jennoonaa

dedicated to myself and nominist

Jaziel menatap datar sosok Jeanath yang tengah duduk dengan wajah yang tertekuk. Jarak keduanya mungkin ada 10 langkah, di mana Jeanath yang sengaja duduk menjauh. Hal tersebut tentu membuat Jaziel berspekulasi.

Bahwa Jeanath sangat tak ingin dicium olehnya.

Padahal Jaziel hanya bercanda (lebih tepatnya berharap, tapi Jaziel malu mengakuinya). Salahkan Raje dengan imajinasi liarnya yang menyinggung soal ciuman terus menerus.

Keduanya sekarang berada di salah satu ruangan tertutup pada sebuah study cafe yang entah bagaimana Jaziel menemukan tempat tersebut.

“Lo bercanda kan?” sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Jeanath.

“Tentang?” Jaziel bertanya balik.

“Ya itu,” jawab Jeanath ambigu.

Terdengar Jaziel yang menghela napas panjang.

“Siapa juga yang mau ciuman sama lo.”

Sebuah dusta sebagai penutup lara. Sebab pada kenyataannya, Jaziel begitu menginginkan bagaimana rasa dari sepasang bibir bak buah ranum milik Jeanath.

Jeanath, di sisi lain tengah termenung. Bertanya-tanya apakah ada yang salah pada dirinya hingga Jaziel berkata demikian.

“Emang gue sebegitu menjijikkannya?” tanya Jeanath.

Jaziel menautkan alisnya atas pertanyaan Jeanath.

“Apa gak kebalik?”

“Gue gak jijik sama lo cuman—“ Ucapan Jeanath terpotong ketika hazel coklat itu menatap kosong bibir Jaziel.

Menyelam pada sebuah kenangan di alam mimpi, ketika Jaziel menarik tenguknya dan mencium dirinya.

STOP!!!!!

Jeanath gelagapan. Matanya bergerak gelisah, tak berani memandang Jaziel yang kini kebingungan.

“Kacamata lo kemana?”

Hanya itu yang dapat terpikirkan oleh Jeanath. Pikirannya tengah dipenuhi kabut kegelisahan.

“Lo kenapa sih?” tanya Jaziel yang tak mengerti gelagat aneh Jeanath.

Lantas, Jeanath menoleh. Netranya menangkap Jaziel yang tengah menaikkan salah satu alisnya. Tak ada yang bisa Jeanath rasakan kecuali fakta bahwa tubuhnya memanas. Kemudian, ia buru-buru bangkit dari duduknya.

“Gue kayaknya gak bisa ikut tutor hari ini,” ucap Jeanath.

Hal itu sontak membuat Jaziel terkejut.

“Gianna,” panggil Jaziel dengan suara rendah.

Tubuh Jeanath meremang. Kepalanya kini tengah berteriak ‘Siaga 1!’ karena merasakan hawa kelam di sekitarnya.

Sepertinya Jeanath berhasil memancing amarah Jaziel.

Jeanath membalikkan tubuhnya dengan perlahan, menemukan sosok Jaziel yang tengah menatapnya tajam tepat di hadapannya. Jantung Jeanath berdegup kencang seperti berteriak ingin loncat keluar dari rongga dada.

Harusnya, Jeanath menggigil ketakutan. Namun, hazel coklatnya lebih memilih fokus menatap bibir Jaziel.

“I wonder what it tastes like.”

Amarah Jaziel meluap begitu saja, digantikan oleh kebingungan yang melanda. Obsidian miliknya lantas menatap arah pandang dari manik Jeanath.

“What are you talking about?” tanya Jaziel berbisik.

“Your lips, what it tastes like?” Jeanath menatap manik Jaziel dengan sayu.

Who knows? Gue pernah bilang kalau belum dicoba gak pernah tau,” jawab Jaziel.

“Let’s kiss then.”

Jaziel mendekatkan dirinya. Tangannya meraih dagu Jeanath. Ditatapnya sepasang hazel coklat dengan lembut.

I’ll give you 15 seconds. Kalau lo gak mau, lo bisa pergi sekarang juga. Tapi kalau lebih dari itu lo tetep di sini, i’m gonna kiss you. Jangan sampai lo nyesel.”

“I don’t think that I’ll regret it.”

Detik itu, Jaziel merasakan kewarasannya menghilang. Beruntung mereka berada di tempat tertutup karena setelahnya, Jaziel menempelkan bibirnya di atas bibir Jeanath.

Hanya menempel, tapi berhasil membuat jutaan kupu-kupu di perut mereka berterbangan.

Jaziel menjauhkan wajahnya. Ketika kelopak matanya terbuka, ia dapat melihat pipi Jeanath yang merona.

“Kiss me more,” ucap Jeanath seraya menarik kerah kemeja Jaziel.

Bibir keduanya kembali bertemu. Jeanath yang pertama kali bergerak lebih. Dari sebuah kecupan menjadi lumatan kecil.

Hingga Jaziel berhenti menahan diri dan membawa Jeanath pada ciuman yang lebih dalam.

Tutor telah selesai sekitar 30 menit yang lalu, kini kedua anak adam itu tengah asik dengan dunianya masing-masing. Mari kita mundur dulu pada beberapa jam sebelumnya.

Setibanya Jaziel di apartemen milik Jeanath, mereka menghabiskan waktu dengan menonton The Secret Life of Pets 1 dan 2 hingga akhirnya Jaziel menyeret paksa Jeanath untuk tutor.

