jennoonaa

dedicated to myself and nominist

Sepasang obsidian itu menatap hamparan rumput. Hanya terdengar suara air mengalir dari sungai dan jangkrik yang bersautan. Kapan terakhir kali dirinya ke sini? Taman kecil yang menjadi tempat favotit Jaemin. Ada banyak begitu kenangan yang mereka ukir ketika keduanya masih kecil.

Jeno menghentikan langkah kakinya ketika ia melihat punggung milik Jaemin. Tanpa bersuara, Jeno kembali berjalan pelan. Pria yang lebih tua itu duduk di sebelah Jaemin. Matanya ikut menatap rembulan, sebelum ia mengalihkan atensinya pada sosok yang tengah tenggelam dalam pikiran.

Angin malam membuat rambut sosok itu sedikit bergoyang. Tatapan matanya kosong dan bibir semerah cerinya terlihat sedikit kering.

Bahkan ketika bersedih pun, Na Jaemin masih terlihat begitu cantik.

“Nana kira, nana bakal di sini karena orang itu,” ucap Jaemin memecah keheningan.

“Tapi ternyata Nana di sini karena Kak Jaehyun,” Lanjutnya.

Jaemin menoleh, menampilkan senyuman yang membuat Jeno meringgis.

“Nana kira Kak Jaehyun ga bakal jatuh cinta lagi setelah disakitin sama mantannya.” Jaemin bercerita.

Jeno masih bergeming, hanya mendengarkan.

“But once again, I was wrong.”

“Nana takut.” Suara Jaemin kini terdengar sedikit bergetar.

“Gimana kalau Kak Jaehyun disakitin lagi, kayak mama yang disakitin orang itu.”

Tak ada air mata yang turun dari kedua manik indah milik Jaemin. Ia hanya menatap Jeno dengan tatapan kosongnya, membuat Jeno menggertakkan gigi.

Melihat Jaemin yang seperti ini membuat hatinya sakit.

Direngkuh tubuh Jaemin ke dalam dekapannya. Jeno menghirup surai Jaemin dan menempelkan bibirnya sana.

“Hear me out,” ucap Jeno.

“Jaemin, Kak Jaehyun butuh seseorang buat jadi pendamping hidupnya. Saya ga bisa janji kalau dia bakal bahagia setiap saat, tapi saya yakin kalau Kak Jaehyun juga dicintai. Kejadian itu ga bakal terulang.”

“Loneliness doesn’t make everyone happy. Sometimes they need to be loved too, Nana. There’s nothing wrong with love, but some people just make it worst.”

Tangis Jaemin pecah.

“Maaf,” ucap Jaemin di sela tangisnya.

“I’ll be waiting, even though you need years to heal.”

Alis Jeno bertaut ketika ia melihat Jaemin tengah cemberut seraya menatap layar ponsel pintarnya. Tak ambil pusing, Jeno menghampiri Jaemin yang merebahkan dirinya di ranjang. Jaemin seakan tak peduli dengan kehadiran Jeno dan terus memelototi layar ponsel dalam tangannya.

Jeno merangkak di atas kasur, lalu menindih tubuh Jaemin dan membawanya ke dalam dekapan. Sosok yang dipeluk masih tak bergeming. Bahkan ketika Jeno mengendus ceruk lehernya dan menggesekkan hidung bangirnya di sana, Jaemin masih terdiam.

“Ah!” Jaemin meringgis kecil ketika Jeno menggigit lehernya.

Jeno mendongak, matanya menguci pergerakan pupil Jaemin.

“Kenapa?” tanya Jeno.

Jaemin hanya mencebikkan bibirnya sebagai jawaban. Melihat itu, Jeno bergerak bangkit untuk duduk. Diambil ponsel yang dalam genggaman Jaemin hingga membuat pemuda Na ikut beranjak duduk seraya memainkan jemari.

Jeno menatap layar ponselnya. Ia mendengus sebelum melempar asal benda persegi panjang itu. Matanya menatap tajam Jaemin yang semakin cemberut.

“She said, you deserved better,” ucap Jaemin pelan.

Pemuda Na menunduk. Tak berani menatap kedua mata Jeno.

“Yeah, I deserve better.”

Jaemin menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang siap untuk meledak.

Jemari Jeno meraih wajah Jaemin yang tertunduk, membuat kedua pasang mata saling beradu.

“That’s why I deserve you, Na Jaemin.”

Terdapat sedikit jeda sebelum akhirnya tangis Jaemin pecah. Jeno lantas membawa Jaemin kedalam pelukannya.

“Hey, kenapa? Did i say something bad?” tanya Jeno seraya mengusap punggung Jaemin.

Jaemin menggeleng pelan, lalu mendongak.

“Mau cium.”

Jeno mengusap jejak air mata Jaemin seraya tersenyum kecil. Kemudian ia mengecup kening Jaemin dengan lembut, membuat sosok dalam dekapannya memejamkan mata.

“aspetterò finché mi amerai,” bisik Jeno sebelum mencium Jaemin tepat di bibir.

Mendengar suara pintu kamar mandi yang berdicit, Jaemin lantas beranjak turun dari bathtub. Ia berjalan tergesa menghampiri sosok yang ditunggu. Jika Jeno tidak menangkap tubuh rampingnya, Jaemin sudah dipastikan mencium lantai kamar mandi.

“Jangan lari!” Jeno berseru dengan suara yang tegas.

“Om Jeno lamaaa!”

Jeno mendengus. Ia menutup kembali mulutnya yang hampir mengeluarkan omelan. Tangannya mengangkat tubuh telanjang Jaemin. Membawa sosok itu kembali ke dalam bathtub. Setelah Jaemin duduk manis di dalam bathtub, Jeno membuka bathrobe yang ia kenakan.

“Om Jeno!” panggil Jaemin.

Jeno menoleh, mendapatkan Jaemin yang tengah tersenyum lebar seraya merentangkan kedua tangannya. Bibir Jeno terangkat, ia tersenyum kecil sebelum ikut berendam dalam air hangat. Memeluk Jaemin dari belakang dan merilekskan otot-otot tubuhnya.

Merasakan embusan napas Jeno di tenguknya, Jaemin terkikik seraya memainkan busa di sekitarnya. Kegiatan itu terhenti ketika Jeno mengecupi permukaan kulitnya. Jaemin menoleh, hazelnya bersirobok dengan sang obsidian. Keduanya saling bertatapan sebelum Jeno mendekatkan wajahnya, lalu mencium Jaemin di bibir.

