The origin of the name Xenon

“Harusnya gue nyimpen beberapa baju di sini,” ujar sebuah suara yang mengalihkan atensi Jeanath.

Hazel coklat itu menemukan Jaziel yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang sedikit basah. Hanya sebuah kaos hitam polos dengan tulisan “Sound Engineer” yang ia kenakan, tapi mampu membuat Jeanath tersenyum malu.

“Bajunya buat lo aja. Cocok banget kalau dipake sama lo.” Jeanath menawarkan baju miliknya pada Jaziel.

Sebuah senyuman secerah mentari terbit di wajah Jeanath tatkala melihat Jaziel menghampiri. Sosok itu menyimpan kacamatanya di nakas sebelum merangkak ke atas kasur dan memeluk Jeanath dengan erat.

“Wangii.”

Jaziel tertawa kecil seraya mengelus surai legam Jeanath.

“Gue punya sesuatu!” seru Jeanath seraya melonggarkan pelukan mereka.

Sang pemilik kamar kemudian meronggoh saku celana. Mengeluarkan benda kecil berwarna biru yang membuat Jaziel mengerutkan alis.

“Tadaa! Hair bow buat lo! Masih inget gak waktu gue ngegantiin kalkulator lo yang rusak? Gue kan punya yang warna pink terus beli lagi deh yang biru buat lo biar kita kayak Udin Adin,” jelas Jeanath.

Ketika netra milik keduanya bertemu, Jeanath tersenyum kembali. Ia menganggkat tangannya untuk memasangkan pita biru pada surai Jaziel. Kemudian, Jeanath mengeluarkan pita lain di saku celananya dan mengenakannya juga pada surai miliknya.

Sebuah pita pink pastel yang berhasil membuat Jaziel mimisan kala itu.

“Kita couple-an sekarang!” seru Jeanath senang.

Jaziel hanya dapat terpaku memproses rangkaian kejadian yang terjadi. Setelah tersadar kembali, ia mencubit pipi Jeanath dengan gemas.

“God, you’re even sweeter than fructose,” ucap Jaziel seraya menarik-narik pipi Jeanath.

Sang empunya mengaduh kesakitan. Memukul Jaziel agar melepaskan cubitan di pipinya. Jaziel terkekeh, lalu mengusap pipi yang tadi ia cubit.

“What’s wrong?” tanya Jaziel tiba-tiba.

Sepasang netranya menatap Jeanath dengan lembut.

“Lo kenapa? Lagi banyak pikiran ya?” Tebakan Jaziel itu membuat Jeanath bungkam.

Dalam hati Jeanath bertanya-tanya, bagaimana Jaziel bisa tepat sasaran? Apakah ekspresi wajahnya terlalu kentara memperlihatkan bahwa kepalanya tengah dipenuhi asap kekhawatiran?

“Gue ngerasa kayak sedikit banget yang gue tau tentang lo. I feel like… we’re so close, yet so far. I know nothing about you.”

Jeanath tengah merajuk dan Jaziel dibuat gemas olehnya. Bahkan Jaziel yakin jika Jeanath tak sadar bibirnya selalu mengerucut maju ketika kata demi kata terlontar.

“Wanna know the origin of the name Xenon?”

Hal itu lantas membuat Jeanath mengangguk dengan penuh semangat. Nayanika yang menjadi pusat gravitasi Jaziel kini dipenuhi oleh binar.

“Bokap gue dokter anastesi. Before I was born, he was discovered Xenon as an anaesthetic agent. It was a great achievement for him that he wouldn’t forget about how grateful he was. Gak lama, lahirlah gue dan dinamain Xenon. Karena dengan itu, setiap nantinya beliau manggil nama gue ada 2 hal yang selalu dia inget. Temuannya dan lahirnya gue yang sama-sama berkah dari Tuhan.

Sedangkan Eric dikasih nama depan Erbium. Erbium Eric Demian. Alasannya karena nyokap gue punya rematik dan pengobatannya pake terapi erbium. Bokap gue emang ada aja idenya. Padahal harusnya nama gue itu cuman Jaziel Demian doang, begitu juga Eric. Tapi beliau pengen banget ada unsur kimia di nama anak-anaknya.” Jaziel mengakhiri ceritanya seraya terkekeh pelan.

Ia merindukan sosok ayah dalam hidupnya.

“Keren banget!! I swear he’s the best dad ever. Gue juga mau punya nama yang ada unsur kimianya!” seru Jeanath penuh semangat.

Jaziel menoleh, mendapati Jeanath yang tengah tersenyum lebar. Ibu jarinya mengusap pipi Jeanath dengan setitik kesenduan di mata.

“He is the best dad ever in my life. But unfortunately, the universe takes him away.”

Tak ada lagi binar pada manik Jeanath. Hanya terdapat sebuah lubang kekosongan pada hazel coklat yang tengah menatap sang obsidian.

“Jangan minta maaf. That’s fine.

Jeanath kemudian memeluk Jaziel. Menenggelamkan wajahnya pada dada Jaziel seraya menggigit keras bibir bawahnya. Berusaha untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar.

“The universe is so cruel. I hate it. I hate it for taking away two precious people in your life,” bisik Jeanath.

“No, it’s not. It hurts to lose someone in your life, but this is how life works. People will come and go, anyway. We’ll be sad, but we can’t be sad forever. I believe they’re happy in another world, so do I. I’ll be happy as well. Even if they’re not here anymore, the memories that we’ve been through never go away. It’s all written in the stars and scattered all over the immense world,” jelas Jaziel seraya mengusap surai Jeanath.

We born, we live a little while, and we die. But meet a lot of people, we learn a lot of things, we feel different emotions, and we always find the reason to be happy again.

Seketika sekelebat memori muncul dalam benak Jaziel. Teringat pada kilasan balik yang membuat secarik senyuman tercipta di wajahnya.

“Harusnya kan gue yang ngasih kata-kata penyemangat, kenapa jadi kebalik gini.” Jeanath berkata seraya menarik ingus.

Tak ada air mata yang turun, ia menahannya agar tidak menambah kesan sedih di antara mereka. Sedangkan Jaziel yang melihat hidung merah Jeanath tertawa gemas.

“Your dad will be super proud of you! He must be smiling in heaven right now.”

“See? The universe has never been cruel. They sent you to me as the greatest gift of my life.”