Just the two of us
Jeanath berlari tergesa dengan selembar kertas yang ia angkat tinggi-tinggi. Dari jarak yang cukup jauh, Jaziel dapat melihat senyuman lebar sosok itu.
“SENON!!!!” teriaknya riang.
Ketika Jaziel sudah berada di depan mata, Jeanath sedikit membungkuk sembari mengatur deru napasnya.
“Hehe.”
Jeanath tertawa kecil, lalu mengangkat selembar kertas ulangan biologi yang berada di genggaman tangannya. Melihat itu, Jaziel tersenyum tipis.
“Good job,” ucap Jaziel
Diusapnya pucuk kepala milik Jeanath, membuat sang empunya semakin melebarkan senyuman.
“Mau makan apa?” Jaziel bertanya seraya merapikan surai hitam Jeanath yang agak berantakan.
“Hmmm pengen kwetiau kuah yang pedes.”
“Yaudah ayo.”
Mata Jeanath menyipit tatkala melihat Jaziel yang berjalan menuju parkiran sepeda.
“Lo mau pake sepeda?” tanya Jeanath skeptis.
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan dari Jaziel.
“Pake motor gue aja.”
“Gak.”
“Ayo!”
“Gak.”
Kemudian keduanya berakhir jalan kaki menuju kedai makanan yang tak jauh dari sekolah.
“Wah!”
Manik Jeanath berbinar ketika seorang pelayan datang menghampiri mereka.
“Makasih, mba!”
“Makasih.”
Keduanya mengucapkan terima kasih secara bersamaan hingga sang pelayan tersenyum gemas.
Jeanath yang tak kuasa menahan rasa laparnya langsung melahap makanannya tanpa pikir panjang.
“HANAS!” (panas)
“HAH HUH HAH.”
Dengan sigap, Jaziel mengambil beberapa lembar tisu. Ia mengulurkan tangannya di hadapan Jeanath, membuat sosok itu mengeluarkan kembali makanan yang berada di mulutnya pada tisu yang disodorkan.
“Minum dulu,” titah Jaziel.
Jeanath meneguk air mineral yang diberikan Jaziel. Dengan ekspresi wajah yang cemberut, ia kembali menjularkan lidahnya yang terasa melepuh.
“Hakit.” (sakit)
“Makannya pelan-pelan coba. Kayak dikejar anjing rabies aja,” omel Jaziel.
Mendengar itu, Jeanath semakin merenggut. Lantas ia mengibaskan tangan ke arah lidahnya. Berusaha menghilangkan rasa sakit di sana.
“Sini.”
Keduanya duduk saling berhadapan. Jaziel mendekatkan wajahnya, meminta Jeanath untuk melakukan hal yang sama. Kemudian ia mulai meniupi lidah Jeanath untuk memberikan sensasi dingin.
(jadi lidahnya natha lagi ditiupin sama jaziel kayak orang lagi niup mata yang kelilipan)
Sepertinya mereka asik sendiri hingga tak menyadari ada sosok lain yang memerhatikan kegiatan tersebut.
Setelah merasa cukup, Jaziel menyudahi kegiatannya dan Jeanath menjadi sosok pertama yang menyadari eksistensi sosok lain di dekatnya.
“Lo kenal dia?” tanya Jeanath dengan suara yang pelan.
Jaziel mengikuti arah pandangan Jeanath. Menemukan Jian yang tengah terdiam membeku.
“Enggak,” jawabnya singkat
“Minum susu, ya?” Jaziel kembali bersuara.
“Gak mau susu!”
“Air kelapa mau?”
“Mau.”
Jaziel dan Jeanath melanjutkan kegiatannya seolah tak ada yang aneh dengan mereka.