir Jaemin ingat adalah suara lembut yang keluar dari mulut sosok itu sebelum semuanya berubah menjadi gelap.

Sebuah pencapaian yang begitu luar biasa. Seorang Jeanath dapat datang lima menit lebih awal. Bahkan, semasa dirinya bersekolah di bangku SMP hingga SMA, ia tak pernah datang lebih awal, kecuali jika harus menyontek tugas di pagi hari. Kali ini berbeda, sebab ia harus mematuhi kontrak tutor dan menghindari dari segala jenis hukuman yang diberikan oleh Jaziel. Ngomong-ngomong tentang pencapaiannya sekarang, hidung Jeanath tengah kembang-kempis karena merasa menjadi sosok paling teladan di dunia.

“Natha lo emang bener-bener dah. Paling keren,” monolognya sambil tersenyum seperti orang gila.

Senyuman lebar itu mendadak luntur ketika maniknya menemukan Jaziel yang sedang duduk manis di salah satu kursi ruang belajar khusus. Sejujurnya, dari hati yang paling dalam, Jeanath masih merasa ketakutan. Ucapan Hamsa tentang Jaziel sebagai anak mafia yang disebut-sebut oleh Harris masih terngiang di kepalanya.

“Sampai kapan bengong di situ?” Suara Jaziel membuat lamunan Jeanath buyar seketika.

Jeanath sedikit tersentak kaget, tetapi ia berhasil menutupi keterkejutannya dengan baik. Manik matanya menyipit tatkala menemukan sebuah buku tebal di atas meja. Memang tadi Jaziel terlihat tengah membaca sebuah buku yang isinya sudah dipastikan tidak sesuai dengan kapasitas otak Jeanath.

Lagi pula, Jeanath tidak ingin mengetahui isi buku tersebut. Dengan penuh rasa malas, Jeanath berjalan mendekati Jaziel, lalu menarik kursi di hadapan sosok yang memerhatikannya. Setelah duduk, Jeanath mulai mengeluarkan semua barang-barang milik yang ia bawa. Dimulai dari tabel periodik yang ia pinjam secara paksa dari adik kelasnya, sebuah buku sidu a5 isi 58 lembar yang ia beli di koperasi, dan terakhir, tempat pensil berwarna pink neon milik Chloe.

Sengaja Jeanath keluarkan barang-barangnya dengan bunyi yang cukup keras seolah memberitahu Jaziel “Gue bawa semuanya.”

Tak ada yang memulai percakapan di antara mereka. Jeanath sibuk melakukan aktivitas unboxing tempat pensil milik Chloe yang dipenuhi oleh pena bermerek kokuyo dan sarasa. Terlalu sibuk sendiri, Jeanath bahkan tidak sadar jika jam sudah menunjuk tepat pada angka empat. Jaziel yang sudah memasukkan kembali bukunya menatap Jeanath datar. Kemudian, ia menyerahkan selembar kertas pada Jeanath yang membuat Jeanath mendongak.

Shit, Jeanath lupa dengan pre-test-nya.

“Kerjain 10 menit,” suara Jaziel terdengar tegas memerintah.

Jeanath menghela napas dengan kasar, sebelum akhirnya mengambil kertas pre-test dan mulai mengerjakannya. Tak perlu ditanya, Jeanath sudah dipastikan tidak bisa mengerjakannya. Ia hanya menjawab dengan asal hingga waktunya habis.

Ketika selesai, Jeanath menyerahkan kertas tersebut pada Jaziel. Sosok di hadapannya langsung memeriksa jawaban milik Jeanath. Ia menatap Jeanath sekilas, sebelum beranjak berdiri. Tanpa diduga, Jaziel memutar kursi Jeanath yang posisinya membelakangi papan tulis di sana. Perlakuan yang tiba-tiba itu berhasil membuat Jeanath terkejut. Ia menahan napasnya ketika mencium semerbak tubuh Jaziel yang menyeruak.

Wangi.

Hanya itu yang ada di kepala Jeanath sebelum Jaziel bersuara dan memulai sesi tutor.