Jeanath sudah mandi, tadi juga Jaziel sempat mencium wangi tubuh Jeanath.

Sekarang, keduanya sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Jaziel tengah tidur terlentang di atas kasur Jeanath, sedangkan sang pemiliknya sibuk berguling di atas tubuh Jaziel.

Posisi Jaziel dan Jeanath membentuk tanda plus (+) dengan Jeanath yang menimpa perut Jaziel.

“Senon,” panggil Jeanath yang mulai bosan.

“Hm.”

“Senon.”

“Hm.”

“Senon.”

“Apa?”

“Gapapa manggil doang.”

Jaziel hanya bisa berdecak sebal. Mata yang tadinya terpejam itu kini menatap Jeanath yang tengah tersenyum manis.

Dirasa pusing, Jeanath akhirnya menghentikan aktivitas bergulingnya. Ia kemudian menaruh kepalanya di atas dada Jaziel.

“Lo beneran gak sedih?” tanya Jaziel tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.

Jeanath lantas menoleh, ia terdiam sesaat sebelum menggeleng.

“Enggak, biasa aja,” jawabnya.

“Both of you have spent a lot of time together, how can you not be sad about it?” Jaziel kembali bertanya.

“Bia was a good girl. She’s lovely and gave me a lot of loves. But I can find another girl who’s willing to love me too? Then the problem solves.”

Perkataan yang terlontar dari mulut Jeanath membuat Jaziel mendelik.

“How about your feelings? You liked her, aren’t you? That’s why you dated her.”

Jeanath menatap Jaziel kebingungan.

Yeah, I like her. Terus kenapa?”

“You like her romantically? Or just because she was kind and gave you lots of loves?”

“Apa bedanya?” Jeanath balik bertanya.

“Gue ubah pertanyaannya. Do you love her?

Terdapat jeda sebelum Jeanath mengangkat bahunya tak acuh.

“I don’t know. It doesn’t matter tho,” jawab Jeanath enteng.

“You’re such an asshole.” ketus Jaziel.

Namun sepertinya Jeanath tak terpengaruh. Ia terlihat tak peduli seolah hal yang dilakukannya tidaklah salah.

“Udah jangan bahas Bia lagi,” ucap Jeanath.

Jeanath mengganti posisi tubuhnya. Kali ini ia tidur menyamping seraya memeluk Jaziel. Hidungnya terus mengendus aroma tubuh milik sosok tersebut.

“Wangi banget ih!” seru Jeanath.

“Lo emang biasanya seclingy ini?” tanya Jaziel seraya ikut merubah posisinya.

Kini keduanya saling berhdapan.

“Cuman sama orang-orang tertentu.”

“Lo salah satunya karena lo wangi,” lanjut Jeanath.

Kemudian, Jeanath kembali memeluk Jaziel. Menggesekkan hidungnya di dada Jaziel hingga sang empunya terkekeh. Jaziel membalas pelukan Jeanath dan mulai memejamkan kedua matanya.

Tak butuh waktu lama hingga dengkuran halus terdengar. Bukan hanya Jaziel, tapi Jeanath juga ikut menyelam ke alam mimpi.

Aneh, padahal keduanya tak terlalu suka dengan tidur.

Sementara itu Udin, Adin, Odin, Udon (yang dibawa Jaziel) lihat XeNa tidur sambil pelukan 👁👄👁

Jeanath terkejut ketika melihat Jaziel yang masuk ke dalam booth yang ia jaga. Dari sekian banyak orang yang mengunjungi booth kelasnya, ia tak pernah menyangka akan berhadapan dengan sosok Jaziel.

Sejak kapan sosok itu peduli dengan hal seperti ini?

Sejak mengenal Jeanath, tapi Jeanath saja yang tidak tahu. #JazielSadBoy

Namun, Jeanath harus tetap bersikap profesional. Padahal itu hanya akal-akalannya saja sih agar tidak terlihat terlalu bodoh di mata Jaziel. Alasannya karena ia daritadi hanya mengarang bebas saat membacakan kartu tarot pada siswa lain.

“Nasib apa yang pengen dibaca?” tanya Jeanath seraya mengatur ekspresinya.

Ingat, profesionalisme nomor satu.

“Tebak.”

Anak anj-

Berusaha untuk tidak terbawa emosi, Jeanath tersenyum. Sepertinya Jaziel sedang mengujinya.

“Oke. Masalah percintaan,” ucap Jeanath asal.

Sosok itu kemudian mulai mengambil kartu tarotnya satu persatu. Ia melirik sekilas ke arah Jaziel sebelum bergerak membuka salah satu kartu yang terambil.

“Hmmm kartu ini bilang kalau….”

Sialan, Jeanath tak tahu harus berkata apa. Otaknya sedikit susah untuk mengarang cerita karena sudah banyak orang yang mendatanginya. Apa ia harus mengulang karangan bebas yang sebelumnya ia buat?

“Masalah percintaan lo agak rumit,” Jeanath mulai membuat cerita asal.

Kemudian ia kembali membuka kartu lain.

“Tapi tenang! Di sini katanya bakal ada titik terangnya,” ucap Jeanath seraya menunjuk gambar matahari.

Mata Jeanath terpejam sesaat sebelum membuka kartu berikutnya.

“Lo lihat gambar prajurit di sini? Artinya lo harus menghadapi semua rintangan dengan berani.” Jeanath berkata seraya menganggukkan kepalanya.

