One day

Sabtu pagi, tepatnya pukul 9 lewat 11 menit, Jeanath keluar dari apartemennya. Tangannya melambai ketika melihat Jaziel yang tengah menunggu. Jeanath lantas berlari kecil menghampiri Jaziel seraya tersenyum manis.

“Pagii!” sapa Jeanath riang.

“Pagi.”

Jaziel membukakan pintu mobil untuk Jeanath, mempersilahkan sosok itu masuk terlebih dahulu.

“Thank you.”

Tak lama, Jaziel ikut masuk ke dalam mobil.

“Udah sarapan?” tanya Jaziel.

Jeanath mengangguk kecil dengan wajah yang tertunduk, fokus melihat tali sepatu yang tak tersimpul dengan benar

“Ud—“

Napas Jeanath tercekat ketika Jaziel memasangkan sabuk pengaman untuknya. Kedua mata mereka bertemu, membuat Jeanath tersenyum lebar.

“Dah.” Jeanath melanjutkan ucapannya yang terpotong.

Saat Jaziel kembali duduk di kursi kemudi, Jeanath balik bertanya, “Lo udah sarapan?”

“Udah.”

Bohong.

Nyatanya, Jaziel terlalu bersemangat pagi ini hingga melupakan sarapan. Bahkan ia tiba 30 menit lebih awal dari waktu yang mereka tentukan.

Dapat dipahami karena Jaziel sudah terlampau bucin.

Ketika mobil melaju, keduanya sibuk mengobrol. Atau mungkin hanya Jeanath yang terus bercerita hal-hal random seperti ukuran tubuh Udin dan Adin dengan Jaziel yang setia mendengarkan.

Hari itu, Sabtu pagi. Di mana sang surya kalah bersinarnya dibandingkan senyuman Jeanath.

Kata Jaziel sih seperti itu.


Jaziel hanya bisa menggeleng ketika melihat Jeanath yang terus berlari kecil ke sana kemari. Hazel coklatnya berbinar melihat akuarium raksasa itu.

“Whoa!”

“Lucu banget!”

“Haii!”

“Gemes!”

“Ini boleh dibeli gak sih?” tanya Jeanath seraya menunjuk ikan pari yang berada di dekatnya.

Bibir cherry milik Jeanath mengerucut tatkala melihat Jaziel yang menggeleng. Namun, ekspresi murungnya hilang seketika saat beberapa ikan pari menghampirinya.

“Seneng banget?” tanya Jaziel.

Kini Jaziel berdiri tepat di samping Jeanath.

“Banget! Udah lama gak ke sini. Terakhir kayaknya SMP bareng Aca,” jawab Jeanath tanpa mengalihkan pandangan.

“Aca?”

Jeanath akhirnya menoleh.

“Hamsa, tau gak? Anak 12 IPS 2,” jelas Jeanath.

Melihat Jaziel yang menggeleng, Jeanath kembali cemberut. Padahal Hamsa itu social butterfly. Bisa-bisanya Jaziel tak mengetahui sosok tersebut.

“Permisi, mas. Boleh minta tolong fotoin gak?” tanya sosok perempuan berumur yang tiba-tiba menghampiri mereka.

Jaziel melirik Jeanath yang kini ikut menatap sosok tersebut sebelum mengangguk.

Sosok itu tak sendiri, di belakangnya terdapat beberapa orang yang Jaziel yakini adalah keluarga.

“Ayo sini cepet kumpul. Gayanya samain. Dedek! Kamu ngapain itu yaampun.”

Melihat interaksi antar keluarga yang lumayan heboh, Jaziel tersenyum kecil. Sesekali ia melirik Jeanath yang tengah terdiam seraya memerhatikan sekumpulan keluarga itu.

“Makasih ya, mas.”

Jaziel hanya mengangguk seraya tersenyum ramah. Atensinya kembali pada sosok Jeanath yang masih terdiam.

“It must be nice to come here with family,” ucap Jeanath pelan.

Kemudian, sosok itu menatap Jaziel seraya tersenyum. Sebuah senyuman sendu yang sekarang tak pernah Jaziel lihat sebelumnya.

“Yeah it is.” Jaziel menjawab hambar.

Obsidiannya kini menatap lurus ikan-ikan yang sibuk berlalu lalang.

“One day, we can come here as a family,” ucap Jaziel seraya tersenyum.

“But we must get married first,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Namun, di antara bisingnya keadaan sekitar, Jeanath, entah bagaimana dapat mendengarnya.

“Ayo pulang,” ajak Jaziel.

Tanpa menunggu Jeanath, Jaziel berjalan pergi. Meninggalkan Jeanath yang memandang kosong sekitarnya.

Sadar Jeanath tidak berada di sekitarnya, Jaziel menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan berjalan menghampiri Jeanath yang termenung. Kemudian, Jaziel menarik lengan Jeanath.

Hazel coklat itu hanya memandang lurus tangannya yang kini berada dalam genggaman Jaziel.