“Ngerti?” tanya Jaziel pada Jeanath yang tengah menatap kertas di depannya seolah ingin menelan benda tipis itu.

Terdapat kerutan halus pada kening Jeanath tatkala otaknya berpikir keras. “Enggak,” jawabnya jujur.

“Sebelah mananya?” Jaziel kembali bertanya.

Jeanath menunjuk pada deretan kombinasi huruf dan angka yang tak ia mengerti. “Ini kenapa gini?” Netra bulatnya terus menatap tulisan Jaziel. Ia berusaha mencerna jawaban Jaziel pada salah satu soal yang tengah mereka bahas.

“OH NGERTI!”

Mendengar teriakan Jeanath yang begitu nyaring, Jaziel meringgis. “Gak usah teriak,” ujarnya pelan.

“Mohon maaf.”

Keduanya kini sedang duduk berdampingan untuk mengerjakan beberapa latihan soal. Jaziel menyimpan pena miliknya, kemudian menegakkan tubuh yang tadi sedikit membungkuk.

“Sampai sini dulu. Ada pertanyaan?” tanya Jaziel.

Atensi Jeanath tertarik pada Jaziel, memerhatikan sosok yang sibuk memberikan catatan di buku miliknya. Kemudian, Jeanath mendekat, memperpendek jarak di antara mereka. Mengendus wangi tubuh Jaziel sebelum bertanya, “Lo pake parfum apa?” pada sosok itu.

Pertanyaan yang keluar dari mulut Jeanath membuat Jaziel menghentikan kegiatannya secara spontan. Ia menoleh, mendapati sepasang hazel coklat yang menatapnya penuh penasaran.

Lima detik mereka bertatapan, sebelum Jeanath mendapatkan pukulan kecil pada keningnya. Kening itu dipukul dengan pena yang berada dalam genggaman Jaziel.

Bel pulang sudah berbunyi di setiap penjuru sekolah semenjak hampir tiga puluh menit yang lalu dan Jeanath masih berkeliaran seperti orang linglung. Padahal, ia memiliki janji dengan sosok yang bernama Jaziel, tetapi ia terlihat begitu santai walaupun kebingungan dengan tata letak sekolahnya sendiri. Jeanath tengah menelusuri koridor di depan lab bahasa, mencari ruangan untuk anak olimpiade yang sulit ditemukan. Seolah sengaja membuatnya datang terlambat, padahal yang sengaja membuatnya terlambat adalah dirinya sendiri karena seharusnya, Jeanath dapat datang tepat waktu.

Seharusnya, Jeanath dapat datang tepat waktu jika saja dirinya tidak menebar pesona di depan kelas Hamsa. Jangan salahkan Jeanath sepenuhnya. Ia tidak berniat untuk menebarkan ketampanannya di sana, hanya saja para gadis secara otomatis menempel padanya. Jeanath, jika diasumsikan bagaikan pusat magnet yang menarik banyak perempuan untuk mendekat padanya. Walau pada kenyataannya, Jeanath hanya sedang membuat alasan di balik keterlambatannya. Jeanath memang sengaja telat, sebab ia selalu terbiasa seperti itu.

Ruang Olimpiade

Ternyata benar-benar ada.

Sebelum membuka pintu, Jeanath mengatur ekspresinya terlebih dahulu.

Sorry, lama. Gue ada urusan.” Dengan laga sok sibuk, Jeanath masuk tanpa permisi. Dagunya sengaja ia angkat sedikit agar menambah kesan keren dalam dirinya.

Seraya melangkah lebih dalam, Jeanath menelisik ruangan yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Ia sibuk menilai interior yang biasa-biasa saja. Tidak terdapat hal spesial di sana. Ruangan itu mirip dengan ruangan kelas pada umumnya, hanya memiliki ukuran yang lebih kecil. Mungkin dapat disebut sebagai kelas versi mini. Terlarut dengan dunianya sendiri, ia melupakan eksistensi sosok lain di sana, pada sosok yang telah menunggunya hampir setengah jam. Sosok tersebut, Jaziel, hanya menatap datar Jeanath.