Satu kartu terakhir dibuka.

“Kompas? Jam?” monolog Jeanath.

“Hm kartu ini bilang kalau lo harus nunggu dengan sabar. It’s all about the time.

“Tapi gue gak yakin ini gambar apa,” bisik Jeanath kepada dirinya sendiri.

Jeanath melirik Jaziel yang memerhatikannya. Ia sedikit berdeham sambil membenarkan posisi duduknya.

“Intinya gitu.”

“Udah?” tanya Jaziel.

“Udah. Silahkan keluar lewat sana.” Jeanath mengusir.

Alih-alih pergi, Jaziel menarik kursi yang ia duduki. Kemudian ia mengeluarkan jus kemasan dan onigiri yang dibelinya untuk Jeanath.

“Istirahat dulu.”

Melihat itu, netra Jeanath berbinar. Ia langsung meminum jus yang diberikan Jaziel. Tenggorokannya sedikit kering karena terus berbicara.

“Daritadi banyak banget yang ke sini. Capek,” ucap Jeanath yang kini sibuk membuka onigiri.

Dilahapnya onigiri pemberian dari Jaziel dengan sedikit emosi. Maklum, ia kecapaian jadi sedikit emosi.

“Mau?” tanya Jeanath dengan mulut yang penuh.

Jaziel menggeleng, “Buat lo aja.”

Mata Jeanath menyipit, lalu ia menjulurkan tangannya.

“Aaa.”

Melihat Jeanath yang menyodorkan onigiri untuknya, Jaziel tak bisa untuk tak tersenyum. Ia menerima tawaran Jeanath dengan senang hati.

“Lima belas menit istirahatnya cukup gak?” tanya Jeanath seraya mengunyah.

Jeanath mengangguk kecil.

“Cukup!”

Sabtu pagi, tepatnya pukul 9 lewat 11 menit, Jeanath keluar dari apartemennya. Tangannya melambai ketika melihat Jaziel yang tengah menunggu. Jeanath lantas berlari kecil menghampiri Jaziel seraya tersenyum manis.

“Pagii!” sapa Jeanath riang.

“Pagi.”

Jaziel membukakan pintu mobil untuk Jeanath, mempersilahkan sosok itu masuk terlebih dahulu.

“Thank you.”

Tak lama, Jaziel ikut masuk ke dalam mobil.

“Udah sarapan?” tanya Jaziel.

Jeanath mengangguk kecil dengan wajah yang tertunduk, fokus melihat tali sepatu yang tak tersimpul dengan benar

“Ud—“

Napas Jeanath tercekat ketika Jaziel memasangkan sabuk pengaman untuknya. Kedua mata mereka bertemu, membuat Jeanath tersenyum lebar.

“Dah.” Jeanath melanjutkan ucapannya yang terpotong.

Saat Jaziel kembali duduk di kursi kemudi, Jeanath balik bertanya, “Lo udah sarapan?”

“Udah.”

Bohong.

Nyatanya, Jaziel terlalu bersemangat pagi ini hingga melupakan sarapan. Bahkan ia tiba 30 menit lebih awal dari waktu yang mereka tentukan.

Dapat dipahami karena Jaziel sudah terlampau bucin.

Ketika mobil melaju, keduanya sibuk mengobrol. Atau mungkin hanya Jeanath yang terus bercerita hal-hal random seperti ukuran tubuh Udin dan Adin dengan Jaziel yang setia mendengarkan.

Hari itu, Sabtu pagi. Di mana sang surya kalah bersinarnya dibandingkan senyuman Jeanath.

Kata Jaziel sih seperti itu.


Jaziel hanya bisa menggeleng ketika melihat Jeanath yang terus berlari kecil ke sana kemari. Hazel coklatnya berbinar melihat akuarium raksasa itu.

“Whoa!”

“Lucu banget!”

“Haii!”

“Gemes!”

“Ini boleh dibeli gak sih?” tanya Jeanath seraya menunjuk ikan pari yang berada di dekatnya.

Bibir cherry milik Jeanath mengerucut tatkala melihat Jaziel yang menggeleng. Namun, ekspresi murungnya hilang seketika saat beberapa ikan pari menghampirinya.

“Seneng banget?” tanya Jaziel.

Kini Jaziel berdiri tepat di samping Jeanath.

“Banget! Udah lama gak ke sini. Terakhir kayaknya SMP bareng Aca,” jawab Jeanath tanpa mengalihkan pandangan.

“Aca?”

Jeanath akhirnya menoleh.

“Hamsa, tau gak? Anak 12 IPS 2,” jelas Jeanath.

Melihat Jaziel yang menggeleng, Jeanath kembali cemberut. Padahal Hamsa itu social butterfly. Bisa-bisanya Jaziel tak mengetahui sosok tersebut.

“Permisi, mas. Boleh minta tolong fotoin gak?” tanya sosok perempuan berumur yang tiba-tiba menghampiri mereka.

Jaziel melirik Jeanath yang kini ikut menatap sosok tersebut sebelum mengangguk.

Sosok itu tak sendiri, di belakangnya terdapat beberapa orang yang Jaziel yakini adalah keluarga.

“Ayo sini cepet kumpul. Gayanya samain. Dedek! Kamu ngapain itu yaampun.”

