Sebuah Dekapan Hangat

“Sekali lagi, sorry banget ya, Aiko. Ketemuannya jadi di sini.” Aiko menarik bibirnya guna membentuk senyuman, agak dipaksakan, sebab tidak senang dengan skema takdir yang selalu menggiringnya pada satu nama.

“Gak papa, kak Lina. Santai aja, lagian di sini agak rame jadi gak ngantuk waktu ngobrol,” respons Aiko ramah.

Tepat pada pukul dua belas lebih empat menit menjadi penanda bahwa Aiko telah berdiam diri dengan iringan musik keras selama satu jam. Catalina, sosok rupawan yang tak dapat menyembunyikan perasaan bersalahnya mengubah rencana awal mereka hingga Aiko berakhir menginjakan kaki di kelab malam. Aiko tidak keberatan, tidak jika sekumpulan manusia kurang kerjaan, terumata sosok yang bernama Mikael bernapas di ruangan yang sama dengannya.

“Kak, lu dipanggil bang Ael.” Suara lain menginterupsi keterdiaman Aiko.

Perawakan yang menjulang tinggi dengan surai yang sedikit gondrong menghampiri Catalina dan Aiko.

“Iya, bentar,” jawab Catalina.

“Aiko, lu mau langsung pulang apa gimana?” Tanggapan Aiko sudah jelas. Ia tak ingin berlama-lama di tempatnya berada.

Namun, belum ia sempat bersuara, sosok yang berdiri mendahului, “Disuruh ikut dong, kak. Masa bang Aiko gak lu kasih apa-apa. Kasih minum atau apa gitu.”

Sialan telah menjadi umpatan favorit Aiko sekarang.

“Gak usah. Gue langsung pulang aja, gak papa,” tolak Aiko sedikit gelisah.

Semakin lama ia berbaur dengan kerumunan manusia yang tengah mencari kesenangan, semakin besar kemungkinan yang Aiko dapat untuk melihat Mikael.

“Gua beliin minum dulu, ya? Gak enak banget soalnya gua.” Tatapan penuh rasa bersalah yang terpancar jelas pada sepasang manik mata membuat Aiko sulit menolak.

Lidah Aiko kelu untuk sekadar berkata “tidak.”

“Ayo, bang. Ikut aja, sekalian refreshing.

Refreshing pantat lo, gerutu Aiko dalam hati.

“Bener kata Dio. Yuk, Aiko ikut sama kita dulu sebelum balik,” ajak Catalina.

Sekarang, Aiko ingat akan sosok yang dipanggil Dio oleh Catalina. Adik tingkat yang akhir-akhir ini selalu berpapasan dengannya.

“Yuk dah ke bawah.” Dio sosok yang pertama kali berjalan.

Mulut Aiko terbuka, ingin mengucapkan kebohongan belaka agar terlepas dari skenario busuk yang akan menggiringnya pada Mikael. Namun, Catalina lebih dulu menarik tangannya. Aiko lantas tertawa getir.

Jika sepenuh hatinya memang menginginkan untuk segera pulang, ia tidak usah terlalu banyak berpikir karena nyatanya, sebagian diri Aiko menginginkan tetap tinggal lebih lama.

“BANG AEL!” Teriakan Dio menarik Aiko kembali pada dunia sekitarnya.

Di antara lautan manusia yang berlalu lalang, netra Aiko hanya tertuju pada sosok yang sibuk menghisap cerutu di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Pemilik netra kelam itu menatap Aiko sekilas, seakan enggan untuk menelisik terlalu dalam.

“Udah kumpul semua?” Mikael bersuara, sedikit serak.

“Mau ngapain nih?” Salah satu dari kumpulan manusia bertanya.

Aiko tidak terlalu memerhatikan sekeliling, ia hanya mengikuti Catalina. Kini, Aiko sudah duduk bersama anggota Satjamara yang lain.

Truth or Drink yuk, udah lama kagak main begituan,” usul sosok yang tidak Aiko kenal.

“Eh, jangan dong. Gua bawa tamu soalnya.” Catalina berucap.

Seluruh atensi kini berpusat pada Catalina dan juga Aiko yang duduk tepat di samping kirinya.

“Gak papa, suruh ikutan aja.” Nada dingin yang tertangkap oleh indra pendengaran Aiko berhasil memancing percikan emosi yang ingin meledak.

Tanpa menoleh, Aiko sudah mengetahui jika Catalina sekarang tengah menatapnya.

“Gak papa, kak. Gue ikut aja,” ucap Aiko pada Catalina. “Sekalian refreshing,” lanjutnya penuh penekanan dengan manik mata yang menatap Mikael datar.

“Yok mulai yok!”

Botol di atas meja diputar, sebagai penanda jika permainan telah dimulai. Di tengah gelegar irama yang menghentak, gerombolan pria dan wanita duduk melingkar. Aiko, tak begitu menghiraukan semuanya. Terlarut dalam keterdiaman seraya menatap botol kosong yang berputar.

