First time meeting
Bel pulang sudah berbunyi di setiap penjuru sekolah semenjak hampir tiga puluh menit yang lalu dan Jeanath masih berkeliaran seperti orang linglung. Padahal, ia memiliki janji dengan sosok yang bernama Jaziel, tetapi ia terlihat begitu santai walaupun kebingungan dengan tata letak sekolahnya sendiri. Jeanath tengah menelusuri koridor di depan lab bahasa, mencari ruangan untuk anak olimpiade yang sulit ditemukan. Seolah sengaja membuatnya datang terlambat, padahal yang sengaja membuatnya terlambat adalah dirinya sendiri karena seharusnya, Jeanath dapat datang tepat waktu.
Seharusnya, Jeanath dapat datang tepat waktu jika saja dirinya tidak menebar pesona di depan kelas Hamsa. Jangan salahkan Jeanath sepenuhnya. Ia tidak berniat untuk menebarkan ketampanannya di sana, hanya saja para gadis secara otomatis menempel padanya. Jeanath, jika diasumsikan bagaikan pusat magnet yang menarik banyak perempuan untuk mendekat padanya. Walau pada kenyataannya, Jeanath hanya sedang membuat alasan di balik keterlambatannya. Jeanath memang sengaja telat, sebab ia selalu terbiasa seperti itu.
Ruang Olimpiade
Ternyata benar-benar ada.
Sebelum membuka pintu, Jeanath mengatur ekspresinya terlebih dahulu.
“Sorry, lama. Gue ada urusan.” Dengan laga sok sibuk, Jeanath masuk tanpa permisi. Dagunya sengaja ia angkat sedikit agar menambah kesan keren dalam dirinya.
Seraya melangkah lebih dalam, Jeanath menelisik ruangan yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Ia sibuk menilai interior yang biasa-biasa saja. Tidak terdapat hal spesial di sana. Ruangan itu mirip dengan ruangan kelas pada umumnya, hanya memiliki ukuran yang lebih kecil. Mungkin dapat disebut sebagai kelas versi mini. Terlarut dengan dunianya sendiri, ia melupakan eksistensi sosok lain di sana, pada sosok yang telah menunggunya hampir setengah jam. Sosok tersebut, Jaziel, hanya menatap datar Jeanath.
Merasakan sepasang mata yang tengah menatapnya, Jeanath tersadar kembali pada tanah yang ia pijak. Namun, ia tak lantas menaruh atensinya pada Jaziel, memilih untuk memberikan penilaian pada ruangan itu. Setelah puas mengamati, Jeanath menatap Jaziel hingga kedua manik mata mereka bertemu. Jeanath memutuskan kontak mata mereka dan berjalan ke arah sosok berkacamata di sana. Menarik kursi dan duduk di hadapannya.
“Gue mau langsung ke intinya,” ucap Jeanath sambil kembali menatap Jaziel.
Kesan pertamanya pada Jaziel secara langsung adalah hidung sosok itu yang terlampau bangir. Mungkin jika Jeanath menjadi debu atau bulu kucing, ia akan betah perosotan di hidung Jaziel. Tanpa malu, Jeanath memandangi wajah Jaziel secara terang-terangan.
Pandangan Jeanath beralih pada topi yang tersimpan di atas meja. Atas apa yang ia lihat, kedua alisnya saling bertaut. “Gue gak butuh tutor. Kalau lo takut dianggap buruk sama pak Ali karena nolak, lo tinggal bersikap seolah gue sama lo emang ngejalanin tutor dan lo bisa tetep jadi murid kebanggaan pak Ali sedangkan gue gak usah ikut tutor. Gue harap kerjasamanya.” Jeanath berterus terang, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang topi yang sedang ia lihat.
Terdapat sebuah jeda yang panjang, sebelum salah satu dari mereka bersuara, memecahkan keheningan di antara kedua sosok yang berhadapan, namun tak saling memandang, sebab, sosok lain sibuk menatap sebuah topi.