Merasakan sepasang mata yang tengah menatapnya, Jeanath tersadar kembali pada tanah yang ia pijak. Namun, ia tak lantas menaruh atensinya pada Jaziel, memilih untuk memberikan penilaian pada ruangan itu. Setelah puas mengamati, Jeanath menatap Jaziel hingga kedua manik mata mereka bertemu. Jeanath memutuskan kontak mata mereka dan berjalan ke arah sosok berkacamata di sana. Menarik kursi dan duduk di hadapannya.

“Gue mau langsung ke intinya,” ucap Jeanath sambil kembali menatap Jaziel.

Kesan pertamanya pada Jaziel secara langsung adalah hidung sosok itu yang terlampau bangir. Mungkin jika Jeanath menjadi debu atau bulu kucing, ia akan betah perosotan di hidung Jaziel. Tanpa malu, Jeanath memandangi wajah Jaziel secara terang-terangan.

Pandangan Jeanath beralih pada topi yang tersimpan di atas meja. Atas apa yang ia lihat, kedua alisnya saling bertaut. “Gue gak butuh tutor. Kalau lo takut dianggap buruk sama pak Ali karena nolak, lo tinggal bersikap seolah gue sama lo emang ngejalanin tutor dan lo bisa tetep jadi murid kebanggaan pak Ali sedangkan gue gak usah ikut tutor. Gue harap kerjasamanya.” Jeanath berterus terang, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang topi yang sedang ia lihat.

Terdapat sebuah jeda yang panjang, sebelum salah satu dari mereka bersuara, memecahkan keheningan di antara kedua sosok yang berhadapan, namun tak saling memandang, sebab, sosok lain sibuk menatap sebuah topi.

“Kalau gue nolak?” Atensi Jeanath tertarik seutuhnya pada Jaziel, meninggalkan segala pertanyaan terkait topi yang tadi memenuhi pikiran.

Melihat wajah tanpa ekspresi di depannya, Jeanath dapat menebak jika Jaziel adalah golongan manusia membosankan. Ia lantas menatap Jaziel dengan sangsi.

“Lo gak usah menyusahkan diri buat jadi tutor gue. Waktu luang lo bisa lo gunain buat belajar daripada ngajarin gue,” jawab Jeanath.

“Kalau lo gak mau, ya tinggal bilang ke pak Ali.” Suara Jaziel yang datar terdengar begitu menyebalkan di telinga Jeanath.

Entah karena perasaan sentimen atau memang suasana hati Jeanath yang sedang buruk, kesabaran sosok itu kini sudah berada di ambang batas. Hari ini ia mendapatkan nilai minus dan dibuat kesal dengan Pak Ali. Lalu, sosok lain yang sama-sama berkacamata juga terlihat dan terdengar begitu menyebalkan. Padahal Jeanath telah memberikan kesepakatan yang baik dan tidak merepotkan kedua belah pihak. Namun, Jaziel agaknya suka direpotkan.

Terdengar helaan napas Jeanath yang berat. “Lo kayaknya gak kenal gue,” ujarnya, memberikan sebuah sinyal peringatan bahwa ia bukanlah sosok yang patut diremehkan.

“Apa susahnya sih tinggal bilang iya?” lanjut Jeanath dengan nada yang ditinggikan, emosinya sudah hampir terkuras habis.

Di hadapannya, Jaziel tengah memandangnya lurus seraya menaikan salah satu alisnya. “Apa susahnya tinggal ikut tutor?” tanya Jaziel balik.

Sudah cukup. Kesabaran Jeanath telah hilang sepenuhnya. Kini, yang tesisa hanyalah kobaran api amarah. Ia kemudian berdiri tegak. Ditariknya kerah baju milik Jaziel dengan kasar.

Bugh

Sebuah pukulan mendarat tepat di pipi kanan Jaziel. Pukulan itu berhasil membuat Jaziel terjatuh dari kursi yang ia duduki. Merasakan otot pipinya yang kesakitan, Jaziel meringgis kecil.

