You are the reason why my dopamine levels increase

Setelah mencari Jeanath ke setiap penjuru sekolah, akhirnya Jaziel menemukan sosok tersebut. Hanya perlu waktu satu detik mereka bertatapan sebelum Jeanath berlari kencang.

Berakhirlah mereka kejar-kejaran.

“BERHENTI NGEJAR GUE!”

Jeanath menoleh ke belakang dan seketika menyesal. Melihat sosok Jaziel yang berlari mengejarnya membuat ia ketakutan setengah mati.

Setelah mengelilingi lantai satu, aksi kejar-kejaran kini telah mencapai lantai dua, di mana sekarang keduanya tengah berada di lapangan indoor sekolah.

Sambil berlari sekuat tenaga, Jeanath terus-terusan menengok belakangnya. Takut jika Jaziel tiba-tiba berhasil mengimbangi larinya dan lupa untuk menatap ke depan.

Hingga

TRANG

“Gianna!”

Jeanath menabrak tiang net.

Dengan kecepatan lari yang tinggi.

Sontak Jeanath meringgis tatkala merasakan nyeri terlampau hebat pada bagian dadanya. Kesadarannya kembali ketika mendengar langkah kaki Jaziel.

Seorang Jeanath yang kini tengah menahan sakit dan rasa malu memutuskan sebuah jalan pintas terbaik untuknya.

Bruk

Pura-pura pingsan.

“Gianna!”

Mata Jeanath tak benar-benar terpejam. Walaupun tak begitu jelas, ia dapat melihat wajah Jaziel yang terlihat khawatir.

“Sebelah mana yang sakit?”

Pertanyaan Jaziel seketika membuat mata Jeanath terbuka lebar.

“Di sini.” ucap Jeanath seraya mengusap bagian dadanya yang sakit.

“Bangun dulu.”

Kemudian Jeanath bangun secara perlahan dengan bantuan Jaziel.

“Mau ke UKS?” tanya Jaziel lembut.

Jeanath mengerucutkan bibirnya. Ia menatap Jaziel dengan sendu sambil mengangguk kecil.

“Gue gendong, ya?” Jaziel bertanya seraya mengusap peluh pada kening Jeanath.

“Malu,” jawab Jeanath cemberut.

“Nanti merem aja, lagian masih sepi juga. Ayo naik.”

Lalu berakhirlah Jeanath dalam gendongan Jaziel. Sepanjang perjalanan, baik Jeanath maupun Jaziel tak ada yang membuka suara. Jeanath sibuk menyembunyikan wajahnya di balik punggung Jaziel.

Sesampainya di UKS, Jaziel menurunkan Jeanath di atas ranjang UKS. Ia lantas mengambil minyak kayu putih yang berada di nakas terdekat.

“Nih.” Jaziel menjulurkan tangannya.

Jeanath mengambil minyak tersebut dari tangan Jaziel. Menyimpannya di atas kasur sebelum mulai membuka kancing seragamnya.

Melihat itu, Jaziel buru-buru membalikkan badannya. Memilih menunggu Jeanath seraya menatap kosong tembok di hadapannya.

“Udah.”

Jaziel berbalik, menemukan Jeanath yang menatapnya cemberut. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Jeanath. Posisi keduanya membuat Jaziel perlu mendongakkan wajah untuk mempertemukan netra mereka.

“Jangan diomelin!” seru Jeanath ketika melihat Jaziel yang baru membuka bibirnya.

Jaziel tersenyum seraya menatap gemas Jeanath yang merujuk.

“Takut banget ketemu gue? Sampai nabrak tiang net?” guyon Jaziel.

“Jangan diledikin ih!” Bibir Jeanath semakin maju.

“Kenapa sih? Setakut itu ketemu gue?”

Sosok yang ditatap Jaziel kini mengalihkan pandangannya. Menghindari pertemuan mata mereka sebelum menunduk.

“Gue gak takut, cuman malu,” ucap Jeanath pelan.

“Gue gak bakal ngebahas yang kemarin kalau lo gak mau. I’ll act like it didn’t happen, I promise.

Jeanath lantas mengangkat kepalanya. Hazel coklatnya menatap kosong Jaziel yang tersenyum kecut.

“The kiss meant nothing for you?” tanya Jeanath parau.

“It can’t be nothing for me. That was my first kiss after all,” jawab Jaziel sambil mempertahankan senyumannya.

“It was your first kiss with a boy?”

“Yeah, but i’ve never kissed a girl before.”

“What?” bisik Jeanath.

Sosok itu kemudian menggigit bibirnya dengan keras. Merasa begitu bersalah pada Jaziel.

Sorry. Harusnya kemaren gue gak ngomong apa-apa. You should kiss the girl that you like.

“But I don’t like girls.”

Jeanath membelakkan matanya. Kaget dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jaziel.

“You’re—“

“I am.”

Kedua pasang netra itu saling bertemu. Membuat Jeanath bergerak gugup.

“The person you like….” ucap Jeanath menggantung.

”That’s me?”lanjutnya.

Kali ini, Jaziel yang tersentak kaget. Matanya membulat tak percaya. Padahal ia sudah mempersiapkan diri jika Jeanath mengatakan hal lain.

“Kalau gue bilang iya, lo bakal ngehindar dari gue lagi gak?” tanya Jaziel.

“Sejak kapan?” Bukannya menjawab, Jeanath balik bertanya.

“Seminggu setelah kita ketemu? Gak tau mulainya kapan. Tiba-tiba gue sering kepikiran lo terus. My heart starts to beat faster than usual whenever I see you and my stomach somehow feels a little bit lighter,” jawab Jaziel.

Sebuah tatapan lembut membuat Jeanath gelisah. Ia kembali menggigit bibirnya dengan keras.

“Maaf.”

“Buat?”

“Semuanya. I hurt you so many times didn’t I?

You don’t have to say sorry. Lo gak salah apa-apa.”

“Tapi—“

“Gianna,” panggil Jaziel seraya meraih kedua tangan Jeanath.

Tak ada penolakan dari Jeanath. Ia hanya terdiam seraya menatap Jaziel.

“Lo belum jawab pertanyaan gue.”

“Yang mana?”

“Oh.” Jeanath tersadar.

Lantas Jeanath menatap genggaman tangan mereka. Pipinya sedikit bersemu sebelum ia menggeleng. Jeanath kembali mempertemukan hazel coklatnya dengan obsidian Jaziel.

Sebelum Jaziel menunduk dan menempelkan wajahnya di punggung tangan Jeanath.

“God, thank you.”

Hening.

Tak ada yang bisa Jeanath dengar selain degup jantungnya sendiri.