jennoonaa

dedicated to myself and nominist

Ingar bingar menyapa serentak dengan kaki yang melangkah masuk ke dalam sebuah kafe. Sepasang netra yang sedikit membulat lantas mengedarkan pandangan, memerhatikan kelimun yang berlalu lalang. Atmosfer hangat yang mengelilingi membuat Aiko sedikit terkesiap, ia tidak pernah mengira bahwa sekumpulan manusia pecinta malam dapat menciptakan suasana yang berbanding terbalik dari biasanya.

Tatkala punggungnya bersandar pada kursi yang tengah ia duduki, manik matanya menelisik sekitar dengan teliti, seolah mencari sesuatu di tengah lautan manusia. Percakapan yang terdengar di sektiar tak Aiko hiraukan, memilih untuk menutup mulutnya.

“Stefany belum datang. Kayaknya masih tidur tuh anak.” Sebuah suara mengalihkan atensi Aiko, ia lantas menoleh pada Dean yang lebih sering dipanggil DJ.

“Lu jemput aja ke apartnya,” usul Augy yang duduk di samping kanan Aiko.

“Eh nanti bukannya ke sini, mereka malah berduaan di apartnya Fany,” timpal Anya, menciptakan bising pada meja yang mereka duduki dengan seketika.

“Bang DJ sama kak Fany beneran mantanan ya?” Aiko bertanya, tertarik atas topik yang tengah dibicarakan.

“Tau darimana lu?“ Dean balik bertanya.

Bahu Aiko terangkat, ekspresi wajahnya terlihat tak acuh. “Waktu zaman maba pernah denger kalian pacaran, terus setahun kemudian gue dapet kabar katanya lo sama kak Fany putus,” jawab Aiko.

“Emang bener, pernah pacaran mereka. Terus DJ sampai sekarang masih gamon.” Penjelasan dari Anya membuat Aiko mengangguk paham.

“Gua bukannya belum move on, tapi belum dapet yang pas aja,” sanggah Dean, perangai seriusnya terlihat jenaka di mata teman-temannya.

“Sama aja, nyet!” seru Augy seraya tertawa.

Senyuman di wajah Aiko perlahan redup, digantikan oleh ekspresi dingin tatkala ia merasakan sepasang mata yang memerhatikannya tajam. Di antara teman-teman Augy yang lain, terdapat satu sosok yang tak menerima kehadiran Aiko di sana.

“Noh, pak ketu datang,” sela Anya di tengah percakapan yang berlangsung.

Aiko dapat menangkap air muka Augy yang berubah cepat. Transisi sikap yang drastis dapat Aiko amati dengan baik. Setiap detail kecil dari Augy yang berusaha mengikis jarak antara dirinya dengan Aiko tak terlepas dari observasi Aiko.

“Udah kumpul semua belum?” Suasana dalam kafe hening seketika tatkala Mikael bertanya menggunakan mikrofon di atas panggung.

“Belom!” seru Dean. “Fany belom datang, kayaknya dia bakal datang siang,” lanjutnya.

“Yaudah, sekarang pada pesen makanan dulu. Acaranya bakal mulai 15 menit lagi,” ujar Mikael yang kemudian beranjak turun dari panggung.

Iris yang bergerak menuju ekor mata menangkap netra kelam yang menatapnya sekilas. Aiko kembali bersikap tak acuh, memilih untuk menimpali percakapan di sekitarnya.

“Gue mau ke toilet dulu,” pamit Aiko tiba-tiba.

“Mau gua anter?” Augy menawarkan dirinya.

“Gak usah, bang. Lo kata gue bocil,” jawab Aiko seraya terkekeh pelan.

“Yaaa siapa tau gak mau lepas dari gua.” Perkataan Augy membuat Aiko tersenyum tipis.

“Itu mah lo ke gue kali,” respons Aiko santai.

Gemuruh ejekan yang terlontar kepada Augy tak begitu Aiko hiraukan, ia berjalan bergegas menuju kamar kecil. Tujuannya bukan untuk mengurusi panggilan alam, melainkan tengah memancing seseorang yang terus memerhatikan gerak-geriknya dengan sepasang mata menusuk.

Gemercik air yang mengalir dari keran terdengar memenuhi ruangan yang sepi. Aiko mencuci tangan seraya menundukkan kepala. Derap langkah kaki yang mendekat tak lantas membuat aktivitasnya terhenti.

Tatkala Aiko mendongakkan wajah, pantulan sosok lain terlihat pada cermin. Aiko masih bersikap tak peduli, ia mengambil tisu dengan tenang.

“Lu tau kan kalau Mars sama Ael sebenernya gak suka ke lu?” tanya Haje yang bersandar pada tembok kamar mandi.

Tak mendapatkan respon dari Aiko, ia kembali membuka suara. “Lu gak usah kepedean. Jangan sampai ngerasa Mars sama Ael punya rasa ke lu, padahal mereka cuman manfaatin lu doang. Mau mereka cuman satu,” jelasnya sembari menekankan kalimat terakhir.

Bunyi nyaring dari tempat sampah yang ditutup kasar terdengar tepat ketika Haje menyelesaikan perkataannya. Ekspresi Aiko tak berubah, masih mempertahankan tampang dingin dengan manik mata yang terlihat datar.

Rasa kesal yang timbul akibat ketidakacuhan merebak dalam dada, membangkin gejolak emosi. Haje berjalan mendekat, meraih kerah baju Aiko saat telah berada di hadapan sosok tersebut.

“Lu pikir mereka bakal suka sama orang kayak lu?” tanya Haje yang diikuti dengan gemeletuk gigi yang saling bertumbuk.

Tak ada yang berubah dari gurat wajah Aiko, hingga mengundang datangnya amarah yang melimpah. Aiko mengangkat dagu, melemparkan pandangan datarnya pada Haje. Tangan yang menarik kerahnya Aiko genggam dengan erat, begitu erat hingga ringgisan kecil terdengar.

“Let’s see, then. Kalau dua orang yang lu sebut akhirnya suka sama gue—“ Aiko menggantung ucapannya, memberikan tekanan yang lebih besar pada tangan Haje yang ia genggam.

“I’ll break this bone,” lanjut Aiko dengan manik mata yang berubah menjadi nyalang.

Tubuh tegap Haje didorong dengan keras, hingga cengkeraman pada kerah Aiko terlepas. Aiko lantas berjalan keluar seraya merapikan kerah yang kini menjasi kusut.

Notifikasi yang masuk membuat ponsel Aiko bergetar. Ponsel yang berada dalam saku celana ia ambil untuk melihat pesan yang terpampang di sana.

kiko sorry, gua pergi dulu sebentar. lu sama temen-temen gua dulu ya

Manik mata yang menatap malas kumpulan deret huruf bergerak mengayun ke atas. Aiko mengembuskan napas dengan kasar, sebelum kembali berjalan. Salah satu alis Aiko terangkat tatkala mendapati pemandangan yang berubah sangat jauh dibanding sebelumnya. Hanya terdapat segelintir orang yang duduk manis di tempat, sisanya berhamburan untuk mendekat pada panggung.

Tungkai kaki Aiko melangkah sedikit berat, enggan berbaur dengan khalayak. Namun, Aiko tetap menjadi satu di antara kumpulan manusia yang berdiri di dekat panggung. Sepasang netra tanpa ekspresi memandang lurus ke depan, tepat pada sosok yang kini duduk di atas panggung dengan sebuah gitar dalam dekapan.

Senar yang dipetik secara perlahan menghasilkan suara pelan, menimbulkan gemuruh atas tindakan kecil yang dilakukan.

“California sunshine.” Mikael mulai bernyanyi, teriakan yang terdengar membuat secarik senyuman hadir di wajahnya.

“But sometimes it's gonna rain. I wish it was always blue skies. But they can turn to gray.”

Alunan gitar yang dipadukan dengan suara yang sedikit parau menjadi sebuah kesatuan yang menggiring pada kata sempurna.

“Work yourself to the bone But sometimes you just can't win Life ain't about what you do It's who you do it with So let me know,

Would ya lend a hand to me if I needed help?”

Manik mata yang menggelap seakan sungkan untuk bergerak, terpaku pada Mikael yang bahkan tak membalas pandangannya.

“Would ya keep me company when I'm by myself?” Kalimat dalam bait terdengar seolah meminta jawaban pasti.

“And if heaven doesn't want us Would you go with me to hell?”

Mikael, tersiar layaknya betanya pada salah satu di antara lautan manusia yang terbuai suasana.

“Hope you know I don't want nobody else.”

Harapan dalam hati berteriak, meminta untuk menjadi seseorang yang tengah Mikael pikirkan saat ini.

Kemudian, nyanyian terhenti, digantikan oleh instrumen gitar yang mendominasi.

“Would ya lend a hand to me if I needed help? Would ya keep me company when I'm by myself? And if heaven doesn't want us Would ya go with me to hell? Hope you know I don't want nobody else.”

Kelopak mata sayu Aiko terasa sukar untuk sekadar berkedip.

“Would ya call me back in the middle of the night? Would ya kiss and make up after a stupid fight? If I share my darkest secrets Would you promise not to tell? Hope you know I'd do these things as well.”

Mikael kembali tersenyum, sebelum menyanyikan baris kalimat terakhir. Sepasang netra kelam kini membalas tatapan dari netra yang mulai meredup.

“Hope you know I don't want nobody else.”

Sorakan penonton menggema, melebur dengan tepuk tangan meriah. Mikael turun dari panggung yang kemudian disambut hangat oleh teman-temannya.

Sosok yang dikelilingi kelimun menjadi pusat yang selalu menarik orang-orang untuk mendekat. Mikael, selalu seperti itu, dan Aiko, selalu merasa semakin jauh. Potret yang tak ingin Aiko lihat membuatnya tertunduk. Di tengah segara yang penuh oleh manusia, Aiko memantung di tempat, memilih untuk menatap sepatu yang ia kenakan dalam kesendirian.

Hiruk pikuk yang perlahan mereda membuat langkah kaki yang mendekat terdengar jelas. Napas Aiko tercekat tatkala merasakan kehadiran seseorang yang berjalan melewatinya. Setitik harapan berubah menjadi sebongkah rasa kecewa yang menyeruak.

Aiko, layaknya seonggok kasat mata yang tak terlihat.

Beban yang berada di atas kepalanya menarik Aiko dari belenggu lamunan, manik matanya mengejap dengan cepat, berusaha memproses serangkai kejadian yang mendatangi. Ia lantas mendongak, seiring dengan hadirnya usapan lembut yang membelai surai miliknya.

Sebuah senyuman manis yang menyapa ditangkap oleh sepasang netra elok. Mikael, berdiri tepat di samping Aiko dengan senyuman yang menghiasi.

Tangan yang mengelus surai legam Aiko kini beranjak turun. Di bawah sana, kelingking keduanya saling bertaut, kemudian Mikael bergerak untuk membawa jemari Aiko ke dalam genggaman.

“Ayo.” Kelopak mata Aiko melebar atas ajakan Mikael.

“Kemana?” tanyanya dengan suara serak.

Senyuman kembali terbit di wajah Mikael, menenggelamkan netra dibaliknya.

“To somewhere that makes you feel alive.”

Kelabu yang menyelimuti rembulan menghalangi sebagian pendarnya, menghasilkan penerangan yang lebih terbatas. Kesendirian sang bulan malam ini ditemani oleh setitik taburan bintang yang tak seberapa. Sekumpulan asap rokok menutupi pandangan yang tertuju pada awang-awang seraya menghitung jumlah batang nikotin yang telah habis ia hisap. Sesak dalam dada rasanya bukan ditimbulkan oleh endapan asap cerutu yang dikonsumsi, melainkan akar pikiran negatif yang terus menjalar.

“Terus?” Mikael merespon cerita Januar tanpa ekspresi.

