Natha’s lifesaver
Ini pertama kalinya Jeanath pergi ke kelas 12 MIPA 7. Mungkin dulu pernah, tapi gak inget. Letak kelasnya dan kelas Jaziel itu emang berjauhan. Apalagi kelas Jaziel yang berada di pojokan sendirian.
Dari luar, Jeanath bisa melihat guru yang tengah mengajar di depan kelas. Jeanath mengetuk pintu kelas Jaziel terlebih dahulu sebelum membukanya. Ketika pintu terbuka, seluruh atensi berpusat pada sosok tersebut.
“Permisi, Pak. Maaf ganggu waktunya. Saya mau….” Ucapan Jeanath menggantung.
Hazel coklat itu menyapu seluruh ruangan kelas yang terlihat sangat rapi dan bersih. Beda dengan kelasnya yang tak jarang meraih predikat kelas terkotor setiap minggunya.
Jeanath tersenyum ketika maniknya menangkap Jaziel yang tengah menatapnya datar.
“Mau manggil Xenon dulu sebentar,” lanjutnya ringan.
Tak mengacuhkan siswa lain yang tengah berspekulasi tentang hubungannya dengan sosok Jaziel.
“Xenon? Memangnya ada Xenon di sini?”
“Saya pak,” ucap Jaziel seraya menganggkat tangannya.
Manik Jeantah menangkap Jaziel yang berdiri dengan kalkulator dalam genggaman tanpa mengidahkan tatapan heran yang diberikan teman sekelasnya.
“Pak, saya izin sebentar,” izin Jaziel seraya membungkuk.
“Iya, nak Jaziel silahkan.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama, nak Jaziel.”
Fokus Jeanath kini hanya pada Jaziel. Ia sedikit canggung ketika merasakan begitu banyak pasang mata yang sedang memerhatikannya (dan Jaziel).
Guru yang entah siapa itu kembali mengajar. Mengalihkan beberapa atensi siswa lain. Sisanya masih memerhatikan interaksi Jaziel dan Jeanath yang sangat baru bagi mereka. Pasalnya, seluruh teman sekalas Jaziel itu mengetahui fakta bahwa Jaziel bukan sosok yang ramah dan suka berteman dengan orang lain. Apalagi sosok yang nyeleneh dan suka menimbulkan masalah seperti Jeanath.
Mari kita kembali fokus pada sepasang anak adam yang sekarang tengah berhadapan di ambang pintu.
Di mana Jaziel menyerahkan kalkulatornya tanpa membuka suara.
“Makasih Xenon, lo emang penyelamat gue!” ucap Jeanath dengan senyuman yang terus mengembang.
“Jangan sampai lecet.”
“Siap!”
Kemudian Jeanath menegakkan badannya seraya memberikan postur hormat pada Jaziel. Membuat pemuda yang berkacamata berdecih.
“Udah sana pergi,” usir Jaziel.
“Byeee!”
“Hm.”
Setelah Jeanath menghilang di balik lorong, Jaziel membalikkan tubuhnya. Menemukan seluruh pasang mata yang menatapnya seolah telah melihat hantu di siang bolong.
Orang-orang pada kenapa sih?