𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭, 𝐒𝐭𝐫𝐚𝐧𝐠𝐞𝐫, 𝐚𝐧𝐝 𝐎𝐮𝐫 𝐃𝐞𝐬𝐭𝐢𝐧𝐲
Masih terlintas dengan jelas bagaimana kisah mereka dimulai. Jeno tidak akan pernah melupakannya.
Bagaimana pertemuan itu berlangsung dan bagaimana takdir mengikat dua insan yang asing.
Kala itu pukul dua malam. Entah lebih berapa menit, Jeno tak peduli. Ia hanya ingin merebahkan diri setelah dipaksa untuk merayakan ulang tahunnya sendiri.
Hampir saja ia menjelajahi alam mimpi jika bel apartmentnya tidak berbunyi. Jeno menggeram rendah lalu bangkit dari posisinya. Merutuki siapa pun sosok di balik pintu yang menganggu waktu istirahatnya.
Pintu terbuka, memperlihatkan sosok yang asing bagi Jeno. Sebuah kerutan di dahinya terlihat.
“Aku hamil.”
Alis Jeno terangkat, “Hm, hallo hamil, aku Jeno?”
Tetangga baru mungkin?
Entahlah Jeno tidak ingin tahu.
“Hallo Jeno, aku Jaemin sedang hamil anakmu sekarang, sialan.”
Demi Tuhan, rasa lelah Jeno hilang seketika.
....
Jeno melipat kedua tangannya di dada. Memperhatikan sosok yang berhasil membuatnya hampir terkena serangan jantung.
Sosok itu terlihat sangat santai ketika membawa berita besar yang mungkin setelah ini akan mengubah hidup Jeno—ralat, hidup mereka berdua.
Jeno tentu saja kaget. Rahangnya hampir copot. Namun, pemuda yang bernama Jaemin itu malah terlihat tak acuh dan sekarang ia sedang duduk meminum teh hangatnya seraya menonton televisi.
“Tapi kapan kita melakukannya?”
Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Jeno. Ia sangat gatal untuk bertanya, namun bagaimana pun ia harus menjamu tamunya terlebih dahulu.
“Entahlah, mungkin dua bulan yang lalu?”
Jaemin mengangkat bahunya, tak berminat memandang Jeno yang penasaran setengah mati.
“Kau mabuk dan aku sedang dalam masa heat lalu kau membawaku ke sini dan semuanya terjadi begitu saja,” ucap Jaemin datar.
Jaemin bisa saja berdusta. Terlebih ketika Jeno tidak mengingat apapun tentang kejadian yang membuat omega itu hamil.
“Bagaimana bisa aku mempercaimu?”
“Untuk apa aku berbohong?” Jaemin bertanya balik, membuat Jeno kembali berpikir keras.
Otaknya menelisik memori yang tersimpan, mengingat-ingat kejadian dua bulan yang lalu. Ah, Jeno ingat dia pernah terbangun tanpa pakaian, namun ia tidak mendapatkan sosok lain di sampingnya. Jeno mengira jika ia terlalu mabuk hingga melepas semua pakaiannya begitu saja.
Obsidian itu menatap lekat setiap lekukan tubuh Jaemin hingga napas Jeno tercekat. Sekarang ia ingat sosok yang tengah ia perhatikan.
Mimpi kotornya selama ini adalah kenyataan.
“Kau punya pacar?“ tanya Jaemin tiba-tiba.
Kedua netra itu akhirnya bersirobok. Jeno berkedip sebelum menggeleng seraya berkata, “Tidak.”
“Tunangan?”
Lagi-lagi Jeno menggeleng.
“Istri?”
Untuk yang ketiga kali, Jeno menggelengkan kepalanya.
Jaemin memutuskan kontak mata mereka. Tubuhnya ia senderkan di kepala kursi.
“Kalau begitu, mari menikah.”
Keesokan hari, Jeno membawa Jaemin ke rumah orangtuanya. Mengatakan jika Jaemin tengah mengandung anak mereka. Jeno, dengan penuh tanggung jawab akan menikahinya.