Jaemin memejamkan mata ketika Jeno melumat bibir atas dan bawahnya bergantian. Digigitnya bibir Jaemin hingga sang empunya membuka akses untuk lidah Jeno menerobos masuk. Jaemin meremas tangan Jeno yang melingkari perutnya.

Ciuman itu terlepas, menyisakan benang saliva yang tipis. Jeno mengecup bibir ranum Jaemin sebelum menempatkan dagunya di pundak sang submissive. Memejamkan mata seraya menikmati aroma tubuh Jaemin yang memabukkan.

Andai saja Jaemin miliknya.

🤥

Mendengar suara pintu yang dibuka secara kasar, Jeno meringgis kecil. Ia mentutup layar laptopnya sebelum mendongak. Sebuah cengiran terpatri di wajah Jaemin ketika kedua mata mereka bertemu.

“Om Jeno!” Tanpa permisi, Jaemin berlari kecil menuju kasur, lalu melemparkan dirinya di sana.

Jeno menautkan alisnya tatkala menemukan boneka yang entah apa itu dalam pelukan Jaemin. Seraya berbaring, Jaemin menepuk sisi ranjang yang kosong. Senyumannya merekah saat Jeno berjalan mendekat. Kemudian, sosok yang dibalut piyama navy itu bangkit dari posisi tidurnya, berlutut dengan kedua tangan terbentang lebar.

Diraihnya pinggang Jaemin sebelum Jeno menghempaskan tubuhnya, membuat posisi mereka menjadi berbaring dengan Jeno yang berada di atas Jaemin. Sosok yang lebih muda terkekeh pelan. Jemarinya mengelus surai milik Jeno.

“Om, mau cium!”

“Engga.”

Jaemin mengerucutkan bibirnya. Belum sempat mengeluarkan protes, Jeno memberikan kecupan ringan di pipi.

“Bukan di situ! Di sini!” seru Jaemin seraya memajukan bibir. Tangannya kini melingkar di leher Jeno.

Kedua mata itu saling menatap sebelum akhirnya Jeno menuruti permintaan Jaemin. Mengecup bibir ranum milik Jaemin secara singkat.

“Lagi!”

“Lagii!”

“Udah.”

“Lagi!”

Jeno kembali menuruti perintah Jaemin. Mengecup bibir Jaemin berkali-kali hingga kecupan itu berubah menjadi lumatan. Dilumatnya bibir Jaemin secara bergantian. Jaemin membuka mulutnya dengan senang hati, memberikan Jeno akses untuk membawanya pada ciuman panjang hingga lenguhannya mengalun.

“Eungh.”

Tautan mereka terlepas ketika merasa pasokan udara menipis. Jeno mengusap jejak saliva yang menempel pada bibir Jaemin. Mengecup bibir ranum itu sekali lagi sebelum berbaring di samping Jaemin. Tangannya menarik Jaemin ke dalam pelukan hangat.

“Tidur.”

Jaemin berdecak sebelum mendorong bahu Jeno. Kaki jenjangnya yang terekspos merangkak untuk duduk di atas perut Jeno. Dengan bibir yang merengut kesal, ia menggoyangkan pantatnya. Sesekali menekan perut yang terbentuk sempurna hingga Jeno meringgis seraya memejamkan mata.

“Nana mau itu!”

𝐬𝐧𝐞𝐚𝐤 𝐩𝐞𝐞𝐤 — 🔞

Bibir tipis itu mengeluarkan embusan yang tak teratur. Napasnya terengah dengan manik menatap nyalang sepasang obsidian sekelam laut malam. Rasa panas menjalar di setiap permukaan kulit dan pompaan jantung yang menggila membuat semburat kemerahan di wajahnya semakin terlihat jelas. Entah bagaimana, tubuhnya berhasil dipojokkan dengan kedua tangan kekar yang mengungkungnya.

“Aku bertanya, omega murahan mana yang tidak mengambil jatah liburnya pada masa heat?”

Sebuah seringaian tipis itu, sudah dipastikan Jaemin akan mencabiknya. Sialnya, hormon-hormon di tubuhnya menganggu kinerja pada setiap ujung saraf hingga kerangkanya sulit digerakkan.

“Menjadi seorang beta sudah cukup merendahkan harga dirimu yang setinggi langit dan ternyata selama ini kau seorang omega?”

Jaemin menggertakan giginya. Hanya tersisa setitik sumbu yang belum terbakar api emosi. Wajahnya kian memerah dan tubuhnya mulai menggigil. Tubuh yang dibungkus oleh hoodie membuatnya dibanjiri oleh keringatnya sendiri. Dengan kesadaran yang masih tersisa, Jaemin menahan hasratnya yang mulai menggila ketika aroma tubuh Jeno tercium menusuk indera penciumannya.

“Na Jaemin,” panggil Jeno dengan suara yang rendah. Mengembuskan napasnya tepat di sebelah telinga Jaemin, membuat rambut-rambut halus di sekitar tubuhnya meremang.

Sengaja memainkan napasnya di sana, menabrak kulit halus itu untuk bermain-main, menghirup aroma pheromone yang memabukkan, dan Jaemin, sulit untuk mengontrol tubuhnya yang semakin bergetar hebat.

“Lee Jeno!”

Seruannya tak dianggap sebagai peringatan, membuat kedua tangan Jaemin terkepal hingga memucat. Dengan tenaga yang tersisa, ia menganggkat kedua lengannya, mendorong tubuh tegap Jeno. Belum sempat memberikan tekanan yang kuat sehingga berhasil menjauhkan kedua tubuh yang menempel intim, Jaemin tersentak tatkala merasakan benda basah menempel di telinga kanannya.

Kali ini, kinerja otaknya ikut berhenti ketika bagian paling sensitif di tubuhnya disentuh oleh benda kenyal yang mematikan semua ujung persarafan. Oh, atau hanya mata dan mulutnya yang dapat bekerja, juga jari-jari lentiknya yang meremas kemeja sang pelaku.

Tak bisa tertahan, sebuah lenguhan berhasil lolos dari mulut kecil itu. Membuat Jeno semakin gencar memainkan lidahnya dan memberikan gigitan-gigitan kecil.

“Jenh, ahh! Berhenti, brengsek!”

