Satu demi satu terkaan dalam kepalanya berkelana jauh ketika tak mendapatkan sebuah jawaban pasti. Sosok yang mengenakan cardigan putih dan light jeans itu memandang gedung pencakar langit. Hanya satu hal yang ia tahu; mereka akan meninggalkan Jakarta. Kini atensinya beralih, menatap Jaziel yang memakai pakaian serba hitam. Dimulai dari topi, hoodie, hingga jeans, semuanya berwarna hitam sampai Jeanath berpikir mungkin mereka akan pergi melayat.
Sebenarnya, dimanapun tempat tujuan mereka, Jeanath tak begitu peduli. Bahkan, jika Jaziel membawanya pergi bertenda di tengah gurun Saraha, ia tak keberatan sama sekali. Syaratnya hanya satu, asalkan Jaziel bersamanya.
Bersama dengan Jaziel.
Ah, rasanya baru kemarin mereka bertemu dan saling melemparkan pandangan sinis. Jeanath masih ingat tatapan dingin yang Jaziel berikan padanya ketika mereka pertama kali bertemu. Keadaan telah berbanding terbalik sekarang. Bagaimana kedua orang yang sangat bertolak belakang itu akhirnya berakhir bersama?
Kemudian, sebuah fakta terlintas pada pikiran yang sedang terbang tinggi. Masa SMA mereka akan segera usai.
“Senon,” panggil Jeanath pelan.
“Hm?” gumam Jaziel sebagai respon.
“Aku jadi iri sama Raje.” Sebuah pengakuan tiba-tiba itu membuat Jaziel menoleh.
Netranya menangkap Jeanath yang tengah tersenyum.
“Kenapa emang?” Jaziel bertanya setelah pandangannya kembali ke depan.
“Bukan ke Raje doang sih, tapi ke semua orang yang kenal kamu dari lama,” ucap Jeanath.
“Gimana ya kalau kita kenal jauh sebelum nilai kimia aku minus? Minimal waktu kita masih kelas 11 deh,” lanjutnya seraya memandangkan jalanan yang tak terlalu padat.
“Kalau kita kenal lebih dulu, mungkin kita gak bakal kayak gini atau mungkin lebih dari ini? Gak tau juga. Tapi yang pasti, aku percaya kalau takdir bikin kita ketemu di waktu yang tepat. Dulu, ada banyak hal yang terjadi di hidup aku dan mungkin aku gak kepikiran buat suka sama orang lain karena alasan itu.” Lontaran yang terucap itu membuat Jeanath tersadar, bahwa tataran takdir tak mungkin salah.
“Right, everything happens for a reason,” bisik Jeanath pelan.
Kedua sudut bibir Jeanath tertarik ke atas, membuat sebuah senyuman manis tercipta.
“Sebenernya aku lagi takut.” Jeanath kembali bersuara.
“Gimana kalau aku gak bisa sekampus sama kamu? Gimana kalau akhirnya, bakal ada jarak yang misahin kita berdua?” tanyanya dengan netra yang memandang Jaziel.
Melihat Jaziel yang berancang untuk mengeluarkan suara, Jeanath berucap, “Jangan ngomong dulu. Aku belum selesai.”
“Gak ada yang bisa aku lakuin lagi selain berusaha, kan? Kalau emang aku gak bisa ngejar mimpi aku bareng sama kamu, mau gimana lagi? Yang penting aku udah berusaha dan mungkin hal itu yang bisa bikin hubungan kita lebih maju ke depannya
The future is really an infinite room to step on. Setiap aku mikirin tentang masa depan, aku ngerasa seneng sama takut di waktu yang sama. Tapi, dari rasa takut itu, aku jadi punya dorongan kuat buat berusaha lebih keras.” Jeanath melanjutnya ucapannya.
Sebuah usapan lembut di kepalanya seakan meringankan bongkahan kerikil yang memenuhi pikiran Jeanath.
“Pacar aku keren banget,” ujar Jaziel seraya tersenyum.
Medengar pujian dari kekasihnya, Jeanath tersipu. Menahan sekuat mungkin agar senyumnya tak terlalu lebar.
“Aku nyatet semua hal yang pengen aku lakuin di sini. Kamu mau tau gak?” tanya Jeanath tiba-tiba.
