Bentang Harapan dalam Dada
Ingar bingar menyapa serentak dengan kaki yang melangkah masuk ke dalam sebuah kafe. Sepasang netra yang sedikit membulat lantas mengedarkan pandangan, memerhatikan kelimun yang berlalu lalang. Atmosfer hangat yang mengelilingi membuat Aiko sedikit terkesiap, ia tidak pernah mengira bahwa sekumpulan manusia pecinta malam dapat menciptakan suasana yang berbanding terbalik dari biasanya.
Tatkala punggungnya bersandar pada kursi yang tengah ia duduki, manik matanya menelisik sekitar dengan teliti, seolah mencari sesuatu di tengah lautan manusia. Percakapan yang terdengar di sektiar tak Aiko hiraukan, memilih untuk menutup mulutnya.
“Stefany belum datang. Kayaknya masih tidur tuh anak.” Sebuah suara mengalihkan atensi Aiko, ia lantas menoleh pada Dean yang lebih sering dipanggil DJ.
“Lu jemput aja ke apartnya,” usul Augy yang duduk di samping kanan Aiko.
“Eh nanti bukannya ke sini, mereka malah berduaan di apartnya Fany,” timpal Anya, menciptakan bising pada meja yang mereka duduki dengan seketika.
“Bang DJ sama kak Fany beneran mantanan ya?” Aiko bertanya, tertarik atas topik yang tengah dibicarakan.
“Tau darimana lu?“ Dean balik bertanya.
Bahu Aiko terangkat, ekspresi wajahnya terlihat tak acuh. “Waktu zaman maba pernah denger kalian pacaran, terus setahun kemudian gue dapet kabar katanya lo sama kak Fany putus,” jawab Aiko.
“Emang bener, pernah pacaran mereka. Terus DJ sampai sekarang masih gamon.” Penjelasan dari Anya membuat Aiko mengangguk paham.
“Gua bukannya belum move on, tapi belum dapet yang pas aja,” sanggah Dean, perangai seriusnya terlihat jenaka di mata teman-temannya.
“Sama aja, nyet!” seru Augy seraya tertawa.
Senyuman di wajah Aiko perlahan redup, digantikan oleh ekspresi dingin tatkala ia merasakan sepasang mata yang memerhatikannya tajam. Di antara teman-teman Augy yang lain, terdapat satu sosok yang tak menerima kehadiran Aiko di sana.
“Noh, pak ketu datang,” sela Anya di tengah percakapan yang berlangsung.
Aiko dapat menangkap air muka Augy yang berubah cepat. Transisi sikap yang drastis dapat Aiko amati dengan baik. Setiap detail kecil dari Augy yang berusaha mengikis jarak antara dirinya dengan Aiko tak terlepas dari observasi Aiko.
“Udah kumpul semua belum?” Suasana dalam kafe hening seketika tatkala Mikael bertanya menggunakan mikrofon di atas panggung.
“Belom!” seru Dean. “Fany belom datang, kayaknya dia bakal datang siang,” lanjutnya.
“Yaudah, sekarang pada pesen makanan dulu. Acaranya bakal mulai 15 menit lagi,” ujar Mikael yang kemudian beranjak turun dari panggung.
Iris yang bergerak menuju ekor mata menangkap netra kelam yang menatapnya sekilas. Aiko kembali bersikap tak acuh, memilih untuk menimpali percakapan di sekitarnya.
“Gue mau ke toilet dulu,” pamit Aiko tiba-tiba.
“Mau gua anter?” Augy menawarkan dirinya.
“Gak usah, bang. Lo kata gue bocil,” jawab Aiko seraya terkekeh pelan.
“Yaaa siapa tau gak mau lepas dari gua.” Perkataan Augy membuat Aiko tersenyum tipis.
“Itu mah lo ke gue kali,” respons Aiko santai.
Gemuruh ejekan yang terlontar kepada Augy tak begitu Aiko hiraukan, ia berjalan bergegas menuju kamar kecil. Tujuannya bukan untuk mengurusi panggilan alam, melainkan tengah memancing seseorang yang terus memerhatikan gerak-geriknya dengan sepasang mata menusuk.
Gemercik air yang mengalir dari keran terdengar memenuhi ruangan yang sepi. Aiko mencuci tangan seraya menundukkan kepala. Derap langkah kaki yang mendekat tak lantas membuat aktivitasnya terhenti.
Tatkala Aiko mendongakkan wajah, pantulan sosok lain terlihat pada cermin. Aiko masih bersikap tak peduli, ia mengambil tisu dengan tenang.
“Lu tau kan kalau Mars sama Ael sebenernya gak suka ke lu?” tanya Haje yang bersandar pada tembok kamar mandi.
Tak mendapatkan respon dari Aiko, ia kembali membuka suara. “Lu gak usah kepedean. Jangan sampai ngerasa Mars sama Ael punya rasa ke lu, padahal mereka cuman manfaatin lu doang. Mau mereka cuman satu,” jelasnya sembari menekankan kalimat terakhir.
Bunyi nyaring dari tempat sampah yang ditutup kasar terdengar tepat ketika Haje menyelesaikan perkataannya. Ekspresi Aiko tak berubah, masih mempertahankan tampang dingin dengan manik mata yang terlihat datar.
Rasa kesal yang timbul akibat ketidakacuhan merebak dalam dada, membangkin gejolak emosi. Haje berjalan mendekat, meraih kerah baju Aiko saat telah berada di hadapan sosok tersebut.
“Lu pikir mereka bakal suka sama orang kayak lu?” tanya Haje yang diikuti dengan gemeletuk gigi yang saling bertumbuk.