Sang ibu tersedak, kakak perempuannya memekik, dan ayahnya hanya dapat berkedip.
“Jeno, kau bahkan tidak pernah memperkenalkan siapapun pada kami tapi sekarang kau datang dengan calonmu dengan bayi di perutnya,” ucap ayahnya tak percaya.
Meski begitu, mereka tetap direstui dan dua minggu kemudian, mereka menikah.
....
Selain status, tidak ada yang berubah. Jeno dan Jaemin hanyalah dua orang asing yang tinggal satu atap. Mereka berada dalam dunianya masing-masing dan hal itu yang membuat Jeno kebingungan.
Tidak ada yang salah, mereka hanya dua orang asing yang dipertemukan dari sebuah kecelakan. Yang membuat Jeno bingung adalah sikap Jaemin. Kalau tidak salah, hamil pada trimester pertama akan sangat merepotkan sang omega.
Muntah-muntah, hilang nafsu makan, dan yang paling sakral adalah mengidam. Namun, Jaemin tidak menunjukkan satu pun gejala dari ketiganya.
Jaemin begitu baik mengurus dirinya sendiri sehingga membuat Jeno merasa gagal berperan sebagai sosok suami.
“Tidak ada yang kau inginkan?” tanya Jeno seraya memakai sepatunya.
Terdengar decakan sebal di balik punggungnya.
“Tidak ada Jeno. Sudah, sana berangkat,” usir Jaemin.
Jeno mencebik, lagi-lagi dirinya tak berguna.
Jeno bukan seorang alpha yang dilahirkan dari keluarga yang kaya. Ibunya hanya seorang apoteker dan ayahnya seorang dosen.
Pekerjaannya bukan menjadi seorang pengusaha kaya raya yang bergelimpang harta. Ia hanya seorang jaksa.
Tapi bukan berarti Jeno tak mampu untuk membelikan kemauan Jaemin. Harga dirinya terinjak ketika ia tidak melakukan apapun untuk sang bayi.
Jaemin yang terlalu mandiri membuat Jeno pusing setengah mati.
...
Tiga bulan sudah terlewati dan Jeno masih memiliki masalah yang sama.
Tiga bulan ini, Jeno masih belum mengenal Jaemin. Sebenarnya, apa yang Jaemin inginkan dari pernikahan mereka?
Setelah menikah, skin-to-skin relationship yang Jeno lakukan hanya mengelus perut Jaemin yang mulai membuncit. Itu pun ia lakukan kala Jaemin sudah terlelap dalam tidurnya. Jeno tidak berani melakukannya pada saat netra yang sering melotot padanya terbuka.
Seperti saat ini, Jeno tengah berjongkok di hadapan ranjangnya. Mengelus perut Jaemin dengan lembut. Ah, jika begini rasanya Jeno tidak sabar menantikan kelahiran bayinya.
“Hallo baby, papa pulang,” bisik Jeno pelan, takut menganggu tidur Jaemin.
Sejujurnya, Jeno menginginkan bayi perempuan, namun, mengingat ini bayi pertama mereka, Jeno rasa laki-laki lebih cocok menjadi anak pertamanya.
Omong-omong, sekarang Jeno lebih sedikit berguna. Ia selalu mengantar Jaemin ke dokter kandungan dan itu merasa jauh lebih baik. Walaupun Jaemin selalu mengotot tidak mau diantar.
Jeno bangkit dari posisi jongkoknya. Obsidian itu menatap Jaemin yang tengah terlelap. Ia menghela napas sebelum ikut merebahkan dirinya. Malam ini sama seperti malam sebelumnya. Kedua punggung itu, lagi-lagi harus berhadapan.
Keesokan harinya, tidak ada yang bisa menahan Jeno untuk bertanya,
“Jaemin, jika bayi kita sudah lahir, apakah kita akan bercerai?”