Jeno menjauhkan wajahnya. Menatap Jaemin dengan tatapan yang mengejek. Seringaiannya tak pernah luntur, justru semakin melebar. Bangga dengan hasil perbuatannya yang mampu melumpuhkan Jaemin dengan mudah.

Di depannya, seorang Jaemin yang biasa menatapnya dengan tatapan merendahkan sedang tak berdaya. Rambut cokelat kemaduannya berantakan dengan poni yang dibasagu oleh keringat. Jangan lupakan wajah semerah buah tomat yang matang, siap untuk makan, membuat Jeno menggeram rendah.

Membayangkan bagaimana rasanya setiap inchi tubuh dengan aroma semanis nilam dengan campuran vanilla, marshmallow, dan sedikit bunga orange blossom. Kulit putih bersih itu tampak berteriak meminta untuk diciptakan ruam merah di sana. Namun, pandangan mata Jeno tertuju pada bibir semerah buah ceri di musim semi.

“Jangan mendekat!” pekik Jaemin waspada.

Lagi-lagi Jeno tidak bergeming. Terus menghapus jarak di antara kedua wajah. Insting sebagai seorang alpha mengebu meminta untuk menyantap hidangan manis di hadapannya. Jangan salahkan Jeno jika tidak ia bisa berhenti.

“Na Jaemin, apa yang harus aku lakukan?”

Mata Jeno yang menggelap menatap lurus bibir Jaemin, membuat sang empunya menelan ludahnya kasar. Keduanya, secara alamiah menginginkan untuk mating. Namun, Jaemin masih waras untuk tidak mating dengan musuhnya sendiri. Tak akan pernah atau harga dirinya yang hancur.

Jaemin mengatupkan bibirnya. Tak membiarkan Jeno untuk melakukan lebih dari sekadar menempelkan bibir, melumat permukaannya tanpa berhasil mengekspos mulutnya atau berperang lidah. Jaemin tak akan membiarkan hal itu terjadi.

Sayangnya, lumatan dan gigitan kecil yang diberikan oleh Jeno membuat tubuhnya lemas dan tidak bisa mengontrol lenguhan yang keluar. Jika tangan Jeno tidak melingkar pada pinggangnya, Jaemin bisa merosot jatuh ke bawah. Terdengar gila, namun ia menyukai setiap sentuhan yang diberikan Jeno sehingga membiarkan lidah sang alpha masuk ke dalam mulutnya. Mengabsen deratan gigi Jaemin, bermain-main di sana sehingga kewarasannya benar-benar hilang.

“Mmmh.”

Dalam hati, Jaemin hanya bisa berdoa agar seseorang memasuki toilet yang sedang mereka tempati sehingga Jeno melepaskan tautan mereka. Sisa kewarasannya ingin demikian, namun sebagiannya yang jauh lebih besar dengan senang hati menikmati lidah Jeno yang menggelitiki langit-langit mulutnya.

Jaemin kembali tersentak merasakan sebuah benda lain yang terasa hangat masuk ke dalam hoodienya. Double sial, bagaimana bisa hari ini ia tidak memakai sesuatu untuk dijadikan sebagai dalaman. Jemari-jemari Jeno tanpa permisi mengusap permukaan kulit perut Jaemin, memberikan sensasi yang menyengat.

Napas Jaemin tercekat ketika pasokan udara dalam paru-parunya menipis. Tangannya menepuk pelan dada Jeno hingga tautan mereka terlepas, menyisakan sebuah benang saliva. Keduanya saling terengah dan bertatapan. Jeno mengusap sisa saliva mereka yang meninggalkan jejak di bibir ranum sang omega.

“Jaemin,” panggil Jeno, entah mengapa suara itu terdengar jauh lebih rendah dari sebelumnya.

Terdapat jeda yang menciptakan keheningan menyelimuti mereka. Hanya terdengar deruan napas yang saling beradu. Sebelum Jeno kembali mendekatkan dirinya.

“Aku menginginkanmu.”

Ucapan itu mutlak dan Jaemin tidak bisa mengelak. Bagaimana pun, ia tidak bisa melarikan diri. Bahkan ketika bibir keduanya saling menempel kembali, tangannya melingkar pada leher Jeno. Masa bodoh dengan harga dirinya yang terinjak, ia hanya ingin menikmati setiap sentuhan yang membuat akal sehatnya menghilang.

...

Entah sudah berapa lama Jaemin berada di bawah kungkungan Jeno hingga peluh bercucuran. Lagi-lagi ia tidak ingat bagaimana caranya mereka berada di sebuah ranjang besar nan nyaman. Jemarinya bergerak tak karuan mengacak surai hitam Jeno.

“Ahnn, Jenh, ahh!”

Di atasnya, Jeno terus bergerak menusuk lubang analnya, memberikan tekanan pada prostatnya sehingga sang omega terus mendesah.

“Jenhh, ahh! Aku keluarh ahh!”

Jeno bergerak lebih cepat di atasnya seraya terus memberikan tanda di leher Jaemin. Aroma tubuh mereka sudah bercampur menjadi satu, kulit yang saling bergesekkan dan bunyi yang basah hasil persatuan mereka membuat suhu ruangan terasa begitu panas. Jaemin tidak bisa menahan pekikannya ketika pelepasannya datang. Tubuhnya bergetar dan ia merasa sangat lemas. Perlahan, kedua matanya tertutup.

...

Basah.

Bau sperma.

Jaemin membelakkan matanya. Tubuh kurusnya beranjak duduk sebelum berhasil mengumpulkan nyawa dengan penuh, membuat kepalanya terasa sedikit pening.

“Sial!”

Mimpi sialan itu kembali datang. Hampir setiap hari, yang artinya hampir setiap hari juga ia harus mengganti seprai ranjangnya. Dengan wajah yang cemberut dan emosi yang terkumpul, ia melepas pakaiannya. Berlari seraya menghentakan kedua kaki menuju kamar mandi.

Jaemin menghela napasnya panjang tatkala melihat pantulan dirinya di cermin. Begitu berantakan. Ia menjambak surainya frustasi sebelum menatap kembali pantulannya sendiri dengan tatapan menusuk. Di selangka sebelah kirinya terdapat tanda mate dengan gambar naga dan bulan sabit. Tanda itu, sama seperti yang dimiliki oleh seseorang yang ia benci.