“Kalau gue nolak?” Atensi Jeanath tertarik seutuhnya pada Jaziel, meninggalkan segala pertanyaan terkait topi yang tadi memenuhi pikiran.
Melihat wajah tanpa ekspresi di depannya, Jeanath dapat menebak jika Jaziel adalah golongan manusia membosankan. Ia lantas menatap Jaziel dengan sangsi.
“Lo gak usah menyusahkan diri buat jadi tutor gue. Waktu luang lo bisa lo gunain buat belajar daripada ngajarin gue,” jawab Jeanath.
“Kalau lo gak mau, ya tinggal bilang ke pak Ali.” Suara Jaziel yang datar terdengar begitu menyebalkan di telinga Jeanath.
Entah karena perasaan sentimen atau memang suasana hati Jeanath yang sedang buruk, kesabaran sosok itu kini sudah berada di ambang batas. Hari ini ia mendapatkan nilai minus dan dibuat kesal dengan Pak Ali. Lalu, sosok lain yang sama-sama berkacamata juga terlihat dan terdengar begitu menyebalkan. Padahal Jeanath telah memberikan kesepakatan yang baik dan tidak merepotkan kedua belah pihak. Namun, Jaziel agaknya suka direpotkan.
Terdengar helaan napas Jeanath yang berat. “Lo kayaknya gak kenal gue,” ujarnya, memberikan sebuah sinyal peringatan bahwa ia bukanlah sosok yang patut diremehkan.
“Apa susahnya sih tinggal bilang iya?” lanjut Jeanath dengan nada yang ditinggikan, emosinya sudah hampir terkuras habis.
Di hadapannya, Jaziel tengah memandangnya lurus seraya menaikan salah satu alisnya. “Apa susahnya tinggal ikut tutor?” tanya Jaziel balik.
Sudah cukup. Kesabaran Jeanath telah hilang sepenuhnya. Kini, yang tesisa hanyalah kobaran api amarah. Ia kemudian berdiri tegak. Ditariknya kerah baju milik Jaziel dengan kasar.
Bugh
Sebuah pukulan mendarat tepat di pipi kanan Jaziel. Pukulan itu berhasil membuat Jaziel terjatuh dari kursi yang ia duduki. Merasakan otot pipinya yang kesakitan, Jaziel meringgis kecil.
“Apa lo harus gue kasarin dulu baru bilang iy-“
Bugh
Kali ini Jeanath yang tersungkur di atas lantai. Mata bulatnya terbelalak. Belum sempat memproses rangkaian kejadian yang menimpa, ia merasakan punggunya menabrak suatu permukaan yang keras di belakang. Selang sedetik, sebuah dentuman nyaring membuatnya tercengang. Kepalanya menoleh pada tangan yang terulur tepat di samping kanan, hampir mengenai wajahnya. Kemudian, ia bergerak menatap Jaziel dengan tatapan kosong.
“Lo juga kayaknya gak kenal gue,” bisik Jaziel penuh penekanan, netranya menatap Jeanath dengan tajam.
Setelah itu, Jaziel berjalan menjauh, kembali duduk di kursi dengan tenang seolah tidak terdapat hal janggal yang terjadi di antara mereka. Jeanath lagi-lagi menengok ke samping. Maniknya menatap horor permukaan loker yang melegok akibat kepalan tanggan jaziel.
“Hik.”
Itu Jeanath yang sedang cegukan. Ia masih syok atas kejadian yang menimpanya. Sambil meredakan cegukan yang melanda, atensi Jeanath beralih pada Jaziel. Sebuah pandangan datar yang dilemparkan dapat membuat Jeanath gelapan, berhasil membuatnya berjalan pelan mendekati Jaziel dengan skeptis.
Ketika sosok lain mendekat, Jaziel menyodorkan kertas. “Baca,” titahnya yang terdengar tegas.
Jeanath mengedipkan kedua mata ketika dirinya menemukan selembar kertas di atas meja. Kemudian bibirnya bergerak membaca untaian kata di atas kertas tersebut. “Kontrak Tutor.”
Ah, akhirnya Jeanath tersadar jika dirinya masuk ke dalam kandang singa.