jennoonaa

dedicated to myself and nominist

Goresan hitam ujung karbon di atas lembar kayu menghasilkan bunyi yang memecah kesenyapan. Ruangan bernuansa krem dibiarkan menjadi gelap seiring dengan perjalanan mentari yang segera usai. Abstraksi dari kumpulan garis asal seakan menggambarkan benang kusut yang mengerubungi pikiran. Aiko, tak mengidahkan rasa lapar yang menghampiri. Ia hanya ingin duduk seraya mencoret kertas tanpa tujuan yang pasti.

Amarah yang mengebu bukan disebabkan oleh orang lain, melainkan dirinya sendiri. Berandai-andai jika ia menjadi pribadi yang jauh lebih baik, sehingga banyak ekspektasi yang dapat ia penuhi. Meskipun Aiko sudah tahu jika ia akan kalah di pemilihan ketua dan wakil ketua BEM, rasa sebal dan kecewa terhadap dirinya sendiri tak bisa pergi begitu saja. Aiko telah kalah telak, bahkan di hari ketika ia tanpa tahu malu mencalonkan diri tanpa mendapatkan dukungan dari ‘Petinggi Neo’.

Secarik kertas hasil luapan emosi ditarik hingga terpisah dari buku. Aiko membuat bola kertas yang kemudian ia lempar sembarang. Perasaan dongkolnya menjalar tatkala teringat akan Mikael dan tingkah lakunya yang menyebalkan.

“Kenapa semua orang hari ini nyebelin banget?” monolog Aiko seraya mendengus.

Punggung lebar miliknya bersandar pada kursi dengan kedua tangan yang dilipat di dada. Langit-langit kamar yang kosong ia tatap, seolah-olah mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri.

Kala benak yang dipenuhi oleh berbagai perkara, suara nyaring dari tumbukan kaca oleh benda lain terdengar, membawa Aiko kembali pada butala yang dipijak. Aiko berdecak, bertanya-tanya orang jahil mana yang melemparkan sesuatu ke pintu kacanya. Suara itu terus menerus terdengar, membuat Aiko semakin kesal.

Kaki tanpa alas melangkah dengan tergesa, sesekali ia menghentak dengan penuh gejolak dalam dada. Pintu kaca yang lebar ia geser secara kasar. Semilir angin sore yang menyapa diabaikan begitu saja, memilih untuk berjalan menuju balkon kecil. Netra yang menelisik sekitar dipenuhi kobaran api, mencari tersangka manusia yang ingin ia pukul dengan penuh emosi.

Tuk

Ribuan kata sial terucap repetitif dalam hati. Aiko mengumpat seraya mengusap pipi yang bersilaturahmi dengan kerikil kecil. Dada yang bergerak naik turun menjadi tanda bahwa ia telah berada dalam ambang batas kesabaran, hingga manik matanya menangkap sosok Mikael yang tengah menunjukkan deretan giginya yang rapi.

“Bangsat lo, Mikael,” umpat Aiko, sebelum masuk ke kamarnya.

Aiko mengambil kaleng kopi yang tergeletak di lantai, kemudian berlari kembali menuju balkoni. Mikael yang masih mendongakkan wajah terlihat menaikan kedua alisnya ketika melihat Aiko yang berancang seperti atlet baseball. Di atas sana, Aiko melemparkan kaleng dalam genggaman dengan penuh kekuatan, hingga mendarat tepat di kening Mikael.

Bunyi nyaring yang terdengar membuat Aiko berkata, “Rasain lo.”

Satu sama.

Mikael mengaduh kesakitan, kening yang menjadi korban lemparan Aiko ia usap. Netra kelamnya menatap Aiko dengan sebal.

“Sini, turun!” seru Mikael, suaranya terdengar lantang. Aiko dapat bertaruh jika tetangga kosannya yang lain dapat mendengar suara dari sosok yang berada di bawah.

“Cepetan turun sebelum gua teriak,” titah Mikael absolut.

Perasaan malas yang membalut setiap jengkal tubuh Aiko dilawan oleh rasa yang lebih malas, yaitu rasa malas untuk mendengarkan desas-desus aneh mengenai dirinya dan Mikael. Kali ini, Aiko menuruti perintah Mikael tanpa protes. Keluar dari kamarnya dengan atasan piyama bermotif pinguin dan celana kolor abu yang tidak cocok sama sekali untuk dipadukan bersama piyama birunya.

“Apa?!” bentak Aiko setelah ia membuka gerbang.

“Ikutin gua.” Mikael, sepertinya sangat suka memerintah orang lain dan Aiko, masih memilih untuk mengikuti kemauan Mikael.

Sosok yang memakai kaus polo hitam dan jeans berwarna putih berjalan di depan. Bak anak bebek, Aiko membuntuti Mikael dengan bibir yang maju beberapa senti.

“Jangan cepet-cepet! Kaki gue sakit!” seru Aiko.

Tungkai kaki yang melangkah secara perlahan menurunkan tempo kecepatannya, membiarkan sosok di belakang berjalan tanpa terburu-buru. Mikael berhenti tepat di sebuah taman yang biasa menjadi tempat bermain anak kecil. Namun, karena matahari hampir tenggelam, tidak ada siapapun di sana kecuali keberadaan kedua orang yang bahkan tak saling memandang.

Aiko berjalan menuju ayunan, netranya menatap langit jingga. Ia enggan menatap Mikael yang sekarang tengah memerhatikannya. Sosok yang lebih tua lantas mendekat, ikut duduk pada ayunan yang berada tepat di samping Aiko.

“Buat lu.” Mikael memecah keheningan, mengundang netra Aiko untuk menatapnya.

Sebuah kotak makanan bening yang berisi brownies diberikan kepada Aiko. Tanpa berterima kasih, Aiko mengambil kotak tersebut dari Mikael.

“Ini gak basi, kan?” tanya Aiko, jemarinya sibuk membuka kotak yang berisi potongan kecil brownies.

“Cobain aja, kalau lu mati berarti basi,” jawab Mikael.

Satu potongan brownies Aiko ambil dengan garpu yang tersedia, kemudian ia langsung melahapnya habis. Sesi kegiatan makan berlangsung dengan begitu khusyu dan penuh keseriusan, hingga Aiko tersentak tatkala merasakan sebuah sentuhan hangat. Mikael, entah sejak kapan berlutut di hadapannya, hendak menempelkan plester pereda rasa nyeri di paha kanan Aiko.

“Atasan dikit,” ucap Aiko mengarahkan.

Sisa brownies yang berada dalam mulutnya Aiko telan. Kini, fokus Aiko hanya berada pada Mikael. Dengusan terdengar ketika sosok yang berada dalam ayunan melihat Mikael mengeluarkan pena dengan tinta yang tebal, menggambarkan seekor kelinci pada plester putih.

“Lo pikir gue bocah?” Aiko merengut sebal.

“Lu bayi,” sahut Mikael.

Di bawah lembayung yang menghiasi cakrawala, lentera sang surya menjadi satu-satunya penerang. Sepasang netra kelam berwarna hitam berubah menjadi sedikit kecoklatan, menatap netra lain yang terpaku padanya.

“Apa yang lo bilang ke gue sebelumnya sama perlakuan lo ke gue setelahnya itu beda ya? Kadang gue bingung maksud lo yang asli tuh yang mana.” Aiko berkata terang-terangan, pusatnya masih berada pada manik mata Mikael.

“Kalau lu gimana? Katanya lu suka Rava? Sejak kapan lu suka sama dia?” Tak ada yang dapat Aiko baca dari pandangan yang meredup.

“Gue cuman ngikutin lo,” balas Aiko seraya mengedikkan bahu.

“Lagian gue gak pernah ngeiyain kalau gue suka sama Rava. They just guessed it wrong,” lanjutnya.

Kontak mata yang terputus disebabkan oleh Mikael yang mengalihkan pandangan. Ia beranjak berdiri, merenggangkan otot-ototnya, sebelum kembali menatap Aiko. Pucuk surai hitam yang berayun karena terpaan angin diusap dengan lembut.

Whatever. Gua ke sini cuman mau bilang you’re doing good. Walaupun lawan lu punya backing-an Petinggi Neo, tapi lu bisa dapetin suara yang banyak untuk seukuran calon modal nekat,” ujar Mikael, tangannya masih ia simpan di kepala Aiko.

“Yeah, I know. I’m cooler than anyone else.”

Sebuah cubitan di pipi Aiko adalah jawaban Mikael atas perkataan yang terlampau percaya diri.

By the way, lu kayaknya lupa buat lock account wibu lu itu, jangan lupa gembok soalnya udah gua intip sedikit,” ucap Mikael seraya berjalan mendahului.

Perlu waktu yang cukup lama, sebelum Aiko melemparkan sandalnya pada kepala Mikael.

“LO UDAH LIHAT SAMPAI MANA?!”

Lagi dan lagi, sosok yang sibuk memutar gelas berhasil membawa Aiko pergi ke kelab malam. Menariknya menuju kerumuan, berjalan di antara desakkan tubuh dan lantunan gemuruh, hingga menepi pada meja kosong. Mengasingkan diri dari lautan manusia, namun Aiko, terjerembab dalam kecanggungan yang tak menentu.

Setitik binar pada netra hadir bukan karena perasaan senang, melainkan pendar penerangan yang membantu pengamatan dari gerak-gerik manik mata, sebab Rava masih sibuk terdiam.

Aiko, sebenarnya sudah dapat menebak hal apa yang ingin Rava sampaikan padanya.

Pada benak sosok yang memandang kosong gelas margarita, hanya terdapat satu nama yang bersemayam di sana.

“Rav,” panggil Aiko, mencoba keluar dari suasana senyap di antara mereka. “Lo mau ngomongin apa?” Aiko lanjut bertanya.

Sepasang netra sayu yang menatap Aiko memancarkan kesedihan yang ditunjukan secara gamblang. “I know he started to like you,” racau Rava di bawah kendali alkohol.

“Cara dia mandang lo itu sama kayak waktu dia natap gue dulu.” Sisa likuid putih kekuningan yang berada dalam gelas diminum secara perlahan.

Tatkala kedua pasang netra bertemu, terdapat satu tubuh yang beranjak mendekat, menghapus jarak yang menjadi pemisah. Aiko, terdiam dengan segala perlakuan Rava padanya, sibuk menilik manik mata yang penuh sendu.

Sentuhan yang terasa menyengat mengalihkan atensi Aiko. Permukaan tangannya yang dingin mendapatkan kehangatan dari jemari Rava yang menggenggamnya erat.

“Gue boleh minta tolong?” Bahkan jika Aiko menolak, Rava akan tetap memaksanya. Selalu seperti itu.

“Gue gak bakal marah tentang Ael yang tertarik sama lo dan gue minta tolong buat bikin Ael nyesel ninggalin gue,” ucap Rava seraya bergerak lebih dekat.

Can you break his heart until he realises that I'm the only one for him? I’m the only one who loves him and would never hurt him. I’ll give you everything, Aik. Bahkan kalau lo mau gue jadi pacar lo, gue bakal ngelakuin itu semua.”

Bibir tipis milik Aiko enggan untuk terbuka. Manik matanya berpusat pada bola hitam yang dipenuhi harapan. Wajah yang kian mendekat membuat Aiko lantas memejamkan kedua mata.

Tepat ketika embusan napas keluar, kelopak yang menyembunyikan netra elok terbuka lebar. Aiko mendorong tubuh Rava dengan sedikit kasar, hingga sosok itu terlentang di atas sofa.