“Lee Jeno sialan!”

udah dipublish ke wattpad meng judulnya untie the knot unamenya @littlelamb__ sp tw mw baca

𝗯𝗮𝗰𝗮 𝘆𝗼𝗸

mata jaemin perlahan kebuka waktu ngerasain ada tepukan lembut di pipinya. masih setengah sadar, jaemin bangun dari posisi tidur. dia ngelirik jam di ruangan jeno.

perasaan baru tadi jaemin disuruh masuk sama jeno ke ruangannya dan disuruh duduk di sofa. tapi jeno ga nyuruh apa-apa lagi setelah itu sampai akhirnya jaemin ketiduran.

“ayo pulang. tidurnya dilanjut di mobil.”

jaemin ngangguk lemah. masih capek.

ya gimana ga capek. abis pesta penutupan, dia diajak olahraga malam sama jeno sampe tengah malem. padahal mereka pulang subuh. abis gitu dipaksa ke kantor lagi.

walaupun kerjaannya cuman duduk, tetep aja jaemin capek! badannya kerasa kebelah jadi dua.

jeno ngangkat tubuh jaemin. ngebawa jaemin ke dalam gendongannya. yang dingendong ga protes sama sekali, malah lanjut tidur sambil meluk jeno erat. ga peduli sama beberapa karyawan yang mereka lewatin.

jaemin tidur lagi digendongan jeno. bahkan dia ga bangun sama sekali pas udah nyampe di mobil. sepanjang jalan ya jaemin tidur. tapi di tengah perjalanan, jaemin kebangun. ngerasain tangannya digenggam sambil dielus.

itu tangan jeno. jaemin yang masih ngantuk senyum kecil. sampai matanya nemuin cincin di jari manisnya. jaemin juga liat cincin itu di jari manis jeno. awalnya jaemin senyum. tapi dia langsung sadar.

SEJAK KAPAN MEREKA PAKE CINCIN?!

“jeno? kok ini ada di sini?”

jaemin langsung narik tangannya. natap lekat-lekat cincin yang dia pake. sejak kapan dia pake cincin?

“sejak kapan?”

rasa kantuknya hilang. sekarang jaemin penasaran setengah mati.

“kamarin malem.”

tunggu.

kemarin malem, artinya...

“yang bener aja?!” pekik jaemin.

“kamu ngelamar aku pas kita lagi itu?!”

jeno ngangguk santai, ga ngalihin pandangannya sama sekali ke depan. sedangkan jaemin udah hampir gila.

”aku bilang apa?!”

ada kerutan di kening jeno sebelum ngejawab pertanyaan jaemin.

“kamu bilang iya jeno aku mau, sekarang cepet mas—“

“STOP!”

wajah jaemin udah kayak kepiting rebus. malu banget sampai dia ga mau liat wajah jeno.

“kamu ga suka?”

“bukan gitu.”

jaemin nundukin kepalanya. sebenernya dia bingung. mau seneng karena dilamar jeno tapi dia sendiri ga inget lamaran jeno kayak gimana.

apa jeno ga bisa ngelamar jaemin kayak manusia biasa? kenapa harus ngelamar waktu mereka lagi olahraga malam?!

jaemin bisa ngerasain mobil yang berhenti melaju. dagunya diangkat, ngebuat matanya natap mata jeno.

“jaemin, nikah sama saya ya?”

apa-apaan?!

rasanya jaemin pingin nabok jeno aja. ga romantis banget. tapi anehnya jaemin nangis sambil ketawa kecil. apalagi waktu jeno natap matanya lembut tapi dalem, penuh keseriusan.

“mau engga?” tanya jeno sambil ngelus pipi jaemin.

“ya mau lah!”

jeno ga tahan buat nunjukin senyuman lebarnya. abis itu dia narik tengkuk jaemin. ngebawa jaemin ke dalam ciuman yang lembut penuh perasaan.

𝐄𝐍𝐃

beneran end

𝘀𝗲𝗹𝗮𝗺𝗮𝘁 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗰𝗮 𝘀𝗮𝘆𝗮𝗻𝗸

jaemin nundukin kepalanya. ga berani lihat jeno yang terus-terusan natap dia. sekarang badannya udah ga kotor lagi. udah mandi. baru banget keluar dari kamar mandi.

ngomong-ngomong soal mandi, jaemin jadi malu sendiri. ya habis gimana ya, karena kakinya sakit banget jaemin susah buat jalan. dia hampir aja dimandiin sama jeno. untung jaemin langsung dorong jeno keluar dari kamar mandi dan ya dia mandi sendiri.

seenggaknya jaemin masih bisa jalan dari dalem kamar mandi ke bathub. tapi sialnya dia ga bisa keluar dari bathtub. kakinya sakit banget dan akhirnya minta tolong ke jeno.

inget itu jaemin makin nunduk. malu banget coy sampai pengen nangis.

BAYANGIN AJA JENO GENDONG JAEMIN PAS MASIH TELANJANG.

tapi tenang sodara-sodara, ga ada hal mesum yang kalian inginkan mmf.

sekarang jaemin udah pake piyama kelinci kesayangannya. itu juga dibantu jeno. ah jaemin makin pengen nguburin dirinya di rawa-rawa.

jaemin bisa denger langkah kaki jeno. rasanya jaemin mau meledak. wajahnya panas banget. jaemin terus nunduk ga mau liat jeno. malu gila.

“jaemin, wajah kamu kenapa?”

tangan jeno ngeraih dagu jaemin. ngangkat wajah jaemin yang tadinya nunduk. jaemin cuman ngedipin matanya bingung.

“ini kenapa?” tanya jeno sambil ngelus pelan luka sayatan di wajah jaemin.

“ah, ini? ini hasil kelahi saya sama monyet pak.”

abis gitu jaemin malah cengengesan. bangga dia abis gelut sama monyet mana menang lagi. beda sama jaemin, jeno malah narik napas kasar.

“kamu beneran kelahi sama monyet? gara-gara gantungan kunci?”

jaemin berhenti cengengesan. terus nundukin kepalanya lagi. ga mau denger ejekan dari jeno.

“mana sini saya lihat gantungan kuncinya.”

denger itu jaemin langsung natap jeno. jaemin kira jeno bakal ngejek dia yang ngejar monyet sampai adu bacok sama monyet demi gantungan kunci doang. tapi ternyata jaemin salah.

jaemin ngasih gantungan kuncinya sambil ngigit bibir bawahnya.

