Our first kiss
Jaziel menatap datar sosok Jeanath yang tengah duduk dengan wajah yang tertekuk. Jarak keduanya mungkin ada 10 langkah, di mana Jeanath yang sengaja duduk menjauh. Hal tersebut tentu membuat Jaziel berspekulasi.
Bahwa Jeanath sangat tak ingin dicium olehnya.
Padahal Jaziel hanya bercanda (lebih tepatnya berharap, tapi Jaziel malu mengakuinya). Salahkan Raje dengan imajinasi liarnya yang menyinggung soal ciuman terus menerus.
Keduanya sekarang berada di salah satu ruangan tertutup pada sebuah study cafe yang entah bagaimana Jaziel menemukan tempat tersebut.
“Lo bercanda kan?” sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Jeanath.
“Tentang?” Jaziel bertanya balik.
“Ya itu,” jawab Jeanath ambigu.
Terdengar Jaziel yang menghela napas panjang.
“Siapa juga yang mau ciuman sama lo.”
Sebuah dusta sebagai penutup lara. Sebab pada kenyataannya, Jaziel begitu menginginkan bagaimana rasa dari sepasang bibir bak buah ranum milik Jeanath.
Jeanath, di sisi lain tengah termenung. Bertanya-tanya apakah ada yang salah pada dirinya hingga Jaziel berkata demikian.
“Emang gue sebegitu menjijikkannya?” tanya Jeanath.
Jaziel menautkan alisnya atas pertanyaan Jeanath.
“Apa gak kebalik?”
“Gue gak jijik sama lo cuman—“ Ucapan Jeanath terpotong ketika hazel coklat itu menatap kosong bibir Jaziel.
Menyelam pada sebuah kenangan di alam mimpi, ketika Jaziel menarik tenguknya dan mencium dirinya.
STOP!!!!!
Jeanath gelagapan. Matanya bergerak gelisah, tak berani memandang Jaziel yang kini kebingungan.
“Kacamata lo kemana?”
Hanya itu yang dapat terpikirkan oleh Jeanath. Pikirannya tengah dipenuhi kabut kegelisahan.
“Lo kenapa sih?” tanya Jaziel yang tak mengerti gelagat aneh Jeanath.
Lantas, Jeanath menoleh. Netranya menangkap Jaziel yang tengah menaikkan salah satu alisnya. Tak ada yang bisa Jeanath rasakan kecuali fakta bahwa tubuhnya memanas. Kemudian, ia buru-buru bangkit dari duduknya.
“Gue kayaknya gak bisa ikut tutor hari ini,” ucap Jeanath.
Hal itu sontak membuat Jaziel terkejut.
“Gianna,” panggil Jaziel dengan suara rendah.
Tubuh Jeanath meremang. Kepalanya kini tengah berteriak ‘Siaga 1!’ karena merasakan hawa kelam di sekitarnya.
Sepertinya Jeanath berhasil memancing amarah Jaziel.
Jeanath membalikkan tubuhnya dengan perlahan, menemukan sosok Jaziel yang tengah menatapnya tajam tepat di hadapannya. Jantung Jeanath berdegup kencang seperti berteriak ingin loncat keluar dari rongga dada.
Harusnya, Jeanath menggigil ketakutan. Namun, hazel coklatnya lebih memilih fokus menatap bibir Jaziel.
“I wonder what it tastes like.”
Amarah Jaziel meluap begitu saja, digantikan oleh kebingungan yang melanda. Obsidian miliknya lantas menatap arah pandang dari manik Jeanath.
“What are you talking about?” tanya Jaziel berbisik.
“Your lips, what it tastes like?” Jeanath menatap manik Jaziel dengan sayu.
“Who knows? Gue pernah bilang kalau belum dicoba gak pernah tau,” jawab Jaziel.
“Let’s kiss then.”
Jaziel mendekatkan dirinya. Tangannya meraih dagu Jeanath. Ditatapnya sepasang hazel coklat dengan lembut.
“I’ll give you 15 seconds. Kalau lo gak mau, lo bisa pergi sekarang juga. Tapi kalau lebih dari itu lo tetep di sini, i’m gonna kiss you. Jangan sampai lo nyesel.”
“I don’t think that I’ll regret it.”
Detik itu, Jaziel merasakan kewarasannya menghilang. Beruntung mereka berada di tempat tertutup karena setelahnya, Jaziel menempelkan bibirnya di atas bibir Jeanath.
Hanya menempel, tapi berhasil membuat jutaan kupu-kupu di perut mereka berterbangan.
Jaziel menjauhkan wajahnya. Ketika kelopak matanya terbuka, ia dapat melihat pipi Jeanath yang merona.
“Kiss me more,” ucap Jeanath seraya menarik kerah kemeja Jaziel.
Bibir keduanya kembali bertemu. Jeanath yang pertama kali bergerak lebih. Dari sebuah kecupan menjadi lumatan kecil.
Hingga Jaziel berhenti menahan diri dan membawa Jeanath pada ciuman yang lebih dalam.