We’re boyfriends now
Bersama dengan embusan angin, mereka terdiam. Menikmati suasana hening yang menghampiri. Sibuk dengan dunianya masing-masing, tetapi tidak lantas membuat atmosfer tak nyaman di sela sunyi.
Jeanath memandang langit yang gelap. Hazel coklatnya tertuju pada rembulan yang diselimuti sang awan. Sebuah lengkungan pada bibir ranum tercipta, entah sejak kapan ia menyukai eksistensi bulan.
Di sisi lain, Jaziel tengah menatap lurus ke depan. Sesekali ia melirik Jeanath yang berada di sampingnya, sebelum kembali hanyut dalam belenggu pikiran.
“Aku pengen kerak telor tau,” kata Jeanath tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.
Lantas, Jaziel menoleh. Mendapati Jeanath yang menatapnya penuh binar. Senyuman yang mengembang dapat ia lihat dengan jelas di bawah sinar bulan. Rasanya jantung Jaziel sedang protes ingin melompat.
Jika organ itu memiliki mulut, mungkin ia akan berteriak bahwa dirinya sudah tak kuat lagi. Menggila hanya karena sepasang nayanika dan segaris senyuman.
Oh, jangan lupakan bagaimana Jeanath menggunakan aku sebagai kata ganti.
“Yaudah ayo beli.” Jaziel berucap setelah berhasil menenangkan diri.
“Beli di mana?” tanya Jeanath seraya menengok kanan-kiri.
“Di sini mana ada, Na. Nanti kalau udah ke jalan raya baru cari,” jawab Jaziel.
Jeanath mengangguk. Keduanya memang berada di sebuah jalan yang sepi. Menggiring sepeda mereka untuk mengistirahatkan kaki sejenak.
“Mau duduk dulu gak?” tanya Jaziel ketika merasa jalan yang mereka lewati tak kunjung menemukan persimpangan yang dituju.
“Daritadi dong nawarinnya. Udah sakit nih kaki gue,” gerutu Jeanath.
“Sorry, sorry.” Jaziel meminta maaf seraya tersenyum.
Kemudian keduanya duduk di trotoar setelah menyimpan sepeda. Jeanath menekuk kakinya, lalu melingkarkan tangan di sana. Sedangkan Jaziel duduk dengan kaki yang terlentang.
“Meow!”
Atensi mereka teralihkan pada dua ekor kucing yang tiba-tiba muncul. Terlihat tengah kejar-kejaran sebelum berguling di atas aspal dan berakhir saling berpelukan.
“Yah malah pacaran mereka,” ucap Jeanath seraya cemberut.
Jaziel tersenyum gemas. Netra yang tadi menatap kucing kini beralih pada Jeanath. Sosok yang ditatap tengah fokus memerhatikan kucing di depannya. Kedua alis itu saling bertaut dengan bibir yang mengerucut.
“Kita juga kalau pacaran kayak gitu kali, ya?” Sekonyong-konyong sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut Jeanath berhasil membuat Jaziel tersentak kaget.
Belum pacaran juga udah gitu kali. (suara hati ayya ini)
“Gak tau, kan belum pacaran,” jawab Jaziel berusaha setenang mungkin.
“Yaudah ayo, kita pacaran aja sekarang.” Jeanath, tanpa beban, merapalkan kata-kata sakral yang selalu tertahan pada ujung lidah Jaziel.
Bahkan deretan kalimat yang telah disusun serapi mungkin belum sempat terucap. Harusnya, malam ini Jaziel menyampaikannya. Mengajak Jeanath untuk melangkah pada sebuah garis yang membawanya pada komitmen tegas.
Namun sepertinya, Jaziel keduluan. Jeanath dengan kejutannya selalu membawa Jaziel kepada kebahagiaan yang tak berujung.
“Yaudah,” jawab Jaziel seraya tersenyum simpul.
“Yaudah,” ulang Jeanath.
Kini sosok itu menoleh, mempertemukan netranya dengan netra lain. Sebelum tersenyum jenaka dan dihadiahi cubitan di hidung oleh Jaziel.
“Mau cium, boleh gak?” Jaziel meminta izin.
“Boleh, tapi sebentar aja soalnya takut ada yang lewat,” jawab Jeanath sambil mengedarkan matanya ke sekitar.
Tak melihat tanda keberadaan siapapun selain mereka, Jeanath kembali menatap Jaziel. Keduanya saling melemparkan senyum sebelum Jaziel meraup pipi Jeanath. Pemilik hazel coklat itu kemudian memajukan bibirnya seperti bebek hingga membuat Jaziel terkekeh.
“Ini snowball-nya aku lagi cosplay jadi bebek?” tanya Jaziel yang dijawab dengan anggukan kecil.
Jaziel memerhatikan bagaimana bulu mata lentik itu bergerak ketika sang empunya mengedip. Ia menatap hazel coklat milik Jeanath dengan lembut seraya tersenyum.
Ketika Jaziel mulai mendekat, Jeanath menyembunyikan netranya di balik kelopak.
Cup
Alih-alih mencium di bibir, Jaziel mencium kening Jeanath. Hanya perlu waktu 3 detik, sebelum Jaziel menjauhkan wajahnya.
Bersamaan dengan belaian angin malam yang membuat surai mereka bergerak, keduanya tersenyum.
“Ayo kita beli kerak telor,” ajak Jaziel seraya mengusap pucuk kepala Jeanath.
“Ayo!”
Dengan penuh semangat, Jeanath berdiri. Tangannya terulur tepat di hadapan Jaziel. Tindakan Jaziel secara impulsif meraih tangan Jeanath, lalu ikut berdiri. Lagi-lagi Jaziel dan Jeanath saling melemparkan senyum sebelum mulai berjalan.
Di bawah langit gelap dengan pendar yang diberikan sang rembulan, mereka berjalan dengan genggaman tangan yang mengayun.
Perasaan suka yang menutupi relung hati membuat setiap detik begerak lebih lambat.
Hingga Jaziel menghentikan langkahnnya.
“Kenapa?” tanya Jeanath bingung.
“Sepeda kita ketinggalan,” jawab Jaziel.
Kemudian, keduanya berbalik untuk mengambil sepeda yang tertinggal.
Tawa yang saling bersahutan itu menguap, pergi menuju nabastala sebagai saksi kebahagiaan mereka yang nantinya akan tersimpan bersama para bintang.