Melihat interaksi antar keluarga yang lumayan heboh, Jaziel tersenyum kecil. Sesekali ia melirik Jeanath yang tengah terdiam seraya memerhatikan sekumpulan keluarga itu.

“Makasih ya, mas.”

Jaziel hanya mengangguk seraya tersenyum ramah. Atensinya kembali pada sosok Jeanath yang masih terdiam.

“It must be nice to come here with family,” ucap Jeanath pelan.

Kemudian, sosok itu menatap Jaziel seraya tersenyum. Sebuah senyuman sendu yang sekarang tak pernah Jaziel lihat sebelumnya.

“Yeah it is.” Jaziel menjawab hambar.

Obsidiannya kini menatap lurus ikan-ikan yang sibuk berlalu lalang.

“One day, we can come here as a family,” ucap Jaziel seraya tersenyum.

“But we must get married first,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Namun, di antara bisingnya keadaan sekitar, Jeanath, entah bagaimana dapat mendengarnya.

“Ayo pulang,” ajak Jaziel.

Tanpa menunggu Jeanath, Jaziel berjalan pergi. Meninggalkan Jeanath yang memandang kosong sekitarnya.

Sadar Jeanath tidak berada di sekitarnya, Jaziel menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan berjalan menghampiri Jeanath yang termenung. Kemudian, Jaziel menarik lengan Jeanath.

Hazel coklat itu hanya memandang lurus tangannya yang kini berada dalam genggaman Jaziel.

Pada dasarnya, Jeanath bukanlah seseorang yang banyak menghabiskan waktu untuk belajar. Itu dulu, sebelum ia mengenal sosok Jaziel yang membawanya untuk terus belajar hingga titik di mana kepalanya pusing karena terlalu lama belajar.

“Istirahat dulu dong.” Jeanath bersuara.

Tangannya kini memijat pelipis, berusaha untuk meminimalisir rasa pusing yang menghampiri.

Jaziel yang tengah sibuk dengan kertasnya melirik jam dinding di ruang belajar khusus.

Pukul 6 sore.

Kali ini, tutor mereka berlangsung hingga malam hari. Alasannya? Katanya sih agar Jeanath belajar dengan benar.

Katanya.

Atau mungkin ada hal terselubung di balik alasan tersebut.

Mendapat anggukkan dari Jaziel, sosok dengan hazel coklat itu menghela napas lega. Pantatnya yang sudah terasa panas itu bangkit dari kursi dan merebahkan diri di bawah lantai.

“Pusing banget!” keluh Jeanath dengan tangan yang masih memijat pelipis.

Hal tersebut menarik atensi Jaziel yang kini menoleh padanya. Jaziel lantas menghentikan aktivitas belajarnya, memilih untuk menghampiri Jeanath.

“Mau dipijitin?” tanya Jaziel.

Jeanath melebarkan matanya ketika mendengar tawaran Jaziel. Membuat sosok yang merebakan diri bergegas duduk di atas lantai.

“Mau dong!”

Melihat Jaziel yang medekat, Jeanath tersenyum senang. Sementara sosok Jaziel kini duduk di belakangnya dan mulai memijat pelipis Jeanath. Tak lama, Jeanath membalikkan tubuhnya, membuat kegiatan yang berlangsung terhenti.

“Sini deketan!” titah Jeanath.

Tak ada tanggapan dari Jaziel hingga Jeanath berinisiatif untuk memperpendek jarak keduanya. Jaziel berdecak sebelum ia kembali menjadi ’tukang pijat dadakan’.

Di depannya, Jeanath tengah menikmati perlakuan yang diberikan Jaziel. Hazel coklat itu bersembunyi di balik kelopak dengan bulu mata lentik yang menghiasi.

“Wangi,” ucap Jeanath tiba-tiba.

“You smell so good, I like it,” lanjutnya dengan suara yang sedikit parau.

Kemudian, Jeanath menyandarkan kepalanya pada dada Jaziel. Membuat Jaziel sedikit tersentak atas perlakuan Jeanath yang tak terduga.

Jarak mereka terlalu dekat. Bahkan Jaziel bisa mendengar deruan napas halus milik Jeanath. Dari jarak yang sedekat ini, Jaziel bisa melihat jelas wajah damai Jeanath yang terpejam.

“Has someone ever said pretty to you?”

Kelopak mata yang asik terpejam itu terbuka perlahan. Hal yang pertama Jeanath lihat adalah obsidian milik Jaziel yang mengunci pergerakan hazel coklatnya.

“Pretty? Isn’t that just for the girls?” tanya Jeanath.

“No, it’s not only for the girls. Someone can be pretty, beautiful, and handsome at the same time regardless of gender,” jelas Jaziel.

“Am I pretty?”

“Yes, you are.”

Sebuah senyuman hadir di antara kedua pasang netra yang saling memandang. Senyuman itu milik Jeanath.

“Then, the same goes for you. You’re pretty as well.” Jeanath berucap dengan senyuman manis di wajahnya.

Jaziel terkekeh, sebelum ia mencubit gemas hidung Jeanath.

God, I want him so bad.

Sabar ya saudara Jaziel.

Jeanath berlari tergesa dengan selembar kertas yang ia angkat tinggi-tinggi. Dari jarak yang cukup jauh, Jaziel dapat melihat senyuman lebar sosok itu.

“SENON!!!!” teriaknya riang.

Ketika Jaziel sudah berada di depan mata, Jeanath sedikit membungkuk sembari mengatur deru napasnya.

