I’ll be with you
Jeanath menatap pintu rumah di depannya dengan gugup. Di belakangnya, terdapat Jaziel yang baru saja memarkirkan sepeda. Sosok itu berjalan menghampiri Jeanath, menggenggam tangan Jeanath sebelum kembali melangkah.
“Ayo,” ajak Jaziel.
Dalam hati, Jeanath berdoa agar Raje tak menyesal mengizinkan Jaziel menjenguknya. Sambil meredakan rasa gugup, ia memandang interior rumah Raje yang luas. Banyak berbagai macam lukisan yang terpajang di sana yang membuatnya berdecak kagum.
“Heh.”
Jeanath sedikit tersentak mendengar suara Jaziel. Saking asyiknya melihat-lihat, ia tak sadar jika kakinya sudah menginjak pada sebuah kamar yang ia yakini adalah kamar milik Raje.
Sosok yang membuat Jeanath gugup itu menoleh. Ia tengah berbaring di kasur dengan kedua kaki yang ditekuk.
“Loh udah nyampe?” tanya Raje seraya bangkit dari posisi tidurnya.
Raje berjalan menghampiri Jeanath dan Jaziel. Atensi Jeanath kini sepenuhnya tertuju pada Raje. Sedangkan sosok yang terus-terusan ditatap terlihat sangat segar, sama sekali tidak seperti orang yang sedang sakit.
“Hai Jeanath! Gue Ranjendra Finnegan, biasa dipanggil Raje. Temennya Iel dari zaman masih pake pampers.”
Melihat tangan Raje yang terulur, Jeanath buru-buru melepaskan tautan tangannya dengan Jaziel. Pipinya bersemu ketika sadar Raje melihat genggaman tangan mereka. Dengan malu-malu, Jeanath membalas uluran tangan Raje.
“Gue Jeanath—“ Jeanath menoleh pada Jaziel sebelum melanjutkan ucapannya.
“Temen barunya Senon, eh, Jaziel,” lanjut Jeanath.
Tiba-tiba, tawa Raje menggema, membuat Jeanath menatap sosok tersebut kebingungan.
“Aduh, sorry. Lo lucu banget soalnya,” ucap Raje sembari meredakan tawanya.
Tatapan tajam yang dilemparkan oleh Jaziel tak membuat Raje acuh. Justru Raje memberikan tatapan meledek seraya menjulurkan lidah pada Jaziel.
“Oh iya, ini buat lo. Cepet sembuh, Raje.”
Jeanath menyerahkan kantung plastik yang sedari tadi ia genggam dengan tangan kirinya dan Raje mengambilnya dengan senang hati seraya tersenyum.
“Makasih ya. Tapi gue udah sembuh kok dari kemarin. Hari ini disuruh bolos sama orang itu katanya biar bisa ngajak lo ke sini,” jelas Raje terlalu jujur.
Mendapatkan pelototan dari Jeanath, Jaziel pura-pura sibuk dengan mengambil salah satu buku di meja belajar milik Raje.
“Kak Rajeee! Let’s watch some movies. I’m bored.”
Kedatangan Cainan membuat suasana di kamar Raje hening seketika.
“Nah, itu adek gue yang kurang ajar. Namanya Cainan Arielle Finnegan. Panggil aja Lele. Umurnya setahun lebih muda dari kita.”
Cainan berdecih sebelum menatap Jeanath yang terlihat kaku.
“Hi temennya kak Raje!” sapa Cainan seraya tersenyum manis.
“Um, hi. Gue Jeanath,” ucap Jeanath pelan.
Senyuman pada wajah Cainan memudar. Alisnya saling bertaut ketika nama Jeanath terdengar familiar.
“Oh! Jeanath? Kak Natha? The one who has the prettiest smile and the prettiest eyes in the world, right kak Iel?” goda Cainan pada Jaziel.
“Salam kenal ya kak Natha! I really want to know the person that kak Iel adores! And now, I know the reason he’s so into you. By the way, wanna watch some movies? What kind of genre do you like? Let’s go to the living room! I have lots jar of cookies. You like sweet food, right?” ucap Cainan panjang tanpa jeda.
Kemudian, Cainan mendekap lengan atas Jeanath sambil mengajaknya keluar dari kamar Raje.
“Dek! Tamu gue itu jangan diambil!” teriak Raje.
Dengan cepat, Raje mengejar Cainan yang mengambil Jeanath darinya. Raje ikut mendekap lengan Jeanath di sisi lain. Berakhirlah kakak adik itu saling rebutan Jeanath.