“Apa lo harus gue kasarin dulu baru bilang iy-“

Bugh

Kali ini Jeanath yang tersungkur di atas lantai. Mata bulatnya terbelalak. Belum sempat memproses rangkaian kejadian yang menimpa, ia merasakan punggunya menabrak suatu permukaan yang keras di belakang. Selang sedetik, sebuah dentuman nyaring membuatnya tercengang. Kepalanya menoleh pada tangan yang terulur tepat di samping kanan, hampir mengenai wajahnya. Kemudian, ia bergerak menatap Jaziel dengan tatapan kosong.

“Lo juga kayaknya gak kenal gue,” bisik Jaziel penuh penekanan, netranya menatap Jeanath dengan tajam.

Setelah itu, Jaziel berjalan menjauh, kembali duduk di kursi dengan tenang seolah tidak terdapat hal janggal yang terjadi di antara mereka. Jeanath lagi-lagi menengok ke samping. Maniknya menatap horor permukaan loker yang melegok akibat kepalan tanggan jaziel.

“Hik.”

Itu Jeanath yang sedang cegukan. Ia masih syok atas kejadian yang menimpanya. Sambil meredakan cegukan yang melanda, atensi Jeanath beralih pada Jaziel. Sebuah pandangan datar yang dilemparkan dapat membuat Jeanath gelapan, berhasil membuatnya berjalan pelan mendekati Jaziel dengan skeptis.

Ketika sosok lain mendekat, Jaziel menyodorkan kertas. “Baca,” titahnya yang terdengar tegas.

Jeanath mengedipkan kedua mata ketika dirinya menemukan selembar kertas di atas meja. Kemudian bibirnya bergerak membaca untaian kata di atas kertas tersebut. “Kontrak Tutor.”

Ah, akhirnya Jeanath tersadar jika dirinya masuk ke dalam kandang singa.

Perjalanan yang lumayan panjang membuat tubuh Jaemin berteriak meminta untuk direbahkan. Setelah sampai di villa, Jaemin langsung melemparkan dirinya ke ranjang. Ia sempat tertidur selama beberapa menit hingga tersadar belum mengganti pakaiannya sama sekali.

Tanpa berniat mencari pemilik villa yang entah hilang kemana, Jaemin bergegas mandi. Tak lama, ia keluar dengan hoodie kebesaran yang membungkus tubuhnya. Tubuh yang menggigil itu lantas menyusup ke dalam selimut tebal.

Merasakan ponselnya bergetar, Jaemin meraih benda persegi panjang tersebut. Senyumnya mengembang tatkala melihat sebuah notifikasi singkat.

“Sini, ke taman.”

Rasa lelah yang menggerogotinya kini hilang entah kemana, mungkin menguap bersama angin malam yang menggelitiki permukaan kulit. Sedikit tergesa, kaki jenjang itu berjalan menuju taman kecil yang sudah terlihat di depan mata.

Gelap

Senyum yang menghiasi wajah cantik itu pudar, digantikan oleh ekspresi terkejut. Kemudian, lampu taman kembali menyala. Hazelnya membola ketika melihat sebuah panggung sederhana tak jauh di depannya.

Di sana, terdapat Jeno yang tengah tersenyum dengan gitar dalam pangkuan.

“Hai?” sapa Jeno.

Jaemin terkekeh pelan. Sedikit tersipu ketika melihat Jeno tersenyum hingga matanya bagai bulan sabit.

Jeno mulai memetik senar gitarnya. Ia kembali tersenyum pada Jaemin sebelum bernyanyi.