“Hehe.”

Jeanath tertawa kecil, lalu mengangkat selembar kertas ulangan biologi yang berada di genggaman tangannya. Melihat itu, Jaziel tersenyum tipis.

“Good job,” ucap Jaziel

Diusapnya pucuk kepala milik Jeanath, membuat sang empunya semakin melebarkan senyuman.

“Mau makan apa?” Jaziel bertanya seraya merapikan surai hitam Jeanath yang agak berantakan.

“Hmmm pengen kwetiau kuah yang pedes.”

“Yaudah ayo.”

Mata Jeanath menyipit tatkala melihat Jaziel yang berjalan menuju parkiran sepeda.

“Lo mau pake sepeda?” tanya Jeanath skeptis.

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan dari Jaziel.

“Pake motor gue aja.”

“Gak.”

“Ayo!”

“Gak.”

Kemudian keduanya berakhir jalan kaki menuju kedai makanan yang tak jauh dari sekolah.


“Wah!”

Manik Jeanath berbinar ketika seorang pelayan datang menghampiri mereka.

“Makasih, mba!”

“Makasih.”

Keduanya mengucapkan terima kasih secara bersamaan hingga sang pelayan tersenyum gemas.

Jeanath yang tak kuasa menahan rasa laparnya langsung melahap makanannya tanpa pikir panjang.

“HANAS!” (panas)

“HAH HUH HAH.”

Dengan sigap, Jaziel mengambil beberapa lembar tisu. Ia mengulurkan tangannya di hadapan Jeanath, membuat sosok itu mengeluarkan kembali makanan yang berada di mulutnya pada tisu yang disodorkan.

“Minum dulu,” titah Jaziel.

Jeanath meneguk air mineral yang diberikan Jaziel. Dengan ekspresi wajah yang cemberut, ia kembali menjularkan lidahnya yang terasa melepuh.

“Hakit.” (sakit)

“Makannya pelan-pelan coba. Kayak dikejar anjing rabies aja,” omel Jaziel.

Mendengar itu, Jeanath semakin merenggut. Lantas ia mengibaskan tangan ke arah lidahnya. Berusaha menghilangkan rasa sakit di sana.

“Sini.”

Keduanya duduk saling berhadapan. Jaziel mendekatkan wajahnya, meminta Jeanath untuk melakukan hal yang sama. Kemudian ia mulai meniupi lidah Jeanath untuk memberikan sensasi dingin.

(jadi lidahnya natha lagi ditiupin sama jaziel kayak orang lagi niup mata yang kelilipan)

Sepertinya mereka asik sendiri hingga tak menyadari ada sosok lain yang memerhatikan kegiatan tersebut.

Setelah merasa cukup, Jaziel menyudahi kegiatannya dan Jeanath menjadi sosok pertama yang menyadari eksistensi sosok lain di dekatnya.

“Lo kenal dia?” tanya Jeanath dengan suara yang pelan.

Jaziel mengikuti arah pandangan Jeanath. Menemukan Jian yang tengah terdiam membeku.

“Enggak,” jawabnya singkat

“Minum susu, ya?” Jaziel kembali bersuara.

“Gak mau susu!”

“Air kelapa mau?”

“Mau.”

Jaziel dan Jeanath melanjutkan kegiatannya seolah tak ada yang aneh dengan mereka.

Hazel coklat milik Jeanath bergerak gelisah. Sesekali ia kembali menatap lembar jawaban matematika perminatannya di atas meja. Jeanath tidak mengerti kenapa kertas itu bisa berada di tangan Jaziel.

“Ok, listen.” Setelah berpikir agak lama, akhirnya Jeanath bersuara.

“Gue gak bisa matmin, sama halnya kayak lo yang gak bisa pelajaran lainnya selain kimia. Maksud gue, biasanya orang yang pinter ngitung kurang di hapalannya, kan? Sedangkan yang pinter hapalan suka gak bisa ngitung. Pasti lo juga gitu! Gue juga! Gue gak bisa ngitung, tapi gue—“

Bisa apa, ya?

Jeanath kebingungan sendiri. Agaknya baru sadar jika ia tak pernah menonjol di salah satu mata pelajaran manapun. Nilai bahasa Inggris dan PJOKnya pun pas-pasan.

“Apa?” tanya Jaziel.

Keheningan menyelimuti keduanya sebelum terdengar Jaziel yang mengembuskan napasnya kasar.

“Lo tau, kan, kalau lo itu sebenernya gak bego-bego amat?”

“Emang iya?” bisik Jeanath, bertanya pada dirinya sendiri.

Sosok yang masih menatap Jeanath intens itu berdecak sebal.

“Tapi gue gak mau jadi anak pinter.” Jeanath kembali berujar.

“Kayak, kebayang gak sih lo kalau gue pinter nanti gue gak ada minusnya terus jadi manusia paling sempurna. Gak bisa, gak bisa. Gue harus punya kelemahan. Dan ya kelemahan gue adalah gak pinter,” lanjutnya seraya mengangguk-angguk.

“Emangnya kelebihan lo apa?” tanya Jaziel, mengubur semua rasa kepercayaan diri Jeanath yang terlampau tinggi.

Melihat Jeanath yang terdiam, Jaziel kembali bersuara.

“Gue gak nyuruh lo buat pinter.”