“Anjrit kok gua paling duluan!” Aiko menoleh pada Dio yang mengeluarkan aksi protesnya.

“Gua duluan yang nanya,” ujar Mikael. “Lu demen ya sama Sean?”

Ricuh seketika mengelilingi orang-orang yang berkumpul. Aiko membuka tutup botol air mineral miliknya, menenggak likuid bening secara kasar. Netra nyalang di bawah minimnya pendar menatap Mikael yang duduk di seberangnya. Aiko tak peduli terhadap apapun, bahkan ketika suasana kembali ribut karena Dio yang memilih untuk minum dibandingkan menjawab pertanyaan Mikael, ia enggan untuk memberikan sedikit atensi.

Sibuk mengamati setiap detail pergerakan yang Mikael lakukan.

Permainan berlanjut, saling melemparkan pertanyaan dan berakhir dengan bising, sampai akhirnya botol berhenti berputar tepat menunjuk Mikael.

“GUA YANG NANYA!” Dio berteriak penuh gejolak.

“Sebutin tipe cowok yang lu suka pake banget sampai lu pengen pacarin dia walaupun lu bukan orang yang into relationship.

“Menurut gua kagak ada sih,” celetuk seseorang.

“Ada.” Mikael membantah, menciptakan senyap dengan cepat.

Netra yang meredup memandang lurus hanya pada satu sosok yang tak pernah mengalihkan atensinya. Aiko membalas tatapan Mikael tanpa menunjukan emosi, sekadar pandangan datar.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Mikael mengambil gelasnya. Meneguk minuman beralkohol berwarna kekuningan dengan sekali tegukan, mengundang sorakan kecewa.

Botol kembali diputar dan kali ini menunjuk pada Aiko.

“Gue yang nanya,” ucap Catalina.

“Tipe cowok atau cewek yang lu suka kayak gimana? Siapa tau di sini ada yang sesuai sama tipe lu.”

Aiko mengedarkan pandangan, menatap khalayak satu persatu.

“Someone who has a big nose,” jawab Aiko santai seraya menganggkat bahu.

“They said someone with a big nose has a big —you know what. So, yeah.” Tanpa malu Aiko memaparkan alasannya, membuat gaduh kembali hadir.

“Udah kan ya? Gue mau undur diri, mau ke belakang dulu,” pamit Aiko yang kemudian bergegas pergi.


Tubuh yang berdiri lama larut dengan suasana hening yang membawanya menjelajah lamunan. Bibir ranum dengan rona merah muda terbuka, mengeluarkan asap putih beraroma vanila. Aiko kembali menghisap vape miliknya, lantas mengadah untuk melihat gemerlap langit malam. Irisnya bergerak perlahan menuju ekor mata tatkala mendengar suara pintu yang terbuka.

“Orang lain bakal curiga kalau lo ikutan pergi.” Aiko berujar.

“Gua gak peduli.” Respons dari sosok yang berada di belakang membuat Aiko mendengus geli.

Hidung milik Aiko mulai memerah seiring dengan udara malam yang semakin dingin. Aiko membalikkan tubuh, menghisap sekali lagi rokok elektriknya, sebelum menyimpannya kembali. Ia disambut oleh Mikael yang telah berada di hadapannya. Tak ada yang berniat untuk membuka percakapan, hanya saling bercengkerama melalui tatapan mata.

“Lu nanti masuk angin kalau cuman pake kaos doang.” Mikael memecah keheningan. Ia membuka jaket kulit miliknya, lalu membalut tubuh Aiko dengan jaket tersebut.

Sebuah afeksi yang didapat dikonversi menjadi rasa hangat, meluluhlantakkan kekesalan yang terpendam di lubuk hati.

Aiko menghela napasnya kasar, berperang dengan dirinya sendiri yang tak ingin selalu jatuh terhadap semua perlakuan Mikael kepadanya. Namun, tatkala netranya menelisik ke dalam gelita pada manik mata Mikael, ia seolah ditarik menuju masa lalu dan menyadari satu hal yang pasti.

“It’s getting colder,” ujar Aiko pelan.

Dua langkah, hingga ujung sepatu keduanya saling bertemu dan satu kali Mikael menangkap tubuh Aiko ke dalam dekapan.

Semerbak aroma vanila menari pada indra penciuman Mikael.

“Gua anter pulang, ya?” tanya Mikael di sela kegiatan menyalurkan kehangatan.

Aiko merenggangkan pelukannya, menatap Mikael seraya mengangguk. Secarik senyuman terpatri, Mikael lantas merapikan surai legam Aiko. Dua kecupan singkat mendarat pada sepasang kelopak mata elok, sebelum Mikael mengantar Aiko pulang.