“Makin makin. Tiap hari gua lihat-lihat barengan mulu. Nempel kayak lintah di kulit,” ujar Januar yang duduk seraya menikmati seduhan biji kopi panas.

“Makanya lu harus garemin biar si Mars bisa lepas dari Aikonya lu.” Bunyi seruput terdengar setelahnya.

Aikonya lu.

Sejak kapan Aiko menjadi milik Mikael? Bahkan dalam mimpi pun, Mikael segan untuk melabeli Aiko sebagai miliknya.

Netra kelam yang setia memandang langit malam semakin menggelap dengan halimun yang menangkup.

“Menurut lu, gua harus gimana?” Mikael bertanya datar seraya kembali menghisap rokok.

Tak ada jawaban dari lawan bicaranya. Januar menatap punggung Mikael yang berdiri dengan tatapan kosong.

“Lu udah gak tidur berapa hari?“ tanya Januar, mengalihkan topik pembicaraan.

“Gak inget,” jawab Mikael singkat.

Embusan napas keluar dari mulut Januar. Masalah rumit yang sedang dihadapi oleh temannya membuat pening hadir tanpa dapat ditahan.

“Gua lepas Aiko aja kali ya? Kayak rencana awal.” Suara yang penuh hampa terdengar getir di telinga Januar.

“Lagian gua udah terlalu nyakitin dia. Kalau pun misalnya gua tetep mertahanin, gua ragu Aiko bakal bales perasaan gua,” lanjut Mikael pesimis.

“Gua udah mainin perasaan banyak orang dan jadi brengsek buat bikin Aiko benci sama gua, tapi gua goyah di tengah jalan karena gua gak mau kehilangan Aiko.”

Untuk yang kedua kalinya.

I don’t even own my fucking life, tapi kenapa gua banyak maunya, anjing.” Mikael mengacak surainya, melimpahkan frustasi yang selalu menghantui.

“Mati aja apa ya gua?” Pertanyaan putus asa keluar spontan tatkala hati diprakarsai jeratan melankoli.

Sosok yang setia menjadi pendengar lantas beranjak dari posisi duduknya, menemani Mikael yang berdiri dengan kedua tangan melipat pada pagar. Ia ikut mendongak, menatap langit untuk mencari sejumput harapan.

“Nyokap lu udah susah-susah buat mertahanin hidupnya, masa anaknya malah mau nyerah gitu aja.” Bibir yang terkatup rapat akhirnya bersuara.

“Seenggaknya lu harus nyari kebahagiaan lu dulu sebelum mati, Ael. Masa lu mati gitu aja tanpa ngerasain bahagia yang luar biasa?” Manik mata Mikael menatap rembulan dengan hampa.

“Lu jangan lupain semua mimpi yang udah lu susun sama nyokap lu. Emang lu mau ngebuang semua mimpi itu gitu aja? Lu gak mau lihat nyokap lu nangis bangga ketika anaknya wisuda?” tanya Januar, suaranya terdengar mengalir tenang.

Januar melirik Mikael melalui ekor mata. Wajah kusut dari sahabatnya sejak SMA menggambarkan kecamuk pikiran yang terjebak jaring penuh duri.

“Menurut gua, mending lu mertahanin Aiko. Lagian emang lu mau hidup jadi boneka selamanya? Dari apa yang gua observasi, Aiko pasti bakal ngertiin lu dan lu harus terus terang tentang semuanya sama Aiko. Alasan lu tiba-tiba pindah tanpa sempet bilang, alasan lu berubah, pokoknya semua.” Januar mengakhiri ucapannya seraya menghela napas panjang.

Terdapat jeda yang panjang sebelum Mikael menunduk dan berkata, “Tapi kayaknya Aiko bakal lebih bahagia sama orang lain daripada sama gua.”

“Maksud lu sama Mars?” tanya Januar memastikan.

“Iya,” jawab Mikael.

Ketidakpercayaan diri Mikael membuat Januar merotasikan bola matanya. Ia sudah bosan mendengar omong kosong yang keluar dari mulut Mikael.

“Lu mau ngelepas Aiko ke Mars padahal tau kalau Mars suka sama Rava. Terus lu bilang kalau Aiko bakal lebih bahagia sama Mars? Waras lu?” Januar mendengus kasar.

“Mars bisa aja jadi suka beneran sama Aiko, gitu juga sebaliknya. Mars punya masa depan yang jauh lebih cerah dibanding gua. Lagian gua gak punya apa-apa buat bikin Aiko bahagia,” respons Mikael, merendahkan dirinya sendiri.

Dentuman keras memecah keheningan malam. Tubuh Mikael terjerembap di atas lantai akibat pukulan Januar tepat di pipi kirinya. Rokok yang berada di tangannya terlempar jauh. Mikael meringgis, mengusap sudut bibir yang berdenyut. Amis darah segar yang mengalir keluar dari robekan kulit dapat Mikael kecap.

“Lu kalau mau buat Aiko bahagia ya usaha lah anjing. Jangan ngingau gak jelas kayak bocah manja. Lu punya gua, Lina, Dio, Sean, Minnie, sama nyokap lu. Jangan ngerasa sendiri, kita pusing bareng-bareng,” ujar Januar kesal.

Mikael membuang saliva dalam mulutnya, mengeluarkan darah yang bersemaym di sana.

“Bener juga.” Kabut dalam otak Mikael rupanya perlu disingkap oleh pukulan keras.

“Tapi lu kasih gua duit 10 M ya, biar gua bisa bawa kabur nyokap gua sama Aiko ke luar negeri,” lanjut Mikael.

Tawa Januar pecah, ia kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Mikael berdiri. Mikael dengan senang hati menerima uluran tangan Januar.

“Makanya kita ngepet dulu, nyet. Lu jadi babinya,” gurau Januar, memecah suasana.

“Lah muka lu yang mirip babi itu apa gunanya kalau gak digunakan sebaik mungkin?”

“Anjing.”

Tawa kecil keduanya kemudian saling bersahutan.

“Gua mau balik dulu. Mau ketemu ayang.” Mikael berkata tiba-tiba.

“Ketemu apaan? Lu setiap malem cuman ngelihatin jendela kamarnya doang,” sahut Januar.

“Gua ngelihatin jendela kamarnya aja udah seneng banget,” ujar Mikael tak tahu malu.

“Bucin banget tai.” Januar berjalan untuk mengambil kopi yang sempat ia hiraukan.

“Bucin lah, ya kali gak bucin. Orang gila lu kalau gak bucin sama Aiko yang sesempurna itu.” Tutur kata yang terlampau menggelikan membuat Januar hampir tersedak.

“Anjing! Sono lu pergi!” usir Januar.

“Ini mau tot!” seru Mikael seraya membuka pintu.

Gelapnya malam menuntun Mikael pada noktah terang yang melenyapkan gelita dalam benak. Ia berjalan di tengah senyap yang menyelimuti, melangkah pada jalanan sepi yang menggiringnya pada satu tempat.

Mikael mengeluarkan perangkat telinga yang ia simpan di saku jaket, memakai benda kecil bewarna putih tersebut pada kedua telinganya. Alunan musik menemani nyeyat yang mengerung. Sepasang netra dengan kantung gelap yang menghiasi memandang lurus jalanan.

“You’re the sun to the moon. You’re my ocean, painted blue. You, i’m nothing without you.” Mikael bersenandung sepanjang jalan.

Tungkai kakinya berhenti melangkah tatkala ia tiba di bangunan yang dituju. Sebuah destinasi di kala gundahnya hati. Mikael lantas tersenyum, menanti hari esok untuk dapat melihat sang pemilik hati.

“Good night, Ai,” bisik Mikael pelan.

Kepada penguasa bumantara, Mikael merapalkan doanya; berharap jika malam ini, Aiko dapat berkelana dalam indahnya mimpi dan terbangun dengan hari yang menyenangkan di esok nanti.

Kala itu, sosok dengan tubuh kecil yang selalu menjauh dari keramaian tak peduli terhadap banyak hal. Ia hanya berangkat sekolah untuk belajar, kemudian bergegas pulang tanpa rasa enggan berpisah dengan teman sebaya. Aiko tak mendapatkan deskriminasi dalam bentuk apapun, hanya dirinya yang membuat tembok kokoh yang menjadi sebuah batas agar orang lain segan untuk mendekat.

Aiko, baru menginjakkan kaki di kelas dua pada tinggkat sekolah dasar dan masih belum memiliki niat berteman dengan orang lain.

“Mamah Naya udah tau belum? Anak kelas 3 yang baru pindah ke sini ganteng banget! Saya jadi penasaran sama wajah ayahnya.”

“Ih! Saya udah lihat anaknya loh bund! Meni kasep pisan (ganteng banget), kayak artis Korea yang main di drama Dae Jang Geum.”

“Anaknya juga baik banget, tapi ya, di kelas 3 teh kan ada anak-anak yang bengal. Jadi kata si kakak mah suka dijailin anak barunya.”

Eleuh, kasihan atuh (yaampun, kasihan dong). Udah dilaporin ke guru?”

“Ih udah, tapi teh tetep weh kayak gitu (tetep aja kayak gitu).”

Langkah kaki kecil yang melewati pintu kelas tak menghiraukan sekitar. Desas desus yang terdengar begitu keras tatkala ia melewati kumpulan orang tua murid kelas 1 yang sedang menunggu anaknya keluar kelas dianggap sebagai angin lalu.

Tubuh mungilnya berjalan tegak, pandangan matanya lurus dengan wajah yang datar. Aiko harus cepat-cepat sampai rumah jika tidak ingin tertinggal animasi favoritnya di televisi.

“Ambil tasnya!”

“Tadi aku lihat dia punya banyak euy!

“Cepet ambil tasnya!”

“Eh, jangan! Itu uang buat beli jepit rambut bunda aku.”

“HAHAHAHA DASAR ANAK MAMI.”

“Sini cepet kasih ke kita!”

Telinga Aiko menangkap suara bising di belakang toilet. Awalnya, ia tak peduli. Anak-anak seusianya memang suka bercanda berlebihan. Dari apa yang Aiko lihat, biasanya harus ada salah satu yang menanggis sebelum saling meminta maaf.

“Jangan! Aku janji bakal kasih kalian uang, tapi nanti, ya?”

“CEPETAN AMBIL PAKSA!”

Sepasang netra tanpa ekspresi berubah menjadi nyalang. Dengan napas yang berburu, Aiko melangkah cepat menuju sumber suara. Di sana, terdapat empat orang anak yang tengah memojokkan seseorang yang mendekap erat tasnya.

Menjadi saksi pemandangan yang tidak menyenangkan, Aiko mendengus. Adegan yang sedang berlangsung merupakan adegan yang paling Aiko benci tatkala ia menonton animasi kesukaannya.

“Pukul aja!” seru salah satu dari mereka.

Kesabaran Aiko telah habis sepenuhnya. Bak seorang pahlawan yang muncul pada kartun superhero, Aiko melemparkan tasnya pada empat orang anak nakal tersebut.

Tanpa menunggu lebih lama, Aiko segera berlari untuk melindungi anak yang menjadi korban perisakan. Aiko menyembunyikan sosok itu di balik punggung kecilnya.

“Aduh!”

“Ai maneh saha?!”

Kamu siapa?!

Tak ada jawaban. Aiko terdiam seraya menatap anak-anak nakal dengan pandangan menusuk. Sosok yang memiliki tubuh paling tinggi di antara mereka berjalan mendekat pada Aiko, berancang untuk menghajar Aiko. Namun, Aiko lebih dulu memberikan pukulan tepat di wajahnya.

Suara detuman hasil dari tumbukan kepalan tangan Aiko dengan wajah si anak nakal membuat suasana hening seketika.

“Galih!” seru temannya ketika melihat tubuh sang ketua geng tumbang.