“Selama lo di sekolah, lo itu seorang siswa yang punya tanggung jawab buat belajar. Gue gak minta lo buat dapetin nilai bagus, tapi seenggaknya lo harus mulai serius nanggepin ilmu yang lo dapet di sini.” Jaziel melanjutkan ucapannya.

Sosok itu kemudian menghela napas dan melepas kacamata miliknya. Memijit pangkal hidungnya seraya memejamkan mata.

“Are you tired of me?” cicit Jeanath.

Kelopak mata Jaziel terbuka, menampakkan obsidian yang bersembunyi di baliknya. Tatapannya melembut.

“No, I’ll never get tired of you.”

“Gue cuman pengen lo lebih serius aja. Kalau lo gak mau belajar, ya gak usah sekolah. Tapi, nyatanya lo di sini. Itu berarti mau gak mau, suka gak suka, lo tetep harus belajar. At least give it a try karena gue yakin hasil ini—“ Jaziel menunjuk lembar ulangan harian milik Jeanath.

Tepatnya pada angka 5 yang paling besar di sana. Ya, nilai matematika perminatan Jeanath adalah 5 dari skala 100.

“Gak lo dapetin setelah lo belajar sebelumnya. Kalau lo punya sedikit aja usaha buat serius, paling mentok lo nulis ulang soalnya dan gue gak akan mempersalahkan itu.”

You’re a worthy person, Na. Kelemahan lo bukan gak pinter, tapi lo kurang percaya sama kemampuan berpikir lo sendiri. Padahal, lo punya banyak potensi yang belum digali. You’re so much more than you think. Dan gue di sini bakal ngebantu.”

Jaziel tersenyum tipis melihat Jeanath yang menatapnya kosong.

“Bingung?” tanya Jaziel.

Jeanath menggeleng pelan seraya memajukkan bibirnya.

“Gue cuman gak yakin,” bisik Jeanath.

“Harus yakin. Gue aja yakin lo pasti bisa, apalagi diri lo sendiri. Sekarang waktunya lo ngegali semua potensi itu. Lo gak sendirian, I’m there for you.

Setelah itu, Jaziel mengulurkan tangannya. Membuat Jeanath mengerjap kebingungan.

“Mau gak?” ajak Jaziel dengan sebuah senyuman di wajahnya.

Bahu Jeanath yang turun kini kembali tegak. Ia ikut tersenyum kemudian menyimpan tangannya di atas tangan Jaziel. Sebelum Jaziel menggenggamnya erat.

Tutor kali ini sangat meresahkan —setidaknya bagi Jeanath. Bagaimana pun, ia masih gelisah. Belum berani memberitahu perihal ‘rusaknya kalkulator jaziel karena tidak sengaja terinjak’ pada sang pemilik. Ditambah Jaziel yang agak berbeda hari ini membuat Jeanath semakin ketakutan.

Hampir ingin mengompol, tapi tidak jadi karena ia sudah besar dan beruntung kandung kemihnya masih bekerja dengan baik.

Mungkin, jika Jaziel tidak mengeluarkan hawa mencekam di antara mereka, Jeanath tidak akan setakut ini. Ketika kaki Jeanath menapak di ruang belajar khusus, Jaziel seperti ingin menguburnya hidup-hidup.

Oke, hiperbola. Kita perbaiki kalimatnya seperti ini: Jaziel hanya mendelik sekali, tetapi Jeanath merasa sangat tertekan.

Jeanath kini bak cacing yang tengah kepanasan. Seperti pantatnya terbakar api bunsen, hingga ia terus mengubah posisi duduknya.

Sejak kapan ketika seseorang menyimpan penanya menjadi semenyeramkan ini?

Sejak Jeanath merusak kalkulator milik Jaziel, tentunya.

Akhirnya dengan setitik keberanian, Jeanath membuka mulutnya. Namun, tertutup kembali ketika Jaziel membereskan alat tulis miliknya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Xenon,” panggil Jeanath dengan suara yang tertahan.

Jaziel menghentikan kegiatannya. Menatap Jeanath datar. Hanya menatap, masih enggan berbicara.

“Anu, itu. Kalkulator lo.”

Tak ada balasan apapun dari Jaziel. Ia masih menatap Jeanath hingga sosok itu kelabakan membuka tasnya.

Dengan jantung yang berdegup kencang, Jeanath menjulurkan kalkulator yang ia beli kemarin. Tanpa diduga, Jaziel mengambil kalkulator tersebut. Seolah kalkulator yang ia ambil memang miliknya.

“Gue gantiin yang baru gapapa?”

Jaziel kembali menatap Jeanath. Salah satu alisnya terangkat, meminta penjelasan lebih.

“Jadi, sebenernya kalkulator yang gue pinjem kemarin tuh rusak. Gini oke, gue jelasin dulu.” Jeanath memulai ceritanya.

“Gue lagi pake sepatu waktu itu, mau balikin kalkulatornya pas istirahat pertama. Gue pake sepatunya sambil berdiri. Eh gak tau darimana si bangsat Harris tiba-tiba lari terus nubruk badan gue. Oleng lah gue. Abis itu karena mau nyungseb, gue kehilangan keseimbangan. Wajar dong kalau kalkulatornya jatoh dari tangan gue terus gue nahan badan gue biar gak jatoh sambil musatin tekanan di kaki gue. Hukum fisika! Ya, kan? Makanya pas kalkulatornya jatuh sama gue keinjek pake tenaga dalam. Rusak deh,” jelas Jeanath panjang lebar.

