Setitik Terang dalam Gelap

Kelabu yang menyelimuti rembulan menghalangi sebagian pendarnya, menghasilkan penerangan yang lebih terbatas. Kesendirian sang bulan malam ini ditemani oleh setitik taburan bintang yang tak seberapa. Sekumpulan asap rokok menutupi pandangan yang tertuju pada awang-awang seraya menghitung jumlah batang nikotin yang telah habis ia hisap. Sesak dalam dada rasanya bukan ditimbulkan oleh endapan asap cerutu yang dikonsumsi, melainkan akar pikiran negatif yang terus menjalar.

“Terus?” Mikael merespon cerita Januar tanpa ekspresi.

“Makin makin. Tiap hari gua lihat-lihat barengan mulu. Nempel kayak lintah di kulit,” ujar Januar yang duduk seraya menikmati seduhan biji kopi panas.

“Makanya lu harus garemin biar si Mars bisa lepas dari Aikonya lu.” Bunyi seruput terdengar setelahnya.

Aikonya lu.

Sejak kapan Aiko menjadi milik Mikael? Bahkan dalam mimpi pun, Mikael segan untuk melabeli Aiko sebagai miliknya.

Netra kelam yang setia memandang langit malam semakin menggelap dengan halimun yang menangkup.

“Menurut lu, gua harus gimana?” Mikael bertanya datar seraya kembali menghisap rokok.

Tak ada jawaban dari lawan bicaranya. Januar menatap punggung Mikael yang berdiri dengan tatapan kosong.

“Lu udah gak tidur berapa hari?“ tanya Januar, mengalihkan topik pembicaraan.

“Gak inget,” jawab Mikael singkat.

Embusan napas keluar dari mulut Januar. Masalah rumit yang sedang dihadapi oleh temannya membuat pening hadir tanpa dapat ditahan.

“Gua lepas Aiko aja kali ya? Kayak rencana awal.” Suara yang penuh hampa terdengar getir di telinga Januar.

“Lagian gua udah terlalu nyakitin dia. Kalau pun misalnya gua tetep mertahanin, gua ragu Aiko bakal bales perasaan gua,” lanjut Mikael pesimis.

“Gua udah mainin perasaan banyak orang dan jadi brengsek buat bikin Aiko benci sama gua, tapi gua goyah di tengah jalan karena gua gak mau kehilangan Aiko.”

Untuk yang kedua kalinya.

I don’t even own my fucking life, tapi kenapa gua banyak maunya, anjing.” Mikael mengacak surainya, melimpahkan frustasi yang selalu menghantui.

“Mati aja apa ya gua?” Pertanyaan putus asa keluar spontan tatkala hati diprakarsai jeratan melankoli.

Sosok yang setia menjadi pendengar lantas beranjak dari posisi duduknya, menemani Mikael yang berdiri dengan kedua tangan melipat pada pagar. Ia ikut mendongak, menatap langit untuk mencari sejumput harapan.

“Nyokap lu udah susah-susah buat mertahanin hidupnya, masa anaknya malah mau nyerah gitu aja.” Bibir yang terkatup rapat akhirnya bersuara.

“Seenggaknya lu harus nyari kebahagiaan lu dulu sebelum mati, Ael. Masa lu mati gitu aja tanpa ngerasain bahagia yang luar biasa?” Manik mata Mikael menatap rembulan dengan hampa.

“Lu jangan lupain semua mimpi yang udah lu susun sama nyokap lu. Emang lu mau ngebuang semua mimpi itu gitu aja? Lu gak mau lihat nyokap lu nangis bangga ketika anaknya wisuda?” tanya Januar, suaranya terdengar mengalir tenang.

Januar melirik Mikael melalui ekor mata. Wajah kusut dari sahabatnya sejak SMA menggambarkan kecamuk pikiran yang terjebak jaring penuh duri.

“Menurut gua, mending lu mertahanin Aiko. Lagian emang lu mau hidup jadi boneka selamanya? Dari apa yang gua observasi, Aiko pasti bakal ngertiin lu dan lu harus terus terang tentang semuanya sama Aiko. Alasan lu tiba-tiba pindah tanpa sempet bilang, alasan lu berubah, pokoknya semua.” Januar mengakhiri ucapannya seraya menghela napas panjang.