“I’ll break him anyway, even if you didn’t ask for me to do so,” bisik Aiko, sebelum beranjak pergi.

“Orang mabok selalu nyusahin,” gurutunya yang diiringi dengan decakan sebal.

Kaki yang dibalut jeans hitam melangkah menuju tempat bartender berada. Aiko merogoh saku jaket denim sepinggangnya, mengambil ponsel yang ia simpan.

From: oja lu kalau mabok telfon gua, biar gua jemput

Deretan kata yang terpatri pada layar ponsel membuat Aiko mendengus.

gue ga bakal mabok, lo tidur aja. Sent.

Benda persegi panjang miliknya ia simpan kembali. Kemudian, Aiko mengedarkan pandangan, mengamati suasana kelab yang tidak terlalu penuh hari ini.

“Batavia satu,” ujar Aiko ketika berada di hadapan bartender.

Tak ada yang Aiko lakukan selain membidik netranya asal. Jenuh menyeruak di sekujur tubuh menginginkan kehangatan selimut yang membungkus diri. Namun, Aiko perlu sedikit menenggak alkohol sebelum beranjak pergi.

Botol wiski dan gelas yang diberikan oleh bartender Aiko ambil. “Thanks,” ucapnya yang kemudian kembali melangkahkan kaki.

Aiko duduk di salah satu meja kosong yang menyendiri. Tak ingin berbaur dengan kelimun yang membuat kepalanya semakin berdenyut nyeri.

“Satjamara!”

“Satéja Madya Rarti!”

Kegiatan menuangkan minuman keras ke dalam gelas terhenti seketika. Aiko mendongak, mencari sumber suara yang mengalihkan seluruh atensinya.

Kumpulan orang-orang yang berbaur menjadi kerumunan beberapa meter di hadapannya berhasil menimbulkan kembali suara decakan yang keluar dari bibir tipis Aiko. Tangannya mengambil gelas yang berisi likuid di atas meja, sedangkan netranya berkelana untuk mencari hal menarik di antara kerumunan.

Tepat ketika tiba pada destinasi, Aiko meneguk cairan hasil fermentasi dengan rakus. Seakan dahaga telah menunggunya begitu lama, hingga ia perlu membasahi kerongkongannya yang kering.

Di antara banyak manusia yang menunjukan presensinya di sana, hanya terdapat satu yang menjadi seluruh pusat Aiko saat ini. Sosok yang tengah tertawa di tempatnya duduk dengan kaus hitam tanpa lengan yang membalut tubuh.

Satu gelas, dua gelas, tiga, hingga Aiko lupa sudah berapa banyak tenggakkan yang ia minum. Berat yang bertumpu di kepala membuat Aiko meringis. Ia membungkuk untuk menuangkan gelasnya kembali.

Wiski yang berada dalam gelas bergoyang tatkala Aiko mengambilnya. Ketika gelas itu berada tepat di depan bibirnya, seseorang lebih dulu mengambil gelas milik Aiko, meminumnya tanpa permisi.

“Robbers,” gumam Aiko, manik matanya memandang Mikael dengan tajam.

“Impas,” respons Mikael seraya mengedikan bahu.

“Gua nyuri minuman lu, sedangkan lu udah nyuri hati gua,” lanjutnya santai.

“Bullshit.” Aiko mengumpat, netranya masih menatap Mikael dengan nyalang. “Lo gak tau malu banget nonggol di depan gue seakan gue gak nyuruh lo apa-apa. I said fuck off, asshole.

Remangnya pencahayaan tak lantas membuat pandangan Mikael memburuk. Ia dapat dengan jelas melihat bagaimana wajah Aiko memerah di bawah kilau lampu yang terus berganti warna. Tangan kanan Mikael meraih dagu yang terangkat. Bibir yang selalu melayangkan umpatan padanya ia usap perlahan.

“I like the way you cursed, but I don’t like it if you always curse at me in every chance.” Netra kelamnya yang menatap bibir Aiko bergerak ke atas untuk melihat sepasang netra rupawan.

“And who the fuck are you telling me what to do?” tanya Aiko.

Salah satu alis Mikael terangkat. “Your future boyfriend, what else?” Pertanyaan berbalik arah diberikan ketika Mikael menarik tangannya dari wajah Aiko.

Tawa Aiko pecah, mengalun bersama dengan gema musik yang menekan gendang telinga. Namun, hanya alunan tawa Aiko yang dapat Mikael dengar.

Really? Lo bahkan gak mau pacaran. Tell me another joke, so I can get over this bore,” ucap Aiko, ekspresi wajahnya berubah seketika tatkala tawanya reda.

“Gua gak begitu jago buat jokes,” respons Mikael.

Sebuah seringai di wajah Aiko tercipta, menimbulkan gelenyar dalam rongga dada pada sosok yang setahun lebih tua.

“You should make lots of jokes if you want me. Try to stole my heart as much as you can, Ael.”

Tubuh Mikael memantung, manik matanya menatap Aiko dengan kosong.

“Say my name again,” titah Mikael dengan suara yang sedikit tercekat.

Aiko menggerling, kini tak ada tatapan yang menunjukan kebencian. Hanya terdapat rayuan dalam netra bulat yang tertuju pada manik mata lain. Senyuman manis tercipta seolah penuh ketulusan.

“Ael,” ulang Aiko.

“God damn,” umpat Mikael seraya merendahkan tubuh.

Jarak yang terhapus membuat Mikael dapat melihat bagaimana bulu mata lentik itu bersemayam pada kelopak milik rupa yang elok. Dengan wajah yang datar, ia menjentikan jemarinya di kening Aiko hingga sang empunya mengaduh keras.

“You’re drunk.” Mikael menjauhkan wajahnya.

Tanpa menunggu persetujuan, Mikael mengangkat tubuh Aiko, membawanya ke dalam dekapan.

“Gua anter pulang.”

Tak ada protes yang keluar dari mulut Aiko. Semilir aroma tubuh Mikael yang tercium, membuat mata Aiko memberat. Lengan yang melingkar di leher Mikael menimbulkan secarik senyuman tipis.

Lagi dan lagi, sosok yang sibuk memutar gelas berhasil membawa Aiko pergi ke kelab malam. Menariknya menuju kerumuan, berjalan di antara desakkan tubuh dan lantunan gemuruh, hingga menepi pada meja kosong. Mengasingkan diri dari lautan manusia, namun Aiko, terjerembab dalam kecanggungan yang tak menentu.

Setitik binar pada netra hadir bukan karena perasaan senang, melainkan pendar penerangan yang membantu pengamatan dari gerak-gerik manik mata, sebab Rava masih sibuk terdiam.

Aiko, sebenarnya sudah dapat menebak hal apa yang ingin Rava sampaikan padanya.

Pada benak sosok yang memandang kosong gelas margarita, hanya terdapat satu nama yang bersemayam di sana.

“Rav,” panggil Aiko, mencoba keluar dari suasana senyap di antara mereka. “Lo mau ngomongin apa?” Aiko lanjut bertanya.

Sepasang netra sayu yang menatap Aiko memancarkan kesedihan yang ditunjukan secara gamblang. “I know he started to like you,” racau Rava di bawah kendali alkohol.

“Cara dia mandang lo itu sama kayak waktu dia natap gue dulu.” Sisa likuid putih kekuningan yang berada dalam gelas diminum secara perlahan.

Tatkala kedua pasang netra bertemu, terdapat satu tubuh yang beranjak mendekat, menghapus jarak yang menjadi pemisah. Aiko, terdiam dengan segala perlakuan Rava padanya, sibuk menilik manik mata yang penuh sendu.

Sentuhan yang terasa menyengat mengalihkan atensi Aiko. Permukaan tangannya yang dingin mendapatkan kehangatan dari jemari Rava yang menggenggamnya erat.

“Gue boleh minta tolong?” Bahkan jika Aiko menolak, Rava akan tetap memaksanya. Selalu seperti itu.

“Gue gak bakal marah tentang Ael yang tertarik sama lo dan gue minta tolong buat bikin Ael nyesel ninggalin gue,” ucap Rava seraya bergerak lebih dekat.

Can you break his heart until he realises that I'm the only one for him. I’m the only one who loves him and would never hurt him. I’ll give you everything, Aik. Bahkan kalau lo mau gue jadi pacar lo, gue bakal ngelakuin itu semua.”

Bibir tipis milik Aiko enggan untuk terbuka. Manik matanya berpusat pada bola hitam yang dipenuhi harapan. Wajah yang kian mendekat membuat Aiko lantas memejamkan kedua mata.

Tepat ketika embusan napas keluar, kelopak yang menyembunyikan netra elok terbuka lebar. Aiko mendorong tubuh Rava dengan sedikit kasar, hingga sosok itu terlentang di atas sofa.

“I’ll break him anyway, even if you didn’t ask for me to do so,” bisik Aiko, sebelum beranjak pergi.

“Orang mabok selalu nyusahin,” gurutunya yang diiringi dengan decakan sebal.

Kaki yang dibalut jeans hitam melangkah menuju tempat bartender berada. Aiko merogoh saku jaket denim sepinggangnya, mengambil ponsel yang ia simpan.

From: oja lu kalau mabok telfon gua, biar gua jemput

Deretan kata yang terpatri pada layar ponsel membuat Aiko mendengus.

gue ga bakal mabok, lo tidur aja. Sent.

Benda persegi panjang miliknya ia simpan kembali. Kemudian, Aiko mengedarkan pandangan, mengamati suasana kelab yang tidak terlalu penuh hari ini.

“Batavia satu,” ujar Aiko ketika berada di hadapan bartender.

Tak ada yang Aiko lakukan selain membidik netranya asal. Jenuh menyeruak di sekujur tubuh menginginkan kehangatan selimut yang membungkus diri. Namun, Aiko perlu sedikit menenggak alkohol sebelum beranjak pergi.

Botol wiski dan gelas yang diberikan oleh bartender Aiko ambil. “Thanks,” ucapnya yang kemudian kembali melangkahkan kaki.

Aiko duduk di salah satu meja kosong yang menyendiri. Tak ingin berbaur dengan kelimun yang membuat kepalanya semakin berdenyut nyeri.

“Satjamara!”

“Satéja Madya Rarti!”

Kegiatan menuangkan minuman keras ke dalam gelas terhenti seketika. Aiko mendongak, mencari sumber suara yang mengalihkan seluruh atensinya.

Kumpulan orang-orang yang berbaur menjadi kerumunan beberapa meter di hadapannya berhasil menimbulkan kembali suara decakan yang keluar dari bibir tipis Aiko. Tangannya mengambil gelas yang berisi likuid di atas meja, sedangkan netranya berkelana untuk mencari hal menarik di antara kerumunan.

Tepat ketika tiba pada destinasi, Aiko meneguk cairan hasil fermentasi dengan rakus. Seakan dahaga telah menunggunya begitu lama, hingga ia perlu membasahi kerongkongannya yang kering.

Di antara banyak manusia yang menunjukan presensinya di sana, hanya terdapat satu yang menjadi seluruh pusat Aiko saat ini. Sosok yang tengah tertawa di tempatnya duduk dengan kaus hitam tanpa lengan yang membalut tubuh.

Satu gelas, dua gelas, tiga, hingga Aiko lupa sudah berapa banyak tenggakkan yang ia minum. Berat yang bertumpu di kepala membuat Aiko meringis. Ia membungkuk untuk menuangkan gelasnya kembali.

