It’s cuddle o’clock

Alunan lagu Apocalypse dari Cigarette After Sex terdengar memenuhi ruangan, melebur dengan rintik hujan yang tengah membahasi bumi. Mendayu ke dalam telinga, lalu menari dalam pikiran yang terombang-ambing.

Di tengah kedinginan yang menyelimuti, keduanya menghangatkan diri. Berlindung di balik selimut dengan tubuh yang saling menempel.

Kegiatan intim itu membuat jantung Elias berdetak tak karuan, seolah sedang berdemo untuk meminta dikeluarkan dari tempatnya berada. Jantungnya berdetak sangat kencang hingga titik di mana telinganya ikut berdegup. Dadanya terasa sesak, membuat napas Elias berderu untuk memasok udara yang lebih banyak.

Melihat ekspresi Elias yang kaku, Axel mengelus surai sosok itu. “Tegang banget,” ucapnya pelan.

Netra Elias bergerak menatap Axel. Menemukan Axel yang tengah melemparkan senyum padanya. Tatkala merasakan jemari Axel yang mengusap keningnya, Elias memejamkan mata. Sentuhan lembut yang diberikan Axel membuat napasnya menjadi lebih teratur.

“Tadi galau kenapa?” tanya Axel tiba-tiba.

Berapa kali pun Elias melemparkan jawabannya pada sang hujan yang tengah turun, Axel selalu bertanya kembali. Seolah Axel tahu bahwa Elias mengucapkan dusta, bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja dan hujan bukan sebagai alasan.

Kelopak mata yang menyembunyikan netra di baliknya terbuka perlahan. Disambut oleh netra lain yang mengunci pergerakkannya.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Elias mengeratkan pelukan. Menempelkan wajahnya pada dada Axel dan menghirup aroma tubuh yang memanjakan indera penciumannya.

“Karena gua, ya?” Axel kembali bertanya.

Masih tidak ada jawaban.

Helaan napas yang terdengar membuat Elias mendongak. Manik matanya menangkap Axel yang terlihat merasa bersalah.

“Maaf,” ujar Axel.

Lantas Elias menggeleng. “Jangan minta maaf, lo gak salah,” kata Elias dengan bibir yang mengerucut.

“Gue cuman—“

Cuman apa, Elias?

Elias mengalihkan pandangannya, tak berani menatap Axel. “Cemburu,” bisiknya pelan, melanjutkan perkataan yang menggantung.

“Iyas.” Panggilan itu membuat Elias mau tak mau menatap Axel.

You’re the one that I like the most,” ujar Axel seraya tersenyum.

“Maaf kalau misalkan gua bikin lu sedih. Gua janji bakal lebih hati-hati sekarang karena hidup gua bukan lagi hanya tentang gua, tapi ada lu yang nempatin sebagian hidup gua. Maaf ya, Iyas,” lanjutnya.

Hanya terdengar rintik hujan dan alunan musik yang saling bersautan. Keduanya terdiam, sibuk untuk saling menatap.

Elias tak tahu apa yang harus ia lakukan selain mengangguk kecil. Ia tak pernah berada dalam kondisi seperti ini seumur hidupnya. Axel lantas terkekeh, membuat Elias menerbitkan senyum dengan kedua pipi yang bersemu.

Melihat pemandangan elok di depannya, Axel tak dapat menahan gejolak dalam dada. Tangan kanannya memegang pipi Elias, kemudian mengusapnya pelan.

Terlarut dalam suasana yang di kelilingi romansa, Axel mendekatkan dirinya. Menghapus jarak di antara mereka. Melihat Elias yang bergerak memejamkan mata, Axel kembali tersenyum, sebelum memberikan kecupan di atas bibir Elias.

Dari bumi yang dibasahi oleh rintik hujan, menebar aroma petrikor sore kala itu, mereka melangkah sedikit lebih jauh.