[paris in the rain by lauv (acoustic ver) https://youtu.be/gSzSNCW-H_0]

“All I know is (ooh ooh ooh) We could go anywhere, we could do Anything, boy, whatever the mood we're in Yeah all I know is (ooh ooh ooh) Getting lost late at night, under stars Finding love standing right where we are, your lips

They pull me in the moment You and I alone and People may be watching, I don't mind

Cause anywhere with you feels right Anywhere with you feels like Paris in the rain Paris in the rain We don't need a fancy town Or bottles that we can't pronounce 'Cause anywhere, babe Is like Paris in the rain When I'm with you ooh ooh ooh When I'm with you ooh ooh ooh Paris in the rain Paris in the rain

I look at you now and I want this forever I might not deserve it but there's nothing better Don't know how I ever did it all without you My heart is about to, about to jump out of my chest Feelings they come and they go, that they do Feelings they come and they go, not with you

The late nights And the street lights And the people Look at me boy And the whole world could stop

Anywhere with you feels right Anywhere with you feels like Paris in the rain Paris in the rain We don't need a fancy town Or bottles that we can't pronounce 'Cause anywhere, babe Is like Paris in the rain When I'm with you ooh ooh When I'm with you ooh ooh Paris in the rain Paris in the rain

Oh Boy, when I'm not with you All I do is miss you So come and set the mood right Underneath the moonlight (Days in Paris Nights in Paris) Paint you with my eyes closed Wonder where the time goes (Yeah, isn't it obvious? Isn't it obvious?) So come and set the mood right Underneath the moonlight

'Cause anywhere with you feels right Anywhere with you feels like Paris in the rain Paris in the rain Walking down an empty street Puddles underneath our feet”

Setelah menyelesaikan nyanyiannya, Jeno menyimpan gitar miliknya dengan hati-hati. Ia turun dari panggung, lalu berjalan mendekat ke arah Jaemin yang masih terdiam.

Ketika ujung sepatu keduanya saling menempel, tangan kanan Jeno terulur untuk mengusap pipi yang sekarang lebih berisi.

“I thought I’m already yours,” bisik Jaemin.

Jeno terkekeh, lalu berbalik. Melihat kembali tulisan “Be mine?” di sebuah layar LED yang disimpan di atas panggung.

”Not yet. I’ve never asked you officially.” Pandangan mata Jeno tertuju pada sepasang hazel favoritnya.

“Na Jaemin, would you be mine? Listen, I won’t force you to do this, but if i get rejected again this time, I don’t know… maybe I will cry until you say yes.”

Tawa Jaemin pecah, ia kemudian melingkarkan tangannya ke leher Jeno. Senyumnya kembali mengembang.

“Yes. I’d like to do it with you. I wanna be with you for an infinite times.”

Jaemin mendekatkan wajahnya. Menghapus jarak di antara mereka.

“By the way, I fucking love it when you did the rap part. That’s so sexy.”

“I know it, Love.”

Entah siapa yang memulai, kedua bibir itu kini saling menempel. Sebuah ciuman lembut yang penuh perasaan hingga mereka tersenyum di sela tautannya.

Sebuah suara kembang api muncul tepat ketika tautan mereka terlepas. Jaemin mengerjapkan matanya sebelum mendongak. Kemudian ia dikagetkan dengan keberadaan sosok-sosok familiar di belakang Jeno. Di sana, ia menemukan teman-temannya juga teman Jeno yang tersenyum penuh arti.

Jaemin tak bisa menahan senyuman lebarnya, selama ini ia di kelilingi banyak orang yang menyayanginya. Lantas, mengapa ia begitu takut ditinggalkan?

Nyatanya, mereka tak pernah sekalipun meninggalkan Jaemin.

“Om Jeno, mau sampai kapan ngelihatin Nana-nya?”

Melihat Jeno yang tersentak kaget, Jaemin terkekeh kecil. Kemudian ia berjalan mendekat dan naik ke dalam pangkuan Jeno yang tengah duduk di kursi kerjanya.

“Nana kangen,” ucap Jaemin setengah berbisik.

Pucuk hidung milik Jaemin mengedus piyama sosok yang ia dekap. Menghirup aroma tubuh yang dirindukannya.

“I miss you too.”

Manik Jaemin terpejam tatkala merasakan kecupan kecil di kepala.

“Pulang sama siapa?” tanya Jeno seraya memainkan surai Jaemin.

“Renjun.”

Jaemin mendongak, mempertemukan hazelnya dengan obsidian.

