The moon

Embusan angin yang kencang tak dapat memadamkan api yang menyelimuti raga. Sepasang netra menatap tubuh yang tergeletak dengan sebuah delikan; sebuah percikan dari api yang membara. Kaki kanannya terangkat, sebelum memberikan tendangan kecil pada pinggang sang korban. Tidak adanya pergerakan membuat bahu yang tegang itu sedikit rileks.

Dengan kedua tangan yang berada dalam saku celana, Jeanath membalikkan tubuh. Berniat menghampiri Hamsa yang menjadi penonton, tetapi malah menemukan sosok lain yang berdiri tegak di depannya.

Mata yang memancarkan amarah kini digantikan dengan rasa terkejut. Kedua tangannya berpindah posisi, berlindung di balik punggungnya sendiri.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Jeanath dengan hazel coklat yang bergerak gelisah.

Jaziel melirik beberapa orang yang tak berdaya di atas aspal sekilas, sebelum balik bertanya, “Udah?”

Satu kata yang terlontar berhasil menambahkan kadar kegugupan Jeanath. Tenggorokannya mendadak menjadi kering.

“Apanya?” Jeanath kembali bertanya, seolah tak mengerti maksud Jaziel.

“Berantemnya,” jawab Jaziel.

Jeanath hanya mengangguk sebagai jawaban. Maniknya terus berkelana, tak berani menatap lawan bicara.

“Guanlinnya kemana?” Akhirnya sebuah pertanyaan membuat Jeanath sontak memandang Jaziel.

“Kabur,” Nada merengek yang terselip dalam ucapan Jeanath.

“Padahal cuman aku pukul pake—“ Semangat Jeanath yang mengebu lenyap seketika.

“Pake?” Jaziel mengulang kata terakhir yang terucap.

“Batu…kecil…,” lanjut Jeanath.

Ibu jari dan telunjuk kanannya membuat sebuah lingkaran yang kecil. “Segede gini,” katanya seraya mengangkat tangan.

“Palingan hidungnya patah,” ucap Jeanath enteng.

Jaziel masih terdiam. Matanya menatap lurus bercak darah pada sudut bibir Jeanath.

“Yaudah ayo pulang.” Jaziel menjulurkan tangannya.

Dengan senang hati, Jeanath menerima uluran tangan Jaziel. Tersenyum simpul ketika merasakan hangatnya genggaman mereka. Kemudian, keduanya mulai berjalan dengan langkah kaki yang selaras.

“Kamu kok tau Guanlin? Tau darimana?” tanya Jeanath, memulai percakapan.

“Dulu dia temennya Eric.” Jawaban Jaziel membuat Jeanath mengangguk paham.

“Tadi dia kayak yang gak suka banget sama kamu tau,” cerita Jeanath, kembali mengingat sosok Guanlin yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Jaziel dengan gamblang.

“Soalnya aku pernah bikin dia masuk ICU. Waktu itu aku, apa ya istilahnya? Meledak? Karena Guanlin yang bikin aku sama Eric berantem malem itu. Eric ditawarin heroin sama Guanlin, bahkan dipaksa buat diambil. Terus waktu di rumah, aku gak sengaja nemu heroin-nya di tas Eric dan kita berakhir berantem,” jelas Jaziel.

Langkah Jeanath terhenti. Informasi baru yang ia dapat mengundang amarah yang sempat terpendam.

Harusnya tadi ia memukul Guanlin dengan batu yang lebih besar.

Tarikan lembut pada tangannya membuat Jeanath menatap Jaziel dengan perasaan yang kusut. Sedangkan Jaziel hanya tersenyum tipis, jemarinya terangkat untuk mengusap kedua alis Jeanath yang mengerut.

“Udah gak usah dipikirin. Kamu pikirin fomulir yang harus diisi aja,” ucap Jaziel, berusaha mencairkan suasana menjadi lebih santai.

“Ih! Malah diingetin lagi!” seru Jeanath.

Kekehan yang lolos dari mulut Jaziel menciptakan sebuah senyuman di wajah Jeanath. Kemudian, ia mendongak, menatap bulan purnama yang menerangi langit kelam.

“Senon, you must be the moon. No matter how dark the sky is, you always lead the night with your brightness.” Jeanath berkata tanpa mengalihkan padangannya.

Kemudian ia menunjuk salah satu bintang yang berada di dekat rembulan.

“And I will be that star who’s right beside you so we can fight the darkness together.”

Atensi Jeanath beralih pada Jaziel yang tengah menatapnya. Ketika Jaziel mengusap surai kepalanya, Jeanath tersenyum.

“Lucu banget, pacar siapa sih?” tanya Jaziel, tangan kirinya mengelus pipi Jeanath.

“Xenon Jaziel Demian!” Jeanath menjawab dengan senyuman yang semakin melebar.

Jaziel tersenyum hingga matanya menghilang di balik senyuman. Setelahnya, ia menatap Jeanath dengan lembut. Netra itu lantas bergerak turun mengamati sudut bibir Jeanath yang terluka, lalu mengelusnya pelan dengan ibu jari.

“Sakit ya?”

“Banget.”

Sebenarnya tidak sesakit itu sih, tetapi tidak apa-apa. Sesekali mendramatisir keadaan kadang diperlukan dalam kondisi tertentu, contohnya seperti sekarang.

Bibir Jeanath yang mengerucut mengundang tawa Jaziel. Sosok itu kembali mengelus sudut bibit Jeanath seraya memberikan tiupan-tiupan kecil.

Jeanath, tentu saja menikmati perlakuan Jaziel. Memejamkan kedua matanya sambil menahan geli.