Our happiness
Seharian ini yang Jaziel lakukan adalah mengurus Jeanath. Mulai dari membelikan sup pereda pengar, menyeret paksa sosok itu agar mandi, menyuapinya, hingga menjadi tukang pijat kepala part 2.
Kini, keduanya tengah sibuk menonton dengan Jaziel yang tengah tiduran di paha Jeanath. Sedangkan sosok yang pahanya dijadikan bantal duduk menyender pada sofa.
“Senon,” panggil Jeanath tiba-tiba.
“Hm.”
“Lo mau jadi bapak gue aja gak?” tanya Jeanath random.
“Gak mau, gue gak tertarik melakukan incest.”
Plak
Jeanath memukul bibir Jaziel, membuat sosok itu mengaduh kesakitan.
“Gue gak ngerti filmnya.” Jeanath mengeluh.
“Gak usah ditonton,” jawab Jaziel santai.
Jeanath berdecak sebal.
“Just tell me about yourself. I’ll listen,” ucap Jaziel seraya membalikkan tubuhnya.
Sekarang, Jaziel tidur dengan posisi terlentang agar dapat menatap sosok Jeanath.
“Hm?” Jeanath bergumam kecil.
Tangan milik Jeanath terulur untuk merapikan surai Jaziel sebelum mulai bercerita.
“Gue anak tunggal dari keluarga yang sangat berada. Bokap sama nyokap gue dulu dijodohin. Klise banget, ya? Udah mirip cerita-cerita roman picisan, tapi bedanya mereka gak saling jatuh cinta. Di situ gue sadar kalau jatuh cinta itu ga bisa dipaksain dan gak terkait dalam ruang waktu. Seberapa lama pun lo ngehabisin waktu berdua sama seseorang, hal itu gak menjamin lo bakal suka sama sosok tersebut.”
Jemari yang tadinya memainkan anak rambut Jaziel kini diraih dengan halus, kemudian dielus hingga Jeanath tersenyum geli.
“Dulu mereka dijodohin buat merger dua perusahaan dari masing-masing pihak. Dua-duanya penuh ambisi, gak terlalu suka sama ide itu karena sama-sama pengen dapetin posisi terkuat. Di antara bokap nyokap, yang paling benci gue kayaknya nyokap. Menurut dia, kehadiran gue itu gak berguna dan malah jadi beban apalagi dia emang gak pernah mau jadi sosok ibu.”
Binar pada hazel coklat itu meredup, digantikan oleh sebuah awan hitam kesenduan. Bahkan sebuah senyuman paksaan tak dapat menutupi rasa sedihnya.
Jaziel bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan. Lalu menatap dalam netra milik Jeanath.
“Kadang gue suka mikir, kebahagiaan apa yang mereka cari? Karena mereka berdua gak pernah kelihatan bahagia. Selalu ngerasa kurang dengan apa yang mereka dapetin.” Jeanath mengakhiri sesi ceritanya dengan sebuah embusan napas panjang.
Belum sempat Jaziel membuka mulutnya, Jeanath tersenyum kecil. Ekspresinya berubah kembali menjadi ceria. Ditariknya tangan Jaziel, membuat sosok itu mengikuti dari belakang.
“Gak usah ngomong apa-apa. Lo cuman mau denger aja, kan? Mending lihat ini,” ucap Jeanath ketika keduanya berjalan memasuki kamar Jeanath.
Jaziel terdiam ketika Jeanath melepaskan genggaman tangan mereka. Sosok itu mengambil sebuah buku kecil berwarna biru muda, lalu duduk di tempat tidur miliknya.
“Sini.” Jeanath menepuk tempat kosong di sampingnya.
Sebuah senyuman lebar yang menghiasi wajah Jeanath menular pada Jaziel. Sosok dengan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya melangkah mendekat ke arah Jeanath. Ia duduk di samping Jeanath hingga kedua bahu mereka saling menempel.
Album foto milik Jeanath.
Jaziel tersenyum ketika melihat cover album yang dihiasi kelinci-kelinci kecil. Kemudian, Jeanath mulai membuka satu-persatu halaman album miliknya. Memperlihatkan foto-foto masa kecilnya hingga keduanya terkikik.
“Semua foto di sini diambil sama oma gue. Makanya gue punya album beginian. Ini foto waktu ngerayain ulang tahun kelima, rambutnya kayak batok kelapa, ya?” ucap Jeanath.
Melihat Jeanath versi mini membuat Jaziel tak bisa berhenti menahan senyumnya. Ketika halaman baru dibuka, senyuman Jaziel menghilang perlahan.
“Kenapa?” Jeanath bertanya tatkala Jaziel menahan tangannya.
“You look familiar here,” bisik Jaziel.
“Perasaan gue aja kali,” lanjutnya.
Jeanath melanjutkan untuk membuka halaman lain hingga menampilkan fotonya yang tengah telanjang. Lantas, ia dengan spontan menutup album fotonya.
“Jangan dilihat!”
“Emang kenapa?”
Jeanath buru-buru berdiri, hampir kabur sebelum Jaziel berhasil menahan lengannya.
“Sini gue pengen lihat.”
“Gak boleh!”
Lantas keduanya saling berebutan.
“Lihat! Udin sama Adin bisa terbang!” seru Jaziel tiba-tiba.
Bahkan anak kecil sekali pun tak akan terpancing, tetapi ini Jeanath. Seorang Jeanath yang pikirannya terlalu melanglang buana.
“Mana?!”
Dengan cara itu, Jaziel berhasil merebut album Jeanath.
“Senon!”
Jaziel mengangkat album dalam genggaman tangannya setinggi mungkin. Karena tinggi mereka sama, Jeanath dapat dengan mudah merebutnya kembali. Namun, Jaziel lebih cepat melempar album itu ke atas kasur Jeanath sebelum direbut.
Ditariknya pinggang Jeanath hingga keduanya berpelukan.
“Senon?”
“Gue gak bisa bantu lo buat nyari kebahagiaan dari sebuah keluarga karena gimana pun, rasanya bakal beda ketika lo dicintai keluarga asli lo sendiri sama segelintir orang yang lo anggap sebagai keluarga. Gue, Hamsa, bahkan Udin, Adin, Odin, sama Udon gak bisa ngegantiin peranan keluarga lo yang asli. Terutama peran bokap nyokap lo.” Jaziel menempelkan hidungnya di atas bahu Jeanath.
“But I can help you to find another happiness. From the small things to the biggest ones until all of those things make you forget about the sadness you’ve been through. Until your smile is like a ray of sunshine. I’m there for you, remember? I always do.”
Jeanath merenggangkan pelukan mereka. Maniknya menatap obsidian Jaziel dalam sebelum tersenyum manis.
“I wanna be there for you too and I don’t wanna find my own happiness. Because I wanna find our happiness. Find the things that make both of us happy,” ucap Jeanath yang kini melingkarkan tangannya di leher Jaziel.
“This isn’t dream, right?” tanya Jeanath tiba-tiba, takut jika hal yang dialaminya adalah mimpi seperti kemarin.
“There’s only one way to find out.”
“Gimana?”
Kemudian, Jaziel menggigit pucuk hidung Jeanath.