Meninggalkan Jaziel yang tengah menyesali keputusannya untuk membawa Jeanath ke rumah keluarga Finnegan.
“Coba lihat yang ini!”
Raje memperlihatkan sebuah foto lain. Terdapat 3 anak kecil yang tengah mandi di dalam foto tersebut
“Ini waktu gue sama Eric ngompol. Iel gak ikutan ngompol, tapi dia tidur sekasur sama kita jadinya tetep kena ompol.”
Jeanath terpaku pada sosok asing yang terlihat mirip dengan Jaziel.
“Eric?” tanya Jeanath pada Raje.
Ekspresi bingung di wajah Jeanath membuat Raje melirik Jaziel yang sibuk menatap layar TV.
“Iel belum cerita?” Raje balik bertanya.
Jeanath hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Iel, ceritain gih. Gue mau bawa Lele ke kamar dulu.”
Mendengar namanya disebut, Jaziel menoleh. Mendapati Jeanath yang menatapnya penasaran.
“Ih yaampun si Lele gak tau diri banget tidur di paha lo. Sorry ya, kaki lo pasti kesemutan,” ucap Raje merasa tak enak.
“Gapapa kok, lagian tidurnya juga belum lama.” Jeanath tersenyum seraya menatap wajah damai Cainan.
Senyuman Jeanath menular pada Raje. Kemudian, Raje membangunkan Cainan dan menyeretnya ke kamar.
“Gue tinggal dulu, ya.”
Setelah Raje dan Cainan pergi, suasana di tengah rumah menjadi hening. Jeanath kembali menatap Jaziel yang juga tengah menatapnya.
Jaziel yang duduk di sofa kini turun, ikut duduk bersila di atas karpet. Tangannya mengambil foto yang sedang dipegang oleh Jeanath.
“Eric itu adik gue. Lebih tepatnya kembaran.”
Manik Jeanath melebar. Terkejut akan fakta bahwa selama ini, Jaziel memiliki kembaran.
“Lo punya kembaran? Kok gue gak pernah lihat di sekolah? Apa emang beda sekolah kayak Raje sama Cainan?” tanya Jeanath mencecar.
“Eric udah gak ada. Dia masih kelas 9 waktu itu.”
Jeanath melebarkan matanya. Ekspresinya berubah menajdi sendu.
“Ma—“
“No. You don’t have to say sorry, Na.”
Melihat Jeanath yang memajukan bibir bawahnya membuat Jaziel tersenyum kecil.
“Eric itu kebalikan dari gue. I describe him as the sun since he’s a warm-hearted person and a lot of people like him. Selain itu, dia juga pinter dan terlalu baik. Sampai akhirnya dia salah milih temen dan berubah drastis.”
“Sebelum Eric meninggal, gue sama dia berantem hebat. Dia kabur dari rumah setelah itu dan gak lama, gue dapet kabar kalau dia kecelakan dan nyawanya gak ketolong.”
Jaziel menatap kosong foto Eric yang tengah tersenyum. Sebuah usapan lembut pada tangannya membuat Jaziel kembali tersadar dari lamunan.
“Sorry, I shouldn’t have made you tell me the story. I just made you opened your wounds. I’m so sorry,” ucap Jeanath tertunduk.
Jaziel mengerjapkan matanya. Ia kemudian mengangkat dagu Jeanath. Menatap hazel coklat itu dengan lembut.
“Gue emang udah punya rencana buat nyeritain itu semua. Harusnya gue yang minta maaf karena jarang nyeritain diri gue ke lo. Gue malah nuntut lo cerita tentang diri lo ke gue, sedangkan gue sendiri jarang nyeritain diri gue ke lo.”
Jeanath menggeleng. Jemarinya bergerak untuk meraih tangan Jaziel yang tengah memegang kedua pipinya.
“That’s okay. Even I should wait for 5 years, 10 years, or even it takes many years, I’ll wait for it. Because I want to spend my life with you forever and it means I have a lot of time to wait!”
Detik itu, Jaziel berada dalam puncak kebahagiaan. Rasanya ia bisa gila ketika hazel coklat menatapnya lembut dengan bibir ranum yang tersenyum manis.
“Gianna, I love you so much.”
Mungkin jika tidak ada suara pintu yang dibuka, mereka sudah melakukan hal lain.
“Boys, we’re home!”