Wiski yang berada dalam gelas bergoyang tatkala Aiko mengambilnya. Ketika gelas itu berada tepat di depan bibirnya, seseorang lebih dulu mengambil gelas milik Aiko, meminumnya tanpa permisi.

“Robbers,” gumam Aiko, manik matanya memandang Mikael dengan tajam.

“Impas,” respons Mikael seraya mengedikan bahu.

“Gua nyuri minuman lu, sedangkan lu udah nyuri hati gua,” lanjutnya santai.

“Bullshit.” Aiko mengumpat, netranya masih menatap Mikael dengan nyalang. “Lo gak tau malu banget nonggol di depan gue seakan gue gak nyuruh lo apa-apa. I said fuck off, asshole.

Remangnya pencahayaan tak lantas membuat pandangan Mikael memburuk. Ia dapat dengan jelas melihat bagaimana wajah Aiko memerah di bawah kilau lampu yang terus berganti warna. Tangan kanan Mikael meraih dagu yang terangkat. Bibir yang selalu melayangkan umpatan padanya ia usap perlahan.

“I like the way you cursed, but I don’t like it if you always curse at me in every chance.” Netra kelamnya yang menatap bibir Aiko bergerak ke atas untuk melihat sepasang netra rupawan.

“And who the fuck are you telling me what to do?” tanya Aiko.

Salah satu alis Mikael terangkat. “Your future boyfriend, what else?” Pertanyaan berbalik arah diberikan ketika Mikael menarik tangannya dari wajah Aiko.

Tawa Aiko pecah, mengalun bersama dengan gema musik yang menekan gendang telinga. Namun, hanya alunan tawa Aiko yang dapat Mikael dengar.

Really? Lo bahkan gak mau pacaran. Tell me another joke, so I can get over this bore,” ucap Aiko, ekspresi wajahnya berubah seketika tatkala tawanya reda.

“Gua gak begitu jago buat jokes,” respons Mikael.

Sebuah seringai di wajah Aiko tercipta, menimbulkan gelenyar dalam rongga dada pada sosok yang setahun lebih tua.

“You should make lots of jokes if you want me. Try to stole my heart as much as you can, Ael.”

Tubuh Mikael memantung, manik matanya menatap Aiko dengan kosong.

“Say my name again,” titah Mikael dengan suara yang sedikit tercekat.

Aiko menggerling, kini tak ada tatapan yang menunjukan kebencian. Hanya terdapat rayuan dalam netra bulat yang tertuju pada manik mata lain. Senyuman manis tercipta seolah penuh ketulusan.

“Ael,” ulang Aiko.

“God damn,” umpat Mikael seraya merendahkan tubuh.

Jarak yang terhapus membuat Mikael dapat melihat bagaimana bulu mata lentik itu bersemayam pada kelopak milik rupa yang elok. Dengan wajah yang datar, ia menjentikan jemarinya di kening Aiko hingga sang empunya mengaduh keras.

“You’re drunk.” Mikael menjauhkan wajahnya.

Tanpa menunggu persetujuan, Mikael mengangkat tubuh Aiko, membawanya ke dalam dekapan.

“Gua anter pulang.”

Tak ada protes yang keluar dari mulut Aiko. Semilir aroma tubuh Mikael yang tercium, membuat mata Aiko memberat. Lengan yang melingkar di leher Mikael menimbulkan secarik senyuman tipis.

Embusan napas yang keluar secara perlahan bersatu bersama dengan perasaan yang saling melebur di udara. Sebuah perasaan lega dalam relung dada menghilangkan rasa sesak yang tengah menjadi penguasa hati kala gelisah melanda. Manik mata yang penuh dengan ketegasan mengedarkan pandangan, mengamati kelimun setelah ia memberikan jawaban atas pertanyaan yang dituju padanya.

Tak ada yang dapat Aiko simpulkan dari wajah-wajah datar tanpa ekspresi. Ia tak tahu apakah jawaban yang telah disampaikan sesuai dengan ekspektasi peserta musyawarah atau tidak.

“Apakah jawaban dari kedua calon sudah dirasa cukup menjawab pertanyaan yang telah diajukan?” Sebuah suara mengalihkan atensi Aiko yang kini berpusat pada sosok perempuan anggun yang sedang berdiri seraya tersenyum manis.

“Sudah cukup menjawab, tetapi apakah saya boleh mengajukan pertanyaan lain yang masih berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya?” tanya Catalina.

Moderator yang berdiri di depan auditorium mengangguk, “Dipersilahkan.”

“Terima kasih kepada moderator yang telah mempersilahkan. Sebelumnya, izinkan saya untuk kembali memperkenalkan diri. Perkenalkan, saya Catalina, mahasiswa Hubungan Internasional angkatan 2018. Pertanyaan akan saya ajukan kepada kedua calon ketua BEM.” Terdapat jeda sebelum ia melanjutkan ucapannya.

“Banyak rumor yang menyatakan bahwasannya anggota inti dari BEM, termasuk ketua dan wakil ketua BEM dapat semacam ‘menandai’ mahasiswa baru untuk dijadikan calon pada periode berikutnya. Pertanyaan yang ingin saya ajukan adalah, apa pendapat kalian tentang hal ini dan bagaimana jika hal tersebut memang ada? Sekian, terima kasih.”

Suasana dalam auditorium menjadi ramai seketika. Rahasia umum itu tak pernah dibahas pada musyawarah calon ketua dan wakil ketua BEM sebelumnya. Namun Catalina, tanpa takut mengajukan pertanyaan mengenai topik tersebut. Meski ia tahu, ada beberapa pasang mata yang menatapnya tajam.

Kemudian segelintir orang yang berada di depan saling memandang satu sama lain.

“Peserta musyawarah diharapkan untuk tetap kondusif!” Seruan yang nyaring terdengar di setiap sudut ruangan luas, mampu meredam bising dalam hitungan sekon.

Iris yang bergerak menuju ekor mata dapat menangkap bagaimana sosok moderator memandang ke depan dengan sepasang netra yang nyalang. Aiko mengulum senyuman, Oza benar-benar berbeda ketika ia bekerja penuh keseriusan.

Pertemuan manik mata yang singkat membuat Aiko mengalihkan pandangan. Terdengar dehaman kecil dari tempat Oza berada. “Baik, kepada kedua calon ketua BEM, saya persilahkan untuk menjawab pertanyaan dari saudari Catalina,” ujar Oza dengan suara yang lebih tenang.

Sosok di samping Aiko, rival dalam pemilihan ketua BEM menganggkat tangannya. “Saya izin untuk menjawab pertanyaan dari saudari Catalina.” Stefan membuka suara.

“Bagi saya, jika hal tersebut tidak merugikan pihak lain yang ingin mencalonkan diri, maka tidak apa-apa. Anggota inti dari BEM dapat mengajukan calon yang telah mereka amati karena saya yakin mereka memiliki landasan yang kuat untuk memilih calon tersebut. Kemudian, jika hal ini memang terjadi sebelumnya, maka saya akan tetap melanjutkannya. Sekian jawaban dari saya, saya kembalikan kepada moderator.”

Pandangan yang lurus tanpa kehadiran rasa takut menunjukan bahwa ia tak terpengaruh oleh jawaban dari Stefan. Bahkan Aiko tak perlu repot memikirkan jawaban yang telah muncul dalam benaknya sejak dulu.

“Saya persilahkan kepada calon nomor urut 2 untuk menjawab.” Aiko menarik napas dalam sebelum bersuara. “Baik, terima kasih kepada moderator yang telah mempersilahkan saya.”

“Sebelumnya, terima kasih kepada saudari Catalina yang telah mengajukan pertanyaan.” Netra yang memancarkan keseriusan menatap Catalina sekilas.

“Saya setuju dengan pendapat saudara Stefan, bahwa jika hal tersebut tidak merugikan pihak atau calon lain, maka tidak apa-apa.”

“Namun masalahnya di sini, kita tidak pernah tahu apakah pemilihan calon ketua dan wakil ketua BEM oleh anggota inti itu murni karena kemampuan dari calon tersebut atau tidak. Hal inilah yang dapat menimbulkan penyelewengan dari kekuasaan, sebab hal negatif, seperti pemilihan calon yang berlandaskan kedekatan calon dengan anggota inti bisa saja terjadi. Calon yang mendapatkan dukungan dari anggota inti BEM periode sebelumnya tentu akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan calon yang tidak mendapatkan dukungan dari anggota inti.”

Kini, seluruh berpusat pada Aiko yang berdiri tegak tanpa menunjukan rasa takut.

“Jika hal tersebut memang terjadi di periode sebelumnya, saya menghormati keputusan mereka. Namun, saya dengan tegas menolak diadakannya hal ini ketika saya terpilih menjadi ketua BEM.”

Kepastian bahwa setelah ini Aiko mendapatkan banyak kritik dari petinggi di periode sebelumnya tak dapat dihindari. Namun, Aiko tetap tak peduli.

“Sekian dari saya, saya kembalikan kepada moderator,” ucap Aiko, mengakhiri perkataannya.

“Baik, terima kasih kepada kedua calon ketua BEM yang telah menjawab pertanyaan dari saudari Catalina. Kepada saudari Catalina, apakah jawaban dari kedua calon sudah dirasa cukup menjawab pertanyaan yang telah diajukan?”

Catalina kembali berdiri. “Sudah cukup, terima kasih banyak.”

“Baik, apakah masih terdapat peserta lain yang ingin mengajukan pertanyaan terkait penilaian kriteria Kemampuan Berpikir Kritis?”

Keheningan yang melanda membuat Oza mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. “Jika tidak ada, saya akan melanjutkan pada kriteria berikutnya,” lanjutnya.

Kontak mata Oza dengan operator di sana yang berlangsung singkat menimbulkan pergantian halaman dokumen yang terpampang pada layar proyektor. Aiko menggernyitkan alis tatkala melihat tabel yang kosong di sana.

“Saya akan menjelaskan poin selanjutnya kepada para calon. Seperti yang kalian lihat di sini, tidak ada apapun dalam tabel. Hal ini berarti, kriteria tidak disusun sebelumnya dan bersifat mendadak. Kriteria akan diisi oleh seluruh peserta yang ingin mengajukan kriteria untuk kedua calon.”

Keempat orang yang berdiri sejajar saling melemparkan pandangan. Pasalnya, baru kali ini terdapat kriteria yang dibuat mendadak oleh peserta musyawarah.

“Baik, untuk itu, saya persilahkan kepada peserta yang ingin mengajukan kriteria. Peserta diharapkan mengangkat tangan terlebih dahulu, kemudian jika saya menunjuk peserta tersebut, maka peserta diperbolehkan untuk berbicara dan mengajukan kriteria,” lanjut Oza.

Tatkala seluruh peserta sibuk dengan pikirannya masing-masing, sosok yang duduk di kursi pojok pada baris terakhir mengangkat tangan.

“Izin untuk mengajukan kriteria.”

Tepat ketika kedua pasang netra bertemu, Aiko merasakan dirinya ditarik pada kejadian dua tahun yang lalu.

Netra kelam yang menariknya pada lautan malam dan gelenyar di setiap jengkal tubuh yang sukar untuk dilupakan.

“Perkenalkan, saya Keinaan Mikael dari Hubungan Internasional angkatan 2018.” Gema suara yang menggelitik indera pendengaran membuat Aiko mengalihkan pandangan.