Diakhir cerita, Jeanath menunduk. Merasa bersalah sekaligus takut.

“Maaf, ya. Kalkulatornya gue rusak,” ujar Jeanath.

“Oke.”

Oke? Oke doang? Gak dimarahin?

Mendengar itu, Jeanath mendongak. Ia dapat melihat Jaziel yang bersikap tak acuh.

“Udah gitu doang?” tanya Jeanath memastikan.

“Ya terus harus gue apain?” Jaziel balik bertanya.

“Dimarahin? Dikasih ceramah? Dihukum?”

Jaziel hanya berdecak. Ia kembali memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

“Kan emang gak sengaja. Lagian ini udah lo ganti juga. Ngapain gue harus marah?”

Jeanath tak bisa menahan senyumnya. Dengan senyuman yang terus menghiasi wajah, Jeanath ikut membereskan barang-barangnya. Tak lama, ia terdiam. Menyadari ada satu hal lagi yang perlu disampaikan.

“Satu lagi!” seru Jeanath yang menarik atensi Jaziel.

Sosok itu kembali sibuk mencari barang di dalam tasnya.

“Sebagai tanda permintaan maaf, gue punya sesuatu buat lo.”

Kemudian Jeanath mengeluarkan sebuah pita berwarna pink pastel. Tunggu —pita?

“Gue gak tau mau beliin lo apa. Jadi gue—“ Jeanath menggantung ucapannya.

Memasangkan pita itu pada surai hitam miliknya. Tersenyum lebar sebelum kembali bersuara.

“Menghadiahkan diri gue sendiri sebagai permintaan maaf.”

Hening.

Tak ada yang bersuara, hanya dua pasang netra yang saling bercengkrama.

Senyuman lebar itu kini pudar. Digantikan oleh ekspresi canggung.

“Haha, sorry. Gak lucu, ya?”

Jeanath buru-buru melepas pita yang bertengger manis di surai hitamnya. Memasukkan kembali benda itu dalam tas. Netranya menatap Jaziel seklias sebelum kembali menunduk.

Hanya berselang satu detik hingga Jeanath tersadar bahwa ada yang salah dengan sosok itu.

“Xenon!”

Jaziel mimisan.

“Dek, jangan ini ih! Ganti filmnya.”

Raje yang baru kembali dari dapur langsung merebut remot di tangan Cainan. Membuat sosok yang lebih muda setahun darinya protes tak terima.

“Kak Raje kenapa dipindahin?!”

Berakhir lah kedua saudara itu berebut remot. Jaziel yang duduk di karpet seraya mengerjakan tugas matematika milik Raje sama sekali tak peduli. Sudah biasa disuguhkan keribuat kakak-adik itu.

Ketika suasana kediaman keluarga Finnegan (Raje-Cainan) kembali kondusif setelah sang adik kalah. Kemudian Cainan menghampiri Jaziel. Merebahkan dirinya di karpet dengan paha Jaziel sebagai bantalan kepala.

Sedangkan kakaknya duduk di sofa kini sibuk memakan biskuit.

“Dek, Jaziel lagi suka sama orang tau,” ucap Raje tiba-tiba.

Cainan yang mendengar itu langsung terbangun. Kedua matanya melotot tak percaya.

“Is it a girl or a boy?” tanya Cainan.

Ngomong-ngomong, Cainan tidak bersekolah bersama Raje dan Jaziel. Ia menempuh pendidikannya di sekolah internasional. Karena ya, dari kecil sudah langganan sekolah di sana. Sebenarnya Raje dan Cainan itu bukan saudara kandung. Ibu Raje menikah dengan ayah Cainan 4 tahun yang lalu. Itu alasan kenapa keduanya bersekolah di tempat yang berbeda. Cainan sudah betah di sekolah internasional, sedangkan Raje tidak suka menggunakan bahasa inggris setiap saat.

Kembali ke percakapan kedua saudara yang sedang bergibah tentang Jaziel.

“A boy and you know what? It’s not just a boy. He’s a bad boy.” Raje menyimpitkan matanya, segaja agar menambah kesan julid.

“It’s not just a boy? It’s a bad boy?” ulang Cainan tak percaya.

Cainan melolot ke arah Jazeil. Sedangkan sosok yang menjadi buah bibir masih berkutat dengan aktivitasnya. Anak bungsu itu kemudian mendekat ke arah Jaziel.

OH MY GOD! KAK IEL IS A GAY!”

“You’re a gay! Omg! I know it!”

Masih dengan ekspresi tak percayanya, Cainan menatap Raje yang santai menonton tv. Seolah ucapannya tak menimbulkan keributan.

“So both of you are gay?” tanya Cainan.

“I have two gays brothers? Wait, no! I have two gays brothers and one gay baby!”

Raje yang tadi asik menonton tv kini mengalihkan pandangannya. Memberikan tatapan bingung kepada sang adik.

One gay baby? Siapa?”

“Bolu! My new ball, basketball.”

“Jelek banget namanya Bolu.”

“Better than your ugly face.”

“ADEK!”

Melihat Raje yang sudah siap melemparkan bantal sofa, Cainan lantas berlindung di balik meja.

“Wait, wait, wait.” Cainan kembali keluar dari tempat persembunyiannya.

Matanya kini menatap Jaziel skeptis.

“Kak Iel, i thought you were a top.

Bugh

Raje melempar bantal sofa tepat di wajah Cainan.

