Ungkap Yang Terkubur

Dua insan yang berada dalam ruangan bernuansa krem terdiam, terbuai dalam kegiatan yang menciptakan dunia masing-masing. Salah satu dari mereka tengah membaca komik yang berada dalam genggaman, bahu tegapnya bersandar pada kepala ranjang dengan kaki yang diluruskan, sedangkan salah satu lainnya tengah berkelana dalam lamunan panjang.

“Lo kalau kelamaan ngelamun bakal kemasukan setan.” Aiko memecah keheningan, matanya masih fokus pada komik yang ia baca.

“Gua bingung.” Oza menanggapi dengan suara yang terdengar memelas.

“Kenapa?” tanya Aiko.

Sosok yang memandang lurus ke depan akhirnya menoleh pada Aiko. “Lu beneran suka sama Ael, ya?” Oza balik bertanya.

Halaman baru terbuka, menyajikan segmen lain yang tak mengubah air muka Aiko. Terdapat jeda yang lama sebelum Aiko dengan singkat menjawab, “Nggak.”

“Jujur, gua juga gak mau percaya. Tapi, setelah gua pikir-pikir lagi, lu emang beneran suka sama Ael di titik yang sama kayak Rava.”

Mata Aiko berhenti bergerak seketika. “Maksud lo?” tanyanya tanpa menatap Oza.

“Maksud gua, lu suka sama Ael dalam artian mikirin Ael mulu. Lu sesuka itu sama Ael,” jawab Oza.

“Semalem lu gak bisa tidur jangan-jangan karena Ael?” Oza kembali bertanya, gemas dengan Aiko yang masih memertahankan perangai tak acuhnya.

“Nggak tau.” Aiko tak mengelak, pun membenarkan pertanyaan retoris yang keluar dari mulut Oza.

Lawan bicaranya menghela napas dengan kasar, lelah akan Aiko yang enggan untuk jujur.

“Lu udah deket ya sama Ael?” Lagi-lagi pertanyaan Oza berhasil membuat Aiko terksiap, namun Aiko, dengan pintar menyembunyikan rasa terkejutnya.

Tak mendapatkan respon, Oza kembali bersuara, “Gimana ya? Sikap lu ke Ael tuh gak nunjukin sifat orang yang baru kenal. Lu pernah dideketin sama beberapa orang sebelumnya, tapi reaksi lu ke orang-orang itu paling kalau gak lu ketusin ya lu cuekin.”

“Tapi kalau ke Ael, lu kayak berani banget? Maksudnya ketika lu dideketin sama orang yang baru lu kenal, mau seberapapun nyebelinnya orang itu pasti lu gak bakal berani sampai nendang orangnya. Gua tau lu galak, tapi selama ini gua gak pernah lihat lu mukul atau nendang orang yang baru-baru ini lu kenal,” lanjut Oza.

“Oke lah, mungkin lu benci banget sama Ael karena Ael udah nyakitin Rava, tapi tetep gak make sense bagi gua karena Ael itu kating kita dan gua tau lu masih punya sopan santun. Gak mungkin lah lu seberani itu sama kating.” Sosok yang duduk bersila menyelesaikan ucapannya.

Aiko masih terdiam, ekspresinya tetap sama, seolah ia tak terpanguruh atas tutur kata yang telah ia dengar. Bacaan yang sudah tak diperhatikan kini Aiko tutup. Kemudian, Aiko menatap Oza yang tengah menunggu tanggapannya.

“Lo bakal marah gak kalau gue bilang sebenernya dari awal, gue gak pernah punya perasaan suka sama Rava?” Aiko membuka suara.

Kelopak mata Oza melebar, terkesiap oleh ucapan Aiko. “Kenapa?” tanya Oza pelan. “Terus kenapa lu bersikap seolah lu emang suka sama Rava?” ulangnya.

Wajah datar Aiko menyembunyikan semua rasa takut yang mulai merayap, menggerogoti setiap jengkal tubuh. Namun sekali lagi, Aiko menutupinya dengan baik.

“Gue pura-pura suka sama Rava buat nutupin rasa suka gue ke Ael. Ketika gue pengen tau Ael lagi dimana dan dia lagi ketemu siapa aja, gue tinggal nanya ke Rava seolah gue penasaran sama Rava, padahal niat gue semua itu buat tau semua hal yang berhubungan sama Ael. Gue nanya “Rav, lo dimana? lagi sama siapa?” sebenernya bukan karena gue pengen tau tentang Rava, tapi karena gue pengen tau Ael, yang waktu itu deket banget sama Rava. Setelah mereka jauhan pun masih sama karena Rava gak bisa lepas dari Ael sepenuhnya.” Aiko berterus terang, pandangannya turun, sebab ia tak berani untuk menatap Oza.

“Gue tau gue brengsek, bahkan gue belum minta maaf ke Rava,” lanjut Aiko.

“Lu…suka sama Ael dari lama?” Nada yang terdengar lemah membuat Aiko menggigit bibir bawahnya dengan keras.

Dengan sisa keberanian yang tak cukup banyak, Aiko kembali menatap Oza tepat pada sepasang netra yang penuh hampa.

“Gue mantannya Ael, Ja,” ucap Aiko.

Fakta yang tak pernah Aiko ungkap selama tiga tahun ke belakang kepada orang-orang di lingkungan barunya.

“Gue sama Ael udah kenal semenjak gue SD. Kita pacaran waktu gue masuk SMP, hampir tiga tahun, kalau Ael gak tiba-tiba pindah. Bahkan Ael gak pernah putusin gue, dia pergi gitu aja tanpa bilang apa-apa ke gue.” Ingatan Aiko ditarik kembali masa lalu, kepada fragmen kenangan yang pada selalu berakhir pilu.

“Walaupun gue emang udah pengen kuliah di Neo dari lama, tapi gue juga gak menyangkal kalau gue berharap bakal ketemu sama Ael di sini karena dulu, gue sama Ael pernah punya keinginan buat masuk Neo bareng-bareng.” Aiko tak memfokuskan pandangan, membuat penglihatannya menjadi buram.

“And I finally met him.” Secarik senyum tipis tercetak pada wajah yang sendu. “Tapi sayangnya, gue ketemu sama Ael yang beda dari Ael yang gue kenal dulu.”