Namun, netranya tak sengaja menatap Rava yang berada pada barisan tengah. Aiko dapat melihat dengan jelas bagaimana manik mata menatap Mikael dengan binar di sana.

“Kriteria yang ingin saya ajukan adalah Kemampuan Bahasa Verbal. Peserta nantinya dapat mengajukan pertanyaan dengan berbagai bahasa, entah bahasa daerah ataupun bahasa asing yang—“

“Izin untuk menginterupsi!” potong salah satu peserta lain yang Aiko kenal.

Sontak, suasana dalam auditorium riuh kembali.

“Peserta musyawarah diharapkan untuk tetap kondusif!” Oza yang sama-sama memiliki kesabaran terbatas seperti Aiko meninggikan suara.

“Saya tekankan sekali lagi. Peserta hanya boleh berbicara ketika saya persilahkan sebelumnya. Jika ingin mengajukan perbedaan pendapat, maka peserta dapat melakukannya ketika saya membuka sesi menanggapi. Kemudian, seperti yang telah tercantum di tata tertib, peserta tidak boleh menginterupsi seluruh anggota musyawarah tanpa terkecuali. Pelanggaran selanjutnya akan langsung mendapatkan sanksi. Terima kasih,” jelas Oza dengan intonasi yang masih tinggi.

“Kepada saudara Mikael, silahkan untuk dilanjutkan kembali.”

“Baik, terima kasih moderator. Peserta dapat mengajukan pertanyaan dari berbagai bahasa dikarenakan ke depannya, para calon mungkin berada di posisi tersebut ketika bekerja sama dengan organisasi lain, bahkan bekerja sama dengan masyarakat di daerah lain yang tidak dapat menutup kemungkinan hal ini terjadi. Sekian dari saya, saya kembalikan kepada moderator.” Tutur kata yang terdengar seperti air mengalir seakan tidak terpengaruh pada kondisi yang sebelumnya kacau.

“Baik, terima kasih kepada saudara Mikael yang telah mengajukan kriteria. Bila terdapat peserta yang ingin menanggapi, diharapkan untuk menganggkat tangan terlebih dahulu.”

Dalam hati, Oza mengumpat karena tak ada yang berani mengajukan protes ketika ia membuka sesi menanggapi.

Bagian tadi aja pada ribut bangsatttt.

“Jika tidak ada, maka akan saya simpulkan bahwa seluruh peserta musyawarah setuju dengan kriteria yang diajukan oleh saudara Mikael.”

Manik mata Oza yang bulat menelisik, menatap wajah dari peserta musyawarah satu persatu. “Baik, jika tidak ada, silahkan kepada peserta yang ingin mengajukan pertanyaan terkait kriteria Kemampuan Bahasa Verbal menganggkat tangannya.”

Lagi-lagi hanya angin yang ditimbulkan oleh pendingin ruangan yang Oza dapat sebagai jawaban. Oza sedikit paham, mungkin orang-orang sudah kelelahan, sebab waktu telah menunjuk angka 11 malam.

Saat netra miliknya menangkap sosok Mikael kembali menganggkat tangan, ia lantas bersuara. “Kepada saudara Mikael, saya persilahkan.”

“Baik, terima kasih. Saya akan mengajukan kepada seluruh calon, baik kepada calon ketua ataupun wakil ketua. Pertanyaan dapat dijawab oleh salah satu atau keduanya.” Sepasang mata elang itu menatap ke depan dengan lurus.

“Was werden Sie tun, wenn Sie und Ihr Team sich in einer Gegend befinden, in der niemand fließend Indonesisch sprechen kann? Wirst du die Sprache lernen, die sie sprechen, oder nicht?”

What will you do if you and your team are in the local area that no one can speak indonesian fluently? Will you learn the language they speak or not?

Sialan.

Mungkin ribuan umpatan dalam hati yang menguap bersama dengan deru napas kencang tak pernah cukup untuk mengutuk sosok Mikael yang ingin Aiko kunyah hidup-hidup.

Namun Mikael, tentu saja salah memilih lawan. Aiko tak dapat tinggal diam atau melonggo seperti Hera yang berada di samping kanannya.

“Izin menjawab pertanyaan dari saudara Mikael.” Untai kata yang terdengar lantang menggambarkan jelas keberanian Aiko. Bahkan manik matanya tak segan memandang Mikael dengan tajam.

“Eh bien, je me fiche du fait que vous puissiez parler couramment l'allemand. pensez-vous que je ne sais pas que vous voulez juste montrer votre habileté à parler? Je m'en fous, connard.”

Well, I don't care if you can speak German fluently. Do you think I don't know you just want to show off your speaking skill? I don't care, asshole.

Dunia rupanya hanya terdiri atas dua orang yang tengah melemparkan pandangan. Aiko, tidak peduli terhadap pandangan orang lain terhadap dirinya, melainkan hanya pada satu sosok. Netra dengan kobaran nyala api tertuju pada onyx hitam tanpa emosi.

Kali kedua Aiko merasa ditarik menuju masa lampau saat ia dapat melihat jelas seringai yang diberikan oleh Mikael.

“Pensez-vous que je ne comprends pas le français?”

Do you think I don't understand French?

Aiko mengangkat alisnya, dengan ekspresi datar, ia kembali mengulang kalimatnya, “Je m’en fous.”

I don’t give a fuck.

Kemudian, tawa Mikael pecah. Memenuhi ruangan yang senyap dengan alunan tawa renyah.

Kelinci kecil tak pernah menyadari bahwa dirinya tengah berjalan mendekat kepada seekor singa yang siap untuk menerkam mangsanya.

Ingar-bingar dari musik yang memekakkan telinga perlahan terdengar lebih pelan tatkala langkah kakinya menjauh dari sumber suara. Satu persatu anak tangga ia naiki dengan netra yang memandang sekitar. Mencari sosok teman yang mungkin sekarang terkulai lemas akibat efek dari minuman keras.

“KIKOOOO!” Di tengah kebisingan, Aiko dapat mendengar Oza yang memanggil namanya.

Penampilan kusut yang berbanding jauh ketika pertama kali sosok itu menginjakkan kaki di kelab malam berhasil membuat Aiko berdecak. Sekarang, Oza terlihat lebih mirip seperti orang gila. Surai madunya mencuat ke atas, memperlihatkan keningnya yang memerah.

“Jidat lo kenapa anjir?” tanya Aiko begitu berada di hadapan Oza.

Sebuah kerutan tipis hadir pada kening Oza yang memerah, tangannya lantas memegang kening miliknya sendiri. “Ini? Kayaknya tadi gua kepentok pintu wc hihihi.” Sosok yang duduk di sofa kemudian terkikik geli hingga merebahkan dirinya tanpa malu.

“Yang bener aja lo, Oja.” Aiko mengembuskan napas dengan kasar. “Ayo turun, kita balik,” titahnya pada Oza.

Masih terlentang di atas sofa, Oza mengernyitkan alis. “Kaki gua lemes kayak jeli. Jangan-jangan gua dikutuk jadi siluman yupi.”

Gelagat serius Oza yang menyikapi omong kosongnya menguras kesabaran Aiko yang pada dasarnya bukanlah sosok penyabar. Jika tiang pole dance dapat ia ambil, mungkin Oza kini sudah Aiko pukul dengan benda tersebut.

“Yaudah cepet sini gue gendong. Abis ini kita cari Rava,” ucap Aiko yang membuat senyuman Oza mengembang. “Asik!!! Naik odong-odong terbang,” riang Oza seraya bertepuk tangan.

“Lo mabok apa lagi simulasi jadi orang gila?” tanya Aiko gemas, ingin menampar pipi Oza bolak-balik.

Tak mengindahkan lawan bicaranya, Oza menjulurkan kedua tangan. Bersiap untuk digendong. Aiko kembali mengembuskan napasnya kasar, sebelum menggendong temannya yang sangat merepotkan.

“Anjinggg. Lo berat banget bangsat.” Sosok yang memakai kemeja hitam penuh corak menggerutu kesal. Meski otot-otot Aiko berkembang dengan baik, ia tetap merasa kesulitan menganggkat tubuh Oza.

“Lo kayaknya berat sama dosa,” ucap Aiko begitu berhasil menggendong temannya yang tak tahu diri.

Suasana di lantai dua lebih tenang. Beberapa dari khalayak memilih untuk menegak minuman beralkohol seraya menghisap vape mereka. Asap yang berkumpul menjadi satu membuat Aiko kesulitan memandang sekitar.

“Lu pada ada yang lihat Mars kagak?” Samar-samar, Aiko dapat mendengarkan percakapan kumpulan orang yang berada pada meja di sampingnya.

Sosok lain dengan suara familiar menyahuti. “Gua tadi lihat Mars pergi bareng Ael.”

“Oja! Tangan lo nyekek gue anjir!” seru Aiko seraya membenarkan tubuh Oza yang melorot di balik punggungnya, mengalihkan atensi Aiko dari konversasi yang sempat ia kuping.

“Longgarin dikit!” Oza yang terpejam masih memiliki kesadaran yang tersisa dalam skala begitu kecil. Ia menuruti perkataan Aiko tanpa bersuara.

Dengan penuh perjuangan, Aiko menuruni tangga kelab malam yang tidak menyediakan lift. Seolah-olah sengaja membiarkannya sengsara. Dalam hati, Aiko mengumpati Oza yang tidur nyaman, sedangkan ia harus berjerih payah membawa beban berat di punggungnya. Padahal, Aiko masih belum menjadi tulang punggung keluarga. Namun, ia telah merasakan beban berat di sana. Semuanya salah Oza.

Saat kakinya berhasil melewati anak tangga yang terakhir, Aiko menghela napasnya lega. Ia berjalan tergesa menuju salah satu sofa kosong di lantai bawah. Membanting tubuh yang ia gendong hingga terbangun dari tidur.

“Lo diem di sini. Jangan kemana-mana! Gue mau cari Rava dulu.” Perintah Aiko pada Oza yang sedang mengerjapkan mata dengan kedua alis yang saling bertaut.

Si pemilik surai madu itu memberikan ibu jari tangan kanannya sebagai jawaban, sebelum kembali terlelap. Aiko mereganggkan otot-otot bahunya sebentar, lalu berjalan untuk mencari keberadaan Rava. Manik matanya melihat sekeliling. Sesekali ia berusaha menghubungi Rava melalui sambungan telepon.

Alunan musik yang keras membuat telinganya sedikit berdengung. Langkah kaki Aiko berhenti ketika ia mencoba kembali menghubungi Rava. Memeriksa ponselnya, sebelum menekan tombol dial sekali lagi. Sepasang netra sayu berusaha untuk mencari keberadaan sosok temannya di tengah lalu-lalang manusia.

Kala waktu terasa berjalan lamban, pada tempo itulah manik matanya bersirobok dengan netra lain. Sebuah pandangan tanpa ekspresi yang terasa begitu asing. Tatkala suara di sekitar perlahan tak terdengar, atensinya terus berpusat pada netra kelam yang menarik kesadarannya untuk hanyut dalam lautan gelita.

Aiko dapat melihat secara gamblang bagaimana sosok itu menyeringai di tengah pagutan panasnya dengan sosok lain.

Manik mata yang menyaksikan adegan intim itu mengerjap ketika kontak dari netra yang saling memandang terputus. Dari tempatnya berada, ia memerhatikan sosok yang berada dalam dekapan si pemilik netra kelam yang sedang mendongakkan wajah. Tersenyum saat merasakan sentuhan dari jemari yang mengusap bibirnya halus.