Jaemin yang berkutat di dapur menghentikan aktivitasnya sejenak.
“Kenapa? Kau ingin menikahi seseorang?”
Pertanyaan itu terlewat santai untuk diucapkan seorang istri pada suami.
Namun Jeno dengan tegas menjawab tidak.
...
Sudah enam bulan mereka menikah dan tidak ada peningkatan.
Jeno menghela napasnya. Ini bukan pertama kalinya ia melihat bekas air mata di wajah Jaemin. Tangan Jeno berkegerak untuk menghapus jejak tersebut.
Beberapa bulan terakhir ini, Jaemin semakin membingungkan. Jeno sering mendapatinya melamun. Tatapan mata yang kosong itu membuat Jeno menyerah untuk menelusurinya.
Ada banyak pertanyaan di benak Jeno. Tapi hanya satu yang ingin ia ketahui untuk saat ini.
Mengapa Jaemin menangis?
Jeno menggumamkan kata maaf. Ia kecewa pada dirinya sendiri yang tidak bisa mengurus istri dan anaknya dengan baik.
Ia juga keweca pada dirinya sendiri karena masih belum mengenal Jaemin.
Malam itu, Jeno memberanikan dirinya untuk mendekap Jaemin. Mencium aroma pheromone yang sesejuk musim semi.
Siangnya, Jeno mendapati sisi ranjang yang kosong. Ia merenggangkan tubuhnya sebelum keluar kamar. Jaemin ada di ruang tengah, menonton televisi.
Jeno berjalan melewatinya menuju dapur untuk mengisi dahaganya. Ada yang janggal. Biasanya, ketika Jaemin bangun terlebih dahulu, makanan sudah tertata rapi di meja makan. Kali ini tidak ada apapun di atas meja.
Suara langkah kaki terdengar mendekat, lantas Jeno membalikkan tubuhnya. Terlihat Jaemin yang sedang menatapnya lurus.
“Setelah aku melahirkan, mari kita bercerai.”
Untuk pertama kalinya, di enam bulan umur pernikahan mereka, Jeno marah besar.
...
Sebulan lamanya dan Jeno masih tidak berbicara pada Jaemin. Namun, bukan berarti ia lepas tanggung jawab sebagai suami.
Hari ini, sepulang kerja, ia menyempatkan untuk belanja semua kebutuhan rumah tangga mereka. Tangannya kini bergerak menyimpan bahan-bahan makanan ke dalam kulkas.
“Jeno, kubilang aku saja yang belanja.”
Tidak ada jawaban. Jeno masih mogok bicara.
“Jeno!” panggil Jaemin ketika Jeno berjalan begitu saja.
“Lee Jeno, berhenti di sana!” teriak Jaemin.
Suara nyaring itu membuat langkah Jeno terhenti. Netranya membulat tatkala melihat Jaemin yang tengah menangis. Perasaan bersalah menyelimutinya. Ia bergegas berjalan ke arah Jaemin, membawa tubuh itu ke dalam dekapannya. Menggumamkan kata maaf berkali-kali.
Jaemin memberontak seraya terisak.
“Lepaskan aku, sialan!” pekik Jaemin.
“Maaf.”
Jeno mengeratkan pelukannya. Mencium pucuk kepala itu dengan lembut seraya mengucapkan kata maaf. Kaki Jaemin melemas, rasanya seperti berubah menjadi agar. Ia hampir saja jatuh jika Jeno tidak memeluknya.
“Kau bahkan tidak bertanya alasanku ingin bercerai,” ucap Jaemin di sela isakannya.
“Kau marah begitu saja dan mendiamkanku, aku tidak akan pernah memaafkanmu,” lanjutnya.
Dadanya sesak. Jeno telah menoreh luka di hati Jaemin. Membuat sosok tangguh itu menangis karena keegoisannya.
Jeno semakin bergulung dalam perasaan bersalah ketika merasakan tubuh Jaemin yang semakin kurus. Hatinya kembali hancur.