“Om Jeno beresin dulu kerjaannya. Nanti Nana mau ngomong sesuatu.”

Dikecupnya kening Jaemin sebelum mengangguk. Jeno kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti dengan Jaemin dalam dekapannya. Secepat mungkin menyelesaikan sisa pekerjaan yang ia bawa ke rumah sambil sesekali melirik Jaemin yang masih terjaga.

Setengah jam kemudian, Jeno merentangkan kedua tangannya. Melirik kembali Jaemin yang duduk nyaman di pangkuannya.

“Udah?” tanya Jaemin.

“Udah.” Mendengar jawaban Jeno, lantas Jaemin beranjak dari pangkuan sosok yang lebih tua.

Menarik lengan Jeno sebelum melepasnya, kemudian berbaring di atas ranjang.

“Sini, pengen cuddle,” ucap Jaemin yang dibalas dengan kekehan.

Jeno ikut membaringkan dirinya. Membawa Jaemin kembali dalam dekapan. Netranya tak lepas memandang Jaemin, menyalurkan rindu yang tak terucap.

“Om Jeno ga bakal nanya kenapa Nana tiba-tiba nginep di rumah Renjun?”

Pertanyaan Jaemin membuat Jeno terkesiap.

“Did i do something wrong?”

“Engga! Om Jeno ga salah apa-apa. Yang salah itu Nana tau,” jawab Jaemin dengan bibir yang mengerucut.

“Maaf.”

Lagi-lagi Jaemin membuat Jeno terkesiap. Jantungnya berdegup kencang dan memikirkan skenario buruk yang ia takutkan terjadi.

“Nana udah buat Om Jeno nunggu lama, ya?”

“Nana.”

Jeno menatap netra Jaemin dalam dengan pikiran yang berkecamuk. Rasa takut ditinggalkan tiba-tiba menyeruak hingga dadanya sesak.

Apakah Jaemin akan meninggalkannya lagi?

“Can we start over?” bisik Jaemin.

Suara yang begitu pelan membuat Jeno harus terdiam beberapa saat sebelum mengerjapkan kedua matanya.

“I know I’ve hurt you a lot. But can we start over? Can we say ‘I love you’ to each other and when you said ‘I love you’, I can say ‘I love you too’?”

“Aren’t you sick of it? When you told that you love me, but i’ve never said it back? So from now on, I’ll tell that I love you too. I love you so much, I do. I’m just too scared to say it back and I ended up hurting you.”

Jaemin menundukan pandangannya. Jemari milikinya memainkan kancing piyama milik Jeno, tak berani menatap sang empunya.

“Say it again, please.”

Wajah Jaemin terangkat, ketika netra keduanya bertemu, sebuah semburat merah menghiasi pipi yang sedikit berisi.

“I love you, Lee Jeno,” ucap Jaemin lantang seraya menatap Jeno tepat di matanya.

“Loh? Om Jeno? Kok nangis?!”

Panik, Jaemin meraup wajah Jeno. Menghapus air mata yang tiba-tiba keluar dari netra Jeno.

“I thought i’ve never heard that.”

Jaemin terdiam sebelum menggigit bibir bawahnya.

“Maaf.”

“No, you don’t have to say sorry,” ucap Jeno seraya meraih wajah Jaemin dan memberikan kecupan pada keningnya.

“I love you too.”

Baik Jeno maupun Jaemin, keduanya saling tersenyum. Sebelum Jeno menghapus jarak di antara mereka dan mencium bibir Jaemin dengan lembut.

Setelah tautan manis mereka terlepas, Jaemin berbisik, “Can we take it slowly? You know….”

“I know, i’ll be waiting. Just don’t make me wait too long.”

Jaemin hanya memandang cup americano-nya dengan canggung. Di antara hiruk piruk kafe ternama, kedua orang yang tengah duduk berhadapan tak berniat untuk menghangatkan suasana hanya dengan sekadar saling menyapa. Entah sudah berapa lama Jaemin merasakan tatapan tajam yang diberikan sosok di hadapannya.

