jennoonaa

dedicated to myself and nominist

Sorakan penonton memenuhi lapangan, berhasil memekakkan telinga, tetapi hanya rasa bangga yang menggelora. Di bawah sana, Axel tengah dikelilingi rekan satu timnya setelah memberikan three point pada detik-detik terakhir. Lagi-lagi mereka membawa kemenangan.

Axel mengedarkan pandangannya. Mencari satu sosok di antara lautan manusia yang berada di bangku penonton. Senyumnya mengembang tatkala menemukan keberadaan Elias yang tengah menatapnya tanpa berkedip. Hanya berselang sebentar, sebelum atensinya kembali kepada rekan-rekannya.

“Ayo turun,” ajak Virendra yang berada di samping Elias.

Lantas, Elias menoleh. Mengangguk atas ajakan Virendra dan berjalan di belakangnya untuk turun ke bawah. Di dalam dekapannya, terdapat botol minum milik Axel. Kerumuan orang di sekitar membuat Elias menggigit bibir bawahnya. Merasakan gelisah akibat keberadaan khalayak.

Ketika langkah Virendra terhenti, Elias mensejajarkan dirinya dengan sosok itu. Netranya mengikuti arah pandang Virendra dan menemukan Axel yang sedang mengobrol dengan Abi.

Sekonyong-konyong sosok perempuan yang tak asing bagi Elias berlari kecil menghampiri Axel. Dalam genggamannya terdapat kemasan air mineral dan Elias sudah dapat menduga tujuan dari sosok itu. Terlihat Axel yang melemparkan senyum sebelum mengatakan sesuatu.

Entah apa yang mereka obrolkan. Elias tak ingin menerka terlalu jauh.

Tak lama, Axel menoleh pada tempat Elias berada, mempertemukan netra mereka sebelum berjalan ke arahnya. Elias hanya terdiam memerhatikan Axel yang semakin mendekat. Tatkala Axel sudah berada di depannya, sosok itu mengulurkan tangan kanannya.

Elias mengerjapkan mata, lalu memberikan botol minum yang ia dekap pada pemilknya.

“Thank you,” ucap Axel yang setelahnya meneguk air dalam botol dengan rakus.

Atensi Elias beralih pada sosok kakak yang sudah berada di samping Axel. Tanpa tahu malu, Abi menarik lengan Virendra dan merangkulnya.

“Jangan deket-deket! Lo bau, anjir!” seru Virendra, berusaha menarik dirinya dari Abi.

Melihat itu, Elias berdecak. Beda halnya dengan Axel yang tertawa ringan.

“Sini.” Elias menoleh pada sumber suara, mendaptakan Axel yang menatapnya dengan tangan yang terulur.

Dengan menekan rasa gugup dalam dirinya, Elias menerima uluran tangan Axel. Ia menunduk ketika Axel menuntunnya pergi. Tak berani menatap keadaan di sekitar. Baru ketika langkah Axel terhenti, Elias menganggkat kepalanya.

“Xel, three pointnya tadi buat siapa?” goda salah satu anggota tim basket Fakultas Teknik yang melewati mereka.

“Orang paling spesial pokoknya,” jawab Axel, mengundang siulan dari rekan satu timnya.

Setelah sosok lain itu pergi, Axel menatap Elias yang termenung. Ia tersenyum gemas melihat Elias dengan ekspresi bingungnya.

“Iyas,” panggil Axel, membuyarkan lamunan Elias.

“Lihat ke depan,” titah Axel halus ketika Elias menoleh padanya.

Lantas, Elias menatap ke arah depan. Matanya membat tatkala melihat gerombolan orang yang tengah menganggkat sebuah banner besar.

Be my boyfriend, please?

“Gua tau mungkin ini terlalu cepet, tapi gua udah nunggu lu dari lama,” ujar Axel.

“Iyas.”

Panggilan itu, rasanya Elias sudah tidak lagi menapak pada bumi.

“Would you be mine?”

Gemuruh sorak yang menggema membuat Elias memantung.

“ELIAS AYO JAWAB.” Teriakan Karina yang berada dalam barisan terdepan memecahkan lamunan Elias.

Di sampingnya, Axel menunggu jawaban Elias dengan jantung yang berdegup kencang. Kedua alisnya terangkat ketika Elias menatapnya.

Tatapan itu tak berlangsung lama, sebab Elias membalikkan tubuhnya. Kemudian, ia berjongkok seraya menutup wajah. Tak berani menatap Axel dan orang lain di sana.

Axel mengerjapkan matanya kebingungan, sebelum melihat telinga Elias yang memerah. Ia tersenyum, lalu berjalan untuk menghadap pada Elias dan ikut berjongkok di depannya.

“Engga mau, ya?” Elias mendongak mendengar pertanyaan Axel.

Dihiasi pipi yang bersemu merah, Elias mengangguk kecil. “Mau,” jawabnya pelan.

dah abis

Alunan lagu Apocalypse dari Cigarette After Sex terdengar memenuhi ruangan, melebur dengan rintik hujan yang tengah membahasi bumi. Mendayu ke dalam telinga, lalu menari dalam pikiran yang terombang-ambing.

Di tengah kedinginan yang menyelimuti, keduanya menghangatkan diri. Berlindung di balik selimut dengan tubuh yang saling menempel.

Kegiatan intim itu membuat jantung Elias berdetak tak karuan, seolah sedang berdemo untuk meminta dikeluarkan dari tempatnya berada. Jantungnya berdetak sangat kencang hingga titik di mana telinganya ikut berdegup. Dadanya terasa sesak, membuat napas Elias berderu untuk memasok udara yang lebih banyak.

Melihat ekspresi Elias yang kaku, Axel mengelus surai sosok itu. “Tegang banget,” ucapnya pelan.

Netra Elias bergerak menatap Axel. Menemukan Axel yang tengah melemparkan senyum padanya. Tatkala merasakan jemari Axel yang mengusap keningnya, Elias memejamkan mata. Sentuhan lembut yang diberikan Axel membuat napasnya menjadi lebih teratur.

“Tadi galau kenapa?” tanya Axel tiba-tiba.

Berapa kali pun Elias melemparkan jawabannya pada sang hujan yang tengah turun, Axel selalu bertanya kembali. Seolah Axel tahu bahwa Elias mengucapkan dusta, bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja dan hujan bukan sebagai alasan.

Kelopak mata yang menyembunyikan netra di baliknya terbuka perlahan. Disambut oleh netra lain yang mengunci pergerakkannya.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Elias mengeratkan pelukan. Menempelkan wajahnya pada dada Axel dan menghirup aroma tubuh yang memanjakan indera penciumannya.

“Karena gua, ya?” Axel kembali bertanya.

Masih tidak ada jawaban.

Helaan napas yang terdengar membuat Elias mendongak. Manik matanya menangkap Axel yang terlihat merasa bersalah.

“Maaf,” ujar Axel.

Lantas Elias menggeleng. “Jangan minta maaf, lo gak salah,” kata Elias dengan bibir yang mengerucut.

“Gue cuman—“

Cuman apa, Elias?

Elias mengalihkan pandangannya, tak berani menatap Axel. “Cemburu,” bisiknya pelan, melanjutkan perkataan yang menggantung.

“Iyas.” Panggilan itu membuat Elias mau tak mau menatap Axel.

You’re the one that I like the most,” ujar Axel seraya tersenyum.

“Maaf kalau misalkan gua bikin lu sedih. Gua janji bakal lebih hati-hati sekarang karena hidup gua bukan lagi hanya tentang gua, tapi ada lu yang nempatin sebagian hidup gua. Maaf ya, Iyas,” lanjutnya.

Hanya terdengar rintik hujan dan alunan musik yang saling bersautan. Keduanya terdiam, sibuk untuk saling menatap.

Elias tak tahu apa yang harus ia lakukan selain mengangguk kecil. Ia tak pernah berada dalam kondisi seperti ini seumur hidupnya. Axel lantas terkekeh, membuat Elias menerbitkan senyum dengan kedua pipi yang bersemu.

Melihat pemandangan elok di depannya, Axel tak dapat menahan gejolak dalam dada. Tangan kanannya memegang pipi Elias, kemudian mengusapnya pelan.

Terlarut dalam suasana yang di kelilingi romansa, Axel mendekatkan dirinya. Menghapus jarak di antara mereka. Melihat Elias yang bergerak memejamkan mata, Axel kembali tersenyum, sebelum memberikan kecupan di atas bibir Elias.

Dari bumi yang dibasahi oleh rintik hujan, menebar aroma petrikor sore kala itu, mereka melangkah sedikit lebih jauh.

Di tengah ingar-bingar yang mengelilingi, dua sosok itu terdiam. Tak ada yang memulai percakapan untuk memecah suasana canggung di antara mereka. Keduanya sibuk dengan dunia yang mereka buat, memberikan batas yang tak kasatmata. Salah satu sosok di sana, terlihat gelisah. Netra bulat milik Elias terus-terusan melirik roll cake red velvet di atas meja.

Lantas mulutnya terbuka, berniat untuk mengatakan sesuatu, namun kembali tertutup tanpa ada satu kata yang terucap. Pandangannya terus pada keik yang tersaji di depan mata. Tak lama, Elias menggelengkan kepala, mengubur pikiran yang tengah menghantui. Ia membuka tas miliknya, mengeluarkan sebuah buku kecil yang menarik atensi Axel.