Malam ini, Aiko menjadi saksi bisu hubungan percintaan orang lain.

Suasana hatinya lantas memburuk dan ia hanya ingin pulang detik itu juga. Kebisingan kembali terdengar oleh indera pendengaran serentak dengan dirinya yang membalikkan tubuh. Berjalan tergesa menghampiri Oza yang ia tinggal sendirian.

“Kikooo! Rapanya udah ketemuu,” teriak Oza dari kejauhan.

Namun, bukan Rava yang Aiko temukan. Melainkan sosok asing yang tengah berusaha melepaskan gandengan Oza.

Hampir tiga minggu Karl menginap di rumah sakit. Beberapa organ dalamnya rusak sehingga mengharuskannya melewati proses penyembuhan yang lama. Tubuh yang terlihat lebih kurus itu duduk di atas ranjang pasien. Netranya memandang keluar jendela. Berusaha menemukan sesuatu yang menarik di sana dan menekan segala pikiran negatif yang memenuhi kepala.

Suara pintu yang berdecit tak membuatnya mengalihkan padangan. “Udah gue bilangin jangan ke sini lagi,” gerutunya pada sosok yang ia pikir Bima.

“Masa?” Manik mata Karl melebar, suara yang belum ia dengar selama tiga minggu ke belakang itu akhirnya menarik atensinya.

Terlihat Theo yang masuk ke dalam ruangannya dengan bunga aster dalam genggaman. Sosok yang mengenakan baju putih polos dengan celana jeans terlihat tak acuh. Berjalan dengan tenang menuju nakas di samping ranjang, lalu menaruh bunga yang ia bawa pada vas yang kosong.

Merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Karl mengambil bantal dan melemparkannya pada Theo.

“Aduh!” seru Theo. Ia meringgis, sebelum menoleh pada Karl yang tengah melemparkan tatapan tajam. “Kok akunya dilemparin bantal?” tanyanya.

Karl mengembuskan napas dengan kasar. Ia lantas mengalihkan pandangan tanpa bersuara. Hanya deru napas yang terdengar berat yang menjadi jawaban.

Tak mengerti akan amarah Karl, akhirnya Theo duduk di tepi ranjang. “Kitten,” panggilnya.

Keterdiaman Karl membuat Theo mencolek pipi sosok itu. Ditepisnya tangan Theo dengan kasar hingga sang empunya terbelalak.

“Karl, kamu kenapa?” tanya Theo seraya berusaha membuat Karl menatapnya.

“Hey,” panggil Theo sekali lagi. Kali ini ia meraup pipi Karl untuk mempertemukan kedua mata mereka.

“Kenapa sih?” Theo kembali bertanya.

“Masih tanya kenapa?!” omel Karl dengan suara yang keras.

Mendapat bentakan dari kekasihnya, Theo mengerjapkan mata.

“Kamu tiga minggu ini ilang kemana?! Gak ada kabar sama sekali. Terus tiba-tiba datang seolah gak ada apa-apa,” ucap Karl, kini suaranya terdengar bergetar.

Melihat netra Karl yang berkaca-kaca, Theo bergerak panik. Diraihnya kedua pipi Karl, kemudian mengusapnya dengan lembut.

“Bima gak ngasih tau apa-apa ke kamu?” tanya Theo yang dijawab dengan gelengan kecil.

Terdengar umpatan yang keluar dari mulut Theo. Ia memejamkan mata sejenak sebelum kembali menatap Karl. Pandangannya melunak walaupun ia tengah menahan emosi.

“Aku abis kena penalti, ngegantiin kamu,” jelas Theo, membuat Karl mengerjapkan matanya.

“Jadi selama ini kamu ilang gara-gara kena penalti? Disuruh ngapain aja?” tanya Karl.

“Bikin laporan, bersihin mess dari siang sampai sore. Terus aku juga gak boleh pegang Hp. Ini Bima beneran gak ngasih tau apa-apa?” Theo kembali bertanya sebab ia sangat ingat menitipkan pesan pada Bima untuk memberitahu kekasihnya.

Karl menggeleng, mengundang helaan napas berat yang dikeluarkan oleh Theo. Namun, Theo tak ingin menunjukkan amarahnya di hadapan Karl. Jadi yang ia lakukan adalah mendekap tubuh Karl karena rasa rindu yang menyeruak.

“Aku setiap hari selalu main sama kucing karena kangen sama kamu banget,” ucap Theo seraya mengusap punggung Karl.

“Aku juga setiap hari ngitungin daun yang jatuh sambil mikirin kamu,” balas Karl dalam dekapan Theo.

Theo merenggangkan pelukan mereka. Menatap Karl seraya tersenyum hingga kedua matanya menyipit. Senyuman itu membuat Karl terkekeh.

“Sini cium,” ucap Theo setelahnya.

Bibir Karl mengerucut, mengundang tawa Theo sebelum sosok itu mengecupnya. Dari mulai bibir hingga seluruh bagian wajah Karl ia cium satu persatu. Memberikan rasa geli dan senang secara bersamaan.

Terakhir, Theo mengecup sepasang netra yang dihiasi oleh bulu mata yang lentik.

“It’s already over.” Theo menjauhkan wajahnya. Kedua tangan yang masih menempel pada pipi Karl itu memberikan usapan dengan ibu jarinya.

Karl mengangguk pelan, sebelum bergerak memeluk Theo kembali.

“Nanti temenin aku ke makam Kak Ella, ya?” Usapan pada pucuk surainya membuat sosok itu memejamkan mata.

“Pasti.”

Manik mata Karl memandang lurus Theo yang tengah terlelap. Sesekali ia melirik jam yang berada di pergelangan tangannya. Suara jarum jam yang terdengar nyaring ketika bergerak membuat Karl menghela napas. Ia tersenyum sekilas melihat wajah Theo yang terlibat damai. Jemarinya megusap surai Theo, kemudian memberikan sebuah kecupan pada keningnya.

Mungkin, ini terakhir kalinya mereka bertemu.

Ada perasaan berasalah yang menjalar pada relung dada, namun Karl telah memutuskan hal ini sejak lama. Sekarang, ia harus bergerak tanpa kedua rekan timnya. Menanggung semuanya sendirian untuk membalaskan dendam yang tak pernah tertelan masa.

Dengan senyuman yang tak kunjung pudar, Karl lantas mengecup bibir Theo. “Sleep tight,” bisiknya pelan.

Setelah itu, Karl melangkahkan kakinya untuk pergi keluar dari kamar. Di ruang tengah, terlihat Bima yang juga tertidur lelap dengan telinga yang ditutupi oleh headphone pemberiannya. Ia menaikan selimut Bima, sebelum benar-benar pergi.

Hari ini, Karl akan meninggalkan semuanya.


Jemari yang tertutup oleh sarung tangan itu mengotak-atik senjata api miliknya, menimbulkan bunyi yang nyaring di tengah ruangan kosong. Dirasa semua perlengkapannya telah lengkap, Karl kembali menatap layar laptop. Mengencangkan sabuk dari seragam tempur yang ia kenakan terlebih dahulu, kemudian bergerak untuk memulai aksi pelacakannya.

Netra Karl bergerak turun ketika melihat deretan kode yang tertera di layar. Keheningan yang menyelimuti membuat deru napas dan pergerakan tangannya di atas papan tuts terdengar saling bersahutan.

Found

Warna hijau yang terpampang pada layar membuat ia segera menyimpan kedua pistol miliknya. Mata yang bergerak intens itu berfokus pada titik merah yang tengah terdiam. Ia menghitung mundur waktu dan terus mengamati layar laptopnya.

Dirasa sang target telah cukup lama berdiam diri, Karl menutup satu-satunya benda elektronik yang ia bawa. Menyimpan dalam ransel, lalu meninggalkannya begitu saja.

Tinggal sebentar lagi.


Karl membuka pintu di hadapannya dengan pelan tanpa menimbulkan suara. Setelah pintu terbuka, ia masuk dengan langkah kaki yang berlindung di balik kesunyian. Matanya berkelana untuk menyapu sebuah ruangan kerja dengan penerangan minim.

Kosong

Tak ada siapapun di sana. Ekor matanya melirik sekitar dengan penuh kewaspadaan. Dengan konsentrasi yang penuh, Karl dapat merasakan kehadiran sosok selain dirinya.

Di belakang.

Tangan Karl bergerak penuh kehati-hatian untuk mengambil pistol miliknya. Mengambil benda itu sebelum berbalik dengan cepat.

Trang

Pistol pada tangan kanannya terlempar. Karl mulai merasakan nyeri pada pergelangan tangan yang ditendang oleh sosok di hadapannya. Sebelum sosok itu berhasil menangkap tangan kiri untuk mengambil pistol yang tersisa, Karl menarik tangannya, lalu berputar untuk menjauh.

Karl kembali menodongkan pistolnya tepat pada target. Melihat senyuman yang terpatri di wajah sang target, napas Karl memburu. Giginya saling menggemeluk, menahan emosi yang berkobar.

“K.” Sosok itu berjalan mendekat ke arah Karl, membuat Karl menarik pelatuk pistol, bersiap untuk menembak kapanpun ia mau.

“Agen K? Dulu tinggi lu masih sepinggang gua. Gak kerasa sekarang udah gede.” Karl memicingkan mata, berancang untuk menekan pemicu pistol.

“Kabar kakak lu gimana sekarang? Masih di dalam liang kubur?” Kesabaran Karl telah terkuras sepenuhnya.

Saat ia akan menembak sosok yang tengah tersenyum, sesuatu terasa menacap pada lehernya. Padangan Karl mengabur seiring dengan tawa yang tengah menggema.


Kelopak mata yang terpejam kini perlahan terbuka. Ia mengernyit tatkala merasakan kepalanya yang terasa berat. Wajahnya terangkat, dengan pandangan yang masih kabur, Karl menatap sekeliling hingga menemukan sosok yang duduk di hadapannya. Sosok itu melirik jam tangan miliknya, kemudian menatap Karl.

“Karlheinz Evangel. Dua puluh satu tahun. Salah satu agen rahasia terbaik organisasi Magari,” ujar sosok yang tengah menatap Karl seraya tersenyum.

Fernando, kakak tiri dari Alvaro itu berdiri. Melangkahkan kakinya menuju Karl yang tengah diikat pada kursi. “Gua gak suka cowok, tapi lu mirip banget sama Briella.”

“Don’t fucking call her name with your filthy mouth.” Kalimat penuh umpatan yang keluar dari mulut Karl membuat Fernando tertawa renyah.

“Well, this mouth.” Fernando menunjuk bibirnya. “Had bitten every single inch of your sister’s body,” lanjut Fernando.

Melihat Karl yang terlihat menahan emosi, sosok itu berjongkok di hadapan Karl. Tangannya menarik dagu Karl, mempertemukan netra mereka.

“Fucking rapist,” ucap Karl dengan mata yang memerah.

“Gua jadi penasaran sama reaksi pacar cowok lu kalau tau gua ngelakuin hal yang sama kayak apa yang pernah gua lakuin ke Briella.” Suara milik Fernando menjadi lebih pelan, lalu ia menyeringai.

“You’re so pretty and remind me of Briella so much. Do you know how bad I miss her? If only she enjoyed our sex session, I wouldn’t kill her.”

