An unattainable dream

Jika kalian bertanya, “Apa arti sebuah keluarga?” pada Jeanath, maka ia akan menjawab, “Oma.” secara spontan.

Hanya sang nenek yang terikat hubungan darah yang dapat ia artikan sebagai keluarga. Namun, sosok itu kini telah pergi jauh, meninggalkan Jeanath sendirian pada dunia yang penuh kebengisan.

Dalam kesendiriannya, Jeanath tertawa. Dari sekian banyak alasan dibalik kejamnya dunia, justru sosok orang tualah yang memiliki andil besar di sana.

Kemudian tawanya semakin mengeras. Mengapa dari sekian banyak populasi manusia di dunia ini, ia harus menjadi anak dari orang tuanya? Dibesarkan tanpa kasih sayang dan cinta merupakan kebencian semesta padanya.

Lantas, Jeanath menggeleng. Semesta tak pernah membencinya, lagipula siapa dia hingga semesta mengenalnya. Jeanath bukan siapa-siapa hingga mendapatkan kebencian dari sang semesta.

Jika sosok nenek tak pernah ada dalam hidupnya, mungkin Jeanath akan selalu terjerat dalam ikatan penuh duri; tak pernah terlepas dari rasa sakit barang sedikit pun.

Penolakan dari kedua orang tuanya, membuat ia tak pernah dihargai di rumah dengan puluhan pekerja. Ia justru dijadikan alat penghasil uang oleh mereka, terutama pekerja yang bertugas mengasuhnya. Teringat akan sosok itu selalu memaksanya makan, membentaknya ketika ia menangis karena kesakitan, bahkan memukulnya ketika ia tak sengaja merusak sesuatu.

Jeanath mendengus, bagaimana bisa ia selalu dipertemukan oleh orang-orang yang senang menyiksanya? Apakah ia terlihat seperti sebuah samsak berjalan bagi mereka?

Peranan orang tua dalam hidup Jeanath hanya untuk menorehkan luka di setiap jengkal tubuhnya.

Lantas, mengapa ia masih berharap?

Berharap semua akan berubah akibat kikisan waktu. Berharap jika suatu hari, orang tuanya akan saling berdamai hingga eksistensinya sebagai seorang anak terlihat.

Embusan angin malam yang menerpa menyadarkan lamunan Jeanath. Tubuhnya sedikit menggigil. Menghitung sudah berapa lama ia duduk di sebuah halte kosong sambil meratapi kehidupannya.

Suara dari langkah kaki memecah keheningan. Mengetuk gendang telinga untuk menarik atensi, namun Jeanath enggan untuk memberikan sedikit reaksi. Memilih menatap lurus ke depan dengan pikiran yang berkecamuk. Mengabaikan kehadiran sosok lain di sana.

Sosok itu, bukankah sosok dengan masa depan yang cerah lebih baik meninggalkan Jeanath yang bahkan kini kehilangan arah hidupnya?

Ketika pandangannya tertutup oleh tubuh di depannya, Jeanath mengembuskan napas pelan.

Menaruh ekspektasi terhadap dirinya sendiri adalah sebuah kesalahan besar. Keteguhan hati yang ia bangun perlahan runtuh. Semilir angin seakan sengaja menerpa sosok di hadapannya hingga mengantarkan aroma tubuhnya pada indra penciuman Jeanath.

Sebuah aroma manis yang menghantarkan kehangatan bak mentari di pagi hari.

Di sisi lain, Jaziel hanya menatap Jeanath tanpa berniat membuka suara. Menunggu sosok itu bercerita tanpa ingin memaksa.

“They finally divorced,” ucap Jeanath pelan. Manik matanya menatap kosong kaus yang Jaziel kenakan. Nada bicaranya datar, seolah tak ada yang salah dengan itu. Seolah Jeanath telah mengantisipasinya.

Sebuah senyuman tipis di wajah Jeanath berhasil meremukkan hati Jaziel. Senyuman kenestapaan yang mempertegas bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

“Harusnya aku gak kaget. Bahkan dari masih kecil, aku udah tahu kalau akhirnya bakal gini.” Senyuman itu masih terpatri.

Lantas, mengapa ia masih berharap?

“Am I hoping too much?” tanya Jeanath, netranya bergerak menatap Jaziel.

“I just want to have a proper family. I want to be loved by my parents, at least one of them treat me like i’m actually their child.

