Prolog
Semilir angin malam ditambah dengan hawa yang mencekam berhasil membuat bulu kuduk Jaemin meremang. Tubuhnya sedikit begetar, berada di ambang antara kedinginan dan ketakutan. Suara burung hantu yang saling bersautan seolah menjadi latar musik aktivitas sekumpulan anak umur 20 tahun yang sedang mengumpulkan potongan tubuh mayat.
“Udah semua,” ucap salah satu dari mereka yang bernama Haechan.
Dinginnya malam seakan tak menjadi hambatan peluh yang keluar dari pori-pori kulit. Sosok yang paling tinggi di sana mengangguk, lalu mulai membuka buku usang yang terus dalam genggaman.
“Jisung, kalau beneran gimana?” Akhirnya Jaemin bersuara.
Seluruh atensi sekarang berpusat pada Jaemin. Ekspresi takutnya terpatri begitu jelas, tetapi teman-temannya seolah tak peduli. Mereka termakan sebuah rasa penasaran yang tinggi.
“Ssst, Nana. Diem,” jawab sosok lain yang memiliki tubuh paling munggil.
Jaemin hanya bisa pasrah ketika melihat Jisung mulai mengumpulkan semua persyaratan untuk memulai ritualnya. Melihat Jaemin yang bergetar ketakutan, Chenle —sosok yang berada di sampingnya menggenggam erat tangan Jaemin. Memberikan sedikit kekuatan kepadanya, menegaskan bahwa ia tidak sendirian di sana.
Tiba-tiba hawa di sekitar kumpulan pemuda itu berubah. Langit yang tadinya cerah kini dipenuhi kumpulan awan hingga menutup cahaya sang rembulan. Kemudian gemuruh datang entah dari mana asalnya. Didekap rasa takut hingga dadanya merasa sesak, Jaemin memejamkan matanya seraya menggigit bibir bawah.
Dalam hati, Jaemin mengutuk Jisung yang menyeretnya paksa sehingga terlibat ke dalam sebuah ritual kuno. Jika saja sosok itu percaya akan cerita kakeknya tentang kesaktian leluhur mereka, Jaemin mungkin sekarang sedang bergulung dalam hangatnya selimut seraya menonton drama korea kesukaannya.
Ketika merasakan tanah yang mereka pijak bergetar, Jaemin membuka mata perlahan. Ia dapat melihat teman-temannya yang mulai panik. Termasuk Jisung yang sekarang tengah menatap kosong sesajen di tengah-tengah mereka. Jaemin dapat merasakan genggaman tangan Chenle lebih erat dari sebelumnya. Sedangkan Haechan dan Renjun sudah berpelukan dengan tubuh yang bergetar ketakutan.
Kemudian datang kilatan cahaya yang menyambar sesajen. Pengelihatan Jaemin menjadi kabur. Ia tak bergeming di tempatnya, bahkan ketika teriakan nyaring Chenle terdengar hampir memecahkan gendang telinga. Kepala Jaemin mendadak kosong. Matanya tak dapat melihat apapun di depan sana dan kakinya merasa begitu lemas seolah tak dapat digerakkan. Ia bahkan tidak sadar jika hanya dirinya yang tersisa di sana. Teman-temannya yang lain sudah lari terbirit-birit untuk menyelamatkan nyawa.
Sekonyong-konyong petir muncul di hadapan Jaemin, membuat pemiliki hazel coklat itu hampir meloncat. Jaemin merasakan jika kepalanya menjadi lebih ringan. Kemudian napasnya tercekat ketika melihat sosok lain yang belum ia lihat sebelumnya. Sepasang obsidian itu mengunci pergerakan manik Jaemin. Antara rasa takut dan kagum akan pahatan sosok di depannya hanya dibatasi oleh sebuah garis tipis.
“Ini di mana, ya?”
Hal terakhir Jaemin ingat adalah suara lembut yang keluar dari mulut sosok itu sebelum semuanya berubah menjadi gelap.