“Gue mulai wawancaranya sekarang ya,” ucap Elias, sibuk dengan aktivitas membuka bukunya.

Ketika sampai pada lembar yang dituju, Elias mengalihkan padangannya pada Axel. Kedua mata yang saling bersirobok membuat Elias secara impulsif menahan napas. Ia lantas meneguk ludahnya dengan kasar, sebelum mengatur detak jantungnya.

“Pertanyaan pertama.” Elias menggantung ucapannya dengan mata yang kembali menatap potongan keik.

“Ini nanti kita split bill, kan?” tanya Elias sembari menatap kosong keik red velvet yang daritadi menarik atensinya.

Gelagar tawa mengalun, memasuki telinga dan terasa menggilitik di sana. Elias menoleh, mendapati Axel yang tengah tertawa.

“Itu buat lu.” Axel berujar setelah tawanya terhenti.

Sebuah senyuman tercetak pada wajahnya, sebelum kembali bersuara. “My treat,” lanjutnya.

Kepala Elias mendadak terasa ringan. Ditatapnya Axel dengan ekspresi kaget dan menunduk ketika melihat sepasang netra yang menatapnya seraya tersenyum.

“Thank you.” Suara yang pelan itu masih terdengar jelas oleh Axel.

Dengan jantung yang berguncang di relung dada, Elias mendongak. Berusaha terlihat setenang mungkin.

“Okay. Gue lanjut,” ucap Elias, manik matanya menatap pada tulisan yang tertera pada buku.

Alis Elias saling bertaut tatkala melihat pertanyaan paling atas. Ia melirik Axel yang tengah memerhatikannya.

“Sorry, ini pertanyaannya agak aneh. Kalau lo gak mau jawab juga gak apa-apa,” jelas Elias, ada nada sungkan yang terselip di sana.

Mendapatkan anggukan kecil dari sosok di hadapannya, Elias menggigit kecil bibir bawahnya.

“Denger-denger, katanya lo masih jomblo dari semenjak awal masuk kuliah. Emang lagi males pacaran gitu ya? Atau lagi nunggu seseorang?” Elias memulai sesi wawancara, matanya menatap lekat pada kertas yang berisi list pertanyaan.

Bukankah pertanyaan seperti ini akan membuat Axel tak nyaman? Mengapa ucapan Karina tempo lalu kontradiktif dengan pertanyaan yang dibuat oleh sosok tersebut?

“Kalau lo gak mau jawab juga boleh kok. Ini pertanyaan emang gak jelas.” Elias melanjutnya ucapannya. Netranya kini beralih menatap sebuah notes kecil yang terletak di bawah pertanyaan.

Kembangin lagi pertanyaannya. Kalau emang gak mau pacaran tanya alasannya sama tanya juga punya niat buat pacaran gak ke depannya.

“Sebenernya gua lagi nungguin seseorang.” Jawaban dari Axel membuat Elias membeku.

Shit

Bola mata Elias bergerak untuk menatap Axel. Pikirannya berkecamuk diiringi dengan rasa penyesalan yang amat besar.

Harusnya ia tidak di sini.

“Dari awal masuk kuliah?” tanya Elias, memilih untuk menyakit hatinya sendiri.

“Ya.” Satu kata yang mampu menggugurkan ribuan harapan Elias.

“Wow,” bisik Elias, menekan ringgisan yang memenuhi rongga dada.

“Kenapa gak dipacarin aja? Kalau semenjak masuk kuliah berarti udah lama banget dong.” Entah apa tujuan Elias untuk berujar demikian, ia pun tak tahu.

Di hadapannya, Axel melemparkan senyuman. Obsidian milik sosok itu mengunci pergerakan netra Elias.

“Gua gak terlalu kenal sama dia. Anaknya susah dideketin,” jawab Axel.

Seolah perkataan Axel tak berpengaruh padanya, Elias mengangguk. “Kalau gitu gimana caranya lo suka sama dia? Secara lo kan gak terlalu kenal gitu.” Elias bertanya kembali.

Senyuman di wajah Axel mengilang. Kini ia memasang ekspresi serius, membuat jantung Elias meronta ingin keluar dari tempatnya.

“Do you believe in love at the first sight?” Nada yang penuh kelembutan itu terngiang di kepala Elias, meluluhlantakkan pikirannya hingga saling berkecamuk.

“I do,” jawab Elias, suaranya sedikit serak.

Di tengah hiruk pikuk pagi kala itu, mereka kembali terdiam. Diselimuti oleh keheningan yang tercipta.

“Dua tahun yang lalu, gua pertama kali liat dia. Waktu itu gua lagi main ke apart dia karena gua temenan sama kakaknya. Kita ketemu gara-gara gua gak sengaja bangunin dia sampai gua dipukul. Dia ngira gua kakaknya,” ucap Axel tiba-tiba, menceritakan skenario yang telah berlalu.

Di tengah hiruk pikuk pagi kala itu, Elias memantung. Menatap netra yang terpaku padanya dengan sebuah senyuman kecil. Kala itu, jika Elias tak pergi menemui Axel, ia tak akan pernah tahu jika perasaannya terbalas.

Sebab, dua tahun yang lalu, Elias pernah memukul Axel karena mengiranya sebagai Abi.

Di tengah ingar-bingar yang mengelilingi, dua sosok itu terdiam. Tak ada yang memulai percakapan untuk memecah suasana canggung di antara mereka. Keduanya sibuk dengan dunia yang mereka buat, memberikan batas yang tak kasatmata. Salah satu sosok di sana, terlihat gelisah. Netra bulat milik Elias terus-terusan melirik roll cake red velvet di atas meja.

Lantas mulutnya terbuka, berniat untuk mengatakan sesuatu, namun kembali tertutup tanpa ada satu kata yang terucap. Pandangannya terus pada keik yang tersaji di depan mata. Tak lama, Elias menggelengkan kepala, mengubur pikiran yang tengah menghantui. Ia membuka tas miliknya, mengeluarkan sebuah buku kecil yang menarik atensi Axel.

“Gue mulai wawancaranya sekarang ya,” ucap Elias, sibuk dengan aktivitas membuka bukunya.

Ketika sampai pada lembar yang dituju, Elias mengalihkan padangannya pada Axel. Kedua mata yang saling bersirobok membuat Elias secara impulsif menahan napas. Ia lantas meneguk ludahnya dengan kasar, sebelum mengatur detak jantungnya.

“Pertanyaan pertama.” Elias menggantung ucapannya dengan mata yang kembali menatap potongan keik.

“Ini nanti kita split bill, kan?” tanya Elias sembari menatap kosong keik red velvet yang daritadi menarik atensinya.

Gelagar tawa mengalun, memasuki telinga dan terasa menggilitik di sana. Elias menoleh, mendapati Axel yang tengah tertawa.

“Itu buat lu.” Axel berujar setelah tawanya terhenti.

Sebuah senyuman tercetak pada wajahnya, sebelum kembali bersuara. “My treat,” lanjutnya.

Kepala Elias mendadak terasa ringan. Ditatapnya Axel dengan ekspresi kaget dan menunduk ketika melihat sepasang netra yang menatapnya seraya tersenyum.

“Thank you.” Suara yang pelan itu masih terdengar jelas oleh Axel.

Dengan jantung yang berguncang di relung dada, Elias mendongak. Berusaha terlihat setenang mungkin.

“Okay. Gue lanjut,” ucap Elias, manik matanya menatap pada tulisan yang tertera pada buku.

Alis Elias saling bertaut tatkala melihat pertanyaan paling atas. Ia melirik Axel yang tengah memerhatikannya.

“Sorry, ini pertanyaannya agak aneh. Kalau lo gak mau jawab juga gak apa-apa,” jelas Elias, ada nada sungkan yang terselip di sana.

Mendapatkan anggukan kecil dari sosok di hadapannya, Elias menggigit kecil bibir bawahnya.

“Denger-denger, katanya lo masih jomblo dari semenjak awal masuk kuliah. Emang lagi males pacaran gitu ya? Atau lagi nunggu seseorang?” Elias memulai sesi wawancara, matanya menatap lekat pada kertas yang berisi list pertanyaan.

Bukankah pertanyaan seperti ini akan membuat Axel tak nyaman? Mengapa ucapan Karina tempo lalu kontradiktif dengan pertanyaan yang dibuat oleh sosok tersebut?

“Kalau lo gak mau jawab juga boleh kok. Ini pertanyaan emang gak jelas.” Elias melanjutnya ucapannya. Netranya kini beralih menatap sebuah notes kecil yang terletak di bawah pertanyaan.

Kembangin lagi pertanyaannya. Kalau emang gak mau pacaran tanya alasannya sama tanya juga punya niat buat pacaran gak ke depannya.

“Sebenernya gua lagi nungguin seseorang.” Jawaban dari Axel membuat Elias membeku.

Shit

Bola mata Elias bergerak untuk menatap Axel. Pikirannya berkecamuk diiringi dengan rasa penyesalan yang amat besar.

Harusnya ia tidak di sini.

“Dari awal masuk kuliah?” tanya Elias, memilih untuk menyakit hatinya sendiri.

