jennoonaa

dedicated to myself and nominist

Embusan angin yang kencang tak dapat memadamkan api yang menyelimuti raga. Sepasang netra menatap tubuh yang tergeletak dengan sebuah delikan; sebuah percikan dari api yang membara. Kaki kanannya terangkat, sebelum memberikan tendangan kecil pada pinggang sang korban. Tidak adanya pergerakan membuat bahu yang tegang itu sedikit rileks.

Dengan kedua tangan yang berada dalam saku celana, Jeanath membalikkan tubuh. Berniat menghampiri Hamsa yang menjadi penonton, tetapi malah menemukan sosok lain yang berdiri tegak di depannya.

Mata yang memancarkan amarah kini digantikan dengan rasa terkejut. Kedua tangannya berpindah posisi, berlindung di balik punggungnya sendiri.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Jeanath dengan hazel coklat yang bergerak gelisah.

Jaziel melirik beberapa orang yang tak berdaya di atas aspal sekilas, sebelum balik bertanya, “Udah?”

Satu kata yang terlontar berhasil menambahkan kadar kegugupan Jeanath. Tenggorokannya mendadak menjadi kering.

“Apanya?” Jeanath kembali bertanya, seolah tak mengerti maksud Jaziel.

“Berantemnya,” jawab Jaziel.

Jeanath hanya mengangguk sebagai jawaban. Maniknya terus berkelana, tak berani menatap lawan bicara.

“Guanlinnya kemana?” Akhirnya sebuah pertanyaan membuat Jeanath sontak memandang Jaziel.

“Kabur,” Nada merengek yang terselip dalam ucapan Jeanath.

“Padahal cuman aku pukul pake—“ Semangat Jeanath yang mengebu lenyap seketika.

“Pake?” Jaziel mengulang kata terakhir yang terucap.

“Batu…kecil…,” lanjut Jeanath.

Ibu jari dan telunjuk kanannya membuat sebuah lingkaran yang kecil. “Segede gini,” katanya seraya mengangkat tangan.

“Palingan hidungnya patah,” ucap Jeanath enteng.

Jaziel masih terdiam. Matanya menatap lurus bercak darah pada sudut bibir Jeanath.

“Yaudah ayo pulang.” Jaziel menjulurkan tangannya.

Dengan senang hati, Jeanath menerima uluran tangan Jaziel. Tersenyum simpul ketika merasakan hangatnya genggaman mereka. Kemudian, keduanya mulai berjalan dengan langkah kaki yang selaras.

“Kamu kok tau Guanlin? Tau darimana?” tanya Jeanath, memulai percakapan.

“Dulu dia temennya Eric.” Jawaban Jaziel membuat Jeanath mengangguk paham.

“Tadi dia kayak yang gak suka banget sama kamu tau,” cerita Jeanath, kembali mengingat sosok Guanlin yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Jaziel dengan gamblang.

“Soalnya aku pernah bikin dia masuk ICU. Waktu itu aku, apa ya istilahnya? Meledak? Karena Guanlin yang bikin aku sama Eric berantem malem itu. Eric ditawarin heroin sama Guanlin, bahkan dipaksa buat diambil. Terus waktu di rumah, aku gak sengaja nemu heroin-nya di tas Eric dan kita berakhir berantem,” jelas Jaziel.

Langkah Jeanath terhenti. Informasi baru yang ia dapat mengundang amarah yang sempat terpendam.

Harusnya tadi ia memukul Guanlin dengan batu yang lebih besar.

Tarikan lembut pada tangannya membuat Jeanath menatap Jaziel dengan perasaan yang kusut. Sedangkan Jaziel hanya tersenyum tipis, jemarinya terangkat untuk mengusap kedua alis Jeanath yang mengerut.

“Udah gak usah dipikirin. Kamu pikirin fomulir yang harus diisi aja,” ucap Jaziel, berusaha mencairkan suasana menjadi lebih santai.

“Ih! Malah diingetin lagi!” seru Jeanath.

Kekehan yang lolos dari mulut Jaziel menciptakan sebuah senyuman di wajah Jeanath. Kemudian, ia mendongak, menatap bulan purnama yang menerangi langit kelam.

“Senon, you must be the moon. No matter how dark the sky is, you always lead the night with your brightness.” Jeanath berkata tanpa mengalihkan padangannya.

Kemudian ia menunjuk salah satu bintang yang berada di dekat rembulan.

“And I will be that star who’s right beside you so we can fight the darkness together.”

Atensi Jeanath beralih pada Jaziel yang tengah menatapnya. Ketika Jaziel mengusap surai kepalanya, Jeanath tersenyum.

“Lucu banget, pacar siapa sih?” tanya Jaziel, tangan kirinya mengelus pipi Jeanath.

“Xenon Jaziel Demian!” Jeanath menjawab dengan senyuman yang semakin melebar.

Jaziel tersenyum hingga matanya menghilang di balik senyuman. Setelahnya, ia menatap Jeanath dengan lembut. Netra itu lantas bergerak turun mengamati sudut bibir Jeanath yang terluka, lalu mengelusnya pelan dengan ibu jari.

“Sakit ya?”

“Banget.”

Sebenarnya tidak sesakit itu sih, tetapi tidak apa-apa. Sesekali mendramatisir keadaan kadang diperlukan dalam kondisi tertentu, contohnya seperti sekarang.

Bibir Jeanath yang mengerucut mengundang tawa Jaziel. Sosok itu kembali mengelus sudut bibit Jeanath seraya memberikan tiupan-tiupan kecil.

Jeanath, tentu saja menikmati perlakuan Jaziel. Memejamkan kedua matanya sambil menahan geli.

Jeanath adalah salah satu dari sedikit siswa yang tak tertarik dengan program bedah kampus. Setelah ditarik paksa oleh Chloe untuk mengikuti rangkaian acara mengelilingi sebuah kampus yang terletak di Jatinangor, akhirnya sosok itu dengan ogah-ogahan berjalan bersama rombongan kelas. Merasa ada tak menemukan hal yang menarik perhatian, Jeanath memainkan ponsel. Sebuah pesan dari Jovan membuat ia menciptakan dunianya sendiri sampai tak sadar bahwa dirinya telah terpisah. Tertinggal di belakang tanpa ada yang menyadari absensinya.

Hingga sebuah batu mengalihkan perhatiannya, dan ia hampir jatuh terjerembab.

“Yaelah ngagetin,” monolog Jeanath.

Kepala yang menunduk itu kini terangkat. Netranya melihat ke depan dan memandang sekitar.

Ini dimana?

Diselimuti rasa panik, Jeanath kembali membuka ponselnya. Mengabari Chloe terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menghubungi Jaziel. Sesekali ia mengedarkan pandangan seraya menggigit bibir bagian dalam, eksistensi orang-orang di sekitar membuatnya gugup. Mungkin efek dari seragam sekolah yang ia kenakan. Siapapun bisa menebak jika dirinya adalah seorang murid SMA di tengah-tengah hiruk pikuk mahasiswa.

“Nyari apa?” tanya seorang laki-laki yang kemungkinan besar merupakan salah satu mahasiswa di kampus ini. Ia tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Jeanath.

Tersentak kaget atas sebuah suara yang menginterupsi, mata Jeanath melebar. Ia berdeham seraya kembali mengatur ekspresi. Berusaha terlihat sekeren mungkin walaupun sebenarnya ia agak takut.

“Gak nyari apa-apa. Lagi nunggu temen,” dusta Jeanath dengan dagu yang sedikit terangkat.

Laki-laki itu mengangguk paham. “Oh, gitu,” katanya dan bersiap untuk melanjutkan perjalanannya.

Jeanath ikut mengangguk, masih berusaha mengontrol gurat di wajah. Tak acuh dengan sosok yang pergi menjauh sebelum firasatnya memburuk. Hanya berselang sedetik, sebelum perutnya berteriak protes meminta makan.

Ia tengah keroncongan.

Jam makan siang telah tiba dan perut Jeanath sedang heboh berdemo. Demi kepentingan sang perut, Jeanath, menelan bulat-bulat rasa malunya. Membalikkan badan, sebelum berteriak memanggil sosok yang tengah berjalan.

“Kak!” teriak Jeanath lantang, berusaha agar terdengar sejelas mungkin.

Si mahasiswa tadi menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. “Gue?” tanyanya memastikan dengan telunjuk yang mengarah ke dirinya sendiri.

“Iya.” Jeanath menjawab seraya berlari kecil menghampiri sosok tersebut.

“Mau nanya, ada kantin gak di sekitar sini?” tanya Jeanath.

“Ada lah. Ya kali gak ada kantin,” jawabnya. “Lo mau ke sana? Katanya nunggu temen?”

“Hah, oh, ya. Nunggunya sekalian sambil makan. Dari sini gue harus kemana? Boleh ditunjukin gak? Soalnya gue agak buta arah, tapi gak buta arah juga kok. Maksudnya suka bingung.” Entah ada berapa kebohongan dalam kalimat yang terlontar dari mulut Jeanath.