Ketiga teman dari sosok yang bernama Galih hampir mendekat, namun niatnya terurung saat melihat wajah dingin Aiko. Anak-anak nakal yang tersisa kemudian melarikan diri, meninggalkan Galih yang menangis kesakitan seraya berusaha bangkit.

“Masa gitu aja nangis? Dasar anak mami,” ucap Aiko malas.

“Aku aduin kamu ke mama hueeeee.” Setelah itu, Galih berjalan pergi.

“Mmm, halo?” Aiko menoleh ke belakang, netranya menangkap sosok asing.

Merasa tak memiliki kepentingan dengan sosok yang ia tolong, Aiko tak mengubris sapaannya. Memilih untuk berjalan guna menggambil tas yang ia lempar. Di belakangnya, sosok tadi mengekor layaknya anak bebek yang mengikuti sang induk.

“Makasih ya udah bantuin aku, tapi kata bunda aku, kita gak boleh mukul orang loh.”

Tak mendapatkan respon, sosok dengan nama Keinaan Mikael yang tertulis pada name tag-nya melangkah mendekat.

“Bunda aku bilang, kalau kita dijahatin, kita gak boleh ngejahatin balik.” Ia masih berusaha untuk mengajak Aiko mengobrol.

Lantas, Aiko membalikkan tubuh, menghadap pada sosok yang lebih tua setahun darinya.

“Tapi mama aku bilang kalau ada yang mau mukul aku, aku harus mukul dia duluan,” jawab Aiko datar.

Netra Mikael membulat. “Kalau gitu, kamu mau gak jadi temen aku?”

Binar pada mata bulat Mikael hadir dengan penuh harap. Namun, Aiko hanya menatap Mikael sekilas tanpa ekspresi.

“Gak,” tolak Aiko, sebelum melenggang pergi.


Terhitung sudah tiga puluh menit Aiko berjalan dengan arah yang berlawan dari rumah. Ia sengaja melakukannya agar sosok yang sedari tadi berjalan membuntuti di belakang menyerah untuk mengikutinya. Namun, sosok tersebut tidak menunjukan tanda-tanda ingin berhenti.

Aiko menghela napasnya dengan kasar. Langkahnya terhenti seketika, begitu pula dengan sosok yang berada di belakang. Kemudian, Aiko membalikkan tubuh.

“Rumah kamu ada di mana?” Aiko bersuara setelah sekian lama terdiam.

Sosok yang membuntuti terdiam, irisnya bergerak gelisah. “Di depan sana,” tunjuk Mikael pada jalanan yang berada di depannya.

“Tapi itu jalan buat ke kuburan,” ujar Aiko.

Keterdiaman sosok di hadapannya membuat Aiko berdecak kesal.

“Kamu anak baru itu ya?” tanya Aiko, dibalas dengan anggukkan kecil.

“Lupa jalan pulang?” Sekali lagi, Mikael mengangguk.

“Terus gimana? Aku kan gak tau rumah kamu dimana.”

Tangan Mikael bergerak mengambil sesuatu di dalam saku bajunya. “Ini alamat rumah aku,” ucapnya seraya memberikan secarik kertas kecil pada Aiko.

Mau tak mau, Aiko mengambil kertas tersebut.

“Kenapa gak minta orang lain buat nganterin kamu?” tanya Aiko.

“Aku pengen dianterin sama kamu,” jawab Mikael jujur.

“Kenapa?”

Kelopak mata Mikael mengerjap lucu. “Soalnya aku pengen jadi temen kamu,” ujarnya berterus terang.

“Kenapa?” Aiko bertanya kembali.

“Kamu orangnya baik.”

“Darimana kamu tau aku baik?”

“Kamu kan tadi bantuin aku.”

“Tapi aku gak mau jadi temen kamu.”

Seri pada wajah Mikael hilang, digantikan oleh ekspresi sendu. Bibirnya melengkung ke bawah.

“Kamu minta ke orang lain aja, aku gak mau nganterin kamu.” Aiko mengembalikan kertas milik Mikael.

Bibir Mikael semakin tertarik ke bawah, bersiap untuk menangis. Melihat itu, Aiko lantas mengerjapkan matanya.

“Yaudah aku anterin,” ucap Aiko final.

Ekspresi Mikael sontak berubah menjadi ceria kembali. “Yeayyy!!!” serunya senang.

“Ayo kenalan, nama aku Keinaan Mikael, biasa dipanggil Ael.” Mikael memperkenalkan diri dengan tangan yang terulur.

“Udah tau, aku bisa baca name tag kamu,” respons Aiko.

“Kalau kamu siapa?” tanya Mikael tanpa mengubris respon Aiko.

“Kamu gak bisa baca?”

“Aku pengen denger langsung dari kamu.”

“Nama aku Celestial Aiko Ruby.“

“Oke, Ai. Sekarang kita temenan.”

Pada akhirnya, Aiko mengalah. Ia membalas uluran tangan Mikael.

“Udah kan? Ayo, aku anter pulang,” ajak Aiko, sebelum menarik tangan Mikael untuk berjalan.

Kala itu, Aiko kecil mendapatkan teman pertamanya. Di bawah sengatan matahari yang membuat pipi keduanya memerah dengan genggaman tangan yang berayun, mereka berjalan beringan.

Mikael, menjadi sosok yang paling banyak berbicara.

“Kita harus temenan selamanya!”

“Emang kamu tau selamanya itu berapa lama?”

“Tau dong! Lamaaaaa banget sampai kita jadi taburan bintang di langit!”

Aiko, tak dapat menahan senyumannya.


Taburan bintang di langit.

Sepasang netra yang terlihat lelah memandang keluar jendela, menerka-nerka rupa langit pada malam yang terasa panjang bagi Aiko. Pikirannya terbang menjelajah memori yang selalu ia simpan dengan baik. Aiko kemudian mengembuskan napas, mengalihkan atensinya pada ponsel yang ia genggam.

orang aneh online

Sudah genap sehari Aiko tidak bertemu dengan Mikael. Kadang, Aiko bertanya, kemana perginya Mikael? Mengapa ia selalu pergi tanpa pamit dan datang tanpa kabar? Aiko merasa jika dirinya tak tahu apa-apa tentang Mikael.

typing

masih belum tidur?

Jantung Aiko berdegup kencang, namun ia memilih untuk membiarkan pesan tersebut.

gua di depan kalau lu gak mau ketemu gak papa, cuman ngasih tau doang

Mana bisa. Aiko sudah terlanjur jatuh terlalu dalam, ia bahkan tak dapat menyelamatkan dirinya dari perasaan yang mungkin tak dapat Mikael balas untuk kedua kalinya.

Aiko bergegas berjalan keluar. Langkahnya sedikit tergesa. Hadirnya perasaan sesak dalam dada membuat emosinya bergejolak.

Tatkala netranya menemukan sosok yang berdiri seraya menatap gemerlap bumantara, Aiko memelankan langkah kakinya. Rindu yang bercampur dengan kesal menjadi satu, Aiko bahkan tidak tahu harus melakukan apa ketika ia berada di hadapan Mikael.

Wajah yang terlihat lelah dan senyuman tipis mengikis semua emosi yang terpendam.

“Kenapa?” Aiko bertanya, menyimpan pertanyaan lainnya yang muncul di benaknya seharian.

Alih-alih menjawab, Mikael menarik Aiko ke dalam dekapannya.

“Are you okay?”tanya Aiko seraya membalas pelukan Mikael.

“I don’t know.” Mikael menjawab, matanya terpejam seraya menghirup aroma tubuh Aiko.

Tangan Aiko bergerak mengusap punggung Mikael, memberikan rasa nyaman pada sosok yang menyimpan wajahnya di ceruk leher Aiko.

“I just need my pill,” lanjut Mikael.

“And where is it?” tanya Aiko.

“You’re my pill. The only medication that I want forever.” jawab Mikael dengan napas yang mulai teratur.

“Do you even know the meaning of the word forever is?”

Mikael terkekeh pelan. “I know, sampai kita jadi taburan bintang di langit, kan?”

Kala itu, sosok dengan tubuh kecil yang selalu menjauh dari keramaian tak peduli terhadap banyak hal. Ia hanya berangkat sekolah untuk belajar, kemudian bergegas pulang tanpa rasa enggan berpisah dengan teman sebaya. Aiko tak mendapatkan deskriminasi dalam bentuk apapun, hanya dirinya yang membuat tembok kokoh yang menjadi sebuah batas agar orang lain segan untuk mendekat.

Aiko, baru menginjakkan kaki di kelas dua pada tinggkat sekolah dasar dan masih belum memiliki niat berteman dengan orang lain.

“Mamah Naya udah tau belum? Anak kelas 3 yang baru pindah ke sini ganteng banget! Saya jadi penasaran sama wajah ayahnya.”

“Ih! Saya udah lihat anaknya loh bund! Meni kasep pisan (ganteng banget), kayak artis Korea yang main di drama Dae Jang Geum.”

“Anaknya juga baik banget, tapi ya, di kelas 3 teh kan ada anak-anak yang bengal. Jadi kata si kakak mah suka dijailin anak barunya.”

Eleuh, kasihan atuh (yaampun, kasihan dong). Udah dilaporin ke guru?”

“Ih udah, tapi teh tetep weh kayak gitu (tetep aja kayak gitu).”

Langkah kaki kecil yang melewati pintu kelas tak menghiraukan sekitar. Desas desus yang terdengar begitu keras tatkala ia melewati kumpulan orang tua murid kelas 1 yang sedang menunggu anaknya keluar kelas dianggap sebagai angin lalu.

Tubuh mungilnya berjalan tegak, pandangan matanya lurus dengan wajah yang datar. Aiko harus cepat-cepat sampai rumah jika tidak ingin tertinggal animasi favoritnya di televisi.

“Ambil tasnya!”

“Tadi aku lihat dia punya banyak euy!

“Cepet ambil tasnya!”

“Eh, jangan! Itu uang buat beli jepit rambut bunda aku.”

“HAHAHAHA DASAR ANAK MAMI.”

“Sini cepet kasih ke kita!”

Telinga Aiko menangkap suara bising di belakang toilet. Awalnya, ia tak peduli. Anak-anak seusianya memang suka bercanda berlebihan. Dari apa yang Aiko lihat, biasanya harus ada salah satu yang menanggis sebelum saling meminta maaf.

“Jangan! Aku janji bakal kasih kalian uang, tapi nanti, ya?”

“CEPETAN AMBIL PAKSA!”

Sepasang netra tanpa ekspresi berubah menjadi nyalang. Dengan napas yang berburu, Aiko melangkah cepat menuju sumber suara. Di sana, terdapat empat orang anak yang tengah memojokkan seseorang yang mendekap erat tasnya.

Menjadi saksi pemandangan yang tidak menyenangkan, Aiko mendengus. Adegan yang sedang berlangsung merupakan adegan yang paling Aiko benci tatkala ia menonton animasi kesukaannya.

“Pukul aja!” seru salah satu dari mereka.

Kesabaran Aiko telah habis sepenuhnya. Bak seorang pahlawan yang muncul pada kartun superhero, Aiko melemparkan tasnya pada empat orang anak nakal tersebut.

Tanpa menunggu lebih lama, Aiko segera berlari untuk melindungi anak yang menjadi korban perisakan. Aiko menyembunyikan sosok itu di balik punggung kecilnya.

“Aduh!”

“Ai maneh saha?!”

Kamu siapa?!

Tak ada jawaban. Aiko terdiam seraya menatap anak-anak nakal dengan pandangan menusuk. Sosok yang memiliki tubuh paling tinggi di antara mereka berjalan mendekat pada Aiko, berancang untuk menghajar Aiko. Namun, Aiko lebih dulu memberikan pukulan tepat di wajahnya.