“Ya.” Satu kata yang mampu menggugurkan ribuan harapan Elias.

“Wow,” bisik Elias, menekan ringgisan yang memenuhi rongga dada.

“Kenapa gak dipacarin aja? Kalau semenjak masuk kuliah berarti udah lama banget dong.” Entah apa tujuan Elias untuk berujar demikian, ia pun tak tahu.

Di hadapannya, Axel melemparkan senyuman. Obsidian milik sosok itu mengunci pergerakan netra Elias.

“Gua gak terlalu kenal sama dia. Anaknya susah dideketin,” jawab Axel.

Seolah perkataan Axel tak berpengaruh padanya, Elias mengangguk. “Kalau gitu gimana caranya lo suka sama dia? Secara lo kan gak terlalu kenal gitu.” Elias bertanya kembali.

Senyuman di wajah Axel mengilang. Kini ia memasang ekspresi serius, membuat jantung Elias meronta ingin keluar dari tempatnya.

“Do you believe in love at the first sight?” Nada yang penuh kelembutan itu terngiang di kepala Elias, meluluhlantakkan pikirannya hingga saling berkecamuk.

“I do,” jawab Elias, suaranya sedikit serak.

Di tengah hiruk pikuk pagi kala itu, mereka kembali terdiam. Diselimuti oleh keheningan yang tercipta.

“Dua tahun yang lalu, gua pertama kali liat dia. Waktu itu gua lagi main ke apart dia karena gua temenan sama kakaknya. Kita ketemu gara-gara gua gak sengaja bangunin dia sampai gua dipukul. Dia ngira gua kakaknya,” ucap Axel tiba-tiba, menceritakan skenario yang telah berlalu.

Di tengah hiruk pikuk pagi kala itu, Elias memantung. Menatap netra yang terpaku padanya dengan sebuah senyuman kecil. Kala itu, jika Elias tak pergi menemui Axel, ia tak akan pernah tahu jika perasaannya terbalas.

Sebab, dua tahun yang lalu, Elias pernah memukul Axel karena mengiranya sebagai Abi.

Semilir angin yang membawa debu di bawah teriknya matahari menerpa tubuh kurus sosok yang tengah duduk di atas trotoar. Wajah kusamnya selalu diterpa asap kendaraan yang melewatinya. Mata kecil itu menatap lurus kumpulan transportasi dengan pikiran yang kosong.

Mari kita bahas tentang penampilannya. Dimulai dari surai yang telah lepek karena keringat, baju putih tulang compang camping, celana kain berwana hitam kebesaran, hingga kaki tanpa alas. Ditambah dengan ekspresi wajah yang memelas sangat menggambarkan betapa menyedihkannya sosok tersebut.

“Buset, Sam. Sedih banget dah gue liatnya.” Sebuah suara mengalihkan atensinya.

Terlihat Hamsa yang datang dengan plastik berisi cimol dalam genggaman. Di sampingnya, terdapat Jeanath yang tengah memandangnya penuh rasa hina.

“Anjir.” Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Natha.

Kedua sosok lain ikut mendudukkan diri mereka di samping Sam dengan Jeanath yang berada di sisi kiri dan Hamsa di sisi kanan.

“Mau dong,” ucap Sam pada Hamsa.

Ketika Hamsa mengulurkan tangannya, Sam membuka mulut, menerima satu cimol yang diberikan sosok itu. Sembari mengunyah, pandangan Sam kembali tertuju pada jalanan. Memerhatikan lalu lalang kendaraan.

“Nath, pinjem duit dong.” Sam bersuara di tengah kegiatan merenungnya.

Alih-alih membalas perkataan Sam, Jeanath menggambil plastik cimol Hamsa dan memakannya tanpa permisi.

“Kagak punya duit dia ego. Suntikan dananya udah gak ada, udah bangkrut,” ucap Hamsa dengan mata yang mengikuti pergerakan sebuah bus.

“Kan gue udah bilang tobat, Sam. Jangan main judi mulu lo.” Kali ini Jeanath bersuara.

“Ya gue kira bakal menang, taunya kalah.” Terdengar nada sedih pada ucapan Sam.

“Gue ada sih duit, tapi duit warisan nenek gue. Mau gue pake buat kuliah.” Jeanath berkata dengan mulut penuh cimol.

Melihat Sam yang tengah memelas seraya menghela napas, Hamsa dan Jeanath saling melemparkan pandangan. Direbutnya kembali plastik cimol yang berada di tangan Jeanath sebelum Hamsa bangkit berdiri.

“Mending ngamen dah daripada lo ngemis. Kayak gak bisa kerja aja,” ujar Hamsa yang setelahnya melahap cimol yang tersisa.

Jeanath ikut bangkit dari posisi duduknya. Netranya berkelana untuk mencari sesuatu yang dapat ia gunakan. Ia meraih kerikil kecil dan memasukkannya pada botol kosong.

Tangan Jeanath terulur untuk memberikan botol yang berisi kerikil. “Nih,” ucapnya pada Sam.

“Hamsa yang nyanyi, lo kecrak kecrek pake ini. Terus gue bagian yang tepuk tangan,” lanjut Jeanath.

Manik mata Sam menatap botol itu beberapa detik sebelum berdiri dan menerimanya.

“Yuk dah.”

Satu demi satu terkaan dalam kepalanya berkelana jauh ketika tak mendapatkan sebuah jawaban pasti. Sosok yang mengenakan cardigan putih dan light jeans itu memandang gedung pencakar langit. Hanya satu hal yang ia tahu; mereka akan meninggalkan Jakarta. Kini atensinya beralih, menatap Jaziel yang memakai pakaian serba hitam. Dimulai dari topi, hoodie, hingga jeans, semuanya berwarna hitam sampai Jeanath berpikir mungkin mereka akan pergi melayat.

Sebenarnya, dimanapun tempat tujuan mereka, Jeanath tak begitu peduli. Bahkan, jika Jaziel membawanya pergi bertenda di tengah gurun Saraha, ia tak keberatan sama sekali. Syaratnya hanya satu, asalkan Jaziel bersamanya.

Bersama dengan Jaziel.

Ah, rasanya baru kemarin mereka bertemu dan saling melemparkan pandangan sinis. Jeanath masih ingat tatapan dingin yang Jaziel berikan padanya ketika mereka pertama kali bertemu. Keadaan telah berbanding terbalik sekarang. Bagaimana kedua orang yang sangat bertolak belakang itu akhirnya berakhir bersama?

Kemudian, sebuah fakta terlintas pada pikiran yang sedang terbang tinggi. Masa SMA mereka akan segera usai.

“Senon,” panggil Jeanath pelan.

“Hm?” gumam Jaziel sebagai respon.

“Aku jadi iri sama Raje.” Sebuah pengakuan tiba-tiba itu membuat Jaziel menoleh.

Netranya menangkap Jeanath yang tengah tersenyum.

“Kenapa emang?” Jaziel bertanya setelah pandangannya kembali ke depan.

“Bukan ke Raje doang sih, tapi ke semua orang yang kenal kamu dari lama,” ucap Jeanath.

“Gimana ya kalau kita kenal jauh sebelum nilai kimia aku minus? Minimal waktu kita masih kelas 11 deh,” lanjutnya seraya memandangkan jalanan yang tak terlalu padat.

“Kalau kita kenal lebih dulu, mungkin kita gak bakal kayak gini atau mungkin lebih dari ini? Gak tau juga. Tapi yang pasti, aku percaya kalau takdir bikin kita ketemu di waktu yang tepat. Dulu, ada banyak hal yang terjadi di hidup aku dan mungkin aku gak kepikiran buat suka sama orang lain karena alasan itu.” Lontaran yang terucap itu membuat Jeanath tersadar, bahwa tataran takdir tak mungkin salah.

“Right, everything happens for a reason,” bisik Jeanath pelan.

Kedua sudut bibir Jeanath tertarik ke atas, membuat sebuah senyuman manis tercipta.

“Sebenernya aku lagi takut.” Jeanath kembali bersuara.

“Gimana kalau aku gak bisa sekampus sama kamu? Gimana kalau akhirnya, bakal ada jarak yang misahin kita berdua?” tanyanya dengan netra yang memandang Jaziel.

Melihat Jaziel yang berancang untuk mengeluarkan suara, Jeanath berucap, “Jangan ngomong dulu. Aku belum selesai.”

“Gak ada yang bisa aku lakuin lagi selain berusaha, kan? Kalau emang aku gak bisa ngejar mimpi aku bareng sama kamu, mau gimana lagi? Yang penting aku udah berusaha dan mungkin hal itu yang bisa bikin hubungan kita lebih maju ke depannya

The future is really an infinite room to step on. Setiap aku mikirin tentang masa depan, aku ngerasa seneng sama takut di waktu yang sama. Tapi, dari rasa takut itu, aku jadi punya dorongan kuat buat berusaha lebih keras.” Jeanath melanjutnya ucapannya.

Sebuah usapan lembut di kepalanya seakan meringankan bongkahan kerikil yang memenuhi pikiran Jeanath.

“Pacar aku keren banget,” ujar Jaziel seraya tersenyum.

Medengar pujian dari kekasihnya, Jeanath tersipu. Menahan sekuat mungkin agar senyumnya tak terlalu lebar.