“Halah, ayo gue anter aja. Ntar makin nyasar lagi lo. Gak jauh dari sini kok, jalan dikit doang.” Karena kebetulan, mahasiswa ini memang mau ke sana.

Setelah adanya persetujuan dari Jeanath, mereka berdua berjalan ke kantin terdekat, yakni kantin fakultas ilmu komunikasi.

Bak anak bebek yang tengah membuntuti sang induk, Jeanath mengikuti mahasiswa yang mengantarnya untuk memesan makanan. Setelah itu, mereka kembali berjalan, lalu duduk di salah satu kursi kantin.

Keheningan menyelimuti keduanya. Jeanath tak tahu apa yang harus ia lakukan. Dipikirannya saat ini hanyalah mengisi perut kosongnya dan menghubungi Jaziel yang sempat ia tinggal. Ngomong-ngomong tentang Jaziel, sosok itu mungkin tengah panik karena ditinggal oleh Jeanath tanpa kabar. Bersamaan dengan makanan yang datang, Jeanath mengambil ponsel dalam saku celananya.

Melirik sekilas sosok di depannya yang tengah sibuk mengobrol dengan orang lain, lalu melahap makanannya tanpa mewarkan terlebih dahulu.

Antara terlalu lapar atau takut mengganggu, mungkin kombinasi dari keduanya.

Di tengah aktivitas makannya, Jeanath menatap layar ponsel yang menyala. Ia mematikan panggilan Jaziel dan memberikan sebuah pesan singkat. Setidaknya cukup untuk membuat Jaziel lebih lega.

Jeanath lagi-lagi melirik si mahasiswa yang telah mengantarnya. Menimang apakah ia harus berterus terang jika sebenarnya ia terpisah dari rombongan kelas.

“Kak,” panggil Jeanath pelan.

Teman ngobrol mahasiswa tadi sudah pergi, meninggalkan mereka berdua. “Apa?”

“Sebenernya gue lagi kesasar, ini tuh di mana ya? Kakaknya mahasiswa di sini? Jurusan apa?” Jeanath mencecar mahasiswa tersebut dengan pertanyaan.

“Yeee, bener kan lo kesasar?” Mahasiswa itu meledek. “Iya, gue mahasiswa di sini. Jurusannya tebak dong. Gak seru kalo langsung gue kasih tau.”

Wajah Jeanath sedikit tertekuk ketika mendengar ledekan yang dituju untuknya.

“Jurusan pertanian ya? Atau perikanan soalnya gue suka ikan,” jawab Jeanath asal.

“Yah salah, hahaha. Gue anak ilmu komunikasi. Temen lo yang lagi ditunggu itu suruh ke sini aja, kantin fikom. Terus lo suka ikan yang buat dipelihara apa ikan makanan yang dimasak gitu?”

“Oh iya,” kata Jeanath, teringat pada Jaziel. Lantas ia memberitahu lokasinya pada sosok itu.

Tak lama, Jeanath kembali manaruh atensinya pada mahasiswa ilmu komunikasi yang menjadi tour guide dadakan, melanjutkan perkataannya. “Dipelihara lah. Gue punya ikan cupang 2, namanya Udin sama Adin. Eh, btw nama gue Jeanath, tapi dipanggilnya Natha aja, kalau kakaknya siapa?”

“Kaya kenal sama yang namanya Natha dan suka ikan juga deh mirip lo,” ujar mahasiswa tersebut sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana, bermaksud membuka aplikasi Twitter—tempat dirinya berkenalan dengan orang bernama Natha. “Gue Eldebaran, tapi kepanjangan jadi panggil El aja.”

Eldebaran, rasanya Jeanath familiar dengan nama tersebut. Otaknya yang tak suka berpikir itu berusaha kembali mengingat-ingat, hingga akhirnya ia terbelalak.

Eldebaran yang itu.

“Loh ini kak El yang di Twitter? Pacarnya kak Al?” Jeanath bertanya histeris.

Eldebaran menunjukkan layar ponselnya ke Jeanath yang menampilkan akun Twitter milik Jeanath. “Iya! Lo Natha yang ini kan? Hahaha gila sempit banget dunia,” katanya. “Mau kuliah di sini apa gimana?” Eldebaran mulai tertarik dengan sosok Jeanath atau Natha di hadapannya.

“Yaampun malu banget.” Jeanath berkata dengan jujur.

Ia menarik napasnya sebelum menjawab, “Enggak sih, lagi ikut bedah kampus aja.”

Selang berikutnya, netra Jeanath menangkap sosok Jaziel yang memasuki kantin. Lantas ia melambaikan tangannya seraya tersenyum.

“Temen lo?” tanya Eldebaran, matanya mengikuti arah pandang Jeanath.

“Iya.” Jeanath menjawab tanpa melepas tatapannya dari sosok Jaziel.

Setelah Jaziel berada di hadapan mereka, Jeanath dengan semangat memperkenalkan sosok tersebut kepada Eldebaran.

“Senon, ini kak El mahasiswa ilkom di sini,” ucap Jeanath mengenalkan Eldebaran.

Tatapannya beralih pada Eldebaran. “Kak El, ini Jaziel temen gue.”

“Pacar,” koreksi Jaziel, membuat Jeanath sedikit salah tingkah.

“Oh iya, pacar,” ulang Jeanath.

“Hai, Ziel. Jaziel.” Eldebaran menyapa laki-laki yang baru datang itu. “Gue Eldebaran, panggil El aja biar cepet.”

Jaziel menatap Jeanath dan Eldebaran secara bergantian, kebingungan dengan wajah mereka yang terlampau mirip.

“Gak usah bingung gitu, Ziel,” ujar Eldebaran melihat ekspresi Jaziel. “Cowok gue juga mirip lo. Belum lama ini dia juga ketemu sama orang yang mirip gue,” katanya diakhiri dengan kekehan. “Lagian ya, kita semua kan emang punya kembaran.”

Kemudian Eldebaran menaruh sebungkus rokok dan korek api miliknya di atas meja. “Lo berdua ngerokok gak?”

Tangan Jeanath terulur, hampir mengambil rokok milik Eldebaran sebelum merasakan sebuah tatapan tajam dari Jaziel.

“Eh, gue sama Senon, eh maksudnya Jaziel gak ngerokok haha,” ucap Jeanath sedikit kaku.

Eldebaran mengangguk. “Gue ngerokok gapapa ya.” Ia mengambil satu batang, menyelipkan barang tersebut di bibir, dan membakarnya dengan api. Eldebaran mengembuskan asap rokok miliknya ke arah yang berlawanan dari sepasang kekasih di hadapannya.

“Iya, santai aja kak,” ucap Jeanath pada Eldebaran.

Atensi Jeanath kemudian beralih, maniknya menatap Jaziel yang masih berdiri.

“Duduk dong. Berdiri mulu daritadi kayak patung.” Lontaran Jeanath membuat Jaziel mengangguk kecil, lalu duduk di samping Jeanath.

“Makan apa?” tanya Jaziel seraya menatap piring Jeanath.

“Nasi gila, mau?” Jeanath menjulurkan sendoknya pada Jaziel.

“Enggak, kamu aja yang makan,” tolak Jaziel.

Jeanath melahap makanan miliknya, di sela sesi mengunyah, ia berkata, “Iya, gak usah minta soalnya aku laper banget.”

Sontak, Jaziel tersenyum. Menahan tawa yang ingin keluar, sebab merasa tak enak dengan sosok lain di sana.

Tak lama, datang seseorang yang mirip dengan Jaziel, menghampiri Eldebaran. “Udah dari tadi, ya?”

Eldebaran mengulurkan tangan, menyambut orang tersebut, dan langsung digenggamnya dengan tangan kanan. Tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Eldebaran malah menunjuk dua orang yang sedari tadi bersamanya. “Nih, kenalin.”

Laki-laki yang baru datang itu melihat mereka. Lantas ia melepas genggaman tangannya dengan Eldebaran. “Alkana,” ujarnya mantap. Tangan kanannya menggantung di udara, mengajak salah satu dari dua orang tersebut berjabat tangan. Berkenalan.

Jaziel bergegas bangkit dari posisi duduknya, membalas jabatan tangan tersebut. “Jaziel,” ucapnya datar, lalu melepaskan jabatan yang berlangsung singkat.

“Ini Jeanath, pacar gue,” lanjut Jaziel seraya menunjuk Jeanath yang duduk.

Alkana tersenyum tipis ke arah Jeanath. Kemudian ia menunduk, menatap kekasihnya yang masih duduk. Menaruh tangannya di puncak kepala Eldebaran, mengelusnya pelan. “Yuk, ay. Aku udah selesai.”

Setelahnya, Eldebaran mematikan rokoknya yang memang sudah pendek. Ia memasukkan kembali bungkus rokok dan korek api miliknya ke saku jaket, lalu berdiri. “Gue balik duluan ya, Nath, Ziel. Hati-hati lo berdua di sini. Natha jangan nyasar lagi, hahaha.”

Alkana dan Eldebaran pun melangkahkan kakinya, meninggalkan kantin fikom.