Even though they’d never fall in love, can they, at least lie to me and telling me they’re in love and act like a normal parent? I don’t care if it’s fake. Is it that hard to pretend if they’re love me?” Pertanyaan itu tak diperuntukan kepada siapapun. Hanya sebuah awan kelabu yang selalu terpendam dan menginginkan untuk didengar.

“I’m scared.” Pertahanan yang Jeanath bangun runtuh sepenuhnya. Ia tak dapat menahan tangis ketika rasa takut menggerogoti tubuhnya.

“Aku takut ketika mereka udah nemuin kebahagiaannya, ketemu sama orang yang mereka cintai dan akhirnya punya anak yang diinginkan, keberadaan aku sama sekali gak dianggap.”

Jeanath takut dilupakan.

Air mata yang tak dapat berhenti keluar diusap pelan oleh Jaziel. Kehangatan dari telapak tangan sosok itu justru membuat Jeanath terisak pilu.

Dicintai membuatnya begitu bahagia, lantas, apakah ia layak untuk menerima cinta dari Jaziel? Ia tak punya apa-apa sekarang.

“Do you want to know the word that I want to hear the most in my entire life?” tanya Jeanath setengah berbisik.

Kini ia tersenyum tulus. “Anakku,” kata Jeanath.

“Dulu, satpam di SMP aku pernah bilang, ‘Eh, anakku mau kemana?’ waktu aku mau bolos. Akhirnya aku gak jadi bolos dan malah nangis.” Memorinya tertarik pada masa kala itu. Bagaimana sosok paruh baya tersebut di sekolahnya selalu memberikan banyak kasih sayang pada anak yang bahkan tak ia kenal.

Ada sosok yang memberikan kasih sayang pada siapapun tanpa pengeculian dan ada pula sosok yang bahkan tak pernah memberikan secuil kasih sayang pada anaknya sendiri. Sebuah bagian keadilan dari dunia yang Jeanath benci.

Sebenarnya, apa yang Jeanath harapkan? Semua asanya telah pupus sekarang. Angan-angan yang mengharapkan keajaiban terjadi pada keluarganya tak pernah ada dalam goresan takdir.

Pada akhirnya, ia hanya tersakiti oleh harapannya sendiri.

“After all the pain they gave to me, why do I still want them to live with me happily?” tanya Jeanath setengah berbisik.

Jika langit ingin mendengarkan keegoisannya, maka Jeanath dengan senang hati merapalkan doa, bahwa jangan pernah mempertemukan kebahagiaan pada kedua orang tuanya setelah mereka bercerai. Kemudian, doanya berlanjut untuk mempertemukan kembali mereka, dengan perasaan berbeda hingga membangun kebahagiaan baru dan ia terlibat di dalamnya.

Jeanath Gianna dan kenaifannya akan selalu termakan angan yang tak pernah tergapai.

Pada akhirnya, ia akan selalu ditinggalkan.

Apa yang sebenarnya ia harapkan?

Sang takdir pun mempertegas jika ia tak akan menggapai kebahagiaan yang menyeret orang tuanya.

Definisi kebahagian mereka saja berbeda, harus disatukan oleh apalagi jika takdir tak merestui? Lantas, mengapa ia harus menangisi keadaan yang sekarang terjadi? Hatinya telah dipersiapkan dari jauh hari, tetapi ia masih tetap bersedih.

Seumpama dunia akan hancur ketika dirinya bersedih, ia akan bersedih sepanjang hari. Memberitahu pada setiap orang bahwa lara sedang menghampiri dan ia butuh banyak afeksi.

Namun, dunia tak pernah berubah. Walaupun ia bersedih dengan rasa sakit yang terus menghampiri, dunia tetap berjalan seperti biasa. Meninggalkannya dalam keterpurukan.

Kepalanya berdengung, sekali lagi, ia bertanya pada dirinya sendiri.

Lantas, apa yang ia harapkan?

Tidak ada.

Kali ini, ia akan berhenti berharap.

Netra sayunya berkedip pelan. Menatap Jaziel yang masih setia mendengarkannya.

“I’m tired.”

Adalah kalimat terakhir yang Jeanath ucapkan, sebelum Jaziel mendekapnya erat.

Hari esok, mungkin mereka tak pernah sama lagi. Sebab, Jeanath ingin menyerah pada keadaan dan membiarkan Jaziel pergi.

Bukankah Jaziel terlalu sempurna untuk sosok yang tidak memiliki apa-apa seperti Jeanath?