“Bentar, aku ambil dulu.” Jeanath melepas sabuk pengamannya agar dapat bergerak bebas.
Tubuhnya berbalik ke belakang, mengambil tas ransel yang ia simpan di sana. Ia kembali duduk seperti semula seraya mengambil benda persegi panjang yang berukuran besar.
“Nih, lihat. Di sini ada masuk ke ITB bareng Senon, tinggal bareng Senon, ikut organisasi tapi gak tau apa soalnya aku gak pernah ikut organisasi sebelumnya, terus jalan bareng Senon setiap Sabtu di Bandung,” ucap Jeanath tanpa jeda.
“Banyak pokoknya di sini! Aku nulis apa lagi ya? Nikah sama Senon diumur 30 tahun? Eh, jangan deh, kelamaan. Umur 26 tahun aja kali ya.” Entah pada siapa pertanyaan Jeanath ditujukan.
“Kenapa gak pas lulus kuliah aja?” tanya Jaziel.
Aktivitas Jeanafh terhenti, atensinya tertarik pada Jaziel dan pertanyaannya.
“Soalnya pasti banyak hal yang pengen kita lakuin dulu nanti sebelum nikah. Dunia ini gak cuman terkait sama cinta mulu, kan,” jawab Jeanath, pandangannya kembali beralih pada ipad yang ia pegang.
“Baru deh abis itu nikah. Terus ini, karena Senon gak suka manusia, di umur 50 tahun, kita pindah ke Mars bareng Udin, Adin, Odin, Udon, Kolang, Kaling.” Jeanath berkata dengan jemari yang sibuk mengetik di atas layar.
Mengetahui antusiasme Jeanath yang begitu besar tentang masa depan, Jaziel menggeleng sembari tersenyum.
Sebuah pemikiran terlintas di benak Jeanath, membuat ia mengerutkan kedua alisnya. “Aku gak mau tau ya, pokoknya kita gak boleh sampai putus.”
“Coba buat perjanjian biar kalau mau putus harus mikir beberapa kali dulu.” Perkataan Jaziel membuat Jeanath menyipitkan matanya.
“Contoh?” tanya Jeanath.
“Kalau kamu minta putus, aku bakal tagih biaya tutor terus dipakein bunga,” jawab Jaziel.
“Terus kalau kamu yang minta putus gimana?” Jeanath kembali bertanya.
“Aku harus minta ganti bibir gitu?” Lanjutnya sambil cemberut.
Jaziel mengulurkan tangan kirinya, sebelum berkata, “Deal.”
Netra milik Jeanath menatap telapak tangan Jaziel sekilas, sebelum ia menaruh tangannya di sana.
“Deal.”
Perjalanan mereka dipenuhi oleh suara Jeanath bersama mimpi yang ia tabur.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Jaziel merengganggkan otot tubuhnya yang kaku. Mendengar dengkuran halus di sampingnya, membuat ia menoleh. Tersenyum tatkala melihat Jeanath yang terlelap.
“Gianna,” panggil Jaziel.
Diusapnya pipi Jeanath dengan lembut. “Wake up, sleeping beauty. We've arrived.”
Kelopak mata yang terpejam perlahan terbuka, memperlihatkan manik indah di dalamnya. Jeanath menatap sekitar dengan kesadaran yang belum penuh.
“Udah nyampe?” tanya Jeanath dengan suara yang serak.
Alih-alih menjawab pertanyaan yang terlontar, Jaziel mengambil botol minum miliknya, kemudian memberikannya pada Jeanath.
“Thank you.” Tangan Jeanath meraih botol tersebut sebelum meneguknya dengan rakus.
Ketika kesadarannya sudah hampir penuh, Jeanath menatap sekelilingnya. Matahari masih berada tepat di atas kepalanya dan netranya menangkap dengan baik pemandangan yang disuguhi oleh semesta.
Sebuah ladang bunga menyapa indera penglihatannya, membawa pada sebuah perasaan kagum.
Terlarut dengan pikirannya sendiri, Jeanath tak sadar jika Jaziel telah keluar dan membukakan pintu untuknya. Baru ketika terpaan angin menggelitiki permukaan kulit, Jeanath kembali ditarik pada dunianya berada.