Baik Jeanath maupun Jaziel, keduanya memandang kepergian dua sosok itu dengan diam. Sebelum Jeanath menatap Jaziel dengan penuh binar.

“Aku pengen join mereka pacaran, boleh enggak?” Ada sebuah harapan yang besar dalam pertanyaan itu, terlihat dari setitik binar yang terpancar pada sepasang maniknya.

Dicubit pipi kanan milik Jeanath dengan gemas hingga sang empunya mengaduh kesakitan.

“Ih sakit!” protes Jeanath, berusaha menarik lengan Jaziel menjauh dari pipinya.

“Makan aja yang bener.” Jaziel berkata seraya kembali duduk.

Jeanath mendengus sebal, menyuapkan sendok ke dalam mulutnya dan melanjutkan aktivitas makan yang tertunda. Merasakan dirinya tengah ditatap, Jeanath mengangkat kepala, mempertemukan netranya dengan netra lain milik Jaziel.

“Ini enak tau, mau nyoba gak? Sedikit aja tapi.” Jeanath kembali menawarkan.

Alih-alih menyodorkan sendoknya pada Jaziel, ia melahap kembali makanannya. Pipi yang menggembung karena makanan itu bergerak pelan dengan manik yang terus menatap Jaziel.

“Mau,” ucap Jaziel akhirnya.

“Hm?” Jeanath menganggkat alis, masih mencerna satu kata yang terlontar.

Sebuah ibu jari yang menempel di bibir membuat Jeanath tersentak. Diusapnya bibir itu sekilas sebelum ditarik menjauh. Jeanath membelalak ketika melihat Jaziel yang menjilat ibu jarinya sendiri yang tadi dipakai untuk mengusap bibir Jeanath. Sontak Jeanath mendorong lengan atas Jaziel sekeras mungkin hingga sosok itu hampir terjatuh dari kursinya.

“Jorok!” seru Jeanath seraya melotot.

“Kan disuruh nyobain sedikit, Na,” ujar Jaziel, mengusap bekas pukulan Jeanath di lengan kirinya.

Jeanath menatap Jaziel sinis. “Ya gak gitu juga!”

Melihat Jeanath yang kembali sibuk dengan makanannya, Jaziel terkekeh. Ia merapikan surai Jeanath yang berantakan. Sebuah lengkungan tipis terangkat untuk menciptakan senyuman pada wajah Jaziel.

“Nyobain dong sesuap,” Jaziel membuka mulutnya, bersiap untuk menerima makanan.

“Aaaa,” ucap keduanya berbarengan.

“Enak?” tanya Jeanath dengan rasa penasaran terselip pada matanya.

“Enakan kamu.”

Siang itu, Jaziel mendapatkan sebuah pukulan tepat di hidung bangirnya. Beruntung kacamatanya tidak rusak.

Bersama dengan embusan angin, mereka terdiam. Menikmati suasana hening yang menghampiri. Sibuk dengan dunianya masing-masing, tetapi tidak lantas membuat atmosfer tak nyaman di sela sunyi.

Jeanath memandang langit yang gelap. Hazel coklatnya tertuju pada rembulan yang diselimuti sang awan. Sebuah lengkungan pada bibir ranum tercipta, entah sejak kapan ia menyukai eksistensi bulan.

Di sisi lain, Jaziel tengah menatap lurus ke depan. Sesekali ia melirik Jeanath yang berada di sampingnya, sebelum kembali hanyut dalam belenggu pikiran.

“Aku pengen kerak telor tau,” kata Jeanath tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.

Lantas, Jaziel menoleh. Mendapati Jeanath yang menatapnya penuh binar. Senyuman yang mengembang dapat ia lihat dengan jelas di bawah sinar bulan. Rasanya jantung Jaziel sedang protes ingin melompat.

Jika organ itu memiliki mulut, mungkin ia akan berteriak bahwa dirinya sudah tak kuat lagi. Menggila hanya karena sepasang nayanika dan segaris senyuman.

Oh, jangan lupakan bagaimana Jeanath menggunakan aku sebagai kata ganti.

“Yaudah ayo beli.” Jaziel berucap setelah berhasil menenangkan diri.

“Beli di mana?” tanya Jeanath seraya menengok kanan-kiri.

“Di sini mana ada, Na. Nanti kalau udah ke jalan raya baru cari,” jawab Jaziel.

Jeanath mengangguk. Keduanya memang berada di sebuah jalan yang sepi. Menggiring sepeda mereka untuk mengistirahatkan kaki sejenak.

“Mau duduk dulu gak?” tanya Jaziel ketika merasa jalan yang mereka lewati tak kunjung menemukan persimpangan yang dituju.

“Daritadi dong nawarinnya. Udah sakit nih kaki gue,” gerutu Jeanath.

“Sorry, sorry.” Jaziel meminta maaf seraya tersenyum.

Kemudian keduanya duduk di trotoar setelah menyimpan sepeda. Jeanath menekuk kakinya, lalu melingkarkan tangan di sana. Sedangkan Jaziel duduk dengan kaki yang terlentang.

“Meow!”

Atensi mereka teralihkan pada dua ekor kucing yang tiba-tiba muncul. Terlihat tengah kejar-kejaran sebelum berguling di atas aspal dan berakhir saling berpelukan.

“Yah malah pacaran mereka,” ucap Jeanath seraya cemberut.

Jaziel tersenyum gemas. Netra yang tadi menatap kucing kini beralih pada Jeanath. Sosok yang ditatap tengah fokus memerhatikan kucing di depannya. Kedua alis itu saling bertaut dengan bibir yang mengerucut.

“Kita juga kalau pacaran kayak gitu kali, ya?” Sekonyong-konyong sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut Jeanath berhasil membuat Jaziel tersentak kaget.

Belum pacaran juga udah gitu kali. (suara hati ayya ini)

“Gak tau, kan belum pacaran,” jawab Jaziel berusaha setenang mungkin.

“Yaudah ayo, kita pacaran aja sekarang.” Jeanath, tanpa beban, merapalkan kata-kata sakral yang selalu tertahan pada ujung lidah Jaziel.

Bahkan deretan kalimat yang telah disusun serapi mungkin belum sempat terucap. Harusnya, malam ini Jaziel menyampaikannya. Mengajak Jeanath untuk melangkah pada sebuah garis yang membawanya pada komitmen tegas.

Namun sepertinya, Jaziel keduluan. Jeanath dengan kejutannya selalu membawa Jaziel kepada kebahagiaan yang tak berujung.

“Yaudah,” jawab Jaziel seraya tersenyum simpul.

“Yaudah,” ulang Jeanath.

Kini sosok itu menoleh, mempertemukan netranya dengan netra lain. Sebelum tersenyum jenaka dan dihadiahi cubitan di hidung oleh Jaziel.

“Mau cium, boleh gak?” Jaziel meminta izin.

“Boleh, tapi sebentar aja soalnya takut ada yang lewat,” jawab Jeanath sambil mengedarkan matanya ke sekitar.

Tak melihat tanda keberadaan siapapun selain mereka, Jeanath kembali menatap Jaziel. Keduanya saling melemparkan senyum sebelum Jaziel meraup pipi Jeanath. Pemilik hazel coklat itu kemudian memajukan bibirnya seperti bebek hingga membuat Jaziel terkekeh.

“Ini snowball-nya aku lagi cosplay jadi bebek?” tanya Jaziel yang dijawab dengan anggukan kecil.

Jaziel memerhatikan bagaimana bulu mata lentik itu bergerak ketika sang empunya mengedip. Ia menatap hazel coklat milik Jeanath dengan lembut seraya tersenyum.

Ketika Jaziel mulai mendekat, Jeanath menyembunyikan netranya di balik kelopak.

Cup

Alih-alih mencium di bibir, Jaziel mencium kening Jeanath. Hanya perlu waktu 3 detik, sebelum Jaziel menjauhkan wajahnya.

Bersamaan dengan belaian angin malam yang membuat surai mereka bergerak, keduanya tersenyum.

“Ayo kita beli kerak telor,” ajak Jaziel seraya mengusap pucuk kepala Jeanath.

“Ayo!”

Dengan penuh semangat, Jeanath berdiri. Tangannya terulur tepat di hadapan Jaziel. Tindakan Jaziel secara impulsif meraih tangan Jeanath, lalu ikut berdiri. Lagi-lagi Jaziel dan Jeanath saling melemparkan senyum sebelum mulai berjalan.

Di bawah langit gelap dengan pendar yang diberikan sang rembulan, mereka berjalan dengan genggaman tangan yang mengayun.

Perasaan suka yang menutupi relung hati membuat setiap detik begerak lebih lambat.

Hingga Jaziel menghentikan langkahnnya.

“Kenapa?” tanya Jeanath bingung.

“Sepeda kita ketinggalan,” jawab Jaziel.

Kemudian, keduanya berbalik untuk mengambil sepeda yang tertinggal.

Tawa yang saling bersahutan itu menguap, pergi menuju nabastala sebagai saksi kebahagiaan mereka yang nantinya akan tersimpan bersama para bintang.

“Harusnya gue nyimpen beberapa baju di sini,” ujar sebuah suara yang mengalihkan atensi Jeanath.