Suara detuman hasil dari tumbukan kepalan tangan Aiko dengan wajah si anak nakal membuat suasana hening seketika.

“Galih!” seru temannya ketika melihat tubuh sang ketua geng tumbang.

Ketiga teman dari sosok yang bernama Galih hampir mendekat, namun niatnya terurung saat melihat wajah dingin Aiko. Anak-anak nakal yang tersisa kemudian melarikan diri, meninggalkan Galih yang menangis kesakitan seraya berusaha bangkit.

“Masa gitu aja nangis? Dasar anak mami,” ucap Aiko malas.

“Aku aduin kamu ke mama hueeeee.” Setelah itu, Galih berjalan pergi.

“Mmm, halo?” Aiko menoleh ke belakang, netranya menangkap sosok asing.

Merasa tak memiliki kepentingan dengan sosok yang ia tolong, Aiko tak mengubris sapaannya. Memilih untuk berjalan guna menggambil tas yang ia lempar. Di belakangnya, sosok tadi mengekor layaknya anak bebek yang mengikuti sang induk.

“Makasih ya udah bantuin aku, tapi kata bunda aku, kita gak boleh mukul orang loh.”

Tak mendapatkan respon, sosok dengan nama Keinaan Mikael yang tertulis pada name tag-nya melangkah mendekat.

“Bunda aku bilang, kalau kita dijahatin, kita gak boleh ngejahatin balik.” Ia masih berusaha untuk mengajak Aiko mengobrol.

Lantas, Aiko membalikkan tubuh, menghadap pada sosok yang lebih tua setahun darinya.

“Tapi mama aku bilang kalau ada yang mau mukul aku, aku harus mukul dia duluan,” jawab Aiko datar.

Netra Mikael membulat. “Kalau gitu, kamu mau gak jadi temen aku?”

Binar pada mata bulat Mikael hadir dengan penuh harap. Namun, Aiko hanya menatap Mikael sekilas tanpa ekspresi.

“Gak,” tolak Aiko, sebelum melenggang pergi.


Terhitung sudah tiga puluh menit Aiko berjalan dengan arah yang berlawan dari rumah. Ia sengaja melakukannya agar sosok yang sedari tadi berjalan membuntuti di belakang menyerah untuk mengikutinya. Namun, sosok tersebut tidak menunjukan tanda-tanda ingin berhenti.

Aiko menghela napasnya dengan kasar. Langkahnya terhenti seketika, begitu pula dengan sosok yang berada di belakang. Kemudian, Aiko membalikkan tubuh.

“Rumah kamu ada di mana?” Aiko bersuara setelah sekian lama terdiam.

Sosok yang membuntuti terdiam, irisnya bergerak gelisah. “Di depan sana,” tunjuk Mikael pada jalanan yang berada di depannya.

“Tapi itu jalan buat ke kuburan,” ujar Aiko.

Keterdiaman sosok di hadapannya membuat Aiko berdecak kesal.

“Kamu anak baru itu ya?” tanya Aiko, dibalas dengan anggukkan kecil.

“Lupa jalan pulang?” Sekali lagi, Mikael mengangguk.

“Terus gimana? Aku kan gak tau rumah kamu dimana.”

Tangan Mikael bergerak mengambil sesuatu di dalam saku bajunya. “Ini alamat rumah aku,” ucapnya seraya memberikan secarik kertas kecil pada Aiko.

Mau tak mau, Aiko mengambil kertas tersebut.

“Kenapa gak minta orang lain buat nganterin kamu?” tanya Aiko.

“Aku pengen dianterin sama kamu,” jawab Mikael jujur.

“Kenapa?”

Kelopak mata Mikael mengerjap lucu. “Soalnya aku pengen jadi temen kamu,” ujarnya berterus terang.

“Kenapa?” Aiko bertanya kembali.

“Kamu orangnya baik.”

“Darimana kamu tau aku baik?”

“Kamu kan tadi bantuin aku.”

“Tapi aku gak mau jadi temen kamu.”

Seri pada wajah Mikael hilang, digantikan ole ekspresi sendu. Bibirnya melengkung ke bawah.

“Kamu minta ke orang lain aja, aku gak mau nganterin kamu.” Aiko mengembalikan kertas milik Mikael.

Bibir Mikael semakin tertarik ke bawah, bersiap untuk menangis. Melihat itu, Aiko lantas mengerjapkan matanya.

“Yaudah aku anterin,” ucap Aiko final.

Ekspresi Mikael sontak berubah menjadi ceria kembali. “Yeayyy!!!” serunya senang.

“Ayo kenalan, nama aku Keinaan Mikael, biasa di panggil Ael.” Mikael memperkenalkan diri dengan tangan yang terulur.

“Udah tau, aku bisa baca name tag kamu,” respons Aiko.

“Kalau kamu siapa?” tanya Mikael tanpa mengubris respon Aiko.

“Kamu gak bisa baca?”

“Aku pengen denger langsung dari kamu.”

“Nama aku Celestial Aiko Ruby.“

“Oke, Ai. Sekarang kita temenan.”

Pada akhirnya, Aiko mengalah. Ia membalas uluran tangan Mikael.

“Udah kan? Ayo, aku anter pulang,” ajak Aiko, sebelum menarik tangan Mikael untuk berjalan.

Kala itu, Aiko kecil mendapatkan teman pertamanya. Di bawah sengatan matahari yang membuat pipi keduanya memerah dengan genggaman tangan yang berayun, mereka berjalan beringan.

Mikael, menjadi sosok yang paling banyak berbicara.

“Kita harus temenan selamanya!”

“Emang kamu tau selamanya itu berapa lama?”

“Tau dong! Lamaaaaa banget sampai kita jadi taburan bintang di langit!”

Aiko, tak dapat menahan senyumannya.


Taburan bintang di langit.

Sepasang netra yang terlihat lelah memandang keluar jendela, menerka-nerka rupa langit pada malam yang terasa panjang bagi Aiko. Pikirannya terbang menjelajah memori yang selalu ia simpan dengan baik. Aiko kemudian mengembuskan napas, mengalihkan atensinya pada ponsel yang ia genggam.

orang aneh online

Sudah genap sehari Aiko tidak bertemu dengan Mikael. Kadang, Aiko bertanya, kemana perginya Mikael? Mengapa ia selalu pergi tanpa pamit dan datang tanpa kabar? Aiko merasa jika dirinya tak tahu apa-apa tentang Mikael.

typing

masih belum tidur?

Jantung Aiko berdegup kencang, namun ia memilih untuk membiarkan pesan tersebut.

gua di depan kalau lu gak mau ketemu gapapa, cuman ngasih tau doang

Mana bisa. Aiko sudah terlanjur jatuh terlalu dalam, ia bahkan tak dapat menyelamatkan dirinya dari perasaan yang mungkin tak dapat Mikael balas untuk kedua kalinya.

Aiko bergegas berjalan keluar. Langkahnya sedikit tergesa. Hadirnya perasaan sesak dalam dada membuat emosinya bergejolak.

Tatkala netranya menemukan sosok yang berdiri seraya menatap gemerlap bumantara, Aiko memelankan langkah kakinya. Rindu yang bercampur dengan kesal menjadi satu, Aiko bahkan tidak tahu harus melakukan apa ketika ia berada di hadapan Mikael.

Wajah yang terlihat lelah dan senyuman tipis mengikis semua emosi yang terpendam.

“Kenapa?” Aiko bertanya, menyimpan pertanyaan lainnya yang muncul di benaknya seharian.

Alih-alih menjawab, Mikael menarik Aiko ke dalam dekapannya.

“Are you okay?”tanya Aiko seraya membalas pelukan Mikael.

“I don’t know.” Mikael menjawab, matanya terpejam seraya menghirup aroma tubuh Aiko.

Tangan Aiko bergerak mengusap punggung Mikael, memberikan rasa nyaman pada sosok yang menyimpan wajahnya di ceruk leher Aiko.

“I just need my pill,” lanjut Mikael.

“And where is it?” tanya Aiko.

“You’re my pill. The only medication that I want forever.” jawab Mikael dengan napas yang mulai teratur.

“Do you even know the meaning of the word forever?”

Mikael terkekeh pelan. “I know, sampai kita jadi taburan bintang di langit, kan?”

Kala itu, sosok dengan tubuh kecil yang selalu menjauh dari keramaian tak peduli terhadap banyak hal. Ia hanya berangkat sekolah untuk belajar, kemudian bergegas pulang tanpa rasa enggan berpisah dengan teman sebaya. Aiko tak mendapatkan deskriminasi dalam bentuk apapun, hanya dirinya yang membuat tembok kokoh yang menjadi sebuah batas agar orang lain segan untuk mendekat.

Aiko, baru menginjakkan kaki di kelas dua pada tinggkat sekolah dasar dan masih belum memiliki niat berteman dengan orang lain.

“Mamah Naya udah tau belum? Anak kelas 3 yang baru pindah ke sini ganteng banget! Saya jadi penasaran sama wajah ayahnya.”

“Ih! Saya udah lihat anaknya loh bund! Meni kasep pisan (ganteng banget), kayak artis Korea yang main di drama Dae Jang Geum.”

“Anaknya juga baik banget, tapi ya, di kelas 3 teh kan ada anak-anak yang bengal. Jadi kata si kakak mah suka dijailin anak barunya.”

Eleuh, kasihan atuh (yaampun, kasihan dong). Udah dilaporin ke guru?”

“Ih udah, tapi teh tetep weh kayak gitu (tetep aja kayak gitu).”

Langkah kaki kecil yang melewati pintu kelas tak menghiraukan sekitar. Desas desus yang terdengar begitu keras tatkala ia melewati kumpulan orang tua murid kelas 1 yang sedang menunggu anaknya keluar kelas dianggap sebagai angin lalu.

Tubuh mungilnya berjalan tegak, pandangan matanya lurus dengan wajah yang datar. Aiko harus cepat-cepat sampai rumah jika tidak ingin tertinggal animasi favoritnya di televisi.

“Ambil tasnya!”

“Tadi aku lihat dia punya banyak euy!

“Cepet ambil tasnya!”

“Eh, jangan! Itu uang buat beli jepit rambut bunda aku.”

“HAHAHAHA DASAR ANAK MAMI.”

“Sini cepet kasih ke kita!”

Telinga Aiko menangkap suara bising di belakang toilet. Awalnya, ia tak peduli. Anak-anak seusianya memang suka bercanda berlebihan. Dari apa yang Aiko lihat, biasanya harus ada salah satu yang menanggis sebelum saling meminta maaf.

“Jangan! Aku janji bakal kasih kalian uang, tapi nanti, ya?”

“CEPETAN AMBIL PAKSA!”

Sepasang netra tanpa ekspresi berubah menjadi nyalang. Dengan napas yang berburu, Aiko melangkah cepat menuju sumber suara. Di sana, terdapat empat orang anak yang tengah memojokkan seseorang yang mendekap erat tasnya.

Menjadi saksi pemandangan yang tidak menyenangkan, Aiko mendengus. Adegan yang sedang berlangsung merupakan adegan yang paling Aiko benci tatkala ia menonton animasi kesukaannya.

“Pukul aja!” seru salah satu dari mereka.

Kesabaran Aiko telah habis sepenuhnya. Bak seorang pahlawan yang muncul pada kartun superhero, Aiko melemparkan tasnya pada empat orang anak nakal tersebut.

Tanpa menunggu lebih lama, Aiko segera berlari untuk melindungi anak yang menjadi korban perisakan. Aiko menyembunyikan sosok itu di balik punggung kecilnya.

“Aduh!”

“Ai maneh saha?!”

Kamu siapa?!

Tak ada jawaban. Aiko terdiam seraya menatap anak-anak nakal dengan pandangan menusuk. Sosok yang memiliki tubuh paling tinggi di antara mereka berjalan mendekat pada Aiko, berancang untuk menghajar Aiko. Namun, Aiko lebih dulu memberikan pukulan tepat di wajahnya.