“Ayo,” ajak Jaziel, meraih tangan Jeanath dan membawanya ke dalam genggaman.
Embusan angin menyapa tatkala Jeanath keluar dari mobil. Netranya terus berkelana, melihat berbagai kumpulan bunga yang tertata rapi. Perbedaan warna yang mencolok dari kumpulan bunga itu seolah membuat matanya terasa lebih segar. Belum lagi udara di sekitarnya yang terasa lebih dingin walaupun sang surya tengah menyengatnya di atas sana.
Semakin lama mereka berjalan, ladang bunga di sekitarnya ikut menghilang. Digantikan oleh hijauan dari rerumputan. Tanah yang ia injak tidak lagi mendatar, membuat gengamannya pada tangan Jaziel lebih erat.
“Capek gak?” tanya Jaziel ketika keduanya mencapai puncak bukit.
Jeanath mengggeleng sebagai jawaban, matanya masih sibuk memandang sekeliling. Dari atas sini, ia dapat melihat permukiman yang tersusun rapi. Kemudian tatapannya berhenti pada sebuah bangunan paling besar di antara deretan rumah-rumah.
Rasanya begitu familiar, seolah ia pernah berada di sini jauh sebelumnya. Seolah ia berada pada tanah yang pernah terpijak.
“Di sana, aku pernah buat janji sama seseorang.” Pandangan Jeanath mengikuti tangan Jaziel yang menunjuk bangunan besar tersebut.
Bangunan yang membuat Jeanath ditarik paksa pada untaian kejadian dalam hidupnya. Mencari memori yang sukar ditemukan, padahal ia yakin pernah melihat bangunan tersebut.
“Butuh waktu 10 tahun buat akhirnya aku menuhin janji itu.” Ucapan Jaziel tak dapat Jeanath tangkap sepenuhnya.
Jeanath berada dalam ambang kebingungan hingga ia tak dapat berpikir jernih.
“Gianna,” panggil Jaziel bersamaan dengan kencangnya angin yang menerpa.
Ditatapnya Jaziel dengan mata yang terbalut rasa bingung. Kemudian, matanya menangkap sebuah buku yang sangat ia kenal.
Charlotte's Web
Tak dapat memahami rangkaian kejadian yang tengah terjadi, Jeanath mengedipkan matanya. Menerka apa ia tengah bermimpi? Sebab, ia tak tahu apa yang berlangsung menimpanya.
“This is yours.” Jeanath mendongak, menatap Jaziel seakan meminta penjelasan lebih.
Melihat Jeanath yang tengah kebingungan, Jaziel tersenyum simpul.
“Aku gak tau kamu masih inget atau lupa, tapi ini punya kamu. Sepuluh tahun yang lalu, kita pernah ketemu,” jelas Jaziel.
“Kamu minjemin buku ini ke aku, bilang kalau aku harus ngembaliin bukunya besok, tapi kita gak pernah ketemu lagi.
Sampai akhirnya aku disuruh meriksa kertas ulangan kelas kamu dan ngasih kamu nilai minus.” Penjelasan Jaziel masuk ke dalam telinga Jeanath, berputar beberapa kali dalam kepalanya sebelum dapat diterjemahkan dengan baik.
Sepuluh tahun yang lalu.
Potongan memori yang terputar tak begitu jelas dalam otaknya. Jeanath lantas membulatkan mata dan menatap Jaziel tak percaya.
“Bentar!” seru Jeanath, kemudian ia mengambil buku pada tangan Jaziel dengan cepat.
Membuka satu persatu halaman, sebelum melihat secarik kertas dengan sebuah tinta pena yang sudah pudar.
“Lilpup?” bisik Jeanath, masih terdengar jelas oleh Jaziel.
“Aku inget! Kamu yang nemenin aku waktu Oma operasi kan?” tanya Jeanath.
Mendapatkan anggukkan dari Jaziel, Jeanath menutup mulut dengan tangannya. Tak percaya bahwa dirinya pernah bertemu dengan Jaziel jauh sebelum itu.
“Kamu udah tau sejak kapan?” Jeanath kembali bertanya, kali ini suaranya sedikit bergetar.