Hazel coklat itu menemukan Jaziel yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang sedikit basah. Hanya sebuah kaos hitam polos dengan tulisan “Sound Engineer” yang ia kenakan, tapi mampu membuat Jeanath tersenyum malu.

“Bajunya buat lo aja. Cocok banget kalau dipake sama lo.” Jeanath menawarkan baju miliknya pada Jaziel.

Sebuah senyuman secerah mentari terbit di wajah Jeanath tatkala melihat Jaziel menghampiri. Sosok itu menyimpan kacamatanya di nakas sebelum merangkak ke atas kasur dan memeluk Jeanath dengan erat.

“Wangii.”

Jaziel tertawa kecil seraya mengelus surai legam Jeanath.

“Gue punya sesuatu!” seru Jeanath seraya melonggarkan pelukan mereka.

Sang pemilik kamar kemudian meronggoh saku celana. Mengeluarkan benda kecil berwarna biru yang membuat Jaziel mengerutkan alis.

“Tadaa! Hair bow buat lo! Masih inget gak waktu gue ngegantiin kalkulator lo yang rusak? Gue kan punya yang warna pink terus beli lagi deh yang biru buat lo biar kita kayak Udin Adin,” jelas Jeanath.

Ketika netra milik keduanya bertemu, Jeanath tersenyum kembali. Ia menganggkat tangannya untuk memasangkan pita biru pada surai Jaziel. Kemudian, Jeanath mengeluarkan pita lain di saku celananya dan mengenakannya juga pada surai miliknya.

Sebuah pita pink pastel yang berhasil membuat Jaziel mimisan kala itu.

“Kita couple-an sekarang!” seru Jeanath senang.

Jaziel hanya dapat terpaku memproses rangkaian kejadian yang terjadi. Setelah tersadar kembali, ia mencubit pipi Jeanath dengan gemas.

“God, you’re even sweeter than fructose,” ucap Jaziel seraya menarik-narik pipi Jeanath.

Sang empunya mengaduh kesakitan. Memukul Jaziel agar melepaskan cubitan di pipinya. Jaziel terkekeh, lalu mengusap pipi yang tadi ia cubit.

“What’s wrong?” tanya Jaziel tiba-tiba.

Sepasang netranya menatap Jeanath dengan lembut.

“Lo kenapa? Lagi banyak pikiran ya?” Tebakan Jaziel itu membuat Jeanath bungkam.

Dalam hati Jeanath bertanya-tanya, bagaimana Jaziel bisa tepat sasaran? Apakah ekspresi wajahnya terlalu kentara memperlihatkan bahwa kepalanya tengah dipenuhi asap kekhawatiran?

“Gue ngerasa kayak sedikit banget yang gue tau tentang lo. I feel like… we’re so close, yet so far. I know nothing about you.”

Jeanath tengah merajuk dan Jaziel dibuat gemas olehnya. Bahkan Jaziel yakin jika Jeanath tak sadar bibirnya selalu mengerucut maju ketika kata demi kata terlontar.

“Wanna know the origin of the name Xenon?”

Hal itu lantas membuat Jeanath mengangguk dengan penuh semangat. Nayanika yang menjadi pusat gravitasi Jaziel kini dipenuhi oleh binar.

“Bokap gue dokter anastesi. Before I was born, he was discovered Xenon as an anaesthetic agent. It was a great achievement for him that he wouldn’t forget about how grateful he was. Gak lama, lahirlah gue dan dinamain Xenon. Karena dengan itu, setiap nantinya beliau manggil nama gue ada 2 hal yang selalu dia inget. Temuannya dan lahirnya gue yang sama-sama berkah dari Tuhan.

Sedangkan Eric dikasih nama depan Erbium. Erbium Eric Demian. Alasannya karena nyokap gue punya rematik dan pengobatannya pake terapi erbium. Bokap gue emang ada aja idenya. Padahal harusnya nama gue itu cuman Jaziel Demian doang, begitu juga Eric. Tapi beliau pengen banget ada unsur kimia di nama anak-anaknya.” Jaziel mengakhiri ceritanya seraya terkekeh pelan.

Ia merindukan sosok ayah dalam hidupnya.

“Keren banget!! I swear he’s the best dad ever. Gue juga mau punya nama yang ada unsur kimianya!” seru Jeanath penuh semangat.

Jaziel menoleh, mendapati Jeanath yang tengah tersenyum lebar. Ibu jarinya mengusap pipi Jeanath dengan setitik kesenduan di mata.

“He is the best dad ever in my life. But unfortunately, the universe takes him away.”

Tak ada lagi binar pada manik Jeanath. Hanya terdapat sebuah lubang kekosongan pada hazel coklat yang tengah menatap sang obsidian.

“Jangan minta maaf. That’s fine.

Jeanath kemudian memeluk Jaziel. Menenggelamkan wajahnya pada dada Jaziel seraya menggigit keras bibir bawahnya. Berusaha untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar.

“The universe is so cruel. I hate it. I hate it for taking away two precious people in your life,” bisik Jeanath.

“No, it’s not. It hurts to lose someone in your life, but this is how life works. People will come and go, anyway. We’ll be sad, but we can’t be sad forever. I believe they’re happy in another world, so do I. I’ll be happy as well. Even if they’re not here anymore, the memories that we’ve been through never go away. It’s all written in the stars and scattered all over the immense world,” jelas Jaziel seraya mengusap surai Jeanath.

We born, we live a little while, and we die. But meet a lot of people, we learn a lot of things, we feel different emotions, and we always find the reason to be happy again.

Seketika sekelebat memori muncul dalam benak Jaziel. Teringat pada kilasan balik yang membuat secarik senyuman tercipta di wajahnya.

“Harusnya kan gue yang ngasih kata-kata penyemangat, kenapa jadi kebalik gini.” Jeanath berkata seraya menarik ingus.

Tak ada air mata yang turun, ia menahannya agar tidak menambah kesan sedih di antara mereka. Sedangkan Jaziel yang melihat hidung merah Jeanath tertawa gemas.

“Your dad will be super proud of you! He must be smiling in heaven right now.”

“See? The universe has never been cruel. They sent you to me as the greatest gift of my life.”

Ada beban kuat yang menarik kakinya untuk tak melangkah lebih dekat. Seolah gravitasi enggan melepasnya pada sebuah bangunan klasik di depan yang ia sebut “rumah”.

Ia tak ingin pulang. Pun, tak ingin menjadi anak yang tak tahu diri. Pada akhirnya, ia hanya berputar di sebuah lingkaran berduri yang membawanya pada kesengsaraan hati.

Pada akhirnya, ia pulang dan tetap menjadi anak yang tak tahu diri.

“I’m home,” bisik Jaziel saat pintu terbuka.

Hanya kegelapan dan keheningan yang menyambutnya. Selalu seperti itu hingga ia tak perlu repot membuat alasan setiap kali dirinya pulang larut malam.

Jaziel melangkah dengan pelan menuju kamar. Berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang keras hingga sang ibu terbangun. Ia menghela napas lega ketika dapat membuka pintu kamarnya tanpa menyebabkan bising.

Kala wajah yang sedikit tertunduk itu mendongak, waktu seakan terhenti. Tubuhnya membeku tatkala melihat sang ibu sedang duduk di atas ranjang miliknya.

“Ma?” panggil Jaziel dengan suara yang bergetar.

Perempuan paruh baya di sana memberikan sebuah senyuman lebar.

“Sini.”

Dengan ragu, Jaziel berjalan mendekat. Duduk di samping sosok ibu seraya meredakan degup jantungnya yang berpacu dengan cepat.

Pikiran Jaziel mendadak kosong ketika sang ibu membawanya ke dalam pelukan.

“Anak mama udah gede aja. Jadi makin mirip sama Papa.”

Usapan halus pada punggung Jaziel membuatnya sedikit rileks. Ia membalas pelukan ibunya dengan erat. Menghirup aroma tubuh yang sangat ia rindukan seraya memejamkan matanya.

“Jangan pergi kemana-mana lagi ya, Eric.”

Ah, seharusnya Jaziel tak usah mengharapkan apapun.


Entah sudah berapa lama Jaziel berjalan tanpa arah. Matanya yang dipenuhi kekosongan menatap ke depan dengan pikiran yang bekecamuk. Berharap setiap semilir angin yang menerpa permukaan kulitnya meringkan beban yang terasa meremukan pundak.

Kakinya terhenti ketika ia berada di persimpangan jalan. Obsidian itu menatap sosok lain yang berada di seberangnya. Tak begitu memerhatikan, sebab pikirannya melayang jauh.

Lampu jalan yang tiba-tiba menyala membuat penglihatannya menjadi lebih jelas.

“Senon?” Sebuah suara menyadarkannya dari lamunan.

Dari sekian banyak orang yang dapat ia temui, sang takdir telah berbaik hati membawanya pada sosok yang dirindukan.

Maka ia pun berterima kasih, terutama pada navigasi hati yang menjadi penunjuk jalan.