Suara detuman hasil dari tumbukan kepalan tangan Aiko dengan wajah si anak nakal membuat suasana hening seketika.

“Galih!” seru temannya ketika melihat tubuh sang ketua geng tumbang.

Ketiga teman dari sosok yang bernama Galih hampir mendekat, namun niatnya terurung saat melihat wajah dingin Aiko. Anak-anak nakal yang tersisa kemudian melarikan diri, meninggalkan Galih yang menangis kesakitan seraya berusaha bangkit.

“Masa gitu aja nangis? Dasar anak mami,” ucap Aiko malas.

“Aku aduin kamu ke mama hueeeee.” Setelah itu, Galih berjalan pergi.

“Mmm, halo?” Aiko menoleh ke belakang, netranya menangkap sosok asing.

Merasa tak memiliki kepentingan dengan sosok yang ia tolong, Aiko tak mengubris sapaannya. Memilih untuk berjalan guna menggambil tas yang ia lempar. Di belakangnya, sosok tadi mengekor layaknya anak bebek yang mengikuti sang induk.

“Makasih ya udah bantuin aku, tapi kata bunda aku, kita gak boleh mukul orang loh.”

Tak mendapatkan respon, sosok dengan nama Keinaan Mikael yang tertulis pada name tag-nya melangkah mendekat.

“Bunda aku bilang, kalau kita dijahatin, kita gak boleh ngejahatin balik.” Ia masih berusaha untuk mengajak Aiko mengobrol.

Lantas, Aiko membalikkan tubuh, menghadap pada sosok yang lebih tua setahun darinya.

“Tapi mama aku bilang kalau ada yang mau mukul aku, aku harus mukul dia duluan,” jawab Aiko datar.

Netra Mikael membulat. “Kalau gitu, kamu mau gak jadi temen aku?”

Binar pada mata bulat Mikael hadir dengan penuh harap. Namun, Aiko hanya menatap Mikael sekilas tanpa ekspresi.

“Gak,” tolak Aiko, sebelum melenggang pergi.


Terhitung sudah tiga puluh menit Aiko berjalan dengan arah yang berlawan dari rumah. Ia sengaja melakukannya agar sosok yang sedari tadi berjalan membuntuti di belakang menyerah untuk mengikutinya. Namun, sosok tersebut tidak menunjukan tanda-tanda ingin berhenti.

Aiko menghela napasnya dengan kasar. Langkahnya terhenti seketika, begitu pula dengan sosok yang berada di belakang. Kemudian, Aiko membalikkan tubuh.

“Rumah kamu ada di mana?” Aiko bersuara setelah sekian lama terdiam.

Sosok yang membuntuti terdiam, irisnya bergerak gelisah. “Di depan sana,” tunjuk Mikael pada jalanan yang berada di depannya.

“Tapi itu jalan buat ke kuburan,” ujar Aiko.

Keterdiaman sosok di hadapannya membuat Aiko berdecak kesal.

“Kamu anak baru itu ya?” tanya Aiko, dibalas dengan anggukkan kecil.

“Lupa jalan pulang?” Sekali lagi, Mikael mengangguk.

“Terus gimana? Aku kan gak tau rumah kamu dimana.”

Tangan Mikael bergerak mengambil sesuatu di dalam saku bajunya. “Ini alamat rumah aku,” ucapnya seraya memberikan secarik kertas kecil pada Aiko.

Mau tak mau, Aiko mengambil kertas tersebut.

“Kenapa gak minta orang lain buat nganterin kamu?” tanya Aiko.

“Aku pengen dianterin sama kamu,” jawab Mikael jujur.

“Kenapa?”

Kelopak mata Mikael mengerjap lucu. “Soalnya aku pengen jadi temen kamu,” ujarnya berterus terang.

“Kenapa?” Aiko bertanya kembali.

“Kamu orangnya baik.”

“Darimana kamu tau aku baik?”

“Kamu kan tadi bantuin aku.”

“Tapi aku gak mau jadi temen kamu.”

Seri pada wajah Mikael hilang, digantikan ole ekspresi sendu. Bibirnya melengkung ke bawah.

“Kamu minta ke orang lain aja, aku gak mau nganterin kamu.” Aiko mengembalikan kertas milik Mikael.

Bibir Mikael semakin tertarik ke bawah, bersiap untuk menangis. Melihat itu, Aiko lantas mengerjapkan matanya.

“Yaudah aku anterin,” ucap Aiko final.

Ekspresi Mikael sontak berubah menjadi ceria kembali. “Yeayyy!!!” serunya senang.

“Ayo kenalan, nama aku Keinaan Mikael, biasa di panggil Ael.” Mikael memperkenalkan diri dengan tangan yang terulur.

“Udah tau, aku bisa baca name tag kamu,” respons Aiko.

“Kalau kamu siapa?” tanya Mikael tanpa mengubris respon Aiko.

“Kamu gak bisa baca?”

“Aku pengen denger langsung dari kamu.”

“Nama aku Celestial Aiko Ruby.“

“Oke, Ai. Sekarang kita temenan.”

Pada akhirnya, Aiko mengalah. Ia membalas uluran tangan Mikael.

“Udah kan? Ayo, aku anter pulang,” ajak Aiko, sebelum menarik tangan Mikael untuk berjalan.

Kala itu, Aiko kecil mendapatkan teman pertamanya. Di bawah sengatan matahari yang membuat pipi keduanya memerah dengan genggaman tangan yang berayun, mereka berjalan beringan.

Mikael, menjadi sosok yang paling banyak berbicara.

“Kita harus temenan selamanya!”

“Emang kamu tau selamanya itu berapa lama?”

“Tau dong! Lamaaaaa banget sampai kita jadi taburan bintang di langit!”

Aiko, tak dapat menahan senyumannya.


Taburan bintang di langit.

Sepasang netra yang terlihat lelah memandang keluar jendela, menerka-nerka rupa langit pada malam yang terasa panjang bagi Aiko. Pikirannya terbang menjelajah memori yang selalu ia simpan dengan baik. Aiko kemudian mengembuskan napas, mengalihkan atensinya pada ponsel yang ia genggam.

orang aneh online

Sudah genap sehari Aiko tidak bertemu dengan Mikael. Kadang, Aiko bertanya, kemana perginya Mikael? Mengapa ia selalu pergi tanpa pamit dan datang tanpa kabar? Aiko merasa jika dirinya tak tahu apa-apa tentang Mikael.

typing

masih belum tidur?

Jantung Aiko berdegup kencang, namun ia memilih untuk membiarkan pesan tersebut.

gua di depan kalau lu gak mau ketemu gapapa, cuman ngasih tau doang

Mana bisa. Aiko sudah terlanjur jatuh terlalu dalam, ia bahkan tak dapat menyelamatkan dirinya dari perasaan yang mungkin tak dapat Mikael balas untuk kedua kalinya.

Aiko bergegas berjalan keluar. Langkahnya sedikit tergesa. Hadirnya perasaan sesak dalam dada membuat emosinya bergejolak.

Tatkala netranya menemukan sosok yang berdiri seraya menatap gemerlap bumantara, Aiko memelankan langkah kakinya. Rindu yang bercampur dengan kesal menjadi satu, Aiko bahkan tidak tahu harus melakukan apa ketika ia berada di hadapan Mikael.

Wajah yang terlihat lelah dan senyuman tipis mengikis semua emosi yang terpendam.

“Kenapa?” Aiko bertanya, menyimpan pertanyaan lainnya yang muncul di benaknya seharian.

Alih-alih menjawab, Mikael menarik Aiko ke dalam dekapannya.

“Are you okay?”tanya Aiko seraya membalas pelukan Mikael.

a“I don’t know.”_ Mikael menjawab, matanya terpejam seraya menghirup aroma tubuh Aiko.

Tangan Aiko bergerak mengusap punggung Mikael, memberikan rasa nyaman pada sosok yang menyimpan wajahnya di ceruk leher Aiko.

“I just need my pill,” lanjut Mikael.

“And where is it?” tanya Aiko.

“You’re my pill. The only medication that I want forever.” jawab Mikael dengan napas yang mulai teratur.

“Do you even know the meaning of the word forever?”

Mikael terkekeh pelan. “I know, sampai kita jadi taburan bintang di langit, kan?”

Dua insan yang berada dalam ruangan bernuansa krem terdiam, terbuai dalam kegiatan yang menciptakan dunia masing-masing. Salah satu dari mereka tengah membaca komik yang berada dalam genggaman, bahu tegapnya bersandar pada kepala ranjang dengan kaki yang diluruskan, sedangkan salah satu lainnya tengah berkelana dalam lamunan panjang.

“Lo kalau kelamaan ngelamun bakal kemasukan setan.” Aiko memecah keheningan, matanya masih fokus pada komik yang ia baca.

“Gua bingung.” Oza menanggapi dengan suara yang terdengar memelas.

“Kenapa?” tanya Aiko.

Sosok yang memandang lurus ke depan akhirnya menoleh pada Aiko. “Lu beneran suka sama Ael, ya?” Oza balik bertanya.

Halaman baru terbuka, menyajikan segmen lain yang tak mengubah air muka Aiko. Terdapat jeda yang lama sebelum Aiko dengan singkat menjawab, “Nggak.”

“Jujur, gua juga gak mau percaya. Tapi, setelah gua pikir-pikir lagi, lu emang beneran suka sama Ael di titik yang sama kayak Rava.”

Mata Aiko berhenti bergerak seketika. “Maksud lo?” tanyanya tanpa menatap Oza.

“Maksud gua, lu suka sama Ael dalam artian mikirin Ael mulu. Lu sesuka itu sama Ael,” jawab Oza.

“Semalem lu gak bisa tidur jangan-jangan karena Ael?” Oza kembali bertanya, gemas dengan Aiko yang masih memertahankan perangai tak acuhnya.

“Nggak tau.” Aiko tak mengelak, pun membenarkan pertanyaan retoris yang keluar dari mulut Oza.

Lawan bicaranya menghela napas dengan kasar, lelah akan Aiko yang enggan untuk jujur.

“Lu udah deket ya sama Ael?” Lagi-lagi pertanyaan Oza berhasil membuat Aiko terksiap, namun Aiko, dengan pintar menyembunyikan rasa terkejutnya.

Tak mendapatkan respon, Oza kembali bersuara, “Gimana ya? Sikap lu ke Ael tuh gak nunjukin sifat orang yang baru kenal. Lu pernah dideketin sama beberapa orang sebelumnya, tapi reaksi lu ke orang-orang itu paling kalau gak lu ketusin ya lu cuekin.”

“Tapi kalau ke Ael, lu kayak berani banget? Maksudnya ketika lu dideketin sama orang yang baru lu kenal, mau seberapapun nyebelinnya orang itu pasti lu gak bakal berani sampai nendang orangnya. Gua tau lu galak, tapi selama ini gua gak pernah lihat lu mukul atau nendang orang yang baru-baru ini lu kenal,” lanjut Oza.

“Oke lah, mungkin lu benci banget sama Ael karena Ael udah nyakitin Rava, tapi tetep gak make sense bagi gua karena Ael itu kating kita dan gua tau lu masih punya sopan santun. Gak mungkin lah lu seberani itu sama kating.” Sosok yang duduk bersila menyelesaikan ucapannya.

Aiko masih terdiam, ekspresinya tetap sama, seolah ia tak terpanguruh atas tutur kata yang telah ia dengar. Bacaan yang sudah tak diperhatikan kini Aiko tutup. Kemudian, Aiko menatap Oza yang tengah menunggu tanggapannya.

“Lo bakal marah gak kalau gue bilang sebenernya dari awal, gue gak pernah punya perasaan suka sama Rava?” Aiko membuka suara.

