I fell for you and i’m still falling
Ada beban kuat yang menarik kakinya untuk tak melangkah lebih dekat. Seolah gravitasi enggan melepasnya pada sebuah bangunan klasik di depan yang ia sebut “rumah”.
Ia tak ingin pulang. Pun, tak ingin menjadi anak yang tak tahu diri. Pada akhirnya, ia hanya berputar di sebuah lingkaran berduri yang membawanya pada kesengsaraan hati.
Pada akhirnya, ia pulang dan tetap menjadi anak yang tak tahu diri.
“I’m home,” bisik Jaziel saat pintu terbuka.
Hanya kegelapan dan keheningan yang menyambutnya. Selalu seperti itu hingga ia tak perlu repot membuat alasan setiap kali dirinya pulang larut malam.
Jaziel melangkah dengan pelan menuju kamar. Berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang keras hingga sang ibu terbangun. Ia menghela napas lega ketika dapat membuka pintu kamarnya tanpa menyebabkan bising.
Kala wajah yang sedikit tertunduk itu mendongak, waktu seakan terhenti. Tubuhnya membeku tatkala melihat sang ibu sedang duduk di atas ranjang miliknya.
“Ma?” panggil Jaziel dengan suara yang bergetar.
Perempuan paruh baya di sana memberikan sebuah senyuman lebar.
“Sini.”
Dengan ragu, Jaziel berjalan mendekat. Duduk di samping sosok ibu seraya meredakan degup jantungnya yang berpacu dengan cepat.
Pikiran Jaziel mendadak kosong ketika sang ibu membawanya ke dalam pelukan.
“Anak mama udah gede aja. Jadi makin mirip sama Papa.”
Usapan halus pada punggung Jaziel membuatnya sedikit rileks. Ia membalas pelukan ibunya dengan erat. Menghirup aroma tubuh yang sangat ia rindukan seraya memejamkan matanya.
“Jangan pergi kemana-mana lagi ya, Eric.”
Ah, seharusnya Jaziel tak usah mengharapkan apapun.
Entah sudah berapa lama Jaziel berjalan tanpa arah. Matanya yang dipenuhi kekosongan menatap ke depan dengan pikiran yang bekecamuk. Berharap setiap semilir angin yang menerpa permukaan kulitnya meringkan beban yang terasa meremukan pundak.
Kakinya terhenti ketika ia berada di persimpangan jalan. Obsidian itu menatap sosok lain yang berada di seberangnya. Tak begitu memerhatikan, sebab pikirannya melayang jauh.
Lampu jalan yang tiba-tiba menyala membuat penglihatannya menjadi lebih jelas.
“Senon?” Sebuah suara menyadarkannya dari lamunan.
Dari sekian banyak orang yang dapat ia temui, sang takdir telah berbaik hati membawanya pada sosok yang dirindukan.
Maka ia pun berterima kasih, terutama pada navigasi hati yang menjadi penunjuk jalan.
Sosok yang dibalut hoodie mint itu menghampirinya dengan sebuah senyuman manis di wajah.
“Lo ngapain di si—“
Bruk
“ni?”
“Senon?” panggil Jeanath bingung.
Walaupun tak tahu apa yang sedang terjadi, Jeanath membalas pelukan Jaziel. Mengusap punggung Jaziel yang tengah menenggelamkan wajah di pundak milknya.
“Thank you,” bisik Jaziel.
Jaziel melonggarkan pelukan mereka. Menganggkat wajahnya untuk dapat menatap sepasang hazel coklat Jeanath.
“For what reason?” Jeanath bertanya.
“For coming into my life. I wanna say thanks to God too for creating this exquisitely beautiful person. To the universe that has become the place where we met and to the fate that led me to you,” ucap Jaziel dengan sebuah senyuman tulus.
“Snowball, why are you crying?”
Diraihnya kedua pipi Jeanath yang basah oleh air mata.
“You’re the one who started to cry. I wanna cry too.”
Keduanya terkekeh seraya saling menghapus air mata yang turun satu sama lain.
“Never thought in my life that I would hear those words. I should be the one who says thank you. You’ve helped me a lot. Thank you, Senon. Thank you for existing. I don’t know what kind of a person am I if I were never met you. Thank you so much.”
Jaziel mengusap pipi Jeanath dengan lembut. Senyumnya mengembang semakin lebar ketika melihat Jeanath yang ikut tersenyum.
“Can I kiss you?” tanya Jaziel.
Jeanath mengangguk malu-malu. Matanya terpejam ketika melihat Jaziel mulai mendekatkan wajah.
Cup
Hanya sebuah kecupan ringan tepat di bibir, tetapi berhasil membuat keduanya saling tersipu.