Sosok yang dibalut hoodie mint itu menghampirinya dengan sebuah senyuman manis di wajah.

“Lo ngapain di si—“

Bruk

“ni?”

“Senon?” panggil Jeanath bingung.

Walaupun tak tahu apa yang sedang terjadi, Jeanath membalas pelukan Jaziel. Mengusap punggung Jaziel yang tengah menenggelamkan wajah di pundak milknya.

“Thank you,” bisik Jaziel.

Jaziel melonggarkan pelukan mereka. Menganggkat wajahnya untuk dapat menatap sepasang hazel coklat Jeanath.

“For what reason?” Jeanath bertanya.

“For coming into my life. I wanna say thanks to God too for creating this exquisitely beautiful person. To the universe that has become the place where we met and to the fate that led me to you,” ucap Jaziel dengan sebuah senyuman tulus.

“Snowball, why are you crying?”

Diraihnya kedua pipi Jeanath yang basah oleh air mata.

“You’re the one who started to cry. I wanna cry too.”

Keduanya terkekeh seraya saling menghapus air mata yang turun satu sama lain.

“Never thought in my life that I would hear those words. I should be the one who says thank you. You’ve helped me a lot. Thank you, Senon. Thank you for existing. I don’t know what kind of a person am I if I were never met you. Thank you so much.”

Jaziel mengusap pipi Jeanath dengan lembut. Senyumnya mengembang semakin lebar ketika melihat Jeanath yang ikut tersenyum.

“Can I kiss you?” tanya Jaziel.

Jeanath mengangguk malu-malu. Matanya terpejam ketika melihat Jaziel mulai mendekatkan wajah.

Cup

Hanya sebuah kecupan ringan tepat di bibir, tetapi berhasil membuat keduanya saling tersipu.

Jeanath menatap pintu rumah di depannya dengan gugup. Di belakangnya, terdapat Jaziel yang baru saja memarkirkan sepeda. Sosok itu berjalan menghampiri Jeanath, menggenggam tangan Jeanath sebelum kembali melangkah.

“Ayo,” ajak Jaziel.

Dalam hati, Jeanath berdoa agar Raje tak menyesal mengizinkan Jaziel menjenguknya. Sambil meredakan rasa gugup, ia memandang interior rumah Raje yang luas. Banyak berbagai macam lukisan yang terpajang di sana yang membuatnya berdecak kagum.

“Heh.”

Jeanath sedikit tersentak mendengar suara Jaziel. Saking asyiknya melihat-lihat, ia tak sadar jika kakinya sudah menginjak pada sebuah kamar yang ia yakini adalah kamar milik Raje.

Sosok yang membuat Jeanath gugup itu menoleh. Ia tengah berbaring di kasur dengan kedua kaki yang ditekuk.

“Loh udah nyampe?” tanya Raje seraya bangkit dari posisi tidurnya.

Raje berjalan menghampiri Jeanath dan Jaziel. Atensi Jeanath kini sepenuhnya tertuju pada Raje. Sedangkan sosok yang terus-terusan ditatap terlihat sangat segar, sama sekali tidak seperti orang yang sedang sakit.

“Hai Jeanath! Gue Ranjendra Finnegan, biasa dipanggil Raje. Temennya Iel dari zaman masih pake pampers.

Melihat tangan Raje yang terulur, Jeanath buru-buru melepaskan tautan tangannya dengan Jaziel. Pipinya bersemu ketika sadar Raje melihat genggaman tangan mereka. Dengan malu-malu, Jeanath membalas uluran tangan Raje.

“Gue Jeanath—“ Jeanath menoleh pada Jaziel sebelum melanjutkan ucapannya.

“Temen barunya Senon, eh, Jaziel,” lanjut Jeanath.

Tiba-tiba, tawa Raje menggema, membuat Jeanath menatap sosok tersebut kebingungan.

“Aduh, sorry. Lo lucu banget soalnya,” ucap Raje sembari meredakan tawanya.

Tatapan tajam yang dilemparkan oleh Jaziel tak membuat Raje acuh. Justru Raje memberikan tatapan meledek seraya menjulurkan lidah pada Jaziel.

“Oh iya, ini buat lo. Cepet sembuh, Raje.”

Jeanath menyerahkan kantung plastik yang sedari tadi ia genggam dengan tangan kirinya dan Raje mengambilnya dengan senang hati seraya tersenyum.

“Makasih ya. Tapi gue udah sembuh kok dari kemarin. Hari ini disuruh bolos sama orang itu katanya biar bisa ngajak lo ke sini,” jelas Raje terlalu jujur.

Mendapatkan pelototan dari Jeanath, Jaziel pura-pura sibuk dengan mengambil salah satu buku di meja belajar milik Raje.

“Kak Rajeee! Let’s watch some movies. I’m bored.

Kedatangan Cainan membuat suasana di kamar Raje hening seketika.

“Nah, itu adek gue yang kurang ajar. Namanya Cainan Arielle Finnegan. Panggil aja Lele. Umurnya setahun lebih muda dari kita.”

Cainan berdecih sebelum menatap Jeanath yang terlihat kaku.

“Hi temennya kak Raje!” sapa Cainan seraya tersenyum manis.

“Um, hi. Gue Jeanath,” ucap Jeanath pelan.

Senyuman pada wajah Cainan memudar. Alisnya saling bertaut ketika nama Jeanath terdengar familiar.

“Oh! Jeanath? Kak Natha? The one who has the prettiest smile and the prettiest eyes in the world, right kak Iel?” goda Cainan pada Jaziel.

“Salam kenal ya kak Natha! I really want to know the person that kak Iel adores! And now, I know the reason he’s so into you. By the way, wanna watch some movies? What kind of genre do you like? Let’s go to the living room! I have lots jar of cookies. You like sweet food, right?” ucap Cainan panjang tanpa jeda.

Kemudian, Cainan mendekap lengan atas Jeanath sambil mengajaknya keluar dari kamar Raje.

“Dek! Tamu gue itu jangan diambil!” teriak Raje.

Dengan cepat, Raje mengejar Cainan yang mengambil Jeanath darinya. Raje ikut mendekap lengan Jeanath di sisi lain. Berakhirlah kakak adik itu saling rebutan Jeanath.

Meninggalkan Jaziel yang tengah menyesali keputusannya untuk membawa Jeanath ke rumah keluarga Finnegan.


“Coba lihat yang ini!”

Raje memperlihatkan sebuah foto lain. Terdapat 3 anak kecil yang tengah mandi di dalam foto tersebut

“Ini waktu gue sama Eric ngompol. Iel gak ikutan ngompol, tapi dia tidur sekasur sama kita jadinya tetep kena ompol.”

Jeanath terpaku pada sosok asing yang terlihat mirip dengan Jaziel.

“Eric?” tanya Jeanath pada Raje.

Ekspresi bingung di wajah Jeanath membuat Raje melirik Jaziel yang sibuk menatap layar TV.

“Iel belum cerita?” Raje balik bertanya.

Jeanath hanya menggeleng sebagai jawaban.

“Iel, ceritain gih. Gue mau bawa Lele ke kamar dulu.”

Mendengar namanya disebut, Jaziel menoleh. Mendapati Jeanath yang menatapnya penasaran.

“Ih yaampun si Lele gak tau diri banget tidur di paha lo. Sorry ya, kaki lo pasti kesemutan,” ucap Raje merasa tak enak.

“Gapapa kok, lagian tidurnya juga belum lama.” Jeanath tersenyum seraya menatap wajah damai Cainan.

Senyuman Jeanath menular pada Raje. Kemudian, Raje membangunkan Cainan dan menyeretnya ke kamar.

“Gue tinggal dulu, ya.”

Setelah Raje dan Cainan pergi, suasana di tengah rumah menjadi hening. Jeanath kembali menatap Jaziel yang juga tengah menatapnya.

Jaziel yang duduk di sofa kini turun, ikut duduk bersila di atas karpet. Tangannya mengambil foto yang sedang dipegang oleh Jeanath.

“Eric itu adik gue. Lebih tepatnya kembaran.”

Manik Jeanath melebar. Terkejut akan fakta bahwa selama ini, Jaziel memiliki kembaran.

“Lo punya kembaran? Kok gue gak pernah lihat di sekolah? Apa emang beda sekolah kayak Raje sama Cainan?” tanya Jeanath mencecar.

“Eric udah gak ada. Dia masih kelas 9 waktu itu.”

Jeanath melebarkan matanya. Ekspresinya berubah menajdi sendu.

“Ma—“

“No. You don’t have to say sorry, Na.”

Melihat Jeanath yang memajukan bibir bawahnya membuat Jaziel tersenyum kecil.

“Eric itu kebalikan dari gue. I describe him as the sun since he’s a warm-hearted person and a lot of people like him. Selain itu, dia juga pinter dan terlalu baik. Sampai akhirnya dia salah milih temen dan berubah drastis.”

“Sebelum Eric meninggal, gue sama dia berantem hebat. Dia kabur dari rumah setelah itu dan gak lama, gue dapet kabar kalau dia kecelakan dan nyawanya gak ketolong.”