“Aku nyatet semua hal yang pengen aku lakuin di sini. Kamu mau tau gak?” tanya Jeanath tiba-tiba.

“Bentar, aku ambil dulu.” Jeanath melepas sabuk pengamannya agar dapat bergerak bebas.

Tubuhnya berbalik ke belakang, mengambil tas ransel yang ia simpan di sana. Ia kembali duduk seperti semula seraya mengambil benda persegi panjang yang berukuran besar.

“Nih, lihat. Di sini ada masuk ke ITB bareng Senon, tinggal bareng Senon, ikut organisasi tapi gak tau apa soalnya aku gak pernah ikut organisasi sebelumnya, terus jalan bareng Senon setiap Sabtu di Bandung,” ucap Jeanath tanpa jeda.

“Banyak pokoknya di sini! Aku nulis apa lagi ya? Nikah sama Senon diumur 30 tahun? Eh, jangan deh, kelamaan. Umur 26 tahun aja kali ya.” Entah pada siapa pertanyaan Jeanath ditujukan.

“Kenapa gak pas lulus kuliah aja?” tanya Jaziel.

Aktivitas Jeanafh terhenti, atensinya tertarik pada Jaziel dan pertanyaannya.

“Soalnya pasti banyak hal yang pengen kita lakuin dulu nanti sebelum nikah. Dunia ini gak cuman terkait sama cinta mulu, kan,” jawab Jeanath, pandangannya kembali beralih pada ipad yang ia pegang.

“Baru deh abis itu nikah. Terus ini, karena Senon gak suka manusia, di umur 50 tahun, kita pindah ke Mars bareng Udin, Adin, Odin, Udon, Kolang, Kaling.” Jeanath berkata dengan jemari yang sibuk mengetik di atas layar.

Mengetahui antusiasme Jeanath yang begitu besar tentang masa depan, Jaziel menggeleng sembari tersenyum.

Sebuah pemikiran terlintas di benak Jeanath, membuat ia mengerutkan kedua alisnya. “Aku gak mau tau ya, pokoknya kita gak boleh sampai putus.”

“Coba buat perjanjian biar kalau mau putus harus mikir beberapa kali dulu.” Perkataan Jaziel membuat Jeanath menyipitkan matanya.

“Contoh?” tanya Jeanath.

“Kalau kamu minta putus, aku bakal tagih biaya tutor terus dipakein bunga,” jawab Jaziel.

“Terus kalau kamu yang minta putus gimana?” Jeanath kembali bertanya.

“Aku harus minta ganti bibir gitu?” Lanjutnya sambil cemberut.

Jaziel mengulurkan tangan kirinya, sebelum berkata, “Deal.”

Netra milik Jeanath menatap telapak tangan Jaziel sekilas, sebelum ia menaruh tangannya di sana.

“Deal.”

Perjalanan mereka dipenuhi oleh suara Jeanath bersama mimpi yang ia tabur.


Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Jaziel merengganggkan otot tubuhnya yang kaku. Mendengar dengkuran halus di sampingnya, membuat ia menoleh. Tersenyum tatkala melihat Jeanath yang terlelap.

“Gianna,” panggil Jaziel.

Diusapnya pipi Jeanath dengan lembut. “Wake up, sleeping beauty. We've arrived.”

Kelopak mata yang terpejam perlahan terbuka, memperlihatkan manik indah di dalamnya. Jeanath menatap sekitar dengan kesadaran yang belum penuh.

“Udah nyampe?” tanya Jeanath dengan suara yang serak.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang terlontar, Jaziel mengambil botol minum miliknya, kemudian memberikannya pada Jeanath.

“Thank you.” Tangan Jeanath meraih botol tersebut sebelum meneguknya dengan rakus.

Ketika kesadarannya sudah hampir penuh, Jeanath menatap sekelilingnya. Matahari masih berada tepat di atas kepalanya dan netranya menangkap dengan baik pemandangan yang disuguhi oleh semesta.

Sebuah ladang bunga menyapa indera penglihatannya, membawa pada sebuah perasaan kagum.

Terlarut dengan pikirannya sendiri, Jeanath tak sadar jika Jaziel telah keluar dan membukakan pintu untuknya. Baru ketika terpaan angin menggelitiki permukaan kulit, Jeanath kembali ditarik pada dunianya berada.

“Ayo,” ajak Jaziel, meraih tangan Jeanath dan membawanya ke dalam genggaman.

Embusan angin menyapa tatkala Jeanath keluar dari mobil. Netranya terus berkelana, melihat berbagai kumpulan bunga yang tertata rapi. Perbedaan warna yang mencolok dari kumpulan bunga itu seolah membuat matanya terasa lebih segar. Belum lagi udara di sekitarnya yang terasa lebih dingin walaupun sang surya tengah menyengatnya di atas sana.

Semakin lama mereka berjalan, ladang bunga di sekitarnya ikut menghilang. Digantikan oleh hijauan dari rerumputan. Tanah yang ia injak tidak lagi mendatar, membuat gengamannya pada tangan Jaziel lebih erat.

“Capek gak?” tanya Jaziel ketika keduanya mencapai puncak bukit.

Jeanath mengggeleng sebagai jawaban, matanya masih sibuk memandang sekeliling. Dari atas sini, ia dapat melihat permukiman yang tersusun rapi. Kemudian tatapannya berhenti pada sebuah bangunan paling besar di antara deretan rumah-rumah.

Rasanya begitu familiar, seolah ia pernah berada di sini jauh sebelumnya. Seolah ia berada pada tanah yang pernah terpijak.

“Di sana, aku pernah buat janji sama seseorang.” Pandangan Jeanath mengikuti tangan Jaziel yang menunjuk bangunan besar tersebut.

Bangunan yang membuat Jeanath ditarik paksa pada untaian kejadian dalam hidupnya. Mencari memori yang sukar ditemukan, padahal ia yakin pernah melihat bangunan tersebut.

“Butuh waktu 10 tahun buat akhirnya aku menuhin janji itu.” Ucapan Jaziel tak dapat Jeanath tangkap sepenuhnya.

Jeanath berada dalam ambang kebingungan hingga ia tak dapat berpikir jernih.

“Gianna,” panggil Jaziel bersamaan dengan kencangnya angin yang menerpa.

Ditatapnya Jaziel dengan mata yang terbalut rasa bingung. Kemudian, matanya menangkap sebuah buku yang sangat ia kenal.

Charlotte's Web

Tak dapat memahami rangkaian kejadian yang tengah terjadi, Jeanath mengedipkan matanya. Menerka apa ia tengah bermimpi? Sebab, ia tak tahu apa yang berlangsung menimpanya.

“This is yours.” Jeanath mendongak, menatap Jaziel seakan meminta penjelasan lebih.

Melihat Jeanath yang tengah kebingungan, Jaziel tersenyum simpul.

“Aku gak tau kamu masih inget atau lupa, tapi ini punya kamu. Sepuluh tahun yang lalu, kita pernah ketemu,” jelas Jaziel.

“Kamu minjemin buku ini ke aku, bilang kalau aku harus ngembaliin bukunya besok, tapi kita gak pernah ketemu lagi.

Sampai akhirnya aku disuruh meriksa kertas ulangan kelas kamu dan ngasih kamu nilai minus.” Penjelasan Jaziel masuk ke dalam telinga Jeanath, berputar beberapa kali dalam kepalanya sebelum dapat diterjemahkan dengan baik.

Sepuluh tahun yang lalu.

Potongan memori yang terputar tak begitu jelas dalam otaknya. Jeanath lantas membulatkan mata dan menatap Jaziel tak percaya.

“Bentar!” seru Jeanath, kemudian ia mengambil buku pada tangan Jaziel dengan cepat.

Membuka satu persatu halaman, sebelum melihat secarik kertas dengan sebuah tinta pena yang sudah pudar.

“Lilpup?” bisik Jeanath, masih terdengar jelas oleh Jaziel.

“Aku inget! Kamu yang nemenin aku waktu Oma operasi kan?” tanya Jeanath.

Mendapatkan anggukkan dari Jaziel, Jeanath menutup mulut dengan tangannya. Tak percaya bahwa dirinya pernah bertemu dengan Jaziel jauh sebelum itu.

“Kamu udah tau sejak kapan?” Jeanath kembali bertanya, kali ini suaranya sedikit bergetar.

“Dari waktu kamu ngasih buku yang sama,” jawab Jaziel.

“You're the little puppy who stole my favorite book!”

“I'm not stealing it. You're the one who gave me the book.”

Tawa keduanya pecah, saling bersahutan dan mendayu seiring dengan angin yang berembus.

Di akhir tawanya, Jeanath tersenyum. “We're meant to be.”

Jaziel mengangguk kecil. Senyuman pada wajahnya terus mengembang. Ada sebuah titik kesenduan dalam obisidiannya.

The reason why I keep fighting against the world, even they took 2 precious people in my life is the sentence you wrote.

We born, we live a little while, and we die. But meet a lot of people, we learn a lot of things, we feel different emotions, and we always find the reason to be happy again.

Two years ago, I feel like my world was falling apart. The best dad in my life was gone and my mother hates me. But I always keep remembering that one day, I'll find the reason to be happy again and here I am. I was about to give up, but then I met you. I finally found the source of my happiness.

