Coming home
Deru napas yang teratur tak menggambarkan bagimana kusutnya isi kepala Jeanath. Netranya memandang langit-langit kamar dengan lekat, seolah mencari jawaban atas pertanyaan yang berselok-selok. Tubuhnya terlentang di atas ranjang, membiarkan aliran darahnya mencapai otak secepat mungkin, berharap menjernihkan abstraksi dalam pikiran.
Di tengah alienasi atas keinginan hati, kesenyapan menggerogoti tubuhnya secara perlahan. Membawanya pada sebuah melakoni tanpa terminasi.
Sudah berapa hari ia berdiam diri?
Waktu dalam hidupnya terasa terhenti, seolah hari ini adalah kemarin dan esok akan tetap menjadi kemarin.
Jeanath menoleh, menatap jendela yang tertutup oleh tirai.
Sudah berapa lama ia tak menghirup udara segar?
Alih-alih menjawab pertanyaannya sendiri, Jeanath terbawa oleh ombak pikiran. Hanyut di tengah samudera gelap gulita dan terombang-ambing di sana. Tersesat dalam kungkungan kebingungan.
Merasakan badai kekeringan melanda tenggorokannya, Jeanath bangun dari posisi tidur. Mungkin seteguk air dapat menjadi sedikit penyegar di tengah kalutnya pikiran.
Kaki yang terbalut celana kain berwana krem itu berjalan pelan keluar dari kamar. Langkahnya ia bawa menuju dapur, mengambil salah satu gelas secara asal, sebelum mengisinya dengan air. Jeanath menaruh gelasnya di tempat peranti elektronik, namun tak ada air yang keluar.
Apa hari ini takdir tengah menyeretnya untuk keluar dari tempurung, memberitahukan jika ada dunia lain di luar sana yang sedang berjalan? Menekankan jika bumi masih berputar pada porosnya dan waktu tak pernah terhenti. Pada akhirnya, kumpulan sekon akan tetap berlanjut menjadi menit.
Walaupun dirinya meronta ingin tetap diam di tempatnya berada, entah mengapa, langkah kakinya terasa ringan. Seakan ada sesuatu yang menunggunya di luar sana atau entah mungkin hanya bagian dari angan belakanya saja.
Ditemani dengan rasa gugup, Jeanath membuka pintu apartemennya. Ketika pintu terbuka seutuhnya, manik matanya menatap kosong sekumpulan benda yang tersimpan di depan pintu. Termenung tatkala menangkap sebuah tempat makan yang familiar
Apakah Hamsa selalu mengantarkan makanan untuknya selama ini?
Kemudian netra itu bergerak pelan, mengamati semua barang yang berdiam diri di depannya. Ada banyak barang hingga makanan. Dimulai dari sebuah nitendo dengan tulisan ‘ayo mabar’ di atasnya hingga tempat makan lain berwana kuning yang pernah Jeanath lihat sebelumnya. Dari semua banyaknya hal di sana, netra itu terhenti pada sebuah kotak yang bertuliskan ‘From: Your Only Senon’.
Jantung Jeanath berdegup cepat. Diambilnya kotak itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ada perasaan tak sabar yang mendorongnya untuk secepat mungkin membuka bingkisan di tangannya.
Sebuah binokular menyapa indera penglihatan ketika Jeanath berhasil membuka kotak tersebut. Netranya beralih menatap secarik surat di sana, mengambilnya lalu membaca untaian aksara yang tersusun.
“If this part of the world is too cruel for you, see another part of it that might bring you to the happiness. Remember when you said we can fight the darkness together? The dark always be there, but the star needs the darkness to exist. The dark always be there, so you can be stronger and become the brightest star.
See another part of the world where the pretty constellations of stars offering you a joy.”
Udara di sekitar Jeanath seakan menipis, menekan relung dada sehingga membuatnya sesak. Jemari tangan yang masih bergetar itu mengambil kertas kecil yang tertutupi oleh surat.
“Meet me when you are ready at the place where we became boyfriends.
I’ll be waiting.”
Apa yang sebenarnya Jeanath lakukan? Sudah berapa lama ia membawa dirinya pada kesedihan yang berlarut?