Jaziel menatap kosong foto Eric yang tengah tersenyum. Sebuah usapan lembut pada tangannya membuat Jaziel kembali tersadar dari lamunan.

“Sorry, I shouldn’t have made you tell me the story. I just made you opened your wounds. I’m so sorry,” ucap Jeanath tertunduk.

Jaziel mengerjapkan matanya. Ia kemudian mengangkat dagu Jeanath. Menatap hazel coklat itu dengan lembut.

“Gue emang udah punya rencana buat nyeritain itu semua. Harusnya gue yang minta maaf karena jarang nyeritain diri gue ke lo. Gue malah nuntut lo cerita tentang diri lo ke gue, sedangkan gue sendiri jarang nyeritain diri gue ke lo.”

Jeanath menggeleng. Jemarinya bergerak untuk meraih tangan Jaziel yang tengah memegang kedua pipinya.

“That’s okay. Even I should wait for 5 years, 10 years, or even it takes many years, I’ll wait for it. Because I want to spend my life with you forever and it means I have a lot of time to wait!”

Detik itu, Jaziel berada dalam puncak kebahagiaan. Rasanya ia bisa gila ketika hazel coklat menatapnya lembut dengan bibir ranum yang tersenyum manis.

“Gianna, I love you so much.”

Mungkin jika tidak ada suara pintu yang dibuka, mereka sudah melakukan hal lain.

“Boys, we’re home!”

Netra yang selalu memancarkan kelembutan kini digantikan dengan sebuah tatapan dingin yang menusuk. Jeanath hanya dapat tertunduk dalam, tidak berani mempertemukan matanya dengan obsidian milik Jaziel.

Setelah menarik Jeanath dari keramaian, Jaziel terus terdiam. Keduanya sama-sama enggan untuk berbicara. Keheningan dan dinginnya angin malam membuat Jeanath bergerak gelisah. Ia menggigit bibir bawahnya seraya sesekali melirik sosok Jaziel yang sekarang tengah membelakanginya.

“Marah?”

Dari semua serangkaian paragraf panjang yang ingin Jeanath lontarkan, hanya satu kata yang terucap.

Tidak ada jawaban dari lawan bicaranya. Pikiran Jeanath berkecamuk, teringat kembali ucapan Hamsa yang terngiang bak kaset rusak di kepala.

Imagine if he knew

Good, Natha. Now he knows that you’re just a piece of shit.

Manik Jeanath melebar tatkala Jaziel membalikkan tubuh. Rasa gugup yang memuncak membuat napasnya tercekat. Dengan keberanian sebesar biji mentimun, Jeanath memaksa dirinya untuk menatap Jaziel tepat di mata. Bersiap menerima amarah sosok tersebut.

Alih-alih mendaptkan luapan emosi, sebuah tangan terulur untuk meraih dagunya. Di bawah sinar rembulan, Jeanath dapat dengan jelas melihat bagaimana obsidian itu menatapnya khawatir.

“It must’ve hurt.” Jaziel mengusap bercak darah pada sudut bibir Jeanath.

“Lo gak marah?” tanya Jeanath pelan.

Jaziel hanya tersenyum tipis sebagai jawaban.

“Would you hate me for being like this?” Jeanath kembali bertanya.

“Like what?”

“Ya gini. I’m not a good person. Gue suka ikut balapan dan ngelakuin hal buruk lainnya yang gue yakin lo gak bakal suka,” ucap Jeanath.

“Gue gak mempermasalahkan lo yang suka balapan, kalau lo emang suka dan menjadikannya sebagai hobi, lakuin aja. But do it legally. Biar keamanan lo terjaga dan meminimalisir hal-hal yang gak diinginkan.” Terdapat jeda sebelum Jaziel melanjutkan perkataannya.

“Berhenti lakuin apa yang menurut lo salah. Lo bisa berubah jadi lebih baik.”

“Tapi, jangan berubah karena orang lain. Lo harus berubah karena diri lo sendiri. Karena orang lain bisa kapan aja ninggalin lo dan lo bakal kehilangan alasan itu. Beda halnya kalau lo berubah demi diri sendiri. Dia gak bakal pernah ninggalin lo pergi dan bakal terus ada sampai kapanpun. That’s why you should love yourself more than anyone else because he always right beside you.” Jaziel mengakhiri ucapannya seraya mengusap bagian pipi Jeanath yang tidak lembam.

Melihat sepasang hazel coklat yang berkaca-kaca, Jaziel menangkup kedua pipi milik Jeanath selembut mungkin, berusaha agar tidak menekan luka Jeanath.

“Mind to tell me why you had fought with that guy?” tanya Jaziel.

Jeanath mengerucutkan bibirnya. Kembali teringat pada sosok Harris yang mungkin sedang di perjalanan menuju rumah sakit.

He talked shit about you. Katanya gue jadi gak asik gara-gara kebanyakan gaul sama lo. Gue gak tau kenapa dia tiba-tiba bawa lo ke masalah yang gak saling bersangkutan sama sekali. Parahnya lagi dia ngatain lo sebagai penjilat. Ya gue gak terima dong lo dikatain gitu,” jelas Jeanath dengan emosi yang mengebu.

“Anak sekolah kita?”

Jeanath mengangguk kecil.

“Temen sekelas gue, Harris namanya. Kalau besok-besok ketemu langsung aja pukul wajahnya sampe dia harus oplas.”

Sontak, Jaziel tertawa. Padahal Jeanath sedang serius, tidak ada niatan untuk bercanda sama sekali.

Melihat Jaziel yang tertawa membuat sebuah semburat merah muncul di pipi Jeanath. Ia tak bisa menyembunyikan tatapan kagumnya pada sosok yang terlihat begitu tampan dengan balutan jaket denim. Jangan lupakan kacamata yang bertengger manis di hidung bangir bak perosotan itu.

“Tadi udah puas berantemnya?” tanya Jaziel setelah meredakan tawa.

Sebenarnya, Jeanath masih ingin memukuli Harris. Namun, hatinya tengah berbunga hingga rasa kesal terhadap sosok tersebut lenyap begitu saja. Jadi ia hanya mengangguk sebagai jawaban.

Jaziel tersenyum sebelum menarik lengan Jeanath dan membawanya ke dalam genggaman.

“Ayo pulang.”

Seharian ini yang Jaziel lakukan adalah mengurus Jeanath. Mulai dari membelikan sup pereda pengar, menyeret paksa sosok itu agar mandi, menyuapinya, hingga menjadi tukang pijat kepala part 2.

Kini, keduanya tengah sibuk menonton dengan Jaziel yang tengah tiduran di paha Jeanath. Sedangkan sosok yang pahanya dijadikan bantal duduk menyender pada sofa.

“Senon,” panggil Jeanath tiba-tiba.

“Hm.”

“Lo mau jadi bapak gue aja gak?” tanya Jeanath random.

“Gak mau, gue gak tertarik melakukan incest.

Plak

Jeanath memukul bibir Jaziel, membuat sosok itu mengaduh kesakitan.

“Gue gak ngerti filmnya.” Jeanath mengeluh.

“Gak usah ditonton,” jawab Jaziel santai.

Jeanath berdecak sebal.

“Just tell me about yourself. I’ll listen,” ucap Jaziel seraya membalikkan tubuhnya.

Sekarang, Jaziel tidur dengan posisi terlentang agar dapat menatap sosok Jeanath.

“Hm?” Jeanath bergumam kecil.

Tangan milik Jeanath terulur untuk merapikan surai Jaziel sebelum mulai bercerita.

“Gue anak tunggal dari keluarga yang sangat berada. Bokap sama nyokap gue dulu dijodohin. Klise banget, ya? Udah mirip cerita-cerita roman picisan, tapi bedanya mereka gak saling jatuh cinta. Di situ gue sadar kalau jatuh cinta itu ga bisa dipaksain dan gak terkait dalam ruang waktu. Seberapa lama pun lo ngehabisin waktu berdua sama seseorang, hal itu gak menjamin lo bakal suka sama sosok tersebut.”

Jemari yang tadinya memainkan anak rambut Jaziel kini diraih dengan halus, kemudian dielus hingga Jeanath tersenyum geli.

“Dulu mereka dijodohin buat merger dua perusahaan dari masing-masing pihak. Dua-duanya penuh ambisi, gak terlalu suka sama ide itu karena sama-sama pengen dapetin posisi terkuat. Di antara bokap nyokap, yang paling benci gue kayaknya nyokap. Menurut dia, kehadiran gue itu gak berguna dan malah jadi beban apalagi dia emang gak pernah mau jadi sosok ibu.”

Binar pada hazel coklat itu meredup, digantikan oleh sebuah awan hitam kesenduan. Bahkan sebuah senyuman paksaan tak dapat menutupi rasa sedihnya.

Jaziel bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan. Lalu menatap dalam netra milik Jeanath.

“Kadang gue suka mikir, kebahagiaan apa yang mereka cari? Karena mereka berdua gak pernah kelihatan bahagia. Selalu ngerasa kurang dengan apa yang mereka dapetin.” Jeanath mengakhiri sesi ceritanya dengan sebuah embusan napas panjang.