“Dari waktu kamu ngasih buku yang sama,” jawab Jaziel.
“You're the little puppy who stole my favorite book!”
“I'm not stealing it. You're the one who gave me the book.”
Tawa keduanya pecah, saling bersahutan dan mendayu seiring dengan angin yang berembus.
Di akhir tawanya, Jeanath tersenyum. “We're meant to be.”
Jaziel mengangguk kecil. Senyuman pada wajahnya terus mengembang. Ada sebuah titik kesenduan dalam obisidiannya.
“The reason why I keep fighting against the world, even they took 2 precious people in my life is the sentence you wrote.
We born, we live a little while, and we die. But meet a lot of people, we learn a lot of things, we feel different emotions, and we always find the reason to be happy again.
Two years ago, I feel like my world was falling apart. The best dad in my life was gone and my mother hates me. But I always keep remembering that one day, I'll find the reason to be happy again and here I am. I was about to give up, but then I met you. I finally found the source of my happiness.
So, thank you. Thank you for coming into my life again. Thanks for loving me and giving me the warmest hug when I need it. Thank you so much, Snowball.”
Tutur kata yang terucap berkumpul menjadi sebuah kesatuan yang tersimpan dalam relung hati. Mengonversi setiap kata menjadi sebuah emosi yang berhimpun pada pelupuk lakrimasi. Susunan kata yang mampu membuat Jeanath menangis, mungkin akan terus tersimpan abadi.
Dunia mereka tak pernah mudah. Sekiranya mereka adalah dua orang yang bertolak belakang, Jeanath salah. Nyatanya, mereka tidak benar-benar berbeda. Keduanya hanya dua remaja penuh luka dengan hasil ekspresi rasa sakit yang berbeda.
“Snowball,” panggil Jaziel dengan lembut.
Jemarinya mengusap air mata yang mengalir di atas pipi Jeanath.
“The same goes for me. Thank you for coming into my life and thought me a lot of things. Thank you for not giving up and always be there for me whenever I need someone to lean on,” ucap Jeanath seraya mengatur deru napasnya yang tak teratur.
Tubuh yang tengah bergetar karena menahan isak tangis itu didekap dengan erat. Diusapnya punggung Jeanath, memberikan rasa nyaman di sana.
“Anytime, Snowball,” balas Jaziel seraya mengendus Jeanath.
Ketika deru napas Jeanath sudah kembali stabil, Jaziel merenggangkan pelukan mereka. Menghapus jejak bekas air mata, lalu meraup pipi Jeanath dengan kedua tangannya.
“Tadi aku mau nangis, tapi keduluan sama kamu.” Jaziel berkata jenaka, membuat Jeanath terkekeh.
Keduanya saling melempar tatapan. Mengamati pahatan karya Tuhan yang mereka suka.
“Can I kiss you?” tanya Jaziel memecah kehingan.
Jeanath mengedipkan matanya, sebelum tersenyum dan mengangguk kecil.
Mendapatkan izin dari Jeanath, sudut bibir Jaziel tertarik ke atas. Menciptakan sebuah senyuman lebar atas dasar kebahagiaan hati.
Tatkala Jeanath memejamkan mata, embusan angin datang untuk menerpa. Menyibakkan rambut depan Jeanath. Alhasil, Jaziel termenung sebentar. Menikmati pemandangan indah di depannya dan menyimpannya dengan baik dalam kepala.
Kemudian, pandangannya turun ke bawah. Tepat pada bibir bak buah ranum milik Jeanath. Napas Jaziel memberat. Ia mulai menghapus jarak di antara mereka hingga bibir keduanya saling menempel.
Manis.
Lantas, Jaziel menarik tenguk Jeanath untuk memperdalam tautan mereka. Memberikan lumatan-lumatan kecil di sana.
Di atas langit senja yang dipenuhi jingga, sang surya mulai tenggelam. Ditutupi oleh kumpulan awan seakan ia ikut tersipu malu menyaksikan kisah cinta remaja. Burung gereja ikut bersorak, memberikan nyanyian di atas pepohonan yang menjulang tinggi.
Kisah mereka tak pernah berhenti di sini. Keduanya akan terus berjalan berdampingan melewati jalanan takdir.