“Lo kalau ngomong gitu ke orang lain udah cincang kali, dek,” omel Raje pada adiknya.

Cainan meringgis kesakitan seraya mencebikkan bibir.

“I’m just being curious, okay? I thought kak Iel was a dominant but he’s into a bad boy. Does it mean he’s a bottom?”

Plak

“Fuck! That’s hurt!” seru Cainan ketika kepalanya dipukul oleh Raje menggunakan remot.

“Arielle!”

“I’m just asking!”

Kakak-adik itu kini saling melotot satu sama lain. Sebelum Raje menghela napas dan merebahkan punggungnya pada sofa.

“Emang kalau gay suka bad boy jadi pihak bawah gitu? Harus banget? Ada hukumnya? Apa yang keliatan sangar harus jadi top terus?” cecar Raje.

“Enggak sih, cuman di wattpad yang aku baca gitu terus,” jawab Cainan polos.

Raje hanya mendengus, tak berniat untuk kembali bersuara.

So, kak Iel, i need your clarification.” Cainan kini menghadap Jaziel.

Menatap sosok itu dengan serius. Sedangkan yang ditatap masih fokus pada kegiatannya. Baru setelah kegiatannya itu selesai, Jaziel menyimpan penanya dan menoleh pada Cainan.

“Well, it’s just sex position. There’s no a top or a bottom unless in bed. And yes being less masculine than your partner doesn’t always mean that you’re a bottom. Someone who looks pretty and feminine doesn’t mean he or she is a bottom. It’s just a sort of stereotype in society, i think? Lagian harus banget ada top sama bot? They can be versatile if they want. But if you ask me my position in bed, then it's a top,” jelas Jaziel.

“Buset, tinggal ngomong ‘gue pihak atas’ aja panjang bener.” Raje menanggapi seraya berdecih.

Jaziel menganggkat bahunya tak acuh. Sebelum mendapat tanggapan dari Cainan, ia bangkit dari posisi duduknya. Pergi keluar begitu saja dari rumah keluarga Finnegan.

Perlu beberapa detik hingga terdengar teriakan Raje yang menggelegar.

“LOH?! IEL LO BENERAN SUKA SAMA NATHA?!”

Namun percuma, orangnya sudah keburu pergi.

Ini pertama kalinya Jeanath pergi ke kelas 12 MIPA 7. Mungkin dulu pernah, tapi gak inget. Letak kelasnya dan kelas Jaziel itu emang berjauhan. Apalagi kelas Jaziel yang berada di pojokan sendirian.

Dari luar, Jeanath bisa melihat guru yang tengah mengajar di depan kelas. Jeanath mengetuk pintu kelas Jaziel terlebih dahulu sebelum membukanya. Ketika pintu terbuka, seluruh atensi berpusat pada sosok tersebut.

“Permisi, Pak. Maaf ganggu waktunya. Saya mau….” Ucapan Jeanath menggantung.

Hazel coklat itu menyapu seluruh ruangan kelas yang terlihat sangat rapi dan bersih. Beda dengan kelasnya yang tak jarang meraih predikat kelas terkotor setiap minggunya.

Jeanath tersenyum ketika maniknya menangkap Jaziel yang tengah menatapnya datar.

“Mau manggil Xenon dulu sebentar,” lanjutnya ringan.

Tak mengacuhkan siswa lain yang tengah berspekulasi tentang hubungannya dengan sosok Jaziel.

“Xenon? Memangnya ada Xenon di sini?”

“Saya pak,” ucap Jaziel seraya menganggkat tangannya.

Manik Jeantah menangkap Jaziel yang berdiri dengan kalkulator dalam genggaman tanpa mengidahkan tatapan heran yang diberikan teman sekelasnya.

“Pak, saya izin sebentar,” izin Jaziel seraya membungkuk.

“Iya, nak Jaziel silahkan.”

“Terima kasih.”

“Sama-sama, nak Jaziel.”

Fokus Jeanath kini hanya pada Jaziel. Ia sedikit canggung ketika merasakan begitu banyak pasang mata yang sedang memerhatikannya (dan Jaziel).

Guru yang entah siapa itu kembali mengajar. Mengalihkan beberapa atensi siswa lain. Sisanya masih memerhatikan interaksi Jaziel dan Jeanath yang sangat baru bagi mereka. Pasalnya, seluruh teman sekalas Jaziel itu mengetahui fakta bahwa Jaziel bukan sosok yang ramah dan suka berteman dengan orang lain. Apalagi sosok yang nyeleneh dan suka menimbulkan masalah seperti Jeanath.

Mari kita kembali fokus pada sepasang anak adam yang sekarang tengah berhadapan di ambang pintu.

Di mana Jaziel menyerahkan kalkulatornya tanpa membuka suara.

“Makasih Xenon, lo emang penyelamat gue!” ucap Jeanath dengan senyuman yang terus mengembang.

“Jangan sampai lecet.”

“Siap!”

Kemudian Jeanath menegakkan badannya seraya memberikan postur hormat pada Jaziel. Membuat pemuda yang berkacamata berdecih.

“Udah sana pergi,” usir Jaziel.

“Byeee!”

“Hm.”

Setelah Jeanath menghilang di balik lorong, Jaziel membalikkan tubuhnya. Menemukan seluruh pasang mata yang menatapnya seolah telah melihat hantu di siang bolong.

Orang-orang pada kenapa sih?