Belum sempat Jaziel membuka mulutnya, Jeanath tersenyum kecil. Ekspresinya berubah kembali menjadi ceria. Ditariknya tangan Jaziel, membuat sosok itu mengikuti dari belakang.

“Gak usah ngomong apa-apa. Lo cuman mau denger aja, kan? Mending lihat ini,” ucap Jeanath ketika keduanya berjalan memasuki kamar Jeanath.

Jaziel terdiam ketika Jeanath melepaskan genggaman tangan mereka. Sosok itu mengambil sebuah buku kecil berwarna biru muda, lalu duduk di tempat tidur miliknya.

“Sini.” Jeanath menepuk tempat kosong di sampingnya.

Sebuah senyuman lebar yang menghiasi wajah Jeanath menular pada Jaziel. Sosok dengan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya melangkah mendekat ke arah Jeanath. Ia duduk di samping Jeanath hingga kedua bahu mereka saling menempel.

Album foto milik Jeanath.

Jaziel tersenyum ketika melihat cover album yang dihiasi kelinci-kelinci kecil. Kemudian, Jeanath mulai membuka satu-persatu halaman album miliknya. Memperlihatkan foto-foto masa kecilnya hingga keduanya terkikik.

“Semua foto di sini diambil sama oma gue. Makanya gue punya album beginian. Ini foto waktu ngerayain ulang tahun kelima, rambutnya kayak batok kelapa, ya?” ucap Jeanath.

Melihat Jeanath versi mini membuat Jaziel tak bisa berhenti menahan senyumnya. Ketika halaman baru dibuka, senyuman Jaziel menghilang perlahan.

“Kenapa?” Jeanath bertanya tatkala Jaziel menahan tangannya.

“You look familiar here,” bisik Jaziel.

“Perasaan gue aja kali,” lanjutnya.

Jeanath melanjutkan untuk membuka halaman lain hingga menampilkan fotonya yang tengah telanjang. Lantas, ia dengan spontan menutup album fotonya.

“Jangan dilihat!”

“Emang kenapa?”

Jeanath buru-buru berdiri, hampir kabur sebelum Jaziel berhasil menahan lengannya.

“Sini gue pengen lihat.”

“Gak boleh!”

Lantas keduanya saling berebutan.

“Lihat! Udin sama Adin bisa terbang!” seru Jaziel tiba-tiba.

Bahkan anak kecil sekali pun tak akan terpancing, tetapi ini Jeanath. Seorang Jeanath yang pikirannya terlalu melanglang buana.

“Mana?!”

Dengan cara itu, Jaziel berhasil merebut album Jeanath.

“Senon!”

Jaziel mengangkat album dalam genggaman tangannya setinggi mungkin. Karena tinggi mereka sama, Jeanath dapat dengan mudah merebutnya kembali. Namun, Jaziel lebih cepat melempar album itu ke atas kasur Jeanath sebelum direbut.

Ditariknya pinggang Jeanath hingga keduanya berpelukan.

“Senon?”

“Gue gak bisa bantu lo buat nyari kebahagiaan dari sebuah keluarga karena gimana pun, rasanya bakal beda ketika lo dicintai keluarga asli lo sendiri sama segelintir orang yang lo anggap sebagai keluarga. Gue, Hamsa, bahkan Udin, Adin, Odin, sama Udon gak bisa ngegantiin peranan keluarga lo yang asli. Terutama peran bokap nyokap lo.” Jaziel menempelkan hidungnya di atas bahu Jeanath.

“But I can help you to find another happiness. From the small things to the biggest ones until all of those things make you forget about the sadness you’ve been through. Until your smile is like a ray of sunshine. I’m there for you, remember? I always do.”

Jeanath merenggangkan pelukan mereka. Maniknya menatap obsidian Jaziel dalam sebelum tersenyum manis.

“I wanna be there for you too and I don’t wanna find my own happiness. Because I wanna find our happiness. Find the things that make both of us happy,” ucap Jeanath yang kini melingkarkan tangannya di leher Jaziel.

“This isn’t dream, right?” tanya Jeanath tiba-tiba, takut jika hal yang dialaminya adalah mimpi seperti kemarin.

“There’s only one way to find out.”

“Gimana?”

Kemudian, Jaziel menggigit pucuk hidung Jeanath.

Tak sedikit orang yang mengira bahwa keluarga yang tengah menyapa tamu lain adalah keluarga harmonis yang diidam-idamkan. Sosok yang mereka panggil sebagai orang tua adalah pasangan romantis yang serasi. Sedangkan yang mereka sebut anak adalah sosok tampan, sopan, dan penuh perhatian.

Nyatanya, dibalik topeng penuh dusta itu jauh terdapat sebuah kenyataan yang berbanding terbalik.

Ketika mereka sampai di tempat yang tertutup, di mana tak ada orang lain di sana, Jeanath buru-buru melepaskan diri dari gandengan kedua orang tuanya.

Mereka tak sedekat itu.

“Jangan keluar dulu.” Suara bariton dari sosok yang seharusnya berperan sebagai ayah memecah keheningan.

Di sisi lain, ‘sang ibu’ hanya terdiam seraya berjalan angkuh.

“Did I look like I care?” tanya Jeanath dengan suara lantang.

Ia sudah muak.

“Anak kamu itu gak pernah belajar sopan santun.” Akhirnya sosok ibu membuka mulut.

Gue anak kalian berdua bangsat.

Daripada menelan rasa muak yang terlampau tinggi, Jeanath membuka pintu dengan kasar lalu membantingnya sekeras mungkin.

Persetanan dengan sopan santun, ia tak pernah belajar hal itu dari kedua orang tuanya.

Tujuannya kali ini hanya satu.

—-

Jeanath memasuki sebuah rumah megah di depannya. Ketika kakinya melangkah masuk, asap rokok memenuhi seluruh ruangan hingga pandangan kabur. Bau alkohol tercium meyerbak pada indera penciumannya.

Bangunan rumah yang terlihat dari luar hanya sebagai kamuflase belaka. Di dalamnya adalah sebuah tempat berkumpulnya anak-anak yang sedang menyenangkan diri.

“Yo!”

Terlihat Guanlin, sang pemilik rumah yang tengah melambaikan tangannya. Sosok itu duduk di salah satu kursi mini bar.

“Rapi bener abis darimana?” tanya Guanlin ketika Jeanath mendekat seraya menenteng jas hitam.

Jeanath ikut duduk.

Belvedere satu bang,” ucapnya ketika melihat bartender yang menghampiri.

“Siap bos.”

“Udah lama banget gak mampir.” Lontaran Guanlin membuat Jeanath menoleh.

“Sibuk gue.”

Terdengar lantunan tawa Guanlin. Ngomong-ngomong soal Guanlin, sosok itu lebih muda setahun dari Jeanath. Entah bersekolah atau tidak, latar belakang Guanlin tak jelas. Jeanath mengenalnya saat ia bertemanan dengan Lucas.

“Minta rokok dong, gue gak bawa,” pinta Jeanath.

Guanlin menyerahkan rokok miliknya.

“Ada masalah ya? Mau nyoba itu gak?” tanya Guanlin.

Jeanath yang sekarang tengah mengeluarkan asap rokoknya mengikuti arah telunjuk Guanlin. Menunjukkan kumpulan orang yang tengah terkapar di sofa.

“Gue udah bilang jangan nawarin drugs.”

Lagi-lagi Guanlin tertawa renyah.

“Takut dimarahin sama temen lo itu? Siapa namanya? Ilham?” Guanlin bertanya jenaka.

“Hamsa, anjing. Lo kalau ketauan manggil dia ilham bisa-bisa dilindes.”

Entah Guanlin yang terlalu receh atau memang Jeanath yang lucu. Sosok itu kembali tertawa sebelum pamit pergi.

Meninggalkan Jeanath yang tengah bergelut dengan pikirannya. Segelas, dua gelas, hingga akhirnya ia menghabiskan setengah botol vodka yang ia pesan.

Dadanya terasa sesak. Bukan karena asap rokok yang memenuhi ruangan ataupun asap dari rokoknya sendiri. Melainkan rasa yang diberikan kedua orang tuanya.

Jeanath butuh menumpahkan rasa sesak yang kian menyeruak dada. Namun, ia sadar jika Hamsa dan Jovan terlalu sering mendengarkan keluh kesahnya.

Jika seperti ini, Jeanath selalu teringat sosok yang sangat ia cintai. Satu-satunya sosok keluarga sebenarnya. Sosok nenek yang mencintainya sepenuh hati. Sosok yang lembut dan selalu mendekapnya hangat.

“Gianna.”

Jeanath tersenyum. Hanya sang nenek yang selalu memanggilnya Gianna.

Ah, mungkin sekarang ada dua.

“Gianna.”

Detik berikutnya, Jeanath keluar dari rumah Guanlin seraya menghidupkan kembali ponselnya. Mencari kontak Jaziel sebelum terdengar suara deringan.

Hanya perlu waktu 3 detik sebelum Jaziel menganggkat telfonnya.

“Dimana?”