So, thank you. Thank you for coming into my life again. Thanks for loving me and giving me the warmest hug when I need it. Thank you so much, Snowball.”

Tutur kata yang terucap berkumpul menjadi sebuah kesatuan yang tersimpan dalam relung hati. Mengonversi setiap kata menjadi sebuah emosi yang berhimpun pada pelupuk lakrimasi. Susunan kata yang mampu membuat Jeanath menangis, mungkin akan terus tersimpan abadi.

Dunia mereka tak pernah mudah. Sekiranya mereka adalah dua orang yang bertolak belakang, Jeanath salah. Nyatanya, mereka tidak benar-benar berbeda. Keduanya hanya dua remaja penuh luka dengan hasil ekspresi rasa sakit yang berbeda.

“Snowball,” panggil Jaziel dengan lembut.

Jemarinya mengusap air mata yang mengalir di atas pipi Jeanath.

“The same goes for me. Thank you for coming into my life and thought me a lot of things. Thank you for not giving up and always be there for me whenever I need someone to lean on,” ucap Jeanath seraya mengatur deru napasnya yang tak teratur.

Tubuh yang tengah bergetar karena menahan isak tangis itu didekap dengan erat. Diusapnya punggung Jeanath, memberikan rasa nyaman di sana.

“Anytime, Snowball,” balas Jaziel seraya mengendus Jeanath.

Ketika deru napas Jeanath sudah kembali stabil, Jaziel merenggangkan pelukan mereka. Menghapus jejak bekas air mata, lalu meraup pipi Jeanath dengan kedua tangannya.

“Tadi aku mau nangis, tapi keduluan sama kamu.” Jaziel berkata jenaka, membuat Jeanath terkekeh.

Keduanya saling melempar tatapan. Mengamati pahatan karya Tuhan yang mereka suka.

“Can I kiss you?” tanya Jaziel memecah kehingan.

Jeanath mengedipkan matanya, sebelum tersenyum dan mengangguk kecil.

Mendapatkan izin dari Jeanath, sudut bibir Jaziel tertarik ke atas. Menciptakan sebuah senyuman lebar atas dasar kebahagiaan hati.

Tatkala Jeanath memejamkan mata, embusan angin datang untuk menerpa. Menyibakkan rambut depan Jeanath. Alhasil, Jaziel termenung sebentar. Menikmati pemandangan indah di depannya dan menyimpannya dengan baik dalam kepala.

Kemudian, pandangannya turun ke bawah. Tepat pada bibir bak buah ranum milik Jeanath. Napas Jaziel memberat. Ia mulai menghapus jarak di antara mereka hingga bibir keduanya saling menempel.

Manis.

Lantas, Jaziel menarik tenguk Jeanath untuk memperdalam tautan mereka. Memberikan lumatan-lumatan kecil di sana.

Di atas langit senja yang dipenuhi jingga, sang surya mulai tenggelam. Ditutupi oleh kumpulan awan seakan ia ikut tersipu malu menyaksikan kisah cinta remaja. Burung gereja ikut bersorak, memberikan nyanyian di atas pepohonan yang menjulang tinggi.

Kisah mereka tak pernah berhenti di sini. Keduanya akan terus berjalan berdampingan melewati jalanan takdir.

Deru napas yang teratur tak menggambarkan bagimana kusutnya isi kepala Jeanath. Netranya memandang langit-langit kamar dengan lekat, seolah mencari jawaban atas pertanyaan yang berselok-selok. Tubuhnya terlentang di atas ranjang, membiarkan aliran darahnya mencapai otak secepat mungkin, berharap menjernihkan abstraksi dalam pikiran.

Di tengah alienasi atas keinginan hati, kesenyapan menggerogoti tubuhnya secara perlahan. Membawanya pada sebuah melakoni tanpa terminasi.

Sudah berapa hari ia berdiam diri?

Waktu dalam hidupnya terasa terhenti, seolah hari ini adalah kemarin dan esok akan tetap menjadi kemarin.

Jeanath menoleh, menatap jendela yang tertutup oleh tirai.

Sudah berapa lama ia tak menghirup udara segar?

Alih-alih menjawab pertanyaannya sendiri, Jeanath terbawa oleh ombak pikiran. Hanyut di tengah samudera gelap gulita dan terombang-ambing di sana. Tersesat dalam kungkungan kebingungan.

Merasakan badai kekeringan melanda tenggorokannya, Jeanath bangun dari posisi tidur. Mungkin seteguk air dapat menjadi sedikit penyegar di tengah kalutnya pikiran.

Kaki yang terbalut celana kain berwana krem itu berjalan pelan keluar dari kamar. Langkahnya ia bawa menuju dapur, mengambil salah satu gelas secara asal, sebelum mengisinya dengan air. Jeanath menaruh gelasnya di tempat peranti elektronik, namun tak ada air yang keluar.

Apa hari ini takdir tengah menyeretnya untuk keluar dari tempurung, memberitahukan jika ada dunia lain di luar sana yang sedang berjalan? Menekankan jika bumi masih berputar pada porosnya dan waktu tak pernah terhenti. Pada akhirnya, kumpulan sekon akan tetap berlanjut menjadi menit.

Walaupun dirinya meronta ingin tetap diam di tempatnya berada, entah mengapa, langkah kakinya terasa ringan. Seakan ada sesuatu yang menunggunya di luar sana atau entah mungkin hanya bagian dari angan belakanya saja.

Ditemani dengan rasa gugup, Jeanath membuka pintu apartemennya. Ketika pintu terbuka seutuhnya, manik matanya menatap kosong sekumpulan benda yang tersimpan di depan pintu. Termenung tatkala menangkap sebuah tempat makan yang familiar

Apakah Hamsa selalu mengantarkan makanan untuknya selama ini?

Kemudian netra itu bergerak pelan, mengamati semua barang yang berdiam diri di depannya. Ada banyak barang hingga makanan. Dimulai dari sebuah nitendo dengan tulisan ‘ayo mabar’ di atasnya hingga tempat makan lain berwana kuning yang pernah Jeanath lihat sebelumnya. Dari semua banyaknya hal di sana, netra itu terhenti pada sebuah kotak yang bertuliskan ‘From: Your Only Senon’.

Jantung Jeanath berdegup cepat. Diambilnya kotak itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ada perasaan tak sabar yang mendorongnya untuk secepat mungkin membuka bingkisan di tangannya.

Sebuah binokular menyapa indera penglihatan ketika Jeanath berhasil membuka kotak tersebut. Netranya beralih menatap secarik surat di sana, mengambilnya lalu membaca untaian aksara yang tersusun.

“If this part of the world is too cruel for you, see another part of it that might bring you to the happiness. Remember when you said we can fight the darkness together? The dark always be there, but the star needs the darkness to exist. The dark always be there, so you can be stronger and become the brightest star.

See another part of the world where the pretty constellations of stars offering you a joy.”

Udara di sekitar Jeanath seakan menipis, menekan relung dada sehingga membuatnya sesak. Jemari tangan yang masih bergetar itu mengambil kertas kecil yang tertutupi oleh surat.

“Meet me when you are ready at the place where we became boyfriends.

I’ll be waiting.”

Apa yang sebenarnya Jeanath lakukan? Sudah berapa lama ia membawa dirinya pada kesedihan yang berlarut?

Bagaimana bisa ketika ketakutan akan ditinggalkan mengebu begitu besar dalam dirinya, sedangkan ia sendiri berusaha untuk meninggalkan orang lain? Bukankah ia tidak lebih baik dari kedua orang tuanya?

Jika Jeanath takut ditinggalkan, bukankah Jaziel sama takutnya? Lantas, mengapa ia berlari seperti pencundang, merasa bahwa dirinya akan baik-baik saja di tengah kesendirian?

Nyatanya, ia termakan oleh rasa kesepian dan berakhir dalam kesengsaraan.

Jeanath menyimpan semua barang-barang yang berada di depan pintunya. Memindahkannya ke dalam apartemen sebelum berlari pergi.

Lupakan dahaganya yang kering. Kini, ia tak merasakan apapun selain rasa bersalah yang memuncak. Kesabarannya terkikis seiring menuggu di dalam lift yang bergerak begitu lambat. Ketika pintu lift terbuka, Jeanath keluar seraya berlari. Masa bodoh dengan orang-orang yang menatapnya heran.

Diambilnya sepeda yang ia simpan di basement dengan terburu-buru. Terpaan angin malam menemani putaran roda yang kian bergerak cepat. Deru napas pendek yang meminta pasokan oksigen lebih banyak juga tak ia hiraukan.

Jantungnya kembali berdetak dengan cepat. Bukan hanya karena tubuhnya diforsir untuk bergerak banyak, tetapi karena dari kejauhan, ia dapat melihat sosok yang duduk di trotoar jalan seraya membaca bukunya.

Kaki Jeanath berusaha secepat mungkin untuk mengayuh sepeda hingga ketika jarak mereka cukup dekat, Jeanath turun begitu saja dan membiarkan sepeda miliknya jatuh.

“SENON!” Jeanath berteriak lantang, membuat sosok yang dipanggil menoleh.

Sebuah senyuman yang tercetak pada wajah Jaziel menyadarkan Jeanath, jika rasa rindu yang ia tekan menguap begitu saja.