Kelopak mata Oza melebar, terkesiap oleh ucapan Aiko. “Kenapa?” tanya Oza pelan. “Terus kenapa lu bersikap seolah lu emang suka sama Rava?” ulangnya.

Wajah datar Aiko menyembunyikan semua rasa takut yang mulai merayap, menggerogoti setiap jengkal tubuh. Namun sekali lagi, Aiko menutupinya dengan baik.

“Gue pura-pura suka sama Rava buat nutupin rasa suka gue ke Ael. Ketika gue pengen tau Ael lagi dimana dan dia lagi ketemu siapa aja, gue tinggal nanya ke Rava seolah gue penasaran sama Rava, padahal niat gue semua itu buat tau semua hal yang berhubungan sama Ael. Gue nanya “Rav, lo dimana? lagi sama siapa?” sebenernya bukan karena gue pengen tau tentang Rava, tapi karena gue pengen tau Ael, yang waktu itu deket banget sama Rava. Setelah mereka jauhan pun masih sama karena Rava gak bisa lepas dari Ael sepenuhnya.” Aiko berterus terang, pandangannya turun, sebab ia tak berani untuk menatap Oza.

“Gue tau gue brengsek, bahkan gue belum minta maaf ke Rava,” lanjut Aiko.

“Lu…suka sama Ael dari lama?” Nada yang terdengar lemah membuat Aiko menggigit bibir bawahnya dengan keras.

Dengan sisa keberanian yang tak cukup banyak, Aiko kembali menatap Oza tepat pada sepasang netra yang penuh hampa.

“Gue mantannya Ael, Ja,” ucap Aiko.

Fakta yang tak pernah Aiko ungkap selama tiga tahun ke belakang kepada orang-orang di lingkungan barunya.

“Gue sama Ael udah kenal semenjak gue SD. Kita pacaran waktu gue masuk SMP, hampir tiga tahun, kalau Ael gak tiba-tiba pindah. Bahkan Ael gak pernah putusin gue, dia pergi gitu aja tanpa bilang apa-apa ke gue.” Ingatan Aiko ditarik kembali masa lalu, kepada fragmen kenangan yang pada selalu berakhir pilu.

“Walaupun gue emang udah pengen kuliah di Neo dari lama, tapi gue juga gak menyangkal kalau gue berharap bakal ketemu sama Ael di sini karena dulu, gue sama Ael pernah punya keinginan buat masuk Neo bareng-bareng.” Aiko tak memfokuskan pandangan, membuat penglihatannya menjadi buram.

“And I finally met him.” Secarik senyum tipis tercetak pada wajah yang sendu. “Tapi sayangnya, gue ketemu sama Ael yang beda dari Ael yang gue kenal dulu.”

“Sekali lagi, sorry banget ya, Aiko. Ketemuannya jadi di sini.” Aiko menarik bibirnya guna membentuk senyuman, agak dipaksakan, sebab tidak senang dengan skema takdir yang selalu menggiringnya pada satu nama.

“Gak papa, kak Lina. Santai aja, lagian di sini agak rame jadi gak ngantuk waktu ngobrol,” respons Aiko ramah.

Tepat pada pukul dua belas lebih empat menit menjadi penanda bahwa Aiko telah berdiam diri dengan iringan musik keras selama satu jam. Catalina, sosok rupawan yang tak dapat menyembunyikan perasaan bersalahnya mengubah rencana awal mereka hingga Aiko berakhir menginjakan kaki di kelab malam. Aiko tidak keberatan, tidak jika sekumpulan manusia kurang kerjaan, terumata sosok yang bernama Mikael bernapas di ruangan yang sama dengannya.

“Kak, lu dipanggil bang Ael.” Suara lain menginterupsi keterdiaman Aiko.

Perawakan yang menjulang tinggi dengan surai yang sedikit gondrong menghampiri Catalina dan Aiko.

“Iya, bentar,” jawab Catalina.

“Aiko, lu mau langsung pulang apa gimana?” Tanggapan Aiko sudah jelas. Ia tak ingin berlama-lama di tempatnya berada.

Namun, belum ia sempat bersuara, sosok yang berdiri mendahului, “Disuruh ikut dong, kak. Masa bang Aiko gak lu kasih apa-apa. Kasih minum atau apa gitu.”

Sialan telah menjadi umpatan favorit Aiko sekarang.

“Gak usah. Gue langsung pulang aja, gak papa,” tolak Aiko sedikit gelisah.

Semakin lama ia berbaur dengan kerumunan manusia yang tengah mencari kesenangan, semakin besar kemungkinan yang Aiko dapat untuk melihat Mikael.

“Gua beliin minum dulu, ya? Gak enak banget soalnya gua.” Tatapan penuh rasa bersalah yang terpancar jelas pada sepasang manik mata membuat Aiko sulit menolak.

Lidah Aiko kelu untuk sekadar berkata “tidak.”

“Ayo, bang. Ikut aja, sekalian refreshing.

Refreshing pantat lo, gerutu Aiko dalam hati.

“Bener kata Dio. Yuk, Aiko ikut sama kita dulu sebelum balik,” ajak Catalina.

Sekarang, Aiko ingat akan sosok yang dipanggil Dio oleh Catalina. Adik tingkat yang akhir-akhir ini selalu berpapasan dengannya.

“Yuk dah ke bawah.” Dio sosok yang pertama kali berjalan.

Mulut Aiko terbuka, ingin mengucapkan kebohongan belaka agar terlepas dari skenario busuk yang akan menggiringnya pada Mikael. Namun, Catalina lebih dulu menarik tangannya. Aiko lantas tertawa getir.

Jika sepenuh hatinya memang menginginkan untuk segera pulang, ia tidak usah terlalu banyak berpikir karena nyatanya, sebagian diri Aiko menginginkan tetap tinggal lebih lama.

“BANG AEL!” Teriakan Dio menarik Aiko kembali pada dunia sekitarnya.

Di antara lautan manusia yang berlalu lalang, netra Aiko hanya tertuju pada sosok yang sibuk menghisap cerutu di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Pemilik netra kelam itu menatap Aiko sekilas, seakan enggan untuk menelisik terlalu dalam.

“Udah kumpul semua?” Mikael bersuara, sedikit serak.

“Mau ngapain nih?” Salah satu dari kumpulan manusia bertanya.

Aiko tidak terlalu memerhatikan sekeliling, ia hanya mengikuti Catalina. Kini, Aiko sudah duduk bersama anggota Satjamara yang lain.

Truth or Drink yuk, udah lama kagak main begituan,” usul sosok yang tidak Aiko kenal.

“Eh, jangan dong. Gua bawa tamu soalnya.” Catalina berucap.

Seluruh atensi kini berpusat pada Catalina dan juga Aiko yang duduk tepat di samping kirinya.

“Gak papa, suruh ikutan aja.” Nada dingin yang tertangkap oleh indra pendengaran Aiko berhasil memancing percikan emosi yang ingin meledak.

Tanpa menoleh, Aiko sudah mengetahui jika Catalina sekarang tengah menatapnya.

“Gak papa, kak. Gue ikut aja,” ucap Aiko pada Catalina. “Sekalian refreshing,” lanjutnya penuh penekanan dengan manik mata yang menatap Mikael datar.

“Yok mulai yok!”

Botol di atas meja diputar, sebagai penanda jika permainan telah dimulai. Di tengah gelegar irama yang menghentak, gerombolan pria dan wanita duduk melingkar. Aiko, tak begitu menghiraukan semuanya. Terlarut dalam keterdiaman seraya menatap botol kosong yang berputar.

“Anjrit kok gua paling duluan!” Aiko menoleh pada Dio yang mengeluarkan aksi protesnya.

“Gua duluan yang nanya,” ujar Mikael. “Lu demen ya sama Sean?”

Ricuh seketika mengelilingi orang-orang yang berkumpul. Aiko membuka tutup botol air mineral miliknya, menenggak likuid bening secara kasar. Netra nyalang di bawah minimnya pendar menatap Mikael yang duduk di seberangnya. Aiko tak peduli terhadap apapun, bahkan ketika suasana kembali ribut karena Dio yang memilih untuk minum dibandingkan menjawab pertanyaan Mikael, ia enggan untuk memberikan sedikit atensi.

Sibuk mengamati setiap detail pergerakan yang Mikael lakukan.

Permainan berlanjut, saling melemparkan pertanyaan dan berakhir dengan bising, sampai akhirnya botol berhenti berputar tepat menunjuk Mikael.

“GUA YANG NANYA!” Dio berteriak penuh gejolak.

“Sebutin tipe cowok yang lu suka pake banget sampai lu pengen pacarin dia walaupun lu bukan orang yang into relationship.

“Menurut gua kagak ada sih,” celetuk seseorang.

“Ada.” Mikael membantah, menciptakan senyap dengan cepat.

Netra yang meredup memandang lurus hanya pada satu sosok yang tak pernah mengalihkan atensinya. Aiko membalas tatapan Mikael tanpa menunjukan emosi, sekadar pandangan datar.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Mikael mengambil gelasnya. Meneguk minuman beralkohol berwarna kekuningan dengan sekali tegukan, mengundang sorakan kecewa.

Botol kembali diputar dan kali ini menunjuk pada Aiko.

“Gue yang nanya,” ucap Catalina.

“Tipe cowok atau cewek yang lu suka kayak gimana? Siapa tau di sini ada yang sesuai sama tipe lu.”

Aiko mengedarkan pandangan, menatap khalayak satu persatu.

“Someone who has a big nose,” jawab Aiko santai seraya menganggkat bahu.

“They said someone with a big nose has a big —you know what. So, yeah.” Tanpa malu Aiko memaparkan alasannya, membuat gaduh kembali hadir.

“Udah kan ya? Gue mau undur diri, mau ke belakang dulu,” pamit Aiko yang kemudian bergegas pergi.


Tubuh yang berdiri lama larut dengan suasana hening yang membawanya menjelajah lamunan. Bibir ranum dengan rona merah muda terbuka, mengeluarkan asap putih beraroma vanila. Aiko kembali menghisap vape miliknya, lantas mengadah untuk melihat gemerlap langit malam. Irisnya bergerak perlahan menuju ekor mata tatkala mendengar suara pintu yang terbuka.

“Orang lain bakal curiga kalau lo ikutan pergi.” Aiko berujar.

“Gua gak peduli.” Respons dari sosok yang berada di belakang membuat Aiko mendengus geli.

Hidung milik Aiko mulai memerah seiring dengan udara malam yang semakin dingin. Aiko membalikkan tubuh, menghisap sekali lagi rokok elektriknya, sebelum menyimpannya kembali. Ia disambut oleh Mikael yang telah berada di hadapannya. Tak ada yang berniat untuk membuka percakapan, hanya saling bercengkerama melalui tatapan mata.

“Lu nanti masuk angin kalau cuman pake kaos doang.” Mikael memecah keheningan. Ia membuka jaket kulit miliknya, lalu membalut tubuh Aiko dengan jaket tersebut.

Sebuah afeksi yang didapat dikonversi menjadi rasa hangat, meluluhlantakkan kekesalan yang terpendam di lubuk hati.

Aiko menghela napasnya kasar, berperang dengan dirinya sendiri yang tak ingin selalu jatuh terhadap semua perlakuan Mikael kepadanya. Namun, tatkala netranya menelisik ke dalam gelita pada manik mata Mikael, ia seolah ditarik menuju masa lalu dan menyadari satu hal yang pasti.

“It’s getting colder,” ujar Aiko pelan.

Dua langkah, hingga ujung sepatu keduanya saling bertemu dan satu kali Mikael menangkap tubuh Aiko ke dalam dekapan.

Semerbak aroma vanila menari pada indra penciuman Mikael.

“Gua anter pulang, ya?” tanya Mikael di sela kegiatan menyalurkan kehangatan.

