What you are looking for is not out there, it is in you
Hazel coklat milik Jeanath bergerak gelisah. Sesekali ia kembali menatap lembar jawaban matematika perminatannya di atas meja. Jeanath tidak mengerti kenapa kertas itu bisa berada di tangan Jaziel.
“Ok, listen.” Setelah berpikir agak lama, akhirnya Jeanath bersuara.
“Gue gak bisa matmin, sama halnya kayak lo yang gak bisa pelajaran lainnya selain kimia. Maksud gue, biasanya orang yang pinter ngitung kurang di hapalannya, kan? Sedangkan yang pinter hapalan suka gak bisa ngitung. Pasti lo juga gitu! Gue juga! Gue gak bisa ngitung, tapi gue—“
Bisa apa, ya?
Jeanath kebingungan sendiri. Agaknya baru sadar jika ia tak pernah menonjol di salah satu mata pelajaran manapun. Nilai bahasa Inggris dan PJOKnya pun pas-pasan.
“Apa?” tanya Jaziel.
Keheningan menyelimuti keduanya sebelum terdengar Jaziel yang mengembuskan napasnya kasar.
“Lo tau, kan, kalau lo itu sebenernya gak bego-bego amat?”
“Emang iya?” bisik Jeanath, bertanya pada dirinya sendiri.
Sosok yang masih menatap Jeanath intens itu berdecak sebal.
“Tapi gue gak mau jadi anak pinter.” Jeanath kembali berujar.
“Kayak, kebayang gak sih lo kalau gue pinter nanti gue gak ada minusnya terus jadi manusia paling sempurna. Gak bisa, gak bisa. Gue harus punya kelemahan. Dan ya kelemahan gue adalah gak pinter,” lanjutnya seraya mengangguk-angguk.
“Emangnya kelebihan lo apa?” tanya Jaziel, mengubur semua rasa kepercayaan diri Jeanath yang terlampau tinggi.
Melihat Jeanath yang terdiam, Jaziel kembali bersuara.
“Gue gak nyuruh lo buat pinter.”
“Selama lo di sekolah, lo itu seorang siswa yang punya tanggung jawab buat belajar. Gue gak minta lo buat dapetin nilai bagus, tapi seenggaknya lo harus mulai serius nanggepin ilmu yang lo dapet di sini.” Jaziel melanjutkan ucapannya.
Sosok itu kemudian menghela napas dan melepas kacamata miliknya. Memijit pangkal hidungnya seraya memejamkan mata.
“Are you tired of me?” cicit Jeanath.
Kelopak mata Jaziel terbuka, menampakkan obsidian yang bersembunyi di baliknya. Tatapannya melembut.
“No, I’ll never get tired of you.”
“Gue cuman pengen lo lebih serius aja. Kalau lo gak mau belajar, ya gak usah sekolah. Tapi, nyatanya lo di sini. Itu berarti mau gak mau, suka gak suka, lo tetep harus belajar. At least give it a try karena gue yakin hasil ini—“ Jaziel menunjuk lembar ulangan harian milik Jeanath.
Tepatnya pada angka 5 yang paling besar di sana. Ya, nilai matematika perminatan Jeanath adalah 5 dari skala 100.
“Gak lo dapetin setelah lo belajar sebelumnya. Kalau lo punya sedikit aja usaha buat serius, paling mentok lo nulis ulang soalnya dan gue gak akan mempersalahkan itu.”
“You’re a worthy person, Na. Kelemahan lo bukan gak pinter, tapi lo kurang percaya sama kemampuan berpikir lo sendiri. Padahal, lo punya banyak potensi yang belum digali. You’re so much more than you think. Dan gue di sini bakal ngebantu.”
Jaziel tersenyum tipis melihat Jeanath yang menatapnya kosong.
“Bingung?” tanya Jaziel.
Jeanath menggeleng pelan seraya memajukkan bibirnya.
“Gue cuman gak yakin,” bisik Jeanath.
“Harus yakin. Gue aja yakin lo pasti bisa, apalagi diri lo sendiri. Sekarang waktunya lo ngegali semua potensi itu. Lo gak sendirian, I’m there for you.”
Setelah itu, Jaziel mengulurkan tangannya. Membuat Jeanath mengerjap kebingungan.
“Mau gak?” ajak Jaziel dengan sebuah senyuman di wajahnya.
Bahu Jeanath yang turun kini kembali tegak. Ia ikut tersenyum kemudian menyimpan tangannya di atas tangan Jaziel. Sebelum Jaziel menggenggamnya erat.