Jeanath memandang kosong jalanan di hadapannya.

“Di pinggir jalan.”

“Lebih spesifik.”

“Di sini ada rumah, ruko, pohon apa ya ini? Gak tau deh.”

“Na.”

“Senon, kenapa lo suka sama gue?”

“….”

“Lo harusnya gak suka sama gue. Kata nyokap gue, kehadiran gue di dunia ini cuman sebagai penghambat. Gue harusnya gak ada.”

“Gianna.”

“I wanna receive a lot of loves since both my parents never loved me. But at the same time, I don’t think that I deserve those loves. Maybe my parents was right. People shouldn’t love someone like me. I’m a failure. Who the fuck would love me? I don’t have anything besides my parent’s’ money. I’m not a good person either, I always do something bad.”

“I would.”

“I would love you unconditionally. I would love you until you love yourself like the way I did. I would give you loves that someone never given to you before. I would love you and I wouldn’t regret it. Your presence was a blessing, at least for me. Udin and Adin too, remember? Don’t forget Odin and Udon. And your friend, Aca, right?”

“You don’t know me.”

“Then tell me. What kind of person are you. Tell me anything about you and let me learn all of it.”

Netra yang tengah memandang kosong itu kini mengeluarkan bulir bening. Menatap sosok di seberangnya dengan sendu.

“How can you find me?” bisik Jeanath.

Jaziel menyimpan ponselnya. Menghampiri Jeanath yang masih termangu.

“Let’s go home.”

“I don’t have something that called home.”

“We’ll find it. One day, we’ll find our home.”

Jeanath menubrukkan dirinya pada tubuh Jaziel. Terisak dengan kencang sebelum Jaziel membawanya pada dekapan.

“I already found it.”

“And where is it?”

“It’s in you. Even your smell, it smells like home.”

Jaziel tersenyum kecil.

“Can I kiss you on the top of your head?” tanya Jaziel.

Mendapat anggukan kecil, Jaziel mencium pucuk kepala Jeanath.

“Pulang, ya? Gue gendong.”

“Gak mau. Digendong mulu.”

“You’re drunk, Na.”

Jeanath lantas mendongak. Menatap Jaziel yang tengah menunduk, membuat netra mereka saling bertemu.

“Lo marah?” cicit Jeanath.

“Enggak. We can talk about this later.

“Thank you.”

“Anytime.”

“Kiss me on the lips, please,” pinta Jeanath berbisik.

Jaziel menangkup wajah Jeanath yang dingin. Ia mengusap pipi Jeanath sebelum mencium bibir ranum itu penuh kelembutan.

Setelah mencari Jeanath ke setiap penjuru sekolah, akhirnya Jaziel menemukan sosok tersebut. Hanya perlu waktu satu detik mereka bertatapan sebelum Jeanath berlari kencang.

Berakhirlah mereka kejar-kejaran.

“BERHENTI NGEJAR GUE!”

Jeanath menoleh ke belakang dan seketika menyesal. Melihat sosok Jaziel yang berlari mengejarnya membuat ia ketakutan setengah mati.

Setelah mengelilingi lantai satu, aksi kejar-kejaran kini telah mencapai lantai dua, di mana sekarang keduanya tengah berada di lapangan indoor sekolah.

Sambil berlari sekuat tenaga, Jeanath terus-terusan menengok belakangnya. Takut jika Jaziel tiba-tiba berhasil mengimbangi larinya dan lupa untuk menatap ke depan.

Hingga

TRANG

“Gianna!”

Jeanath menabrak tiang net.

Dengan kecepatan lari yang tinggi.

Sontak Jeanath meringgis tatkala merasakan nyeri terlampau hebat pada bagian dadanya. Kesadarannya kembali ketika mendengar langkah kaki Jaziel.

Seorang Jeanath yang kini tengah menahan sakit dan rasa malu memutuskan sebuah jalan pintas terbaik untuknya.

Bruk

Pura-pura pingsan.

“Gianna!”

Mata Jeanath tak benar-benar terpejam. Walaupun tak begitu jelas, ia dapat melihat wajah Jaziel yang terlihat khawatir.

“Sebelah mana yang sakit?”

Pertanyaan Jaziel seketika membuat mata Jeanath terbuka lebar.

“Di sini.” ucap Jeanath seraya mengusap bagian dadanya yang sakit.

“Bangun dulu.”

Kemudian Jeanath bangun secara perlahan dengan bantuan Jaziel.

“Mau ke UKS?” tanya Jaziel lembut.

Jeanath mengerucutkan bibirnya. Ia menatap Jaziel dengan sendu sambil mengangguk kecil.

“Gue gendong, ya?” Jaziel bertanya seraya mengusap peluh pada kening Jeanath.

“Malu,” jawab Jeanath cemberut.

“Nanti merem aja, lagian masih sepi juga. Ayo naik.”

Lalu berakhirlah Jeanath dalam gendongan Jaziel. Sepanjang perjalanan, baik Jeanath maupun Jaziel tak ada yang membuka suara. Jeanath sibuk menyembunyikan wajahnya di balik punggung Jaziel.

Sesampainya di UKS, Jaziel menurunkan Jeanath di atas ranjang UKS. Ia lantas mengambil minyak kayu putih yang berada di nakas terdekat.

“Nih.” Jaziel menjulurkan tangannya.

Jeanath mengambil minyak tersebut dari tangan Jaziel. Menyimpannya di atas kasur sebelum mulai membuka kancing seragamnya.

Melihat itu, Jaziel buru-buru membalikkan badannya. Memilih menunggu Jeanath seraya menatap kosong tembok di hadapannya.

“Udah.”

Jaziel berbalik, menemukan Jeanath yang menatapnya cemberut. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Jeanath. Posisi keduanya membuat Jaziel perlu mendongakkan wajah untuk mempertemukan netra mereka.

“Jangan diomelin!” seru Jeanath ketika melihat Jaziel yang baru membuka bibirnya.

Jaziel tersenyum seraya menatap gemas Jeanath yang merujuk.

“Takut banget ketemu gue? Sampai nabrak tiang net?” guyon Jaziel.

“Jangan diledikin ih!” Bibir Jeanath semakin maju.

“Kenapa sih? Setakut itu ketemu gue?”

Sosok yang ditatap Jaziel kini mengalihkan pandangannya. Menghindari pertemuan mata mereka sebelum menunduk.

“Gue gak takut, cuman malu,” ucap Jeanath pelan.

“Gue gak bakal ngebahas yang kemarin kalau lo gak mau. I’ll act like it didn’t happen, I promise.

Jeanath lantas mengangkat kepalanya. Hazel coklatnya menatap kosong Jaziel yang tersenyum kecut.

“The kiss meant nothing for you?” tanya Jeanath parau.

“It can’t be nothing for me. That was my first kiss after all,” jawab Jaziel sambil mempertahankan senyumannya.

“It was your first kiss with a boy?”

“Yeah, but i’ve never kissed a girl before.”

“What?” bisik Jeanath.

Sosok itu kemudian menggigit bibirnya dengan keras. Merasa begitu bersalah pada Jaziel.

Sorry. Harusnya kemaren gue gak ngomong apa-apa. You should kiss the girl that you like.

“But I don’t like girls.”

Jeanath membelakkan matanya. Kaget dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jaziel.

“You’re—“

“I am.”

Kedua pasang netra itu saling bertemu. Membuat Jeanath bergerak gugup.

“The person you like….” ucap Jeanath menggantung.

”That’s me?”lanjutnya.

Kali ini, Jaziel yang tersentak kaget. Matanya membulat tak percaya. Padahal ia sudah mempersiapkan diri jika Jeanath mengatakan hal lain.

“Kalau gue bilang iya, lo bakal ngehindar dari gue lagi gak?” tanya Jaziel.

“Sejak kapan?” Bukannya menjawab, Jeanath balik bertanya.

“Seminggu setelah kita ketemu? Gak tau mulainya kapan. Tiba-tiba gue sering kepikiran lo terus. My heart starts to beat faster than usual whenever I see you and my stomach somehow feels a little bit lighter,” jawab Jaziel.

Sebuah tatapan lembut membuat Jeanath gelisah. Ia kembali menggigit bibirnya dengan keras.

“Maaf.”

“Buat?”

“Semuanya. I hurt you so many times didn’t I?

You don’t have to say sorry. Lo gak salah apa-apa.”

“Tapi—“

“Gianna,” panggil Jaziel seraya meraih kedua tangan Jeanath.

Tak ada penolakan dari Jeanath. Ia hanya terdiam seraya menatap Jaziel.

“Lo belum jawab pertanyaan gue.”

“Yang mana?”

“Oh.” Jeanath tersadar.

Lantas Jeanath menatap genggaman tangan mereka. Pipinya sedikit bersemu sebelum ia menggeleng. Jeanath kembali mempertemukan hazel coklatnya dengan obsidian Jaziel.

Sebelum Jaziel menunduk dan menempelkan wajahnya di punggung tangan Jeanath.

“God, thank you.”

Hening.

Tak ada yang bisa Jeanath dengar selain degup jantungnya sendiri.