It’s in your arms that I feel home

Tak sedikit orang yang mengira bahwa keluarga yang tengah menyapa tamu lain adalah keluarga harmonis yang diidam-idamkan. Sosok yang mereka panggil sebagai orang tua adalah pasangan romantis yang serasi. Sedangkan yang mereka sebut anak adalah sosok tampan, sopan, dan penuh perhatian.

Nyatanya, dibalik topeng penuh dusta itu jauh terdapat sebuah kenyataan yang berbanding terbalik.

Ketika mereka sampai di tempat yang tertutup, di mana tak ada orang lain di sana, Jeanath buru-buru melepaskan diri dari gandengan kedua orang tuanya.

Mereka tak sedekat itu.

“Jangan keluar dulu.” Suara bariton dari sosok yang seharusnya berperan sebagai ayah memecah keheningan.

Di sisi lain, ‘sang ibu’ hanya terdiam seraya berjalan angkuh.

“Did I look like I care?” tanya Jeanath dengan suara lantang.

Ia sudah muak.

“Anak kamu itu gak pernah belajar sopan santun.” Akhirnya sosok ibu membuka mulut.

Gue anak kalian berdua bangsat.

Daripada menelan rasa muak yang terlampau tinggi, Jeanath membuka pintu dengan kasar lalu membantingnya sekeras mungkin.

Persetanan dengan sopan santun, ia tak pernah belajar hal itu dari kedua orang tuanya.

Tujuannya kali ini hanya satu.

—-

Jeanath memasuki sebuah rumah megah di depannya. Ketika kakinya melangkah masuk, asap rokok memenuhi seluruh ruangan hingga pandangan kabur. Bau alkohol tercium meyerbak pada indera penciumannya.

Bangunan rumah yang terlihat dari luar hanya sebagai kamuflase belaka. Di dalamnya adalah sebuah tempat berkumpulnya anak-anak yang sedang menyenangkan diri.

“Yo!”

Terlihat Guanlin, sang pemilik rumah yang tengah melambaikan tangannya. Sosok itu duduk di salah satu kursi mini bar.

“Rapi bener abis darimana?” tanya Guanlin ketika Jeanath mendekat seraya menenteng jas hitam.

Jeanath ikut duduk.

Belvedere satu bang,” ucapnya ketika melihat bartender yang menghampiri.

“Siap bos.”

“Udah lama banget gak mampir.” Lontaran Guanlin membuat Jeanath menoleh.

“Sibuk gue.”

Terdengar lantunan tawa Guanlin. Ngomong-ngomong soal Guanlin, sosok itu lebih muda setahun dari Jeanath. Entah bersekolah atau tidak, latar belakang Guanlin tak jelas. Jeanath mengenalnya saat ia bertemanan dengan Lucas.

“Minta rokok dong, gue gak bawa,” pinta Jeanath.

Guanlin menyerahkan rokok miliknya.

“Ada masalah ya? Mau nyoba itu gak?” tanya Guanlin.

Jeanath yang sekarang tengah mengeluarkan asap rokoknya mengikuti arah telunjuk Guanlin. Menunjukkan kumpulan orang yang tengah terkapar di sofa.

“Gue udah bilang jangan nawarin drugs.”

Lagi-lagi Guanlin tertawa renyah.

“Takut dimarahin sama temen lo itu? Siapa namanya? Ilham?” Guanlin bertanya jenaka.

“Hamsa, anjing. Lo kalau ketauan manggil dia ilham bisa-bisa dilindes.”

Entah Guanlin yang terlalu receh atau memang Jeanath yang lucu. Sosok itu kembali tertawa sebelum pamit pergi.

Meninggalkan Jeanath yang tengah bergelut dengan pikirannya. Segelas, dua gelas, hingga akhirnya ia menghabiskan setengah botol vodka yang ia pesan.

Dadanya terasa sesak. Bukan karena asap rokok yang memenuhi ruangan ataupun asap dari rokoknya sendiri. Melainkan rasa yang diberikan kedua orang tuanya.

Jeanath butuh menumpahkan rasa sesak yang kian menyeruak dada. Namun, ia sadar jika Hamsa dan Jovan terlalu sering mendengarkan keluh kesahnya.

Jika seperti ini, Jeanath selalu teringat sosok yang sangat ia cintai. Satu-satunya sosok keluarga sebenarnya. Sosok nenek yang mencintainya sepenuh hati. Sosok yang lembut dan selalu mendekapnya hangat.

“Gianna.”

Jeanath tersenyum. Hanya sang nenek yang selalu memanggilnya Gianna.

Ah, mungkin sekarang ada dua.

“Gianna.”

Detik berikutnya, Jeanath keluar dari rumah Guanlin seraya menghidupkan kembali ponselnya. Mencari kontak Jaziel sebelum terdengar suara deringan.

Hanya perlu waktu 3 detik sebelum Jaziel menganggkat telfonnya.

“Dimana?”

Jeanath memandang kosong jalanan di hadapannya.

“Di pinggir jalan.”

“Lebih spesifik.”

“Di sini ada rumah, ruko, pohon apa ya ini? Gak tau deh.”

“Na.”

“Senon, kenapa lo suka sama gue?”

“….”

“Lo harusnya gak suka sama gue. Kata nyokap gue, kehadiran gue di dunia ini cuman sebagai penghambat. Gue harusnya gak ada.”

“Gianna.”

“I wanna receive a lot of loves since both my parents never loved me. But at the same time, I don’t think that I deserve those loves. Maybe my parents was right. People shouldn’t love someone like me. I’m a failure. Who the fuck would love me? I don’t have anything besides my parent’s’ money. I’m not a good person either, I always do something bad.”

“I would.”

“I would love you unconditionally. I would love you until you love yourself like the way I did. I would give you loves that someone never given to you before. I would love you and I wouldn’t regret it. Your presence was a blessing, at least for me. Udin and Adin too, remember? Don’t forget Odin and Udon. And your friend, Aca, right?”

“You don’t know me.”

“Then tell me. What kind of person are you. Tell me anything about you and let me learn all of it.”

Netra yang tengah memandang kosong itu kini mengeluarkan bulir bening. Menatap sosok di seberangnya dengan sendu.

“How can you find me?” bisik Jeanath.

Jaziel menyimpan ponselnya. Menghampiri Jeanath yang masih termangu.

“Let’s go home.”

“I don’t have something that called home.”

“We’ll find it. One day, we’ll find our home.”

Jeanath menubrukkan dirinya pada tubuh Jaziel. Terisak dengan kencang sebelum Jaziel membawanya pada dekapan.

“I already found it.”

“And where is it?”

“It’s in you. Even your smell, it smells like home.”

Jaziel tersenyum kecil.

“Can I kiss you on the top of your head?” tanya Jaziel.

Mendapat anggukan kecil, Jaziel mencium pucuk kepala Jeanath.

“Pulang, ya? Gue gendong.”

“Gak mau. Digendong mulu.”

“You’re drunk, Na.”

Jeanath lantas mendongak. Menatap Jaziel yang tengah menunduk, membuat netra mereka saling bertemu.

“Lo marah?” cicit Jeanath.

“Enggak. We can talk about this later.

“Thank you.”

“Anytime.”

“Kiss me on the lips, please,” pinta Jeanath berbisik.

Jaziel menangkup wajah Jeanath yang dingin. Ia mengusap pipi Jeanath sebelum mencium bibir ranum itu penuh kelembutan.