Mata Fernando terpejam ketika merasakan cairan basah yang menempel pada pipinya dan Karl adalah sosok yang meludah di sana. Dengan napas yang memburu, Fernando bangkit. Ia menjambak surai Karl, lalu memberikan pukulan keras tepat di wajah Karl hingga sosok itu terhuyung dan jatuh.

Tak merasa puas, sosok yang mengenakan setelan formal berwana hitam itu menginjak kepala Karl. “Udah banyak agen yang ngejar gua. Lu pikir udah sepinter apa lu buat nyerang gua sendirian?” tanya Fernando seraya menggesekkan ujung sepatu pentofelnya di atas kepala Karl.

“Dan pacar lu, jangan kira nyembunyiin dia di ruang bawah tanah bakal tempat yang aman. Orang-orang gua lagi ke sana dan kirimin paket spesial khusus buat dia,” lanjutnya.

Merasa bosan, Fernando mengangkat kakinya. “Lepasin talinya,” titah Fernando pada bawahan yang sedari tadi hanya menyaksikan.

Netra kelam milik Fernando memerhatikan bagaimana bawahannya mengangkat kursi Karl hingga mereka melepaskan tali yang mengungkung sosok tersebut. Melihat Karl yang bersiap langsung menyerangnya, Fernando mengambil sebuah suntikan di saku celana. Kemudian ia menusukkan suntikan itu pada leher Karl dan pergi menjauh.

Tangan Karl yang terbebas mencabut jarum suntik yang menempel pada lehernya. Ia berlari menuju Fernando yang santai berkeliling. Ketika tangannya hendak mengambil pistol dalam celananya, pergerakan Karl terhenti.

“Nyari ini?” tanya Fernando, menunjukkan pistol milik Karl.

Obat yang terinjeksi ke dalam tubuh Karl mulai bereaksi. Karl merasakan tubuhnya melemas, namun ia tetap berdiri tegak. Tatkala Fernando menodongkan pistol ke arahnya, Karl lantas membuka sabuk yang melekat pada pinggang. Menariknya secepat mungkin, lalu melemparkannya pada tangan Fernando.

Sosok itu meringgis. Pistol yang berada dalam tangannya terlempar. Karl mengambil kesempatan untuk menyerang Fernando. Jika saja tubuhnya tidak dalam pengaruh obat, ia telah melemparkan tinjunya pada sosok yang sekarang tengah tertawa. Fernando berhasil menghindari pukulan Karl. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Karl memutar tubuhnya dan memberikan tendangan tepat pada wajah Fernando.

Setelahnya, Karl terjatuh. Tubuhnya tidak dapat lagi berdiri. Langkah kaki yang terdengar memekakkan telinga membuat Karl mendongak, melihat Fernando yang berjalan ke arahnya seraya memegangi wajah.

Tepat di depan Karl, ia berjongkok. Karl melemparkan tatapan tajam, sebelum sesuatu dalam dirinya merasakan sakit yang luar biasa. Perutnya merasakan kontraksi, lalu ia memuntahkan darah.

“Gua jadi berubah pikiran,” ujar Fernando seraya mengangkat dagu Karl.

Perlahan, pandangannya turun pada baju yang Karl kenakan. Ia lantas membuka baju itu hingga bahu polos Karl terekspos. Merasakan sentuhan menjijikan dari lidah Fernando di bahunya, Karl menggeram.

“Gimana kalau setalah lu mati, gua bakal nelanjangin lu dan ngegantung lu di tempat yang banyak orang. Kira-kira pacar lu bakal bereaksi kayak gimana ya?” tanyanya seraya menjauhkan wajah dari bahu Karl.

“Kalau gue mati, gue gak bakal mati sendirian karena lo bakal ikut gue ke neraka.” Netra yang tengah bertahan untuk terus terbuka menatap Fernando penuh rasa benci.

Mendengar ucapan Karl, Fernando terbahak. “Emang gimana cara lu bawa gua ke neraka?” tanyanya.

Kali ini Karl tersenyum meremehkan. “Lo pikir gue gak tau ini dimana?”

Kemudian, bunyi nyaring dari bom yang tengah menghitung mundur menggema. Melihat ekspresi Fernando yang terkejut, Karl menyeringai. Ia tak boleh mati sendirian. Tidak hingga dendamnya terbalaskan.

“Gue juga udah nyiapin hadiah terakhir gue buat Alvaro. Kira-kira, gimana reaksinya kalau tau selama ini ibunya meninggal karena lo bunuh?” tanya Karl

Dalam hati, Karl ikut menghitung mundur. Detik-detik yang akan membawanya pada kematian itu tak boleh Karl lewatkan. Pada akhirnya, ia akan melakukan segala cara untuk membunuh sosok yang telah melecehkan kakak perempuannya hingga merenggut nyawa sosok tersebut.

Karl mengedipkan mata ketika tak lagi mendengar suara dari timer bom yang ia pasang. Ia lantas menatap Fernando yang sedang tersenyum lebar.

Sialan

Apakah ia harus benar-benar mati sendirian?

Ketika Karl sudah tak dapat mempertahankan kesadarannya, sayup-sayup ia mendengar banyak suara yang berdatangan. Tubuh yang mulai terhuyung itu menatap lurus ke depan dengan pandangan kabur sebelum ia dapat mendengar suara tembakan yang mengenai Fernando.

“Karl!”

Theo

Tubuh Karl yang hampir menabrak lantai tertahan ketika Theo mendekapnya. Diambang kesadaran, Karl tersenyum tatkala mendengar teriakan Theo.

“Lu kalau gak bisa nyelamatin pacar gua, tau kan konsekuensinya apa?!”

Setelah itu, pandangan Karl menjadi gelap.

Melihat wajah yang terlelap dengan damai, Theo terkekeh pelan. Ia membungkuk, memberikan kecupan di kening Karl, sebelum duduk di atas ranjang. Diusapnya pipi kanan Karl dengan lembut, berniat membangunkan sosok yang sedang asyik berkelana di alam mimpi. Tak mendapat respon, Theo menggelengkan kepala. Ia lantas mendekatkan wajahnya, mengecup Karl tepat pada puncak hidung dan bergerak menggigitnya.

“Mmm!” Lagi-lagi Theo terkekeh, kekasihnya itu tengah merengut akibat merasakan gigitan pada hidungnya.

Tubuh milik Karl menggeliat di balik selimut. Dengan mata yang terpejam, alisnya saling bertaut dan bibirnya mengerucut.

“Wake up, Kitty!” Theo mencubit gemas hidung Karl, membuat Karl menggerakkan kepala, menghilangkan rasa tak nyaman yang terasa.

Merasa Karl tak akan kunjung bangun, Theo akhirnya mengangkat tubuh itu dengan kedua tangannya. Membawa Karl pada gendongan, hingga sosok yang masih memenjamkan mata bergerak mengalunkan tangannya pada leher Theo. Menempatkan wajahnya pada dada Theo dan melanjutkan mengejar bunga tidur di sana.

“Makan dulu, ya? Udah siang. Kasian perutnya nanti nangis,” ujar Theo.

Kepala Karl bergerak, mencari posisi yang nyaman seraya bergumam. Entah mendengar ujaran Theo atau tidak, ia tak bisa memertahankan kesadarannya. Seakan terdapat beban yang begitu berat pada kelopak matanya hingga enggan memperlihatkan netra indah di baliknya.

Setelah sampai di ruang makan, Theo mendorong salah satu kursi dengan sikunya. Kemudian ia menempatkan Karl di sana, membiarkannya duduk. Tubuh dari sosok yang masih ingin tertidur itu terhuyung ke samping. Hampir terjerembap jika Theo tidak menahannya.

“Sayang,” panggil Theo, berharap sosok yang tak kunjung membuka mata akhirnya bangun dari tidurnya.

Walaupun Theo tak tega membangunkan Karl yang kelelahan, ia tak bisa membiarkan perut kekasihnya kosong.

“Udah hampir jam 3, loh.” Masih tidak ada jawaban.

Pipi yang sedikit berisi itu dicubit dengan sedikit keras hingga sang empunya menggerutu. Namun, kedua matanya masih tertutup.

“Kamu harus aku apain sih biar bangun?” tanya Theo yang mulai kehabisan cara untuk membangunkan Karl.

Diusapnya pipi Karl yang ia cubit. Theo merendahkan tubuh, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Karl, kemudian mengecup bibir yang sedikit cemberut itu. Satu kecupan, dua, tiga, hingga Theo tak dapat menghitungnya lagi.

“Theo, diem!”

Nah, bangun juga.

“Buka dulu matanya, Kitty. Terus makan sebentar aja. Aku suapin ayo, tapi kamunya harus bangun dulu.” Theo memerintah dengan lembut.

Kelopak mata yang tertutup rapat kini terbuka secara perlahan. Karl mengerjapkan matanya yang terasa berat. Tubuhnya lemas dan pegal akibat diinvasi oleh Theo semalam. Ia lantas mencebik sebal mengigat Theo yang membuatnya seperti ini.

“Ya aku gini juga kan gara-gara kamu.” Akhirnya manik mata Karl terbuka lebar.

Mendapatkan omelan dari Karl, sosok yang sedang menyajikan makanan itu mengangguk. “Iya, iya salah aku. Sekarang makan dulu,” ucap Theo.

Setelah mengambil makanan dengan sendok, Theo lantas memberikannya pada Karl. Menyuapi sosok tersebut terlebih dahulu sebelum ikut duduk di sebelahnya.

“Udah ada kabar?” tanya Karl di sela kegiatan mengunyah.

Theo menggeleng. “Belum.” Lalu kembali menyuapi Karl.

“Lama banget. Udah hampir 5 bulan,” gerutu Karl dengan mulut yang dipenuhi makanan.

“Telen dulu, nanti keselek,” tegur Theo.

Lagi-lagi Karl mengerucutkan bibir. Namun, ia tetap mendengarkan teguran Theo dengan baik. Melihat wajah Karl yang cemberut, Theo tersenyum. Kemudian, ia merapikan surai Karl yang berantakan.

“Kayaknya sebentar lagi.” Perkataan Theo membuat Karl menoleh.

Ia kemudian menyipitkan matanya. “Tau dari mana?” tanya Karl, wajahnya dipenuhi ekspresi curiga.

Theo mencubit pipi Karl dengan gemas. “Soalnya aku lihat Varo lagi di perusahaan papanya,” jelas Theo sambil memainkan pipi Karl.

“So, we almost there.” Manik mata Karl memandang kosong ke depan dengan sesaat, lalu ia membuang napasnya kasar.

Paham akan suasana hati Karl yang memburuk, Theo mengusap pucuk kepala sosok itu. “Would you be sad?” tanya Theo yang menarik atensi Karl.

“Karena?” Karl balik bertanya, suaranya terdengar hampa.

“Abis misi ini selesai, kita gak akan pernah ketemu mereka lagi,” jawab Theo.

Mereka.

Ah, empat orang itu.

Karl mengalihkan padangannya dari Theo. “Dari awal niat aku bukan buat temenan. Mereka cuman alat yang kita manfaatin buat ngejar target.”

“Both of us never had friends before, Karl. Even we just acted like they were our friends because of the mission, they aren’t that bad. They are actually good people.” Telah banyak misi yang mereka lakukan hingga saat ini, tetapi perpisahan dengan orang-orang di sekitar mereka tak pernah menyenangkan.

Pandangan Theo melembut tatkala melihat bibir Karl yang melengkung ke bawah. “That’s okay to be sad, Karl.” Theo melanjutkan ucapannya.