“ini punya kamu?”

“bukan, itu punya bapak.”

jaemin nundukin lagi kepalanya. hari ini dia bener-bener ga punya keberanian buat liat jeno. lagi-lagi jeno ngangkat kepala jaemin.

“saya sudah pernah bilang bukan, kalau kamu harus natap orang yang lagi bicara?”

“maaf.”

denger permintaan maaf dari jaemin, jeno senyum. matanya ga lepas dari mata jaemin.

“ini buat saya?”

jaemin ngangguk kecil. mukanya merah udah kayak kepiting rebus.

“makasih.”

denger itu jaemin senyum lebar. jaemin ngangguk keras banget. kesenengan dia.

“jaemin, saya rasa banyak hal yang harus kita bahas. tapi saya pikir itu bisa dibahas nanti.”

jeno nyimpen gantungan kunci yang dikasih jaemin di atas nakas. abis itu jeno balik natap jaemin yang duduk di kasur. jeno narik dagu jaemin buat ngikis jarak di antara mereka.

jantung jaemin rasanya mau loncat.

“bapak mau ngapain?” tanya jaemin panik.

“mau ngehukum kamu.”

abis itu jeno nempelin bibirnya. ngasih lumatan-lumatan kecil di bibir jaemin. jeno ngebawa jaemin ke dalam ciuman yang panjang sampai yang dicium ngeluarin suara-suara laknat.

kalian gosah tau kelanjutannya dah, dosa. jadi mari kita akhiri sampai di sini saja mmf ya hyung.

𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭, 𝐒𝐭𝐫𝐚𝐧𝐠𝐞𝐫, 𝐚𝐧𝐝 𝐎𝐮𝐫 𝐃𝐞𝐬𝐭𝐢𝐧𝐲

Masih terlintas dengan jelas bagaimana kisah mereka dimulai. Jeno tidak akan pernah melupakannya.

Bagaimana pertemuan itu berlangsung dan bagaimana takdir mengikat dua insan yang asing.

Kala itu pukul dua malam. Entah lebih berapa menit, Jeno tak peduli. Ia hanya ingin merebahkan diri setelah dipaksa untuk merayakan ulang tahunnya sendiri.

Hampir saja ia menjelajahi alam mimpi jika bel apartmentnya tidak berbunyi. Jeno menggeram rendah lalu bangkit dari posisinya. Merutuki siapa pun sosok di balik pintu yang menganggu waktu istirahatnya.

Pintu terbuka, memperlihatkan sosok yang asing bagi Jeno. Sebuah kerutan di dahinya terlihat.

“Aku hamil.”

Alis Jeno terangkat, “Hm, hallo hamil, aku Jeno?”

Tetangga baru mungkin?

Entahlah Jeno tidak ingin tahu.

“Hallo Jeno, aku Jaemin sedang hamil anakmu sekarang, sialan.”

Demi Tuhan, rasa lelah Jeno hilang seketika.

....

Jeno melipat kedua tangannya di dada. Memperhatikan sosok yang berhasil membuatnya hampir terkena serangan jantung.

Sosok itu terlihat sangat santai ketika membawa berita besar yang mungkin setelah ini akan mengubah hidup Jeno—ralat, hidup mereka berdua.

Jeno tentu saja kaget. Rahangnya hampir copot. Namun, pemuda yang bernama Jaemin itu malah terlihat tak acuh dan sekarang ia sedang duduk meminum teh hangatnya seraya menonton televisi.

“Tapi kapan kita melakukannya?”

Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Jeno. Ia sangat gatal untuk bertanya, namun bagaimana pun ia harus menjamu tamunya terlebih dahulu.

“Entahlah, mungkin dua bulan yang lalu?”

Jaemin mengangkat bahunya, tak berminat memandang Jeno yang penasaran setengah mati.

“Kau mabuk dan aku sedang dalam masa heat lalu kau membawaku ke sini dan semuanya terjadi begitu saja,” ucap Jaemin datar.

Jaemin bisa saja berdusta. Terlebih ketika Jeno tidak mengingat apapun tentang kejadian yang membuat omega itu hamil.

“Bagaimana bisa aku mempercaimu?”

“Untuk apa aku berbohong?” Jaemin bertanya balik, membuat Jeno kembali berpikir keras.

Otaknya menelisik memori yang tersimpan, mengingat-ingat kejadian dua bulan yang lalu. Ah, Jeno ingat dia pernah terbangun tanpa pakaian, namun ia tidak mendapatkan sosok lain di sampingnya. Jeno mengira jika ia terlalu mabuk hingga melepas semua pakaiannya begitu saja.

Obsidian itu menatap lekat setiap lekukan tubuh Jaemin hingga napas Jeno tercekat. Sekarang ia ingat sosok yang tengah ia perhatikan.

Mimpi kotornya selama ini adalah kenyataan.

“Kau punya pacar?“ tanya Jaemin tiba-tiba.

Kedua netra itu akhirnya bersirobok. Jeno berkedip sebelum menggeleng seraya berkata, “Tidak.”

“Tunangan?”

Lagi-lagi Jeno menggeleng.

“Istri?”

Untuk yang ketiga kali, Jeno menggelengkan kepalanya.

Jaemin memutuskan kontak mata mereka. Tubuhnya ia senderkan di kepala kursi.

“Kalau begitu, mari menikah.”

Keesokan hari, Jeno membawa Jaemin ke rumah orangtuanya. Mengatakan jika Jaemin tengah mengandung anak mereka. Jeno, dengan penuh tanggung jawab akan menikahinya.

Sang ibu tersedak, kakak perempuannya memekik, dan ayahnya hanya dapat berkedip.

“Jeno, kau bahkan tidak pernah memperkenalkan siapapun pada kami tapi sekarang kau datang dengan calonmu dengan bayi di perutnya,” ucap ayahnya tak percaya.

Meski begitu, mereka tetap direstui dan dua minggu kemudian, mereka menikah.

....

Selain status, tidak ada yang berubah. Jeno dan Jaemin hanyalah dua orang asing yang tinggal satu atap. Mereka berada dalam dunianya masing-masing dan hal itu yang membuat Jeno kebingungan.

Tidak ada yang salah, mereka hanya dua orang asing yang dipertemukan dari sebuah kecelakan. Yang membuat Jeno bingung adalah sikap Jaemin. Kalau tidak salah, hamil pada trimester pertama akan sangat merepotkan sang omega.