Bagaimana bisa ketika ketakutan akan ditinggalkan mengebu begitu besar dalam dirinya, sedangkan ia sendiri berusaha untuk meninggalkan orang lain? Bukankah ia tidak lebih baik dari kedua orang tuanya?
Jika Jeanath takut ditinggalkan, bukankah Jaziel sama takutnya? Lantas, mengapa ia berlari seperti pencundang, merasa bahwa dirinya akan baik-baik saja di tengah kesendirian?
Nyatanya, ia termakan oleh rasa kesepian dan berakhir dalam kesengsaraan.
Jeanath menyimpan semua barang-barang yang berada di depan pintunya. Memindahkannya ke dalam apartemen sebelum berlari pergi.
Lupakan dahaganya yang kering. Kini, ia tak merasakan apapun selain rasa bersalah yang memuncak. Kesabarannya terkikis seiring menuggu di dalam lift yang bergerak begitu lambat. Ketika pintu lift terbuka, Jeanath keluar seraya berlari. Masa bodoh dengan orang-orang yang menatapnya heran.
Diambilnya sepeda yang ia simpan di basement dengan terburu-buru. Terpaan angin malam menemani putaran roda yang kian bergerak cepat. Deru napas pendek yang meminta pasokan oksigen lebih banyak juga tak ia hiraukan.
Jantungnya kembali berdetak dengan cepat. Bukan hanya karena tubuhnya diforsir untuk bergerak banyak, tetapi karena dari kejauhan, ia dapat melihat sosok yang duduk di trotoar jalan seraya membaca bukunya.
Kaki Jeanath berusaha secepat mungkin untuk mengayuh sepeda hingga ketika jarak mereka cukup dekat, Jeanath turun begitu saja dan membiarkan sepeda miliknya jatuh.
“SENON!” Jeanath berteriak lantang, membuat sosok yang dipanggil menoleh.
Sebuah senyuman yang tercetak pada wajah Jaziel menyadarkan Jeanath, jika rasa rindu yang ia tekan menguap begitu saja.
Jeanath lantas mengatur napasnya yang memburu. “I finally found my dream!” seru Jeanath, masih dengan lantang, sebab jarak keduanya tak cukup dekat.
Netra itu memerhatikan bagaimana Jaziel menyimpan bukunya sebelum beranjak berdiri. Dengan jarak yang memisahkan, keduanya saling berhadapan.
“I wanna study in astronomy and go to the outer space with you,” lanjutnya seraya ikut tersenyum.
Jika Jeanath tak memiliki apa-apa lagi, maka ia hanya perlu membuat dirinya melalukan hal yang hebat untuk pantas bersanding dengan Jaziel yang sempurna.
Bukankah Jeanath memiliki dirinya sendiri yang selalu berjalan bersamanya?
Jika Jeanath tak memiliki apa-apa lagi untuk ditunjukan pada dunia, suatu saat, ia akan menjadi seseorang yang hebat. Kenyataannya memang tak akan pernah mudah, tapi ada Jaziel yang akan menemani perjuangannya.
Lantas, apa yang ia takutkan?
Tidak ada.
Sebanyak apapun rintangan yang akan Jeanath hadapi, semua itu adalah bagian dari kehidupan yang harus ia lewati.
Jika Jeanath hanya berdiam diri, maka ia akan menjadi daun yang berguguran dan terurai oleh aliran waktu.
Bukankah ini waktu yang tepat untuk balas dendam kepada orang tuanya? Jeanath ingin menyombongkan banyak prestasi kepada kedua sosok itu hingga membuat mereka menyesal telah meninggalkannya.
Netra milik Jeanath menatap obsidian milik Jaziel yang kini telah berada tepat di depannya. Sebelum mebiarkan sosok itu berbicara, Jeanath memberikan sebuah pelukan erat.
Dihirupnya aroma tubuh Jaziel seraya memejamkan kedua mata. “I’m home,” bisik Jeanath pelan.
Pelukan itu dibalas tak kalah erat. Kerinduan yang terbalas membuat Jaziel tak berhenti bersyukur.
Snowball-nya pulang.
“Welcome home, Snowball.”