Tak ada yang berubah dari gurat wajah Aiko, hingga mengundang datangnya amarah yang melimpah. Aiko mengangkat dagu, melemparkan pandangan datarnya pada Haje. Tangan yang menarik kerahnya Aiko genggam dengan erat, begitu erat hingga ringgisan kecil terdengar.
“Let’s see, then. Kalau dua orang yang lu sebut akhirnya suka sama gue—“ Aiko menggantung ucapannya, memberikan tekanan yang lebih besar pada tangan Haje yang ia genggam.
“I’ll break this bone,” lanjut Aiko dengan manik mata yang berubah menjadi nyalang.
Tubuh tegap Haje didorong dengan keras, hingga cengkeraman pada kerah Aiko terlepas. Aiko lantas berjalan keluar seraya merapikan kerah yang kini menjasi kusut.
Notifikasi yang masuk membuat ponsel Aiko bergetar. Ponsel yang berada dalam saku celana ia ambil untuk melihat pesan yang terpampang di sana.
kiko sorry, gua pergi dulu sebentar. lu sama temen-temen gua dulu ya
Manik mata yang menatap malas kumpulan deret huruf bergerak mengayun ke atas. Aiko mengembuskan napas dengan kasar, sebelum kembali berjalan. Salah satu alis Aiko terangkat tatkala mendapati pemandangan yang berubah sangat jauh dibanding sebelumnya. Hanya terdapat segelintir orang yang duduk manis di tempat, sisanya berhamburan untuk mendekat pada panggung.
Tungkai kaki Aiko melangkah sedikit berat, enggan berbaur dengan khalayak. Namun, Aiko tetap menjadi satu di antara kumpulan manusia yang berdiri di dekat panggung. Sepasang netra tanpa ekspresi memandang lurus ke depan, tepat pada sosok yang kini duduk di atas panggung dengan sebuah gitar dalam dekapan.
Senar yang dipetik secara perlahan menghasilkan suara pelan, menimbulkan gemuruh atas tindakan kecil yang dilakukan.
“California sunshine.” Mikael mulai bernyanyi, teriakan yang terdengar membuat secarik senyuman hadir di wajahnya.
“But sometimes it's gonna rain. I wish it was always blue skies. But they can turn to gray.”
Alunan gitar yang dipadukan dengan suara yang sedikit parau menjadi sebuah kesatuan yang menggiring pada kata sempurna.
“Work yourself to the bone But sometimes you just can't win Life ain't about what you do It's who you do it with So let me know,
Would ya lend a hand to me if I needed help?”
Manik mata yang menggelap seakan sungkan untuk bergerak, terpaku pada Mikael yang bahkan tak membalas pandangannya.
“Would ya keep me company when I'm by myself?” Kalimat dalam bait terdengar seolah meminta jawaban pasti.
“And if heaven doesn't want us Would you go with me to hell?”
Mikael, tersiar layaknya betanya pada salah satu di antara lautan manusia yang terbuai suasana.
“Hope you know I don't want nobody else.”
Harapan dalam hati berteriak, meminta untuk menjadi seseorang yang tengah Mikael pikirkan saat ini.
Kemudian, nyanyian terhenti, digantikan oleh instrumen gitar yang mendominasi.
“Would ya lend a hand to me if I needed help? Would ya keep me company when I'm by myself? And if heaven doesn't want us Would ya go with me to hell? Hope you know I don't want nobody else.”
Kelopak mata sayu Aiko terasa sukar untuk sekadar berkedip.
“Would ya call me back in the middle of the night? Would ya kiss and make up after a stupid fight? If I share my darkest secrets Would you promise not to tell? Hope you know I'd do these things as well.”
Mikael kembali tersenyum, sebelum menyanyikan baris kalimat terakhir. Sepasang netra kelam kini membalas tatapan dari netra yang mulai meredup.
“Hope you know I don't want nobody else.”
Sorakan penonton menggema, melebur dengan tepuk tangan meriah. Mikael turun dari panggung yang kemudian disambut hangat oleh teman-temannya.
Sosok yang dikelilingi kelimun menjadi pusat yang selalu menarik orang-orang untuk mendekat. Mikael, selalu seperti itu, dan Aiko, selalu merasa semakin jauh. Potret yang tak ingin Aiko lihat membuatnya tertunduk. Di tengah segara yang penuh oleh manusia, Aiko memantung di tempat, memilih untuk menatap sepatu yang ia kenakan dalam kesendirian.
Hiruk pikuk yang perlahan mereda membuat langkah kaki yang mendekat terdengar jelas. Napas Aiko tercekat tatkala merasakan kehadiran seseorang yang berjalan melewatinya. Setitik harapan berubah menjadi sebongkah rasa kecewa yang menyeruak.
Aiko, layaknya seonggok kasat mata yang tak terlihat.
Beban yang berada di atas kepalanya menarik Aiko dari belenggu lamunan, manik matanya mengejap dengan cepat, berusaha memproses serangkai kejadian yang mendatangi. Ia lantas mendongak, seiring dengan hadirnya usapan lembut yang membelai surai miliknya.
Sebuah senyuman manis yang menyapa ditangkap oleh sepasang netra elok. Mikael, berdiri tepat di samping Aiko dengan senyuman yang menghiasi.
Tangan yang mengelus surai legam Aiko kini beranjak turun. Di bawah sana, kelingking keduanya saling bertaut, kemudian Mikael bergerak untuk membawa jemari Aiko ke dalam genggaman.
“Ayo.” Kelopak mata Aiko melebar atas ajakan Mikael.
“Kemana?” tanyanya dengan suara serak.
Senyuman kembali terbit di wajah Mikael, menenggelamkan netra dibaliknya.
“To somewhere that makes you feel alive.”