Muntah-muntah, hilang nafsu makan, dan yang paling sakral adalah mengidam. Namun, Jaemin tidak menunjukkan satu pun gejala dari ketiganya.

Jaemin begitu baik mengurus dirinya sendiri sehingga membuat Jeno merasa gagal berperan sebagai sosok suami.

“Tidak ada yang kau inginkan?” tanya Jeno seraya memakai sepatunya.

Terdengar decakan sebal di balik punggungnya.

“Tidak ada Jeno. Sudah, sana berangkat,” usir Jaemin.

Jeno mencebik, lagi-lagi dirinya tak berguna.

Jeno bukan seorang alpha yang dilahirkan dari keluarga yang kaya. Ibunya hanya seorang apoteker dan ayahnya seorang dosen.

Pekerjaannya bukan menjadi seorang pengusaha kaya raya yang bergelimpang harta. Ia hanya seorang jaksa.

Tapi bukan berarti Jeno tak mampu untuk membelikan kemauan Jaemin. Harga dirinya terinjak ketika ia tidak melakukan apapun untuk sang bayi.

Jaemin yang terlalu mandiri membuat Jeno pusing setengah mati.

...

Tiga bulan sudah terlewati dan Jeno masih memiliki masalah yang sama.

Tiga bulan ini, Jeno masih belum mengenal Jaemin. Sebenarnya, apa yang Jaemin inginkan dari pernikahan mereka?

Setelah menikah, skin-to-skin relationship yang Jeno lakukan hanya mengelus perut Jaemin yang mulai membuncit. Itu pun ia lakukan kala Jaemin sudah terlelap dalam tidurnya. Jeno tidak berani melakukannya pada saat netra yang sering melotot padanya terbuka.

Seperti saat ini, Jeno tengah berjongkok di hadapan ranjangnya. Mengelus perut Jaemin dengan lembut. Ah, jika begini rasanya Jeno tidak sabar menantikan kelahiran bayinya.

“Hallo baby, papa pulang,” bisik Jeno pelan, takut menganggu tidur Jaemin.

Sejujurnya, Jeno menginginkan bayi perempuan, namun, mengingat ini bayi pertama mereka, Jeno rasa laki-laki lebih cocok menjadi anak pertamanya.

Omong-omong, sekarang Jeno lebih sedikit berguna. Ia selalu mengantar Jaemin ke dokter kandungan dan itu merasa jauh lebih baik. Walaupun Jaemin selalu mengotot tidak mau diantar.

Jeno bangkit dari posisi jongkoknya. Obsidian itu menatap Jaemin yang tengah terlelap. Ia menghela napas sebelum ikut merebahkan dirinya. Malam ini sama seperti malam sebelumnya. Kedua punggung itu, lagi-lagi harus berhadapan.

Keesokan harinya, tidak ada yang bisa menahan Jeno untuk bertanya,

“Jaemin, jika bayi kita sudah lahir, apakah kita akan bercerai?”

Jaemin yang berkutat di dapur menghentikan aktivitasnya sejenak.

“Kenapa? Kau ingin menikahi seseorang?”

Pertanyaan itu terlewat santai untuk diucapkan seorang istri pada suami.

Namun Jeno dengan tegas menjawab tidak.

...

Sudah enam bulan mereka menikah dan tidak ada peningkatan.

Jeno menghela napasnya. Ini bukan pertama kalinya ia melihat bekas air mata di wajah Jaemin. Tangan Jeno berkegerak untuk menghapus jejak tersebut.

Beberapa bulan terakhir ini, Jaemin semakin membingungkan. Jeno sering mendapatinya melamun. Tatapan mata yang kosong itu membuat Jeno menyerah untuk menelusurinya.

Ada banyak pertanyaan di benak Jeno. Tapi hanya satu yang ingin ia ketahui untuk saat ini.

Mengapa Jaemin menangis?

Jeno menggumamkan kata maaf. Ia kecewa pada dirinya sendiri yang tidak bisa mengurus istri dan anaknya dengan baik.

Ia juga keweca pada dirinya sendiri karena masih belum mengenal Jaemin.

Malam itu, Jeno memberanikan dirinya untuk mendekap Jaemin. Mencium aroma pheromone yang sesejuk musim semi.

Siangnya, Jeno mendapati sisi ranjang yang kosong. Ia merenggangkan tubuhnya sebelum keluar kamar. Jaemin ada di ruang tengah, menonton televisi.

Jeno berjalan melewatinya menuju dapur untuk mengisi dahaganya. Ada yang janggal. Biasanya, ketika Jaemin bangun terlebih dahulu, makanan sudah tertata rapi di meja makan. Kali ini tidak ada apapun di atas meja.

Suara langkah kaki terdengar mendekat, lantas Jeno membalikkan tubuhnya. Terlihat Jaemin yang sedang menatapnya lurus.

“Setelah aku melahirkan, mari kita bercerai.”

Untuk pertama kalinya, di enam bulan umur pernikahan mereka, Jeno marah besar.

...

Sebulan lamanya dan Jeno masih tidak berbicara pada Jaemin. Namun, bukan berarti ia lepas tanggung jawab sebagai suami.

Hari ini, sepulang kerja, ia menyempatkan untuk belanja semua kebutuhan rumah tangga mereka. Tangannya kini bergerak menyimpan bahan-bahan makanan ke dalam kulkas.

“Jeno, kubilang aku saja yang belanja.”

Tidak ada jawaban. Jeno masih mogok bicara.

“Jeno!” panggil Jaemin ketika Jeno berjalan begitu saja.

“Lee Jeno, berhenti di sana!” teriak Jaemin.

Suara nyaring itu membuat langkah Jeno terhenti. Netranya membulat tatkala melihat Jaemin yang tengah menangis. Perasaan bersalah menyelimutinya. Ia bergegas berjalan ke arah Jaemin, membawa tubuh itu ke dalam dekapannya. Menggumamkan kata maaf berkali-kali.

Jaemin memberontak seraya terisak.

“Lepaskan aku, sialan!” pekik Jaemin.

“Maaf.”

Jeno mengeratkan pelukannya. Mencium pucuk kepala itu dengan lembut seraya mengucapkan kata maaf. Kaki Jaemin melemas, rasanya seperti berubah menjadi agar. Ia hampir saja jatuh jika Jeno tidak memeluknya.