“Even though you’re an angel without wings, your feelings are valid.”

Atensi Karl beralih pada Theo, ketika melihat senyuman tulus yang menyambut, ujung bibi Karl tertarik ke atas. Tersenyum tipis atas perkataan kekasihnya.

Theo paham dengan konsekuensi mereka yang tak boleh terikat banyak orang. Bagaimanapun, keduanya adalah agen rahasia dari sebuah organisasi swasta. Ketika misi yang mereka jalankan selesai, mereka akan menghilang seolah tak pernah hadir menjadi bagian dari dunia. Meninggalkan segala memori yang telah terlewati sebelumnya.

“Abisin dulu makanannya, abis ini kita movie date.” Meskipun ia tak bisa menghapus rasa sedih Karl, setidaknya ia dapat membuat suasana hatinya lebih baik.

Senyuman di wajah Karl melebar. Ia mengangguk senang. Bahkan kakinya ikut terayun, membuat Theo tertawa kecil. Lantas, theo meraup kedua pipi Karl, mengecup bibir Karl sebelum menyuapinya kembali.

Suasana ramai yang diselingi oleh lantunan musik menjadi latar obrolan orang-orang di sekelilingnya. Botol vodka, asap rokok, dan canda tawa mengelilingi sosok yang sedari tadi terdiam. Ekor matanya sesekali melirik pada sosok lain yang duduk di seberangnya.

Gio mengembuskan napas, mengeluarkan asap dari cerutu yang ia isap. Masih memerhatikan bagaimana teman-temannya yang berbincang dengan volume lantang.

“Lu gimana caranya kenal sama Lilly, Than?” Dhavin adalah pemilik suara yang paling lantang di antara mereka.

Mendengar pertanyaan Dhavin, sosok yang ditanya mengerutkan alisnya. Ia duduk di kursi panjang, dihimpit oleh Dhavin dan Reagan. Sembari memikirkan jawaban atas pertanyaan yang dituju, Othan menatap ke depan, mempertemukan netranya dengan obsidian milik Gio.

“Ketemu di kepanitiaan kalau gak salah. Lupa gue,” jawab Othan yang mengundang protes dari teman-temannya.

Lantas, Othan terkekeh kecil. Ia mengambil rokok di atas meja, menyalakan pematik sebelum menghisapnya. Di sela asap rokok yang keluar seiring dengan embusan napasnya, ia kembali menatap ke depan.

Di sebelahnya, Reagan mengambil gelas yang berisi tequila. Menegaknya pelan, lalu menatap Gio dan Othan secara bergantian.

Seraya memainkan gelas tequila yang berada di genggamannya, Reagan berkata, “Gue aneh sama kalian berdua.”

Seluruh atensi kini berada pada Reagan. Bahkan, Ariel yang sibuk dengan nintendonya ikut menatap sosok itu.

“Yang satu suka banget gonta-ganti cewek, sedangkan yang satunya lagi gak pernah keliatan demen cewek sama sekali.” Reagan meneguk habis tequila yang tersisa.

Setuju atas perkataan Reagan, Dhavin mengangguk. Di sisi lain, Alvaro mengangkat alisnya. Tangan kanan yang ia pakai untuk menompang pelipis disimpan pada kepala sofa yang tengah diduduki. Ia memerhatikan Gio dalam diam.

“Lu gak ada niat buat ngedeketin cowok gitu, Yo?” Alvaro bertanya tiba-tiba, membuat Gio menoleh padanya.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya, Gio melirik sekilas Othan yang sedang menatapnya. Seolah sosok itu menunggu jawaban dari Gio.

“Gak ada,” jawab Gio singkat.

“Kalau sama cowok suka gak?” tanya Ariel yang sedari tadi terdiam.

Meja yang di kelilingi oleh enam orang itu senyap seketika atas pertanyaan Ariel.

Dibalas dengan keheningan, Ariel menengok kanan-kirinya. “Kok pada diem?” tanya sosok yang masih memegang nintendo.

“Gua jadi kepikiran, kalau selama ini ternyata Gio suka sama Othan,” celetuk Dhavin, membuat atmosfer di sana menjadi lebih canggung.

Gio membuang ujung rokok miliknya di atas asbak, sebelum menatap Dhavin. “Alasannya?” tanya Gio yang terdengar tenang.

“Gua ngasal sih,” jawab Dhavin.

Dengan pandangan yang tertuju pada Othan, ia melanjutkan ucapannya. “Jangan-jangan lu yang suka sama Gio? Secara lu yang selalu keliatan canggung sama dia. Padahal Gionya biasa aja sama lu.”

Perkataan yang keluar dari mulut Dhavin mengalir begitu tenang, seakan tak ada yang salah dengan tutur kata yang terucap. Othan lantas mengerutkan alisnya, kemudian menatap Dhavin seraya menyipitkan mata.

“Tapi gue kan gak suka cowok, Pin,” jawab Othan.

Bahu Dhavin terangkat. “Ya siapa tau gitu kan.” Sosok itu lantas menuangkan botol vodka pada gelas kosong.

“Kalau menurut gue sih ya.” Reagan membuka suara, pandangannya lurus pada Gio yang masih merokok.

Netra milik Reagan beralih menatap Dhavin yang kini meminum vodka dalam satu tegukan. “Yang suka sama Gio tuh Dhavin,” ucapnya.

“Soalnya Dhavin sering banget muji Gio ganteng,” lanjut Reagan.

Tertarik dengan topik obrolan teman-temannya, Ariel menyimpan nintendo yang sedari tadi ia mainkan. Kaki yang terlipat di atas sofa kini turun tatkala ia mengambil gelas yang berisi mojito.

Sontak, Reagan menertawakan Ariel atas ketidaksukaannya terhadap minuman beralkohol dan berakhir memesan mojito tanpa kandungan alkohol. Namun, sosok itu tak acuh karena ia sudah terbiasa diolok-olok oleh Reagan.

“Kalau emang Dhavin demen sama cowok, gua rasa dia bakal suka Alvaro sih.” Mendengar namanya disebut, Alvaro menatap Ariel dengan pandangan horor.

“Tapi Alvaronya suka sama Reagan, sedangkan Reagan sukanya sama gua.” Ariel melanjutkan ucapannya setelah meneguk mojito miliknya.

Melihat Reagan dan Dhavin yang mulai berdiri, Ariel menyimpan gelasnya di atas meja dengan cepat, sebelum mempersiapkan sebuah tameng yang melindunginya dari dua sosok tersebut.

“Minta dihajar nih bocil.” Dhavin mengangguk setuju atas perkataan Reagan.

Suasana kembali ribut, menyisakan Alvaro yang hanya terkekeh kecil, Gio yang masih tak bergeming, dan Othan yang menggeleng dengan senyuman pada wajahnya.

“Yo.” Panggilan Alvaro membuat Gio menoleh.

Terlihat Alvaro yang tengah fokus pada ponselnya. Ia mengotak-atik benda persegi panjang itu sebentar, kemudian memberikannya pada Gio.

“Kenalan gih sama dia. Temen gua itu. Anaknya cakep, baik, pinter lagi. Kemarin gua sempet post story bareng lu terus nanyain lu gitu,” jelas Alvaro.

Gio mengambil ponsel milik Alvaro, memerhatikan sosok perempuan cantik di sana.

Di tengah kegiatannya itu, sayup-sayup ia mendengar Alvaro memanggil Othan. Netranya masih terfokus pada layar ponsel, bahkan ketika terdengar langkah kaki yang mendekat ke arahnya.

“Coba lihat, lu pasti kenal,” ucap Alvaro pada Othan yang kini telah berdiri di depan Gio.

“Mana sini,” pinta Othan.

Wajah Gio terangkat, mendapatkan Othan yang memerhatikannya tanpa ekspresi. Ia lantas menggeser tubuhnya, memberikan Othan ruang untuk duduk. Sebelum mendudukkan diri, Othan mengambil buah ceri yang tersimpan utuh di atas kue tanpa pemilik.

Kemudian, ia duduk di sebelah Gio. Kursi yang diperuntukan hanya satu orang, kini diisi oleh dua orang. Alhasil, keduanya duduk tanpa ada jarak yang memisahkan, membuat keuda bahu yang lebar itu saling bertabrakan.

Othan merapatkan tubuhnya untuk melihat ponsel Alvaro yang berada dalam genggaman Gio. Kepalanya sekarang sejajar dengan dada Gio, hingga sang empunya dapat merasakan embusan napas halus milik Othan.

“Oh, gue tau. Anak HI itu kan?” tanya Othan seraya memainkan ceri di dalam mulutnya.

Ia menatap Alvaro yang tengah mengangguk, sebelum menarik diri.

Dengan mulut yang mengeluarkan suara basah akibat ceri yang masih ia mainkan, Othan beralih menatap Gio.

“Lo mau ngedeketin dia?” tanyanya.

“Depends,” jawab Gio tanpa menoleh pada lawan bicaranya, ia kemudian memberikan ponsel Alvaro pada sang pemilik.

Alvaro mengambil poselnya, ia seakan ingin mengucapkan sesuatu pada Gio, tetapi atensinya tertarik pada Ariel yang sekarang kepalanya terbungkus oleh plastik.

“Eh, itu mati dong nanti Arielnya!” seru Alvaro pada Reagan dan Dhavin yang sibuk memberikan pelajaran pada Ariel.

Kepergian Alvaro di dekat mereka membuat suasana di antara Gio dan Othan menjadi sunyi. Kedunya memerhatikan Alvaro yang menghampiri Ariel dan melerai sesi perkelahian yang tengah berlangsung.

Tak lama, Othan menoleh pada Gio, menarik atensi dari sosok yang tengah ditatap.

Tatkala netra mereka bertemu, Othan menggigit buah ceri dalam mulutnya. “Depends on what?” tanya Othan dengan pandangan yang terpaku pada obsidian milik Gio.

Tatapan Gio perlahan turun pada bibir Othan, memerhatikan bagaimana bibir bak buah ranum itu bergerak. Ia lantas memajukan tubuhnya, mendekat ke arah Othan. Pergerakkannya terhenti ketika bibirnya sejajar dengan telinga kanan Othan.

“It depends on your behaviour, Karl,” bisik Gio pelan.

Othan menahan rasa geli akibat embusan napas Gio sembari tersenyum manis. Lantas, ia beranjak dari posisi duduk, mengambil buah ceri lain pada meja di depannya.

Pinggul Othan yang terangkat tinggi disajikan tepat di hadapannya, menampakan sesuatu yang mampu membuat napas Gio memburu. Manik matanya menjadi kelam dan ia terus memerhatikan pergerakan Othan.

Ketika Othan duduk kembali, sosok itu menatap Gio. Memasukkan buah ceri yang diambil ke dalam mulutnya. Buah itu tersimpan di antara gigi serinya, sebelum ia gigit dengan perlahan.

Othan terkekeh kecil tatkala melihat Gio yang tengah memerhatikan bibirnya tanpa berkedip. Sontak, Othan berdiri. Menatap teman-temannya yang lain yang tengah sibuk beradu mulut.

Guys, gue mau cari mangsa dulu,” pamit Othan, sebelum ia pergi.

Tanpa menunggu reaksi dari teman-temannya, Othan berjalan menjauh. Sosok itu pergi begitu saja, bahkan ia tak memandang Gio barang sedikit pun.

“Et dah gercep banget perginya,” ucap Dhavin.