Jeanath lantas mengatur napasnya yang memburu. “I finally found my dream!” seru Jeanath, masih dengan lantang, sebab jarak keduanya tak cukup dekat.

Netra itu memerhatikan bagaimana Jaziel menyimpan bukunya sebelum beranjak berdiri. Dengan jarak yang memisahkan, keduanya saling berhadapan.

“I wanna study in astronomy and go to the outer space with you,” lanjutnya seraya ikut tersenyum.

Jika Jeanath tak memiliki apa-apa lagi, maka ia hanya perlu membuat dirinya melalukan hal yang hebat untuk pantas bersanding dengan Jaziel yang sempurna.

Bukankah Jeanath memiliki dirinya sendiri yang selalu berjalan bersamanya?

Jika Jeanath tak memiliki apa-apa lagi untuk ditunjukan pada dunia, suatu saat, ia akan menjadi seseorang yang hebat. Kenyataannya memang tak akan pernah mudah, tapi ada Jaziel yang akan menemani perjuangannya.

Lantas, apa yang ia takutkan?

Tidak ada.

Sebanyak apapun rintangan yang akan Jeanath hadapi, semua itu adalah bagian dari kehidupan yang harus ia lewati.

Jika Jeanath hanya berdiam diri, maka ia akan menjadi daun yang berguguran dan terurai oleh aliran waktu.

Bukankah ini waktu yang tepat untuk balas dendam kepada orang tuanya? Jeanath ingin menyombongkan banyak prestasi kepada kedua sosok itu hingga membuat mereka menyesal telah meninggalkannya.

Netra milik Jeanath menatap obsidian milik Jaziel yang kini telah berada tepat di depannya. Sebelum mebiarkan sosok itu berbicara, Jeanath memberikan sebuah pelukan erat.

Dihirupnya aroma tubuh Jaziel seraya memejamkan kedua mata. “I’m home,” bisik Jeanath pelan.

Pelukan itu dibalas tak kalah erat. Kerinduan yang terbalas membuat Jaziel tak berhenti bersyukur.

Snowball-nya pulang.

“Welcome home, Snowball.”

Jika kalian bertanya, “Apa arti sebuah keluarga?” pada Jeanath, maka ia akan menjawab, “Oma.” secara spontan.

Hanya sang nenek yang terikat hubungan darah yang dapat ia artikan sebagai keluarga. Namun, sosok itu kini telah pergi jauh, meninggalkan Jeanath sendirian pada dunia yang penuh kebengisan.

Dalam kesendiriannya, Jeanath tertawa. Dari sekian banyak alasan dibalik kejamnya dunia, justru sosok orang tualah yang memiliki andil besar di sana.

Kemudian tawanya semakin mengeras. Mengapa dari sekian banyak populasi manusia di dunia ini, ia harus menjadi anak dari orang tuanya? Dibesarkan tanpa kasih sayang dan cinta merupakan kebencian semesta padanya.

Lantas, Jeanath menggeleng. Semesta tak pernah membencinya, lagipula siapa dia hingga semesta mengenalnya. Jeanath bukan siapa-siapa hingga mendapatkan kebencian dari sang semesta.

Jika sosok nenek tak pernah ada dalam hidupnya, mungkin Jeanath akan selalu terjerat dalam ikatan penuh duri; tak pernah terlepas dari rasa sakit barang sedikit pun.

Penolakan dari kedua orang tuanya, membuat ia tak pernah dihargai di rumah dengan puluhan pekerja. Ia justru dijadikan alat penghasil uang oleh mereka, terutama pekerja yang bertugas mengasuhnya. Teringat akan sosok itu selalu memaksanya makan, membentaknya ketika ia menangis karena kesakitan, bahkan memukulnya ketika ia tak sengaja merusak sesuatu.

Jeanath mendengus, bagaimana bisa ia selalu dipertemukan oleh orang-orang yang senang menyiksanya? Apakah ia terlihat seperti sebuah samsak berjalan bagi mereka?

Peranan orang tua dalam hidup Jeanath hanya untuk menorehkan luka di setiap jengkal tubuhnya.

Lantas, mengapa ia masih berharap?

Berharap semua akan berubah akibat kikisan waktu. Berharap jika suatu hari, orang tuanya akan saling berdamai hingga eksistensinya sebagai seorang anak terlihat.

Embusan angin malam yang menerpa menyadarkan lamunan Jeanath. Tubuhnya sedikit menggigil. Menghitung sudah berapa lama ia duduk di sebuah halte kosong sambil meratapi kehidupannya.

Suara dari langkah kaki memecah keheningan. Mengetuk gendang telinga untuk menarik atensi, namun Jeanath enggan untuk memberikan sedikit reaksi. Memilih menatap lurus ke depan dengan pikiran yang berkecamuk. Mengabaikan kehadiran sosok lain di sana.

Sosok itu, bukankah sosok dengan masa depan yang cerah lebih baik meninggalkan Jeanath yang bahkan kini kehilangan arah hidupnya?

Ketika pandangannya tertutup oleh tubuh di depannya, Jeanath mengembuskan napas pelan.

Menaruh ekspektasi terhadap dirinya sendiri adalah sebuah kesalahan besar. Keteguhan hati yang ia bangun perlahan runtuh. Semilir angin seakan sengaja menerpa sosok di hadapannya hingga mengantarkan aroma tubuhnya pada indra penciuman Jeanath.

Sebuah aroma manis yang menghantarkan kehangatan bak mentari di pagi hari.

Di sisi lain, Jaziel hanya menatap Jeanath tanpa berniat membuka suara. Menunggu sosok itu bercerita tanpa ingin memaksa.

“They finally divorced,” ucap Jeanath pelan. Manik matanya menatap kosong kaus yang Jaziel kenakan. Nada bicaranya datar, seolah tak ada yang salah dengan itu. Seolah Jeanath telah mengantisipasinya.

Sebuah senyuman tipis di wajah Jeanath berhasil meremukkan hati Jaziel. Senyuman kenestapaan yang mempertegas bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

“Harusnya aku gak kaget. Bahkan dari masih kecil, aku udah tahu kalau akhirnya bakal gini.” Senyuman itu masih terpatri.

Lantas, mengapa ia masih berharap?

“Am I hoping too much?” tanya Jeanath, netranya bergerak menatap Jaziel.

“I just want to have a proper family. I want to be loved by my parents, at least one of them treat me like i’m actually their child.

Even though they’d never fall in love, can they, at least lie to me and telling me they’re in love and act like a normal parent? I don’t care if it’s fake. Is it that hard to pretend if they’re love me?” Pertanyaan itu tak diperuntukan kepada siapapun. Hanya sebuah awan kelabu yang selalu terpendam dan menginginkan untuk didengar.

“I’m scared.” Pertahanan yang Jeanath bangun runtuh sepenuhnya. Ia tak dapat menahan tangis ketika rasa takut menggerogoti tubuhnya.

“Aku takut ketika mereka udah nemuin kebahagiaannya, ketemu sama orang yang mereka cintai dan akhirnya punya anak yang diinginkan, keberadaan aku sama sekali gak dianggap.”

Jeanath takut dilupakan.

Air mata yang tak dapat berhenti keluar diusap pelan oleh Jaziel. Kehangatan dari telapak tangan sosok itu justru membuat Jeanath terisak pilu.

Dicintai membuatnya begitu bahagia, lantas, apakah ia layak untuk menerima cinta dari Jaziel? Ia tak punya apa-apa sekarang.

“Do you want to know the word that I want to hear the most in my entire life?” tanya Jeanath setengah berbisik.

Kini ia tersenyum tulus. “Anakku,” kata Jeanath.

“Dulu, satpam di SMP aku pernah bilang, ‘Eh, anakku mau kemana?’ waktu aku mau bolos. Akhirnya aku gak jadi bolos dan malah nangis.” Memorinya tertarik pada masa kala itu. Bagaimana sosok paruh baya tersebut di sekolahnya selalu memberikan banyak kasih sayang pada anak yang bahkan tak ia kenal.

Ada sosok yang memberikan kasih sayang pada siapapun tanpa pengeculian dan ada pula sosok yang bahkan tak pernah memberikan secuil kasih sayang pada anaknya sendiri. Sebuah bagian keadilan dari dunia yang Jeanath benci.

Sebenarnya, apa yang Jeanath harapkan? Semua asanya telah pupus sekarang. Angan-angan yang mengharapkan keajaiban terjadi pada keluarganya tak pernah ada dalam goresan takdir.

Pada akhirnya, ia hanya tersakiti oleh harapannya sendiri.

“After all the pain they gave to me, why do I still want them to live with me happily?” tanya Jeanath setengah berbisik.

Jika langit ingin mendengarkan keegoisannya, maka Jeanath dengan senang hati merapalkan doa, bahwa jangan pernah mempertemukan kebahagiaan pada kedua orang tuanya setelah mereka bercerai. Kemudian, doanya berlanjut untuk mempertemukan kembali mereka, dengan perasaan berbeda hingga membangun kebahagiaan baru dan ia terlibat di dalamnya.

Jeanath Gianna dan kenaifannya akan selalu termakan angan yang tak pernah tergapai.