“Kau bahkan tidak bertanya alasanku ingin bercerai,” ucap Jaemin di sela isakannya.

“Kau marah begitu saja dan mendiamkanku, aku tidak akan pernah memaafkanmu,” lanjutnya.

Dadanya sesak. Jeno telah menoreh luka di hati Jaemin. Membuat sosok tangguh itu menangis karena keegoisannya.

Jeno semakin bergulung dalam perasaan bersalah ketika merasakan tubuh Jaemin yang semakin kurus. Hatinya kembali hancur.

“Dari awal, pertemuan kita sudah salah. Aku takut jika aku membuka perasaanku karena kita hanyalah dua orang yang saling tidak mengenal satu sama lain. Aku takut jika aku mencitaimu, kau akan meninggalkanku seperti yang mereka lakukan.”

“Kau memperlakukanku dengan sangat sangat baik, Jeno. Aku selalu yakin jika itu hanya sebuah rasa tanggung jawab. Tapi hatiku tidak bisa berbohong. Aku selalu ingin dilakukan layaknya seorang ratu olehmu.”

“Jaemin,” panggil Jeno seraya bergerak melonggarkan pelukannya, namun Jaemin menolak.

Mendapat penolakan, Jeno kembali mendekap Jaemin dengan erat. Mencium kembali pucuk kepala sang omega.

“Maaf,” ucap Jeno lagi dan lagi.

Mendengar itu, Jaemin menggeleng.

“Tidak ada yang mencintaiku, Jeno. Tidak ada satupun. Bahkan kedua orangtuaku membeciku. Aku hanya seseorang yang beruntung dapat menikah denganmu. Aku tidak pantas untuk dicintai, apalagi oleh sosok sepertimu,” jelas Jaemin dengan suara yang parau.

“Jaemin, tatap aku.”

Tangan kurus Jaemin mengongarkan pelukan mereka. Jeno menangkup pipi Jaemin hingga kedua netra itu saling bertemu.

Netra yang seindah permata yang selalu melotot ke arahnya memerah dan sembab. Penampilannya jauh dari kata baik. Tangisan Jaemin terhenti ketika netranya melihat air mata turun dari sang obsidian.

“Jeno, kenapa kau menangis?” Pertanyaan polos itu membuat Jeno terkekeh.

Jemari Jaemin terangkat menghapus jejak air mata itu.

“Jaemin,” panggil Jeno.

Pergerakan jemari itu terhenti. Atensinya kembali pada pemilik obsidian.

“Kita mungkin bertemu karena sebuah kecelakan. Kita mungkin tidak saling mengenal satu sama lain. Ini mungkin konyol, tapi Jaemin, aku mencintaimu.”

Mata Jaemin membulat, lalu berkedip kebingungan. Pengakuan itu, tidak pernah Jaemin pikirkan sebelumnya.

“Aku mencintaimu, Lee Jaemin,” ucap Jeno sekali lagi sebelum ia memperkikis jarak mereka.

Kening mereka saling bersentuhan, ada sensasi geli yang menyebabkan kupu-kupu saling berterbangan dalam perut mereka. Dari jarak yang sedekat ini, Jeno dapat melihat bagaimana mata indah yang selalu ia puja dalam hati itu begitu menawan.

“Orang yang beruntung di sini adalah aku. Aku seharusnya sudah mendapat tamparan dan caci maki darimu. Kau bisa saja menggugurkan anak kita, tapi kau tidak melakukannya. Kau bahkan tidak pernah merepotkanku sehingga membuatku merasa gagal menjadi calon ayah,” tutur Jeno sebelum ia menempelkan bibirnya.

Kedua bibir saling bertemu. Memberikan efek sengatan listrik bagi keduanya. Jaemin memenjamkan kedua matanya kala Jeno mulai melumat bibir ranum itu dengan lembut. Rasanya begitu manis, seperti perpaduan creamy vanila dan cinnamon.

Pada bulan ketujuh di pernikahan mereka, bulan dimana daun-daun berguguran, bunga sakura bermekaran menghiasai rumah tangga dua insan yang terikat benang merah.

...

Terkesan tergesa-gesa, Jeno melangkahkan kakinya menuju perkarangan rumah. Suara pintu terbuka otomatis membuatnya masuk dengan tak sabaran ke dalam sebuah rumah.

Lampu menyala secara otomatis ketika pintu terbuka.

Kosong.

Tak ada yang menyambut kepulangannya.

Hari sudah gelap, bahkan hampir terang kembali. Pukul tiga pagi, ia baru saja sampai di rumah.

Hari ini tanggal 23 April dan lima tahun sudah berlalu.

Jeno kembali melangkahkan kaki jenjangnya. Menaiki tangga dengan tak sabaran. Kasus pembunuhan berantai yang ia pegang membuatnya dimonopoli oleh pekerjaan.

Napasnya sedikit terengah dan ia dapat bernapas lega ketika sampai di depan pintu kamarnya. Jemari itu membuka kenop pintu. Lampu otomatis lagi-lagi menyala. Menerangi kamarnya yang luas.

Jeno tersenyum lebar.

Di sana, ada sosok yang sedang duduk di kursi meja rias menghadap ke arahnya. Ia menompang kepala dengan tangan yang berada di meja. Di sisinya, terdapat sebuah keik.

Sosok yang tengah menggunakan piyama bermotif kelinci merengut kala melihat Jeno, siap untuk mengomel.

“Lama sekali!”

Jeno hanya tertawa bodoh seraya mendekati sosok itu.

“Aku bahkan sudah ketiduran beberapa kali!” sungut sosok itu kesal.

Tubuh rampingnya ditarik dan jatuh ke dalam pelukan Jeno. Ia terus mengomel pada Jeno hingga akhirnya berhenti ketika bibir itu dikecup.

“Jeno lepas! Rayakan dulu ulang tahunmu!”

Jeno mengecup bibir itu sekali lagi sebelum melepaskan pelukannya. Ia hanya memperhatikan gerak gerik sosok cantik di hadapannya.

“Happy birthday, Lee Jeno!”

Sebuah senyuman manis tercetak di wajahnya yang cantik itu membuat Jeno terkekeh pelan.

“Ayo buat permohonan dan tiup lilinnya!”

Lagi-lagi Jeno mengambil kesempatan untuk mengecup bibir ranum itu, membuat sang empunya mendengus sebal.

