Tutor day 1
Sebuah pencapaian yang begitu luar biasa. Seorang Jeanath dapat datang lima menit lebih awal. Bahkan, semasa dirinya bersekolah di bangku SMP hingga SMA, ia tak pernah datang lebih awal, kecuali jika harus menyontek tugas di pagi hari. Kali ini berbeda, sebab ia harus mematuhi kontrak tutor dan menghindari dari segala jenis hukuman yang diberikan oleh Jaziel. Ngomong-ngomong tentang pencapaiannya sekarang, hidung Jeanath tengah kembang-kempis karena merasa menjadi sosok paling teladan di dunia.
“Natha lo emang bener-bener dah. Paling keren,” monolognya sambil tersenyum seperti orang gila.
Senyuman lebar itu mendadak luntur ketika maniknya menemukan Jaziel yang sedang duduk manis di salah satu kursi ruang belajar khusus. Sejujurnya, dari hati yang paling dalam, Jeanath masih merasa ketakutan. Ucapan Hamsa tentang Jaziel sebagai anak mafia yang disebut-sebut oleh Harris masih terngiang di kepalanya.
“Sampai kapan bengong di situ?” Suara Jaziel membuat lamunan Jeanath buyar seketika.
Jeanath sedikit tersentak kaget, tetapi ia berhasil menutupi keterkejutannya dengan baik. Manik matanya menyipit tatkala menemukan sebuah buku tebal di atas meja. Memang tadi Jaziel terlihat tengah membaca sebuah buku yang isinya sudah dipastikan tidak sesuai dengan kapasitas otak Jeanath.
Lagi pula, Jeanath tidak ingin mengetahui isi buku tersebut. Dengan penuh rasa malas, Jeanath berjalan mendekati Jaziel, lalu menarik kursi di hadapan sosok yang memerhatikannya. Setelah duduk, Jeanath mulai mengeluarkan semua barang-barang milik yang ia bawa. Dimulai dari tabel periodik yang ia pinjam secara paksa dari adik kelasnya, sebuah buku sidu a5 isi 58 lembar yang ia beli di koperasi, dan terakhir, tempat pensil berwarna pink neon milik Chloe.
Sengaja Jeanath keluarkan barang-barangnya dengan bunyi yang cukup keras seolah memberitahu Jaziel “Gue bawa semuanya.”
Tak ada yang memulai percakapan di antara mereka. Jeanath sibuk melakukan aktivitas unboxing tempat pensil milik Chloe yang dipenuhi oleh pena bermerek kokuyo dan sarasa. Terlalu sibuk sendiri, Jeanath bahkan tidak sadar jika jam sudah menunjuk tepat pada angka empat. Jaziel yang sudah memasukkan kembali bukunya menatap Jeanath datar. Kemudian, ia menyerahkan selembar kertas pada Jeanath yang membuat Jeanath mendongak.
Shit, Jeanath lupa dengan pre-test-nya.
“Kerjain 10 menit,” suara Jaziel terdengar tegas memerintah.
Jeanath menghela napas dengan kasar, sebelum akhirnya mengambil kertas pre-test dan mulai mengerjakannya. Tak perlu ditanya, Jeanath sudah dipastikan tidak bisa mengerjakannya. Ia hanya menjawab dengan asal hingga waktunya habis.
Ketika selesai, Jeanath menyerahkan kertas tersebut pada Jaziel. Sosok di hadapannya langsung memeriksa jawaban milik Jeanath. Ia menatap Jeanath sekilas, sebelum beranjak berdiri. Tanpa diduga, Jaziel memutar kursi Jeanath yang posisinya membelakangi papan tulis di sana. Perlakuan yang tiba-tiba itu berhasil membuat Jeanath terkejut. Ia menahan napasnya ketika mencium semerbak tubuh Jaziel yang menyeruak.
Wangi.
Hanya itu yang ada di kepala Jeanath sebelum Jaziel bersuara dan memulai sesi tutor.
“Ngerti?” tanya Jaziel pada Jeanath yang tengah menatap kertas di depannya seolah ingin menelan benda tipis itu.
Terdapat kerutan halus pada kening Jeanath tatkala otaknya berpikir keras. “Enggak,” jawabnya jujur.
“Sebelah mananya?” Jaziel kembali bertanya.
Jeanath menunjuk pada deretan kombinasi huruf dan angka yang tak ia mengerti. “Ini kenapa gini?” Netra bulatnya terus menatap tulisan Jaziel. Ia berusaha mencerna jawaban Jaziel pada salah satu soal yang tengah mereka bahas.
“OH NGERTI!”
Mendengar teriakan Jeanath yang begitu nyaring, Jaziel meringgis. “Gak usah teriak,” ujarnya pelan.
“Mohon maaf.”
Keduanya kini sedang duduk berdampingan untuk mengerjakan beberapa latihan soal. Jaziel menyimpan pena miliknya, kemudian menegakkan tubuh yang tadi sedikit membungkuk.
“Sampai sini dulu. Ada pertanyaan?” tanya Jaziel.
Atensi Jeanath tertarik pada Jaziel, memerhatikan sosok yang sibuk memberikan catatan di buku miliknya. Kemudian, Jeanath mendekat, memperpendek jarak di antara mereka. Mengendus wangi tubuh Jaziel sebelum bertanya, “Lo pake parfum apa?” pada sosok itu.
Pertanyaan yang keluar dari mulut Jeanath membuat Jaziel menghentikan kegiatannya secara spontan. Ia menoleh, mendapati sepasang hazel coklat yang menatapnya penuh penasaran.
Lima detik mereka bertatapan, sebelum Jeanath mendapatkan pukulan kecil pada keningnya. Kening itu dipukul dengan pena yang berada dalam genggaman Jaziel.