“Dari awal, pertemuan kita sudah salah. Aku takut jika aku membuka perasaanku karena kita hanyalah dua orang yang saling tidak mengenal satu sama lain. Aku takut jika aku mencitaimu, kau akan meninggalkanku seperti yang mereka lakukan.”
“Kau memperlakukanku dengan sangat sangat baik, Jeno. Aku selalu yakin jika itu hanya sebuah rasa tanggung jawab. Tapi hatiku tidak bisa berbohong. Aku selalu ingin dilakukan layaknya seorang ratu olehmu.”
“Jaemin,” panggil Jeno seraya bergerak melonggarkan pelukannya, namun Jaemin menolak.
Mendapat penolakan, Jeno kembali mendekap Jaemin dengan erat. Mencium kembali pucuk kepala sang omega.
“Maaf,” ucap Jeno lagi dan lagi.
Mendengar itu, Jaemin menggeleng.
“Tidak ada yang mencintaiku, Jeno. Tidak ada satupun. Bahkan kedua orangtuaku membeciku. Aku hanya seseorang yang beruntung dapat menikah denganmu. Aku tidak pantas untuk dicintai, apalagi oleh sosok sepertimu,” jelas Jaemin dengan suara yang parau.
“Jaemin, tatap aku.”
Tangan kurus Jaemin mengongarkan pelukan mereka. Jeno menangkup pipi Jaemin hingga kedua netra itu saling bertemu.
Netra yang seindah permata yang selalu melotot ke arahnya memerah dan sembab. Penampilannya jauh dari kata baik. Tangisan Jaemin terhenti ketika netranya melihat air mata turun dari sang obsidian.
“Jeno, kenapa kau menangis?” Pertanyaan polos itu membuat Jeno terkekeh.
Jemari Jaemin terangkat menghapus jejak air mata itu.
“Jaemin,” panggil Jeno.
Pergerakan jemari itu terhenti. Atensinya kembali pada pemilik obsidian.
“Kita mungkin bertemu karena sebuah kecelakan. Kita mungkin tidak saling mengenal satu sama lain. Ini mungkin konyol, tapi Jaemin, aku mencintaimu.”
Mata Jaemin membulat, lalu berkedip kebingungan. Pengakuan itu, tidak pernah Jaemin pikirkan sebelumnya.
“Aku mencintaimu, Lee Jaemin,” ucap Jeno sekali lagi sebelum ia memperkikis jarak mereka.
Kening mereka saling bersentuhan, ada sensasi geli yang menyebabkan kupu-kupu saling berterbangan dalam perut mereka. Dari jarak yang sedekat ini, Jeno dapat melihat bagaimana mata indah yang selalu ia puja dalam hati itu begitu menawan.
“Orang yang beruntung di sini adalah aku. Aku seharusnya sudah mendapat tamparan dan caci maki darimu. Kau bisa saja menggugurkan anak kita, tapi kau tidak melakukannya. Kau bahkan tidak pernah merepotkanku sehingga membuatku merasa gagal menjadi calon ayah,” tutur Jeno sebelum ia menempelkan bibirnya.
Kedua bibir saling bertemu. Memberikan efek sengatan listrik bagi keduanya. Jaemin memenjamkan kedua matanya kala Jeno mulai melumat bibir ranum itu dengan lembut. Rasanya begitu manis, seperti perpaduan creamy vanila dan cinnamon.
Pada bulan ketujuh di pernikahan mereka, bulan dimana daun-daun berguguran, bunga sakura bermekaran menghiasai rumah tangga dua insan yang terikat benang merah.
...
Terkesan tergesa-gesa, Jeno melangkahkan kakinya menuju perkarangan rumah. Suara pintu terbuka otomatis membuatnya masuk dengan tak sabaran ke dalam sebuah rumah.
Lampu menyala secara otomatis ketika pintu terbuka.
Kosong.
Tak ada yang menyambut kepulangannya.
Hari sudah gelap, bahkan hampir terang kembali. Pukul tiga pagi, ia baru saja sampai di rumah.