Pada akhirnya, ia akan selalu ditinggalkan.

Apa yang sebenarnya ia harapkan?

Sang takdir pun mempertegas jika ia tak akan menggapai kebahagiaan yang menyeret orang tuanya.

Definisi kebahagian mereka saja berbeda, harus disatukan oleh apalagi jika takdir tak merestui? Lantas, mengapa ia harus menangisi keadaan yang sekarang terjadi? Hatinya telah dipersiapkan dari jauh hari, tetapi ia masih tetap bersedih.

Seumpama dunia akan hancur ketika dirinya bersedih, ia akan bersedih sepanjang hari. Memberitahu pada setiap orang bahwa lara sedang menghampiri dan ia butuh banyak afeksi.

Namun, dunia tak pernah berubah. Walaupun ia bersedih dengan rasa sakit yang terus menghampiri, dunia tetap berjalan seperti biasa. Meninggalkannya dalam keterpurukan.

Kepalanya berdengung, sekali lagi, ia bertanya pada dirinya sendiri.

Lantas, apa yang ia harapkan?

Tidak ada.

Kali ini, ia akan berhenti berharap.

Netra sayunya berkedip pelan. Menatap Jaziel yang masih setia mendengarkannya.

“I’m tired.”

Adalah kalimat terakhir yang Jeanath ucapkan, sebelum Jaziel mendekapnya erat.

Hari esok, mungkin mereka tak pernah sama lagi. Sebab, Jeanath ingin menyerah pada keadaan dan membiarkan Jaziel pergi.

Bukankah Jaziel terlalu sempurna untuk sosok yang tidak memiliki apa-apa seperti Jeanath?

Sepasang netra terus menatap dua ikan peliharaannya. Sesekali ia berceloteh dengan keheningan sebagai balasan. Merasa lelah, Jeanath mengembuskan napasnya kasar. Melirik sosok yang masih sibuk bercengkrama dengan buku dalam genggaman.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam lebih. Namun, sosok yang terdiam sembari duduk manis di atas karpet itu agaknya enggan menghentikan aktivitasnya. Memilih menciptakan dunia yang tak tersentuh, bahkan oleh sang bunga hati.

Eksistensi yang tak diacuhkan itu bergejolak, menginginkan sebuah atensi. Berlandaskan dorongan agregasi dari afeksi, ia pergi. Berkelana untuk mencari kesenangan diri.

Langkahnya tertarik menuju kamar, membuat suara bising di sana, sebelum kembali dengan perkakas tempur yang dimiliki. Kali ini, Jeanath tak boleh kalah dari buku tebal yang menjadi pusat atensi Jaziel. Berjalan dengan penuh semangat untuk menghampiri kekasihnya.

Disimpannya kursi yang ia bawa tepat di belakang Jaziel, kemudian mulai menjalankan aksinya. Jeanath mengeluarkan sisir, merapikan rambut Jaziel tanpa bersuara.

Perlakuan Jeanath itu membuat sudut bibir Jaziel berkedut, menahan senyuman.

“Mau dipotong pake model apa, Pak?” tanya Jeanath tiba-tiba.

Jaziel mengulum bibirnya, sebelum menjawab, “Terserah Masnya aja.”

“Dibotakin, mau?” Jeanath kembali bertanya. Kali ini ia memajukan wajahnya, bersemayan tepat di sebelah telinga kanan Jaziel.

“Boleh,” kata Jaziel setuju seraya mengangguk singkat.

Jeanath menarik dirinya, kembali duduk tegak. Tangannya meraih helai rambut Jaziel. “Wah, saya gak punya alat cukurnya, Pak. Diiket aja ya rambutnya,” ucap Jeanath dengan tangan kiri yang sibuk mencari tali rambut.

Dasar barbershop abal-abal.

Absensi dari lawan bicara membuat Jeanath lebih fokus. Bibirnya maju tanpa sadar, kerutan halus di kening tercipta, memperlihatkan keseriusannya dalam melakukan pekerjaan bohongannya sebagai tukang pangkas rambut dadakan.

Sebuah senyuman terbit pada wajah Jeanath tatkala melihat karya yang ia buat.

Apple hair tepat di tengah surai milik Jaziel.

“Mau lihat wajahnya dong, Pak. Nengok bentar aja.” Telapak tangan Jeanath menepuk bahu Jaziel. Sedikit keras dengan adanya sedikit paksaan.

Alih-alih menoleh, Jaziel mengadah untuk mempertemukan netra mereka. Dengan Jeanath yang tertunduk, keduanya spontan bertatapan. Ada sebuah tarikan yang kuat hingga Jeanath tak dapat melepaskan pandangannya dari wajah Jaziel. Menelusuri setiap lekukan di sana, sebelum memberikan kecupan singkat pada hidung kekasihnya.

Perlakuan yang tidak diantipasi oleh Jaziel itu membuatnya terbelalak.

“Halo? Pak? Kok bengong?” tanya Jeanath seraya menusuk pelan pipi Jaziel dengan telunjuknya.

Masih tak mendapatkan respon, Jeanath melambaikan tangan tepat di atas mata Jaziel.

“Senon?” panggil Jeanath.

Akhirnya, Jaziel mengedipkan mata. Ia kemudian menganggkat wajahnya dan duduk seperti semula. Berdeham seraya menahan jantung yang ingin meloncat dari rongga dada.

“Senon?” Jeanath kembali memanggil namanya. Sosok itu merangkak turun dari kursi, lalu menempatkan dirinya di sebelah Jaziel.

Jaziel menoleh, menemukan Jeanath yang menatapnya bingung.

“Kaget,” jelas Jaziel singkat, suaranya sedikit serak.

Alis Jeanath saling bertaut. “Padahal mau ngajak ciuman bibir,” ucap Jeanath pelan.

Baik perbuatan maupun perkataan Jeanath, semuanya tak baik untuk kesehatan jantung Jaziel.

“Belajar, Na.” Jaziel mengalihkan pembicaraan. Diraihnya buku yang sempat ia tinggal.

“Udah jam 12! Masa masih belajar?! Mending tidur!” seru Jeanath kesal.

Tak habis pikir dengan Jaziel dan kegemarannya, ralat, obsesinya dalam belajar.

“Tapi sebelum tidur ciuman dulu,” lanjut Jeanath. Ditariknya lengan baju Jaziel, membuat sang empunya menghela napas.

Kacamata yang bertengger manis pada hidung Jaziel kini dilepas. Jaziel memijat pangkal hidungnya, sebelum kembali menaruh atensi pada Jeanath. Berniat menolak permintaan Jeanath dengan tegas, namun ketika netranya menangkap ekspresi cemberut, di mana bibir itu mengerucut, tekadnya pecah begitu saja. Terurai oleh keinginan yang sama dengan Jeanath.

“Sebentar aja, ya?” ucap Jaziel pada akhirnya. menelan tujuan untuk menolak.

Jeanath mengangguk seraya tersenyum lebar. Kelopak mata itu bergerak untuk menutupi netranya. Bersiap menerima ciuman dari Jaziel. Melihat itu, Jaziel merapalkan doa dalam hati. Bertelepati dengan langit untuk mengigatkannya agar tak bertindak terlalu jauh.

Jarak yang memisahkan mereka terkikis tatkala Jaziel mulai mendekatkan wajahnya. Ia memerhatikan bagaimana bulu mata Jeanath berdiam diri dengan indahnya di wajah sang pemilik. Pandangannya turun ke bawah, pada bibir ranum yang sudah lama tak ia kecup.

Diselimuti perasaan yang campur aduk, Jaziel mulai menempelkan bibir mereka. Menimbang apakah ia harus berhenti di sini atau bergerak lebih jauh.

Pada akhirnya, Jaziel memilih jalan tengah; bergerak sedikit lebih jauh. Hanya memberikan lumatan kecil di awal, sebelum menjadi sebuah candu, sebab hadirnya rasa manis setiap kali bibir itu tercicipi.

Kan, ini alasan Jaziel tidak mau diajak ciuman. Takut tak bisa menahan hormon remajanya yang masih mengebu. Tapi tenang saja, ia masih punya banyak kesadaran untuk tidak bertindak lebih jauh.

Sementara Udin dan Adin kembali menjadi saksi kegiatan yang tertutupi kabut asmara.

Gelombang suara yang mengetuk daun telinga membuat susunan kerangka bekerja secara instuitif. Telapak kaki berpijak dengan tekanan yang keras hingga langkahnya menimbulkan dentuman. Tanpa perlu melihat sang tamu melalui monitor, Jeanath membuka pintu. Menyambutnya dengan senyuman manis.

Lupakan semua hal yang terjadi pada mereka sebelumnya. Tak ada rasa kesal yang menekan rongga dada hingga pembuluh darah menyempit yang lantas mengganggu kemampuan berpikir jernih. Ketika dua pasang netra itu bertemu, hanya kebahagiaan yang hadir. Kemudian, ambang pintu menjadi saksi bagaimana keduanya saling terkekeh.

Jeanath menarik tangan Jaziel, membawanya masuk seraya menutup pintu. Manik matanya memerhatikan bagaimana Jaziel menyimpan sepatu pada rak yang berdiam diri di dekat sana. Setelah postur tubuh Jaziel kembali tegak, Jeanath menubrukkan dirinya, memeluk sosok yang ia rindukan dengan erat.