Aiko merenggangkan pelukannya, menatap Mikael seraya mengangguk. Secarik senyuman terpatri, Mikael lantas merapikan surai legam Aiko. Dua kecupan singkat mendarat pada sepasang kelopak mata elok, sebelum Mikael mengantar Aiko pulang.

“Sekali lagi, sorry banget ya, Aiko. Ketemuannya jadi di sini.” Aiko menarik bibirnya guna membentuk senyuman, agak dipaksakan, sebab tidak senang dengan skema takdir yang selalu menggiringnya pada satu nama.

“Gak papa, kak Lina. Santai aja, lagian di sini agak rame jadi gak ngantuk waktu ngobrol,” respons Aiko ramah.

Tepat pada pukul dua belas lebih empat menit menjadi penanda bahwa Aiko telah berdiam diri dengan iringan musik keras selama satu jam. Catalina, sosok rupawan yang tak dapat menyembunyikan perasaan bersalahnya mengubah rencana awal mereka hingga Aiko berakhir menginjakan kaki di kelab malam. Aiko tidak keberatan, tidak jika sekumpulan manusia kurang kerjaan, terumata sosok yang bernama Mikael bernapas di ruangan yang sama dengannya.

“Kak, lu dipanggil bang Ael.” Suara lain menginterupsi keterdiaman Aiko.

Perawakan yang menjulang tinggi dengan surai yang sedikit gondrong menghampiri Catalina dan Aiko.

“Iya, bentar,” jawab Catalina.

“Aiko, lu mau langsung pulang apa gimana?” Tanggapan Aiko sudah jelas. Ia tak ingin berlama-lama di tempatnya berada.

Namun, belum ia sempat bersuara, sosok yang berdiri mendahului, “Disuruh ikut dong, kak. Masa bang Aiko gak lu kasih apa-apa. Kasih minum atau apa gitu.”

Sialan telah menjadi umpatan favorit Aiko sekarang.

“Gak usah. Gue langsung pulang aja, gak papa,” tolak Aiko sedikit gelisah.

Semakin lama ia berbaur dengan kerumunan manusia yang tengah mencari kesenangan, semakin besar kemungkinan yang Aiko dapat untuk melihat Mikael.

“Gua beliin minum dulu, ya? Gak enak banget soalnya gua.” Tatapan penuh rasa bersalah yang terpancar jelas pada sepasang manik mata membuat Aiko sulit menolak.

Lidah Aiko kelu untuk sekadar berkata “tidak.”

“Ayo, bang. Ikut aja, sekalian refreshing.

Refreshing pantat lo, gerutu Aiko dalam hati.

“Bener kata Dio. Yuk, Aiko ikut sama kita dulu sebelum balik,” ajak Catalina.

Sekarang, Aiko ingat akan sosok yang dipanggil Dio oleh Catalina. Adik tingkat yang akhir-akhir ini selalu berpapasan dengannya.

“Yuk dah ke bawah.” Dio sosok yang pertama kali berjalan.

Mulut Aiko terbuka, ingin mengucapkan kebohongan belaka agar terlepas dari skenario busuk yang akan menggiringnya pada Mikael. Namun, Catalina lebih dulu menarik tangannya. Aiko lantas tertawa getir.

Jika sepenuh hatinya memang menginginkan untuk segera pulang, ia tidak usah terlalu banyak berpikir karena nyatanya, sebagian diri Aiko menginginkan tetap tinggal lebih lama.

“BANG AEL!” Teriakan Dio menarik Aiko kembali pada dunia sekitarnya.

Di antara lautan manusia yang berlalu lalang, netra Aiko hanya tertuju pada sosok yang sibuk menghisap cerutu di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Pemilik netra kelam itu menatap Aiko sekilas, seakan enggan untuk menelisik terlalu dalam.

“Udah kumpul semua?” Mikael bersuara, sedikit serak.

“Mau ngapain nih?” Salah satu dari kumpulan manusia bertanya.

Aiko tidak terlalu memerhatikan sekeliling, ia hanya mengikuti Catalina. Kini, Aiko sudah duduk bersama anggota Satjamara yang lain.

Truth or Drink yuk, udah lama kagak main begituan,” usul sosok yang tidak Aiko kenal.

“Eh, jangan dong. Gua bawa tamu soalnya.” Catalina berucap.

Seluruh atensi kini berpusat pada Catalina dan juga Aiko yang duduk tepat di samping kirinya.

“Gak papa, suruh ikutan aja.” Nada dingin yang tertangkap oleh indra pendengaran Aiko berhasil memancing percikan emosi yang ingin meledak.

Tanpa menoleh, Aiko sudah mengetahui jika Catalina sekarang tengah menatapnya.

“Gak papa, kak. Gue ikut aja,” ucap Aiko pada Catalina. “Sekalian refreshing,” lanjutnya penuh penekanan dengan manik mata yang menatap Mikael datar.

“Yok mulai yok!”

Botol di atas meja diputar, sebagai penanda jika permainan telah dimulai. Di tengah gelegar irama yang menghentak, gerombolan pria dan wanita duduk melingkar. Aiko, tak begitu menghiraukan semuanya. Terlarut dalam keterdiaman seraya menatap botol kosong yang berputar.

“Anjrit kok gua paling duluan!” Aiko menoleh pada Dio yang mengeluarkan aksi protesnya.

“Gua duluan yang nanya,” ujar Mikael. “Lu demen ya sama Sean?”

Ricuh seketika mengelilingi orang-orang yang berkumpul. Aiko membuka tutup botol air mineral miliknya, menenggak likuid bening secara kasar. Netra nyalang di bawah minimnya pendar menatap Mikael yang duduk di seberangnya. Aiko tak peduli terhadap apapun, bahkan ketika suasana kembali ribut karena Dio yang memilih untuk minum dibandingkan menjawab pertanyaan Mikael, ia enggan untuk memberikan sedikit atensi.

Sibuk mengamati setiap detail pergerakan yang Mikael lakukan.

Permainan berlanjut, saling melemparkan pertanyaan dan berakhir dengan bising, sampai akhirnya botol berhenti berputar tepat menunjuk Mikael.

“GUA YANG NANYA!” Dio berteriak penuh gejolak.

“Sebutin tipe cowok yang lu suka pake banget sampai lu pengen pacarin dia walaupun lu bukan orang yang into relationship.

“Menurut gua kagak ada sih,” celetuk seseorang.

“Ada.” Mikael membantah, menciptakan senyap dengan cepat.

Netra yang meredup memandang lurus hanya pada satu sosok yang tak pernah mengalihkan atensinya. Aiko membalas tatapan Mikael tanpa menunjukan emosi, sekadar pandangan datar.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Mikael mengambil gelasnya. Meneguk minuman beralkohol berwarna kekuningan dengan sekali tegukan, mengundang sorakan kecewa.

Botol kembali diputar dan kali ini menunjuk pada Aiko.

“Gue yang nanya,” ucap Catalina.

“Tipe cowok atau cewek yang lu suka kayak gimana? Siapa tau di sini ada yang sesuai sama tipe lu.”

Aiko mengedarkan pandangan, menatap khalayak satu persatu.

“Someone who has a big nose,” jawab Aiko santai seraya menganggkat bahu.

“They said someone with a big nose has a big —you know what. So, yeah.” Tanpa malu Aiko memaparkan alasannya, membuat gaduh kembali hadir.

“Udah kan ya? Gue mau undur diri, mau ke belakang dulu,” pamit Aiko yang kemudian bergegas pergi.

—-

Tubuh yang berdiri lama larut dengan suasana hening yang membawanya menjelajah lamunan. Bibir ranum dengan rona merah muda terbuka, mengeluarkan asap putih beraroma vanila. Aiko kembali menghisap vape miliknya, lantas mengadah untuk melihat gemerlap langit malam. Irisnya bergerak perlahan menuju ekor mata tatkala mendengar suara pintu yang terbuka.

“Orang lain bakal curiga kalau lo ikutan pergi.” Aiko berujar.

“Gua gak peduli.” Respons dari sosok yang berada di belakang membuat Aiko mendengus geli.

Hidung milik Aiko mulai memerah seiring dengan udara malam yang semakin dingin. Aiko membalikkan tubuh, menghisap sekali lagi rokok elektriknya, sebelum menyimpannya kembali. Ia disambut oleh Mikael yang telah berada di hadapannya. Tak ada yang berniat untuk membuka percakapan, hanya saling bercengkerama melalui tatapan mata.

“Lu nanti masuk angin kalau cuman pake kaos doang.” Mikael memecah keheningan. Ia membuka jaket kulit miliknya, lalu membalut tubuh Aiko dengan jaket tersebut.

Sebuah afeksi yang didapat dikonversi menjadi rasa hangat, meluluhlantakkan kekesalan yang terpendam di lubuk hati.

Aiko menghela napasnya kasar, berperang dengan dirinya sendiri yang tak ingin selalu jatuh terhadap semua perlakuan Mikael kepadanya. Namun, tatkala netranya menelisik ke dalam gelita pada manik mata Mikael, ia seolah ditarik menuju masa lalu dan menyadari satu hal yang pasti.

“It’s getting colder,” ujar Aiko pelan.

Dua langkah, hingga ujung sepatu keduanya saling bertemu dan satu kali Mikael menangkap tubuh Aiko ke dalam dekapan.

Semerbak aroma vanila menari pada indra penciuman Mikael.

“Gua anter pulang, ya?” tanya Mikael di sela kegiatan menyalurkan kehangatan.

Aiko merenggangkan pelukannya, menatap Mikael seraya mengangguk. Secarik senyuman terpatri, Mikael lantas merapikan surai legam Aiko. Dua kecupan singkat mendarat pada sepasang kelopak mata elok, sebelum Mikael mengantar Aiko pulang.

Jingga yang membentang luas dengan himpunan mega bewarna putih menyambut netra dari sosok yang berjalan melewati pintu. Kilau mentari senja membuat kelopak mata milik Aiko sedikit menyipit. Wajahnya kaku, sedikit cemberut akibat perasaan dongkol yang memorak-porandakan hati.

Perasaan kesal yang seharusnya tidak begitu bergejolak bak air mendidih hadir tanpa bisa ia tahan. Aiko, lebih sebal pada dirinya sendiri yang menaruh ekspektasi tinggi. Tekadnya hampir bulat, nyaris ingin membuang semua ambisi yang berkobar. Berharap jika ia dapat melupakan masa lalunya untuk melangkah pada bentala yang belum pernah ia jajah.

“Katanya kalau gua ke sini bakal jadi third wheel, mana nih yang katanya lagi berduaan sama Augy?” Kata sial secara spontan terucap atas presensi dari sosok lelaki yang menjadi satu-satunya alasan Aiko dipenuhi oleh kesengsaraan. Agak berlebihan, memang.

Rasa gondok yang bersemayam dalam dada Aiko melambung tinggi tatkala merasakan kehadiran Mikael di sampingnya. Aiko enggan menatap Mikael, bahkan hanya untuk memberikan lirikan melalui ekor mata pun tak sudi.

Mikael, di sisi lain ingin menunjukan eksistensinya kepada Aiko. Ia lantas menarik bahu Aiko agar dapat melihat rupa dari sosok yang terlihat ingin menerkam orang lain. Salah satu alis Mikael terangkat, irisnya bergerak menilik penampilan Aiko yang jauh dari biasanya. Kemeja kuning polos yang dipadukan dengan vest berwarna lilac melekat rapi pada tubuh Aiko. Kedua kaki jenjangnya dibalut celana kain hijau pastel yang dinetralkan oleh sepatu kets putihnya. Tas kanvas putih tulang dan kacamata bulat dijadikan sebagai tambahan untuk menjadi pemanis.

“Tumben banget, biasanya lu kalau gak pake item ya putih,” ujar Mikael setelah puas menilai pakaian Aiko.