Terdapat jeda yang panjang sebelum Mikael menunduk dan berkata, “Tapi kayaknya Aiko bakal lebih bahagia sama orang lain daripada sama gua.”

“Maksud lu sama Mars?” tanya Januar memastikan.

“Iya,” jawab Mikael.

Ketidakpercayaan diri Mikael membuat Januar merotasikan bola matanya. Ia sudah bosan mendengar omong kosong yang keluar dari mulut Mikael.

“Lu mau ngelepas Aiko ke Mars padahal tau kalau Mars suka sama Rava. Terus lu bilang kalau Aiko bakal lebih bahagia sama Mars? Waras lu?” Januar mendengus kasar.

“Mars bisa aja jadi suka beneran sama Aiko, gitu juga sebaliknya. Mars punya masa depan yang jauh lebih cerah dibanding gua. Lagian gua gak punya apa-apa buat bikin Aiko bahagia,” respons Mikael, merendahkan dirinya sendiri.

Dentuman keras memecah keheningan malam. Tubuh Mikael terjerembap di atas lantai akibat pukulan Januar tepat di pipi kirinya. Rokok yang berada di tangannya terlempar jauh. Mikael meringgis, mengusap sudut bibir yang berdenyut. Amis darah segar yang mengalir keluar dari robekan kulit dapat Mikael kecap.

“Lu kalau mau buat Aiko bahagia ya usaha lah anjing. Jangan ngingau gak jelas kayak bocah manja. Lu punya gua, Lina, Dio, Sean, Minnie, sama nyokap lu. Jangan ngerasa sendiri, kita pusing bareng-bareng,” ujar Januar kesal.

Mikael membuang saliva dalam mulutnya, mengeluarkan darah yang bersemaym di sana.

“Bener juga.” Kabut dalam otak Mikael rupanya perlu disingkap oleh pukulan keras.

“Tapi lu kasih gua duit 10 M ya, biar gua bisa bawa kabur nyokap gua sama Aiko ke luar negeri,” lanjut Mikael.

Tawa Januar pecah, ia kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Mikael berdiri. Mikael dengan senang hati menerima uluran tangan Januar.

“Makanya kita ngepet dulu, nyet. Lu jadi babinya,” gurau Januar, memecah suasana.

“Lah muka lu yang mirip babi itu apa gunanya kalau gak digunakan sebaik mungkin?”

“Anjing.”

Tawa kecil keduanya kemudian saling bersahutan.

“Gua mau balik dulu. Mau ketemu ayang.” Mikael berkata tiba-tiba.

“Ketemu apaan? Lu setiap malem cuman ngelihatin jendela kamarnya doang,” sahut Januar.

“Gua ngelihatin jendela kamarnya aja udah seneng banget,” ujar Mikael tak tahu malu.

“Bucin banget tai.” Januar berjalan untuk mengambil kopi yang sempat ia hiraukan.

“Bucin lah, ya kali gak bucin. Orang gila lu kalau gak bucin sama Aiko yang sesempurna itu.” Tutur kata yang terlampau menggelikan membuat Januar hampir tersedak.

“Anjing! Sono lu pergi!” usir Januar.

“Ini mau tot!” seru Mikael seraya membuka pintu.

Gelapnya malam menuntun Mikael pada noktah terang yang melenyapkan gelita dalam benak. Ia berjalan di tengah senyap yang menyelimuti, melangkah pada jalanan sepi yang menggiringnya pada satu tempat.

Mikael mengeluarkan perangkat telinga yang ia simpan di saku jaket, memakai benda kecil bewarna putih tersebut pada kedua telinganya. Alunan musik menemani nyeyat yang mengerung. Sepasang netra dengan kantung gelap yang menghiasi memandang lurus jalanan.

“You’re the sun to the moon. You’re my ocean, painted blue. You, i’m nothing without you.” Mikael bersenandung sepanjang jalan.

Tungkai kakinya berhenti melangkah tatkala ia tiba di bangunan yang dituju. Sebuah destinasi di kala gundahnya hati. Mikael lantas tersenyum, menanti hari esok untuk dapat melihat sang pemilik hati.

“Good night, Ai,” bisik Mikael pelan.

Kepada penguasa bumantara, Mikael merapalkan doanya; berharap jika malam ini, Aiko dapat berkelana dalam indahnya mimpi dan terbangun dengan hari yang menyenangkan di esok nanti.