Jeno menutup matanya untuk berdoa. Ia sangat menyukai kala obsidiannya itu terbuka dan melihat sosok rupawan yang tersenyum manis. Sosok itu menyimpan kembali keik ulang tahun Jeno. Ia merentangkan kedua tangannya, membuat Jeno terkekeh.

Tanpa diperintah dua kali, Jeno merengkuh tubuh itu ke dalam pelukannya. Ah, pheromone musim semi dengan campuran creamy vanila itu selalu menjadi kesukaannya.

“Mana hadiahku?” tanya Jeno seraya mengendus-endus.

Sosok itu mendorong tubuh Jeno. Tersenyum manis ketika melihat sang suami tengah menunggunya.

“Ini hadiahmu!”

Telunjuk itu mengarah pada perut datarnya. Terkekeh ketika melihat ekspresi terkejut Jeno.

“Jeno, matamu bisa keluar,” guraunya.

Ia tersenyum kembali ketika Jeno mendekapnya erat. Mengucapkan terima kasih seraya mengecup pucuk kepalanya.

Jeno melonggarkan pelukan mereka. Menatap manik indah ciptaan Tuhan yang selalu ia puja. Tangannya bergerak menangkup wajah cantik itu.

“Aku mencintaimu, Lee Jaemin.”

Belum sempat membalas, Jeno sudah mencium bibir Jaemin. Memberi lumatan-lumatan kecil di sana. Ketika tautan mereka terlepas, Jaemin merenggut, membuat Jeno mengacak surai pinknya.

Jemari Jaemin mengelus pipi Jeno. Ia tersenyum seraya berkata, “Aku juga mencintamu, Lee Jeno.”

Kisah mereka dimulai dari sebuah kecelakan, diporak porandakan rangkaian takdir yang mengubah kehidupan mereka dengan sekejap dan berakhir layaknya permen kapas, lembut dan manis.

Bagi Jeno, hadiah terbaik dalam hidupnya adalah takdir yang mengikatnya dengan Jaemin. Sosok rumah yang Jeno puja.

𝐅𝐈𝐍

setelah ngelewatin seminggu yang super sibuk, akhirnya jaemin bisa rebahan. harusnya dia udah tidur karena besok hari yang engga terlalu ditunggu juga sih.

cuman pasti bakal capek.

beberapa orang dari kantornya termasuk jaemin sama jeno bakal ngadain proyek besar di luar pulau. artinya, besok dia harus nempuh perjalanan yang engga lama juga sih soalnya pake pesawat h3h3.

jaemin udah berkali-kali ganti posisi tidurnya. aneh banget, dia ga bisa tidur.

sebenernya ga aneh banget sih, soalnya kemaren dia tidur hampir 14 jam gara-gara tepar.

karena ga bisa tidur, jaemin bangkit dari kasur terus keluar dari kamar yang udah dia tempatin selama seminggu.

iya dia masih di apartmentnya jeno.

jaemin ngendap-ngendap udah kayak maling. sebenernya jaemin bingung mau ngapain, jadi dia cuman keliling apartment jeno ga jelas.

dari jauh jaemin bisa liat lampu ruang tengah yang nyala, udah pasti di sana ada jeno. ya kalau ga ada orang malah serem, karena lampunya nyala secara otomatis. jaemin jalan ke sana dan bernapas lega waktu nemuin jeno yang lagi megang gelas.

“kamu belum tidur?”

jaemin ngangguk, “ga bisa tidur.”

setelah itu hening. jaemin duduk di sebelah jeno. natap datar tv yang ada di depannya.

“mau?” tanya jeno memecah keheningan.

sebenernya, jaemin ga terlalu suka minuman beralkohol. tapi dia mikir kalau wine yang lagi diminum jeno pasti wine mahal, sayang kalau ga nyoba.

yaudah dia terima tawaran jeno. matanya natap pergerakan jeno yang nuangin wine di gelas lain.

“makasih,” kata jaemin sebelum langsung ngabisin winenya.

seterusnya, mereka berdua ngobrol sambil diselangi minum. sampai akhirnya jaemin mulai ngomong ngaco.

tadinya mereka bahas persiapan buat keberangkatan besok, tiba-tiba jaemin ngomongin pertikaian rumah tangga tetangganya.

“saya yakin ada perselingkuhan pak!”

“jaemin, kamu mabuk,” kata jeno sambil ngambil gelas jaemin. tapi jaemin nolak. bibirnya udah monyong-monyong marahin jeno.

karena ga mau nyerahin gelasnya, jeno nyerah. dia ngangkat jaemin yang lagi mabuk ke kamar. yang diangkat masih terus asik cerita. dari mulai pengakuan dia pernah ngerusak kabel komputernya di kantor jeno sampai ngutuk kucing yang suka pipis di depan rumahnya.

sampai di kamar, jaemin masih aja berulah. dia ga mau turun. kakinya malah ngelingker di pinggang jeno.

“jaemin turun!”

“engga mau!”

jeno mulai pusing. mereka terus-terusan debat sampai jeno pusing sampai duduk di tepi ranjang, ngedengerin celotehan jaemin yang ga jelas.

kalau tadi cerita, sekarang jaemin lagi baca puisi.

“oh ulat bulu, kau sangat kecil bergerak menyusuri dedauan, lalu terinjak.”

rasanya jeno pengen ngebekap mulut jaemin. apalagi pas jaemin gerakin tangan yang ngelingker di lehernya, ngebuat gelas yang dia pegang terus-terusan ngehantam kepala jeno.

setelah nungguin lama, jaemin berhenti bacain puisi ga jelasnya. tangannya juga udah berhenti gerak. wajah yang tadi nempel di ceruk leher jeno keangkat. ngebuat mereka tatap-tatapan.

“jeno!” panggil jaemin tiba-tiba, abis itu dia ketawa ga jelas.

jeno masih diem. dia bisa ngelihat jelas wajah jaemin yang udah merah. mata jeno melotot pas jaemin ngelempar gelasnya. untung dilempar ke kasur.

tangan jaemin yang udah ga megang gelas sekarang megang rahang tegas jeno. bikin jeno bingung.

jaemin nunjukin senyumannya sebelum ngedeketin wajahnya.

“jenoooooo,” panggil jaemin waktu wajah idung mereka udah saling nempel.

mata jaemin mulai nutup, dia terus ngedektin wajahnya sampai

BRUK