“Suka-suka gue lah mau pake warna apa aja,” ketus Aiko, suasana hatinya semakin memburuk.

“Ya iya. Suka-suka lu mau pake warna apa aja, bebas. Mau pake baju bentuk gimanapun terserah. You look good in anything you wear, tho. Just wear whatever you want. Mau pake karung beras sekalipun kalau yang pakenya lu mah cakep.” Mikael mengedikan bahu, gelagatnya seolah tak acuh atas pujian yang ia lontarkan pada Aiko.

Sosok yang menerima pujian lantas mengerjapkan mata, terkejut oleh apa yang ia dengar. Aiko sudah menyiapkan berbagai untaian kata untuk melawan kemungkinan kalimat yang penuh cemoohan. Namun, Mikael tak melayangkan ledekan dalam bentuk apapun kepada Aiko, melainkan himpunan kalimat yang meredam rasa kesalnya.

Agaknya, Aiko lupa akan fakta jika Mikael seekor buaya darat yang dapat mengeluarkan rayuan palsu semanis madu.

“Mending lu lihat sunset daripada bengong gak jelas,” usul Mikael, kembali membuka topik pembicaraan.

Tangan kanan Mikael terulur guna mengambil kacamata Aiko. Tanpa meminta izin, ia mengenakan kacamata tersebut pada dirinya. Kali ini, giliran Aiko yang memerhatikan Mikael. Surai rapi Mikael entah hilang kemana, Aiko hanya dapat melihat helaian rambut acak-acakan. Tubuh Mikael dibalut kemeja biru muda yang dikombinasikan dengan celana kain pendek berwarna hitam. Tas selempangnya disimpan di belakang. Pandangan Aiko turun ke bawah. Ia merasa sudah sangat bosan melihat sepatu nike air jordan hitam putih yang selalu Mikael pakai.

Kegiatan pindai-memindai terhenti ketika tangan Mikael melepaskan airpods yang berdiam diri pada telinga Aiko.

“Lu gak dimana-mana pake airpods mulu. Sekali-kali dengerin suara tahu bulat yang lagi lewat kek, atau suara susu murni nasional biar lu tambah enek sama susu.” Mikael dan mulut ajaibnya merupakan perpaduan yang ingin Aiko pisahkan.

“Protes mulu lo pengangguran,” gerutu Aiko.

Tak terima dilabeli pengangguran oleh sosok di hadapannya, Mikael melotot. “Enak aja lu,” protesnya.

“Ya emang pengangguran kan lo? Ngapain coba ke sini kalau ada kerjaan?” Aiko tak mau kalah.

“Gua mending jadi pengangguran sih daripada sok sibuk sampai ninggalin lu sendirian,” sindir Mikael pada sosok yang tak ada di sana.

“Maksud lo bang Augy? Bang Augy sibuk juga bukan sibuk gak jelas kayak lo. Dia megang banyak organisasi!” seru Aiko.

“Lu pikir Augy ninggalin lu di sini gara-gara ngurusin organisasi? Lu yakin?” tanya Mikael datar, tangannya ia simpan dalam saku celana.

Diamnya Aiko sebagai penanda bahwa sosok itu telah kalah telak. Mikael menghela napas, ia tak ingin menghabiskan waktunya dengan Aiko untuk beradu mulut. Tangannya melingkar pada bahu Aiko, merangkul tubuh sosok yang masih termenung.

“Mending lihat sunset,” ajak Mikael seraya melangkah pergi.

Mau tak mau, Aiko ikut berjalan di samping Mikael.

Tepat ketika langkah keduanya berhenti, Mikael bertanya, “Is it still blurry to you?”

Aiko tak menjawab.

“There are only two reasons why everything’s so blurry. Either it’s because you don’t focus on anything but the sadness inside your head that makes you forget about how delightful the things around you.” Mikael mengantung ucapannya, manik matanya memandang kumpulan burung yang terbang di atas jingga.

“Or you just held your tears, so you couldn’t see anything vividly,” lanjutnya seraya menoleh pada Aiko yang menatap lurus langit sore.

Sang surya hampir hilang di balik pandangan, terbenam untuk terbit pada bagian Bumi yang lain. Namun, Mikael, menerbitkan senyuman kecil pada belahan Bumi yang ditinggal mentari pergi.

“You should focus on yourself, Ai. Find your own happiness.” Bisikan halus terbang bersama dengan terpaan angin. Aiko mengalihkan atensinya yang kemudian disambut oleh sepasang netra milik Mikael.

“Kepala lo abis ketimpuk duren apa gimana?” tanya Aiko.

“Nggak, pengen aja gua jadi Mario Teguh dadakan,” jawab Mikael santai.

Di bawah layung angkasa kala baskara tengah terbenam, keduanya saling memandang. Sekonyong-konyong Mikael mengusap kelopak mata Aiko, memberikan sentuhan lembut di sana.

“The world seems more beautiful when I see it in your eyes, Ai.”

Jingga yang membentang luas dengan himpunan mega bewarna putih menyambut netra dari sosok yang berjalan melewati pintu. Kilau mentari senja membuat kelopak mata milik Aiko sedikit menyipit. Wajahnya kaku, sedikit cemberut akibat perasaan dongkol yang memorak-porandakan hati.

Perasaan kesal yang seharusnya tidak begitu bergejolak bak air mendidih hadir tanpa bisa ia tahan. Aiko, lebih sebal pada dirinya sendiri yang menaruh ekspektasi tinggi. Tekadnya hampir bulat, nyaris ingin membuang semua ambisi yang berkobar. Berharap jika ia dapat melupakan masa lalunya untuk melangkah pada bentala yang belum pernah ia jajah.

“Katanya kalau gua ke sini bakal jadi third wheel, mana nih yang katanya lagi berduaan sama Augy?” Kata sial secara spontan terucap atas presensi dari sosok lelaki yang menjadi satu-satunya alasan Aiko dipenuhi oleh kesengsaraan. Agak berlebihan, memang.

Rasa gondok yang bersemayam dalam dada Aiko melambung tinggi tatkala merasakan kehadiran Mikael di sampingnya. Aiko enggan menatap Mikael, bahkan hanya untuk memberikan lirikan melalui ekor mata pun tak sudi.

Mikael, di sisi lain ingin menunjukan eksistensinya kepada Aiko. Ia lantas menarik bahu Aiko agar dapat melihat rupa dari sosok yang terlihat ingin menerkam orang lain. Salah satu alis Mikael terangkat, irisnya bergerak menilik penampilan Aiko yang jauh dari biasanya. Kemeja kuning polos yang dipadukan dengan vest berwarna lilac melekat rapi pada tubuh Aiko. Kedua kaki jenjangnya dibalut celana kain hijau pastel yang dinetralkan oleh sepatu kets putihnya. Tas kanvas putih tulang dan kacamata bulat dijadikan sebagai tambahan untuk menjadi pemanis.

“Tumben banget, biasanya lu kalau gak pake item ya putih,” ujar Mikael setelah puas menilai pakaian Aiko.

“Suka-suka gue lah mau pake warna apa aja,” ketus Aiko, suasana hatinya semakin memburuk.

“Ya iya. Suka-suka lu mau pake warna apa aja, bebas. Mau pake baju bentuk gimanapun terserah. You look good in anything you wear, tho. Just wear whatever you want. Mau pake karung beras sekalipun kalau yang pakenya lu mah cakep.” Mikael mengedikan bahu, gelagatnya seolah tak acuh atas pujian yang ia lontarkan pada Aiko.

Sosok yang menerima pujian lantas mengerjapkan mata, terkejut oleh apa yang ia dengar. Aiko sudah menyiapkan berbagai untaian kata untuk melawan kemungkinan kalimat yang penuh cemoohan. Namun, Mikael tak melayangkan ledekan dalam bentuk apapun kepada Aiko, melainkan himpunan kalimat yang meredam rasa kesalnya.

Agaknya, Aiko lupa akan fakta jika Mikael seekor buaya darat yang dapat mengeluarkan rayuan palsu semanis madu.

“Mending lu lihat sunset daripada bengong gak jelas,” usul Mikael, kembali membuka topik pembicaraan.

Tangan kanan Mikael terulur guna mengambil kacamata Aiko. Tanpa meminta izin, ia mengenakan kacamata tersebut pada dirinya. Kali ini, giliran Aiko yang memerhatikan Mikael. Surai rapi Mikael entah hilang kemana, Aiko hanya dapat melihat helaian rambut acak-acakan. Tubuh Mikael dibalut kemeja biru muda yang dikombinasikan dengan celana kain pendek berwarna hitam. Tas selempangnya disimpan di belakang. Pandangan Aiko turun ke bawah. Ia merasa sudah sangat bosan melihat sepatu nike air jordan hitam putih yang selalu Mikael pakai.

Kegiatan pindai-memindai terhenti ketika tangan Mikael melepaskan airpods yang berdiam diri pada telinga Aiko.

“Lu gak dimana-mana pake airpods mulu. Sekali-kali dengerin suara tahu bulat yang lagi lewat kek, atau suara susu murni nasional biar lu tambah enek sama susu.” Mikael dan mulut ajaibnya merupakan perpaduan yang ingin Aiko pisahkan.

“Protes mulu lo pengangguran,” gerutu Aiko.

Tak terima dilabeli pengangguran oleh sosok di hadapannya, Mikael melotot. “Enak aja lu,” protesnya.

“Ya emang pengangguran kan lo? Ngapain coba ke sini kalau ada kerjaan?” Aiko tak mau kalah.

“Gua mending jadi pengangguran sih daripada sok sibuk sampai ninggalin lu sendirian,” sindir Mikael pada sosok yang tak ada di sana.

“Maksud lo bang Augy? Bang Augy sibuk juga bukan sibuk gak jelas kayak lo. Dia megang banyak organisasi!” seru Aiko.

“Lu pikir Augy ninggalin lu di sini gara-gara ngurusin organisasi? Lu yakin?” tanya Mikael datar, tangannya ia simpan dalam saku celana.

Diamnya Aiko sebagai penanda bahwa sosok itu telah kalah telak. Mikael menghela napas, ia tak ingin menghabiskan waktunya dengan Aiko untuk beradu mulut. Tangannya melingkar pada bahu Aiko, merangkul tubuh sosok yang masih termenung.

“Mending lihat sunset,” ajak Mikael seraya melangkah pergi.

Mau tak mau, Aiko ikut berjalan di samping Mikael.

Tepat ketika langkah keduanya berhenti, Mikael bertanya, “Is it still blurry to you?”

Aiko tak menjawab.

“There are only two reasons why everything’s so blurry. Either it’s because you don’t focus on anything but the sadness inside your head that makes you forget about how delightful the things around you.” Mikael mengantung ucapannya, manik matanya memandang kumpulan burung yang terbang di atas jingga.

“Or you just held your tears, so you couldn’t see anything vividly,” lanjutnya seraya menoleh pada Aiko yang menatap lurus langit sore.

Sang surya hampir hilang di balik pandangan, terbenam untuk terbit pada bagian Bumi yang lain. Namun, Mikael, menerbitkan senyuman kecil pada belahan Bumi yang ditinggal mentari pergi.

“You should focus on yourself, Ai. Find your own happiness.” Bisikan halus terbang bersama dengan terpaan angin. Aiko mengalihkan atensinya yang kemudian disambut oleh sepasang netra milik Mikael.

“Kepala lo abis ketimpuk duren apa gimana?” tanya Aiko.

“Nggak, pengen aja gua jadi Mario Teguh dadakan,” jawab Mikael santai.

Di bawah layung angkasa kala baskara tengah terbenam, keduanya saling memandang. Sekonyong-konyong Mikael mengusap kelopak mata Aiko, memberikan sentuhan lembut di sana.

“The world seems more beautiful when I see it in your eyes, Ai.”