Keduanya seolah tengah berlomba berdiam diri, di mana yang pertama membuka suaralah yang kalah.

“Apa gue perlu ngenalin diri?”

Sontak, Jaemin duduk dengan tegak. Digigit bibir bawahnya dengan keras, sebelum memaksakan sebuah senyuman.

“Engga usah, aku masih inget.”

Pertanyaan itu, Jaemin sangat tahu akan dibawa kemana obrolan mereka berlanjut.

Right? Aneh banget kalau lo ga inget satu-satunya mantan Jeno.”

Tepat sasaran. Jaemin hanya tersenyum kikuk, lantas kembali menatap cup americano yang masih penuh.

“Kebetulan banget kita bisa ketemu di sini. Lo abis dari kantor Jeno? Tadi gue juga dari sana and we talked a lot of things.”

Jun Sora. Sosok cantik yang tengah memandang Jaemin penuh intimidasi itu tersenyum tipis.

“Gue ga tau kenapa Jeno suka sama lo.”

Seharusnya Jaemin tidak usah membeli americano. Jika tahu akan seperti ini, ia rela berdiam diri dengan Hendery walaupun tangannya bau terasi.

Di sisi lain, Sora memberikan tatapan menilai. Matanya menatap Jaemin dari ujung kaki hingga kepala.

“Yang paling penting,” ucap Sora menggantung, membuat Jaemin menggigit bagian dalam pipinya.

“Lo tepos.”

Melihat pandangan mata Jaemin yang kosong, Sora mengangkat bahunya. Perempuan 24 tahun itu menyenderkan bahunya di kepala kursi. Matanya menatap langit-langit kafe seolah pikirannya tengah berkelana jauh.

“Empat belas tahun? Gue ga ngerti kenapa Jeno nungguin lo selama itu. Walaupun akhirnya dia sempet nyerah dan jadiin gue pelarian.”

You wanna know something funny? Katanya dia suka gue karena mirip lo. Like, damn. This Lee Jeno has no mercy on me.”

Sora mengalihkan atensinya, mendapati Jaemin yang masing tak bergeming.

“Lo mau buat Jeno nunggu berapa lama? Kalau lo emang ga mau, tinggalin. Bukan main rumah-rumahan ga jelas dan ngasih harapan ke Jeno.”

“Gue ga tau hal apa yang pernah lo alamin dan gue ga mau tau. Tapi lo sadar ga sih seberapa sering lo nyakitin Jeno? Apa lo pernah mikirin perjuangan Jeno? Gue rasa engga.”

“Kalau lo masih mau bikin Jeno nunggu, sebulan aja, gue bakal ambil Jeno. I’ll give him the love that you never gave.

Setelah itu, Sora menyeruput latte-nya. Memberikan tatapan dingin pada Jaemin sebelum beranjak pergi.

“Pathetic.”

Meninggalkan Jaemin yang masih termangu.

Manik obsidian itu mentap sosok yang tengah memejamkan mata dalam dekapannya. Hari ini hujan mengguyur sepanjang hari, membuat Jaemin terus memeluknya ketika mereka bertemu. Jemari milik Jeno bergerak untuk merapikan anak rambut di kening Jaemin.

Jeno tersenyum kecil, Jaeminnya tidur seperti bayi. Wajah yang cantik itu tak pernah berubah, hanya semakin membuat Jeno jatuh cinta. Bahkan dari pertemuan pertama mereka, Jaemin sudah menempati ruang kosong dalam hatinya.

Saat itu umur Jeno masih 10 tahun ketika keluarga Na bertamu ke rumahnya.

Saat itu, jika sosok ayah yang dibanggakan Jaemin tak bermain api dengan wanita lain, mungkin Jeno sudah menjadikan Jaemin miliknya.

Mungkin Jaemin mencintainya.

Jeno menghela napas. Jemarinya kembali bergerak untuk mengusap kepala Jaemin. Pikirannya terlalu berkecamuk.

Jaeminnya di sini, terlelap dalam dekapannya dan itu cukup untuk menjadi alasan Jeno bahagia.