Pelukan itu menerbitkan sebuah senyuman di wajah Jaziel. Ia membalas pelukan Jeanath, lalu mengayunkan tubuh mereka. Dalam pelukannya, Jeanath mendongakkan wajah.

“How was your day?” Netranya menelisik pada obsidian, menerka-nerka apa yang Jaziel lakukan hari ini.

Jemari Jaziel menyisir surai Jeanath, sebelum bersuara. “Just so so. How about you?” tanyanya.

Sebuah kerutan halus tercipta pada kening Jeanath. Pikirannya ditarik pada serangkai kejadian hari ini, yang bahkan Jeanath sudah lupa hal apa yang telah dilakukannya. Kecuali fakta bahwa suasana hati yang tak baik dengan kerinduan yang terselip.

“Not good.” Rasa kesal yang mendatanginya membuat Jeanath mengerucutkan bibir.

Sinyal yang terpancar dari akumulasi endapan masygur ditangkap dengan baik oleh Jaziel. Jemari yang bersentuhan langsung dengan kulit kepala kini terangkat untuk mengelus rambut Jeanath, berusaha meredakan kekesalan yang menggerogoti hati.

“Aku bawa bubur kacang ijo,” ujar Jaziel seraya meregangkan pelukan mereka, mengangkat tangan kirinya untuk memperlihatkan sebuah kantung plastik pada Jeanath.

“Ngobrolnya sambil makan ini, ya?” Usulan Jaziel membuat Jeanath mengangguk senang.

Setelah melepaskan pelukannya dari pinggang Jaziel, tangan Jeanath bergerak untuk bertaut dengan jemari Jaziel, meniciptakan genggaman. Jeanath duduk di atas karpet beludru miliknya, sedangkan Jaziel bergegas menuju dapur, mengambil peralatan makan mereka. Seraya menunggu, Jeanath berkutat dengan televisi di depannya.

Langkah kaki yang terdengar tak lantas mengalihkan atensi Jeanath, sibuk memilih hiburan untuk ditonton, walaupun pilihannya pasti akan berakhir pada The Secret Life of Pets.

“Nonton Snowball aja ya?” Telunjuk Jeanath menekan tombol remot yang membuat film terputar secara direk.

“Thank you,” ucap Jeanath ketika sadar Jaziel memberikannya mangkuk yang berisi bubur kacang ijo.

Jaziel duduk tepat di samping Jeanath, menaruh mangkuknya di atas meja dan mulai ikut menonton. “Gimana tadi di sekolah? Ngapain aja?” tanya Jaziel.

“Belajar, terus apalagi ya? Gak tau lupa.” Jeanath menjawab dengan netra yang terus memandang layar televisi.

“Kamu ngapain aja? Foto yang di-upload di Twitter itu di mana? Lagi apa?” Atensi Jeanath akhirnya berpusat pada Jaziel.

“Sama Jian, minta diajarin fisika sambil sekalian minta PJ,” jawab Jaziel.

Alis Jeanath saling bertaut ketika mendengar nama yang asing di telinganya. Pada dasarnya, ingatan Jeanath terhadap nama sangatlah buruk.

“Jian tuh yang mana?” Jeanath bertanya seraya berpikir, berusaha menemukan sebuah folder daftar nama orang yang ia kenal pada data di otak.

“Ketua kelas aku, yang kepalanya segede gini.” Sendok yang berisi kacang ijo itu dijulurkan oleh Jaziel.

Rasanya Jeanath mulai mengingat sosok dengan ukuran kepala yang digambarkan seperti kacang oleh Jaziel itu.

“Oh! Yang ganteng?!” Nada riang dalam suaranya membuat wajah Jaziel tertekuk.

“Enggak. Gantengan aku.” Kemudian Jaziel melahap makanan milikinya dengan kasar.

Menangkap sebuah kecemburuan, Jeanath tersenyum geli. Tangannya terangkat, lalu mengusap surai Jaziel lembut. Perlakuan itu membuat Jaziel menoleh, mendapati senyuman Jeanath yang mengonversi setitik rasa cemburu menjadi sebuah kehangatan pada relung dada.

Dibalik kacamata yang Jaziel kenakan, ia dapat melihat kelelahan yang bersembunyi di balik binar mata Jeanath. Dielusnya kantung mata yang terlihat jelas, membuat sang empunya terpejam.

“Is that really hard? To think about your future? Am I pushing you too much?” tanya Jaziel, merasa bersalah atas perlakuannya terhadap Jeanath.

Sekonyong-konyong kelopak mata Jeanath terbuka. Menatap Jaziel sekilas, sebelum mengalihkan pandangan. Bagian dalam bibir bawahnya ia gigit dengan keras, ada sebuah alasan yang sulit terucap.

“I never think about that.” Suara Jeanath terdengar mengambang. Manik matanya menatap bahu Jaziel dengan kosong.

“I never think about my future before. Isn’t that scary? To think about the future? Thinking about the things that I wanna do and what kind of a person I wanna be. What kind of person I wanna be? I don’t know. People don’t have any expectations from me, so neither do I. I don’t even have an expectation for myself either,” jelas Jeanath.

Jaziel melebarkan matanya, setiap kata yang terucap berputar layaknya kaset rusak dalam kepala. Ada tekanan yang besar pada rongga dada, seolah menginginkan sesuatu keluar dari sana, tetapi tertahan sehingga menjadi divergen; menjadikannya sebuah rasa sesak.

“How about your dream? Do you have any dreams?” tanya Jaziel pelan, hampir berbisik.

Pupil yang diselimuti kebingungan itu bergerak menatap Jaziel, lalu menggeleng sebagai jawaban.

“Your childhood dream? What’s your dream job back then when you’re still a kid?” Jaziel kembali bertanya.

“A nurse I think? Because my grandma was sick and I want to take care of her. When I saw the nurses at the hospital, they’re really kind and treated my grandma so well.” Sekelebat bayangan tentang sang nenek membuat Jeanath tersenyum tipis.

Kemudian sekilas bayangan lainnya muncul, menghapus senyum Jeanath seketika.

“My mom was really mad when she knew I wanna be a nurse. First, she told me that i’m way too dumb to be one of them and then she said I couldn’t never be a ‘man’ if I were a nurse,” lanjutnya.

Menemukan Jaziel yang termangu, Jeanath meraih lengan sosok itu. Membawanya kembali pada dunia tempat mereka berdiam diri.

Sebuah konklusi tercapai, bahwa sumber ketakutan Jeanath berawal dari perkataan ibunya sendiri. Melekat dalam memori yang tak terhapus oleh waktu, menggoreskan sebuah luka pada hati yang kontinu. Atas tutur kata yang mungkin terucap tanpa dipikirkan terlebih dahulu, ia akan terus terbelenggu.

Jika Jaziel tidak menjunjung rasa hormat dan sopan santun, atau melupakan sebuah ikatan darah, mungkin sekarang ia sudah bergegas pergi untuk mengamuk di depan ibu Jeanath.

Atensi Jaziel kini sepenuhnya berada pada Jeanath. Perasaan bersalah semakin memenuhi ruang di hati. Seharusnya, ia mendorong Jeanath untuk memikirkan masa depannya dengan lebih baik. Bukan menyerahkan semuanya pada Jeanath tanpa membantu memberikan dukungan yang nyata.

Diraihnya tangan Jeanath dengan lembut, lalu memberikan belaian di atas punggung tangannya.

“You can be anything you want, Gianna. If you’re too scared to think about your future, that’s okay. But it doesn’t mean you don’t have to think about it. The future is an infinite room to step on, you can go anywhere you like, you can be anything, and do whatever you want. It’s only you and the dream you have arranged. If you think that you’ll never good to be anything, you’re wrong. You just haven’t realised the biggest potential in yourself yet. Let’s take baby steps, okay?” Rakangaian kalimat yang terucap mengalir dengan tenang, meyelami lautan pikiran yang tengah terombang-ambing.

“Bung Karno pernah bilang, bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang. Tapi, khusus buat Giannanya aku, kalau jatuh gak bakal jatuh di antara bintang-bintang. Soalnya ada aku yang selalu siap nangkap kamu kapapun kamu jatuh. Abis itu, kamunya sama aku dilempar lagi ke atas,” lanjut Jaziel yang diakhiri dengan gurauan. Tak sepenuhnya bergurau, hanya sedikit mengurai atmosfer menjadi lebih santai.

Hadirnya senyuman di wajah Jeanath membuat Jaziel ikut menarik bibirnya ke atas. Jeanath lantas berdiri, sebelum menempatkan dirinya di atas pangkuan Jaziel. Mengalunkan tangan di leher kekasihnya seraya memejamkan mata.

Jaziel mendekap sosok yang terpejam. Menaruh dagunya pada pucuk kepala Jeanath, sesekali memberikan kecupan kecil di sana.

“Mau dengerin cerita anak yang punya cita-cita jadi robot engineer gak?” tanya Jaziel seraya menggesekkan hidungnya pada kepala Jeanath.

Ketika Jeanath mengangguk, Jaziel tersenyum. Kemudian, ia mulai bercerita yang menjadi sebuah pengantar tidur hingga menuntun Jeanath pada alam mimpi.