Hari ini tanggal 23 April dan lima tahun sudah berlalu.
Jeno kembali melangkahkan kaki jenjangnya. Menaiki tangga dengan tak sabaran. Kasus pembunuhan berantai yang ia pegang membuatnya dimonopoli oleh pekerjaan.
Napasnya sedikit terengah dan ia dapat bernapas lega ketika sampai di depan pintu kamarnya. Jemari itu membuka kenop pintu. Lampu otomatis lagi-lagi menyala. Menerangi kamarnya yang luas.
Jeno tersenyum lebar.
Di sana, ada sosok yang sedang duduk di kursi meja rias menghadap ke arahnya. Ia menompang kepala dengan tangan yang berada di meja. Di sisinya, terdapat sebuah keik.
Sosok yang tengah menggunakan piyama bermotif kelinci merengut kala melihat Jeno, siap untuk mengomel.
“Lama sekali!”
Jeno hanya tertawa bodoh seraya mendekati sosok itu.
“Aku bahkan sudah ketiduran beberapa kali!” sungut sosok itu kesal.
Tubuh rampingnya ditarik dan jatuh ke dalam pelukan Jeno. Ia terus mengomel pada Jeno hingga akhirnya berhenti ketika bibir itu dikecup.
“Jeno lepas! Rayakan dulu ulang tahunmu!”
Jeno mengecup bibir itu sekali lagi sebelum melepaskan pelukannya. Ia hanya memperhatikan gerak gerik sosok cantik di hadapannya.
“Happy birthday, Lee Jeno!”
Sebuah senyuman manis tercetak di wajahnya yang cantik itu membuat Jeno terkekeh pelan.
“Ayo buat permohonan dan tiup lilinnya!”
Lagi-lagi Jeno mengambil kesempatan untuk mengecup bibir ranum itu, membuat sang empunya mendengus sebal.
Jeno menutup matanya untuk berdoa. Ia sangat menyukai kala obsidiannya itu terbuka dan melihat sosok rupawan yang tersenyum manis. Sosok itu menyimpan kembali keik ulang tahun Jeno. Ia merentangkan kedua tangannya, membuat Jeno terkekeh.
Tanpa diperintah dua kali, Jeno merengkuh tubuh itu ke dalam pelukannya. Ah, pheromone musim semi dengan campuran creamy vanila itu selalu menjadi kesukaannya.
“Mana hadiahku?” tanya Jeno seraya mengendus-endus.
Sosok itu mendorong tubuh Jeno. Tersenyum manis ketika melihat sang suami tengah menunggunya.
“Ini hadiahmu!”
Telunjuk itu mengarah pada perut datarnya. Terkekeh ketika melihat ekspresi terkejut Jeno.
“Jeno, matamu bisa keluar,” guraunya.
Ia tersenyum kembali ketika Jeno mendekapnya erat. Mengucapkan terima kasih seraya mengecup pucuk kepalanya.
Jeno melonggarkan pelukan mereka. Menatap manik indah ciptaan Tuhan yang selalu ia puja. Tangannya bergerak menangkup wajah cantik itu.
“Aku mencintaimu, Lee Jaemin.”
Belum sempat membalas, Jeno sudah mencium bibir Jaemin. Memberi lumatan-lumatan kecil di sana. Ketika tautan mereka terlepas, Jaemin merenggut, membuat Jeno mengacak surai pinknya.
Jemari Jaemin mengelus pipi Jeno. Ia tersenyum seraya berkata, “Aku juga mencintamu, Lee Jeno.”
Kisah mereka dimulai dari sebuah kecelakan, diporak porandakan rangkaian takdir yang mengubah kehidupan mereka dengan sekejap dan berakhir layaknya permen kapas, lembut dan manis.
Bagi Jeno, hadiah terbaik dalam hidupnya adalah takdir yang mengikatnya dengan Jaemin. Sosok rumah yang Jeno puja.
𝐅𝐈𝐍