Love is the great educator
Netra yang selalu memancarkan kelembutan kini digantikan dengan sebuah tatapan dingin yang menusuk. Jeanath hanya dapat tertunduk dalam, tidak berani mempertemukan matanya dengan obsidian milik Jaziel.
Setelah menarik Jeanath dari keramaian, Jaziel terus terdiam. Keduanya sama-sama enggan untuk berbicara. Keheningan dan dinginnya angin malam membuat Jeanath bergerak gelisah. Ia menggigit bibir bawahnya seraya sesekali melirik sosok Jaziel yang sekarang tengah membelakanginya.
“Marah?”
Dari semua serangkaian paragraf panjang yang ingin Jeanath lontarkan, hanya satu kata yang terucap.
Tidak ada jawaban dari lawan bicaranya. Pikiran Jeanath berkecamuk, teringat kembali ucapan Hamsa yang terngiang bak kaset rusak di kepala.
Imagine if he knew
Good, Natha. Now he knows that you’re just a piece of shit.
Manik Jeanath melebar tatkala Jaziel membalikkan tubuh. Rasa gugup yang memuncak membuat napasnya tercekat. Dengan keberanian sebesar biji mentimun, Jeanath memaksa dirinya untuk menatap Jaziel tepat di mata. Bersiap menerima amarah sosok tersebut.
Alih-alih mendaptkan luapan emosi, sebuah tangan terulur untuk meraih dagunya. Di bawah sinar rembulan, Jeanath dapat dengan jelas melihat bagaimana obsidian itu menatapnya khawatir.
“It must’ve hurt.” Jaziel mengusap bercak darah pada sudut bibir Jeanath.
“Lo gak marah?” tanya Jeanath pelan.
Jaziel hanya tersenyum tipis sebagai jawaban.
“Would you hate me for being like this?” Jeanath kembali bertanya.
“Like what?”
“Ya gini. I’m not a good person. Gue suka ikut balapan dan ngelakuin hal buruk lainnya yang gue yakin lo gak bakal suka,” ucap Jeanath.
“Gue gak mempermasalahkan lo yang suka balapan, kalau lo emang suka dan menjadikannya sebagai hobi, lakuin aja. But do it legally. Biar keamanan lo terjaga dan meminimalisir hal-hal yang gak diinginkan.” Terdapat jeda sebelum Jaziel melanjutkan perkataannya.
“Berhenti lakuin apa yang menurut lo salah. Lo bisa berubah jadi lebih baik.”
“Tapi, jangan berubah karena orang lain. Lo harus berubah karena diri lo sendiri. Karena orang lain bisa kapan aja ninggalin lo dan lo bakal kehilangan alasan itu. Beda halnya kalau lo berubah demi diri sendiri. Dia gak bakal pernah ninggalin lo pergi dan bakal terus ada sampai kapanpun. That’s why you should love yourself more than anyone else because he always right beside you.” Jaziel mengakhiri ucapannya seraya mengusap bagian pipi Jeanath yang tidak lembam.
Melihat sepasang hazel coklat yang berkaca-kaca, Jaziel menangkup kedua pipi milik Jeanath selembut mungkin, berusaha agar tidak menekan luka Jeanath.
“Mind to tell me why you had fought with that guy?” tanya Jaziel.
Jeanath mengerucutkan bibirnya. Kembali teringat pada sosok Harris yang mungkin sedang di perjalanan menuju rumah sakit.
“He talked shit about you. Katanya gue jadi gak asik gara-gara kebanyakan gaul sama lo. Gue gak tau kenapa dia tiba-tiba bawa lo ke masalah yang gak saling bersangkutan sama sekali. Parahnya lagi dia ngatain lo sebagai penjilat. Ya gue gak terima dong lo dikatain gitu,” jelas Jeanath dengan emosi yang mengebu.
“Anak sekolah kita?”
Jeanath mengangguk kecil.
“Temen sekelas gue, Harris namanya. Kalau besok-besok ketemu langsung aja pukul wajahnya sampe dia harus oplas.”
Sontak, Jaziel tertawa. Padahal Jeanath sedang serius, tidak ada niatan untuk bercanda sama sekali.
Melihat Jaziel yang tertawa membuat sebuah semburat merah muncul di pipi Jeanath. Ia tak bisa menyembunyikan tatapan kagumnya pada sosok yang terlihat begitu tampan dengan balutan jaket denim. Jangan lupakan kacamata yang bertengger manis di hidung bangir bak perosotan itu.
“Tadi udah puas berantemnya?” tanya Jaziel setelah meredakan tawa.
Sebenarnya, Jeanath masih ingin memukuli Harris. Namun, hatinya tengah berbunga hingga rasa kesal terhadap sosok tersebut lenyap begitu saja. Jadi ia hanya mengangguk sebagai jawaban.
Jaziel tersenyum sebelum menarik lengan Jeanath dan membawanya ke dalam genggaman.
“Ayo pulang.”