Gio meneguk vodkanya, kemudian mengambil ponsel yang ia simpan di saku. Sebuah notifikasi muncul tepat ketika ia membuka ponselnya.

kitten

Netranya terfokus pada sebuah foto yang tempampang di layar ponsel. Ia lantas menggeram rendah, lalu beranjak beridiri.

“Gua balik ya, kucing gua berulah lagi,” ujar Gio seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan.

“Lagi? Kucing lu nakal banget anjir.” Ucapan Dhavin itu disetujui oleh teman-temannya yang lain.

“He is.”

Suasana ramai yang diselingi oleh lantunan musik menjadi latar obrolan orang-orang di sekelilingnya. Botol vodka, asap rokok, dan canda tawa mengelilingi sosok yang sedari tadi terdiam. Ekor matanya sesekali melirik pada sosok lain yang duduk di seberangnya.

Gio mengembuskan napas, mengeluarkan asap dari cerutu yang ia isap. Masih memerhatikan bagaimana teman-temannya yang berbincang dengan volume lantang.

“Lu gimana caranya kenal sama Lilly, Than?” Dhavin adalah pemilik suara yang paling lantang di antara mereka.

Mendengar pertanyaan Dhavin, sosok yang ditanya mengerutkan alisnya. Ia duduk di kursi panjang, dihimpit oleh Dhavin dan Reagan. Sembari memikirkan jawaban atas pertanyaan yang dituju, Othan menatap ke depan, mempertemukan netranya dengan obsidian milik Gio.

“Ketemu di kepanitiaan kalau gak salah. Lupa gue,” jawab Othan yang mengundang protes dari teman-temannya.

Lantas, Othan terkekeh kecil. Ia mengambil rokok di atas meja, menyalakan pematik sebelum menghisapnya. Di sela asap rokok yang keluar seiring dengan embusan napasnya, ia kembali menatap ke depan.

Di sebelahnya, Reagan mengambil gelas yang berisi tequila. Menegaknya pelan, lalu menatap Gio dan Othan secara bergantian.

Seraya memainkan gelas tequila yang berada di genggamannya, Reagan berkata, “Gue aneh sama kalian berdua.”

Seluruh atensi kini berada pada Reagan. Bahkan, Ariel yang sibuk dengan nintendonya ikut menatap sosok itu.

“Yang satu suka banget gonta-ganti cewek, sedangkan yang satunya lagi gak pernah keliatan demen cewek sama sekali.” Reagan meneguk habis tequila yang tersisa.

Setuju atas perkataan Reagan, Dhavin mengangguk. Di sisi lain, Alvaro mengangkat alisnya. Tangan kanan yang ia pakai untuk menompang pelipis disimpan pada kepala sofa yang tengah diduduki. Ia memerhatikan Gio dalam diam.

“Lu gak ada niat buat ngedeketin cowok gitu, Yo?” Alvaro bertanya tiba-tiba, membuat Gio menoleh padanya.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya, Gio melirik sekilas Othan yang sedang menatapnya. Seolah sosok itu menunggu jawaban dari Gio.

“Gak ada,” jawab Gio singkat.

“Kalau sama cowok suka gak?” tanya Ariel yang sedari tadi terdiam.

Meja yang di kelilingi oleh enam orang itu senyap seketika atas pertanyaan Ariel.

Dibalas dengan keheningan, Ariel menengok kanan-kirinya. “Kok pada diem?” tanya sosok yang masih memegang nintendo.

“Gua jadi kepikiran, kalau selama ini ternyata Gio suka sama Othan,” celetuk Dhavin, membuat atmosfer di sana menjadi lebih canggung.

Gio membuang ujung rokok miliknya di atas asbak, sebelum menatap Dhavin. “Alasannya?” tanya Gio yang terdengar tenang.

“Gua ngasal sih,” jawab Dhavin.

Dengan pandangan yang tertuju pada Othan, ia melanjutkan ucapannya. “Jangan-jangan lu yang suka sama Gio? Secara lu yang selalu keliatan canggung sama dia. Padahal Gionya biasa aja sama lu.”

Perkataan yang keluar dari mulut Dhavin mengalir begitu tenang, seakan tak ada yang salah dengan tutur kata yang terucap. Othan lantas mengerutkan alisnya, kemudian menatap Dhavin seraya menyipitkan mata.

“Tapi gue kan gak suka cowok, Pin,” jawab Othan.

Bahu Dhavin terangkat. “Ya siapa tau gitu kan.” Sosok itu lantas menuangkan botol vodka pada gelas kosong.

“Kalau menurut gue sih ya.” Reagan membuka suara, pandangannya lurus pada Gio yang masih merokok.

Netra milik Reagan beralih menatap Dhavin yang kini meminum vodka dalam satu tegukan. “Yang suka sama Gio tuh Dhavin,” ucapnya.

“Soalnya Dhavin sering banget muji Gio ganteng,” lanjut Reagan.

Tertarik dengan topik obrolan teman-temannya, Ariel menyimpan nintendo yang sedari tadi ia mainkan. Kaki yang terlipat di atas sofa kini turun tatkala ia mengambil gelas yang berisi mojito.

Sontak, Reagan menertawakan Ariel atas ketidaksukaannya terhadap minuman beralkohol dan berakhir memesan mojito tanpa kandungan alkohol. Namun, sosok itu tak acuh karena ia sudah terbiasa diolok-olok oleh Reagan.

“Kalau emang Dhavin demen sama cowok, gua rasa dia bakal suka Alvaro sih.” Mendengar namanya disebut, Alvaro menatap Ariel dengan pandangan horor.

“Tapi Alvaronya suka sama Reagan, sedangkan Reagan sukanya sama gua.” Ariel melanjutkan ucapannya setelah meneguk mojito miliknya.

Melihat Reagan dan Dhavin yang mulai berdiri, Ariel menyimpan gelasnya di atas meja dengan cepat, sebelum mempersiapkan sebuah tameng yang melindunginya dari dua sosok tersebut.

“Minta dihajar nih bocil.” Dhavin mengangguk setuju atas perkataan Reagan.

Suasana kembali ribut, menyisakan Alvaro yang hanya terkekeh kecil, Gio yang masih tak bergeming, dan Othan yang menggeleng dengan senyuman pada wajahnya.

“Yo.” Panggilan Alvaro membuat Gio menoleh.

Terlihat Alvaro yang tengah fokus pada ponselnya. Ia mengotak-atik benda persegi panjang itu sebentar, kemudian memberikannya pada Gio.

“Kenalan gih sama dia. Temen gua itu. Anaknya cakep, baik, pinter lagi. Kemarin gua sempet post story bareng lu terus nanyain lu gitu,” jelas Alvaro.

Gio mengambil ponsel milik Alvaro, memerhatikan sosok perempuan cantik di sana.

Di tengah kegiatannya itu, sayup-sayup ia mendengar Alvaro memanggil Othan. Netranya masih terfokus pada layar ponsel, bahkan ketika terdengar langkah kaki yang mendekat ke arahnya.

“Coba lihat, lu pasti kenal,” ucap Alvaro pada Othan yang kini telah berdiri di depan Gio.

“Mana sini,” pinta Othan.

Wajah Gio terangkat, mendapatkan Othan yang memerhatikannya tanpa ekspresi. Ia lantas menggeser tubuhnya, memberikan Othan ruang untuk duduk. Sebelum mendudukkan diri, Othan mengambil buah ceri yang tersimpan utuh di atas kue tanpa pemilik.

Kemudian, ia duduk di sebelah Gio. Kursi yang diperuntukan hanya satu orang, kini diisi oleh dua orang. Alhasil, keduanya duduk tanpa ada jarak yang memisahkan, membuat keuda bahu yang lebar itu saling bertabrakan.

Othan merapatkan tubuhnya untuk melihat ponsel Alvaro yang berada dalam genggaman Gio. Kepalanya sekarang sejajar dengan dada Gio, hingga sang empunya dapat merasakan embusan napas halus milik Othan.

“Oh, gue tau. Anak HI itu kan?” tanya Othan seraya memainkan ceri di dalam mulutnya.

Ia menatap Alvaro yang tengah mengangguk, sebelum menarik diri.

Dengan mulut yang mengeluarkan suara basah akibat ceri yang masih ia mainkan, Othan beralih menatap Gio.

“Lo mau ngedeketin dia?” tanyanya.

“Depends,” jawab Gio tanpa menoleh pada lawan bicaranya, ia kemudian memberikan ponsel Alvaro pada sang pemilik.

Alvaro mengambil poselnya, ia seakan ingin mengucapkan sesuatu pada Gio, tetapi atensinya tertarik pada Ariel yang sekarang kepalanya terbungkus oleh plastik.

“Eh, itu mati dong nanti Arielnya!” seru Alvaro pada Reagan dan Dhavin yang sibuk memberikan pelajaran pada Ariel.

Kepergian Alvaro di dekat mereka membuat suasana di antara Gio dan Othan menjadi sunyi. Kedunya memerhatikan Alvaro yang menghampiri Ariel dan melerai sesi perkelahian yang tengah berlangsung.

Tak lama, Othan menoleh pada Gio, menarik atensi dari sosok yang tengah ditatap.

Tatkala netra mereka bertemu, Othan menggigit buah ceri dalam mulutnya. “Depends on what?” tanya Othan dengan pandangan yang terpaku pada obsidian milik Gio.

Tatapan Gio perlahan turun pada bibir Othan, memerhatikan bagaimana bibir bak buah ranum itu bergerak. Ia lantas memajukan tubuhnya, mendekat ke arah Othan. Pergerakkannya terhenti ketika bibirnya sejajar dengan telinga kanan Othan.

“It depends on your behaviour, Karl,” bisik Gio pelan.

Othan menahan rasa geli akibat embusan napas Gio sembari tersenyum manis. Lantas, ia beranjak dari posisi duduk, mengambil buah ceri lain pada meja di depannya.

Pinggul Othan yang terangkat tinggi disajikan tepat di hadapannya, menampakan sesuatu yang mampu membuat napas Gio memburu. Manik matanya menjadi kelam dan ia terus memerhatikan pergerakan Othan.

Ketika Othan duduk kembali, sosok itu menatap Gio. Memasukkan buah ceri yang diambil ke dalam mulutnya. Buah itu tersimpan di antara gigi serinya, sebelum ia gigit dengan perlahan.

Othan terkekeh kecil tatkala melihat Gio yang tengah memerhatikan bibirnya tanpa berkedip. Sontak, Othan berdiri. Menatap teman-temannya yang lain yang tengah sibuk beradu mulut.

Guys, gue mau cari mangsa dulu,” pamit Othan, sebelum ia pergi.

Tanpa menunggu reaksi dari teman-temannya, Othan berjalan menjauh. Sosok itu pergi begitu saja, bahkan ia tak memandang Gio barang sedikit pun.

“Et dah gercep banget perginya,” ucap Dhavin.

Gio meneguk vodkanya, kemudian mengambil ponsel yang ia simpan di saku. Sebuah notifikasi muncul tepat ketika ia membuka ponselnya.

kitten

Netranya terfokus pada sebuah foto yang tempampang di layar ponsel. Ia lantas menggeram rendah, lalu beranjak beridiri.

“Gua balik ya, kucing gua berulah lagi,” ujar Gio seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan.

“Lagi? Kucing lu nakal banget anjir.” Ucapan Dhavin itu disetujui oleh teman-temannya yang lain.

“He is.”