Masih di bawah Lembayung Senja

Jingga yang membentang luas dengan himpunan mega bewarna putih menyambut netra dari sosok yang berjalan melewati pintu. Kilau mentari senja membuat kelopak mata milik Aiko sedikit menyipit. Wajahnya kaku, sedikit cemberut akibat perasaan dongkol yang memorak-porandakan hati.

Perasaan kesal yang seharusnya tidak begitu bergejolak bak air mendidih hadir tanpa bisa ia tahan. Aiko, lebih sebal pada dirinya sendiri yang menaruh ekspektasi tinggi. Tekadnya hampir bulat, nyaris ingin membuang semua ambisi yang berkobar. Berharap jika ia dapat melupakan masa lalunya untuk melangkah pada bentala yang belum pernah ia jajah.

“Katanya kalau gua ke sini bakal jadi third wheel, mana nih yang katanya lagi berduaan sama Augy?” Kata sial secara spontan terucap atas presensi dari sosok lelaki yang menjadi satu-satunya alasan Aiko dipenuhi oleh kesengsaraan. Agak berlebihan, memang.

Rasa gondok yang bersemayam dalam dada Aiko melambung tinggi tatkala merasakan kehadiran Mikael di sampingnya. Aiko enggan menatap Mikael, bahkan hanya untuk memberikan lirikan melalui ekor mata pun tak sudi.

Mikael, di sisi lain ingin menunjukan eksistensinya kepada Aiko. Ia lantas menarik bahu Aiko agar dapat melihat rupa dari sosok yang terlihat ingin menerkam orang lain. Salah satu alis Mikael terangkat, irisnya bergerak menilik penampilan Aiko yang jauh dari biasanya. Kemeja kuning polos yang dipadukan dengan vest berwarna lilac melekat rapi pada tubuh Aiko. Kedua kaki jenjangnya dibalut celana kain hijau pastel yang dinetralkan oleh sepatu kets putihnya. Tas kanvas putih tulang dan kacamata bulat dijadikan sebagai tambahan untuk menjadi pemanis.

“Tumben banget, biasanya lu kalau gak pake item ya putih,” ujar Mikael setelah puas menilai pakaian Aiko.

“Suka-suka gue lah mau pake warna apa aja,” ketus Aiko, suasana hatinya semakin memburuk.

“Ya iya. Suka-suka lu mau pake warna apa aja, bebas. Mau pake baju bentuk gimanapun terserah. You look good in anything you wear, tho. Just wear whatever you want. Mau pake karung beras sekalipun kalau yang pakenya lu mah cakep.” Mikael mengedikan bahu, gelagatnya seolah tak acuh atas pujian yang ia lontarkan pada Aiko.

Sosok yang menerima pujian lantas mengerjapkan mata, terkejut oleh apa yang ia dengar. Aiko sudah menyiapkan berbagai untaian kata untuk melawan kemungkinan kalimat yang penuh cemoohan. Namun, Mikael tak melayangkan ledekan dalam bentuk apapun kepada Aiko, melainkan himpunan kalimat yang meredam rasa kesalnya.

Agaknya, Aiko lupa akan fakta jika Mikael seekor buaya darat yang dapat mengeluarkan rayuan palsu semanis madu.

“Mending lu lihat sunset daripada bengong gak jelas,” usul Mikael, kembali membuka topik pembicaraan.

Tangan kanan Mikael terulur guna mengambil kacamata Aiko. Tanpa meminta izin, ia mengenakan kacamata tersebut pada dirinya. Kali ini, giliran Aiko yang memerhatikan Mikael. Surai rapi Mikael entah hilang kemana, Aiko hanya dapat melihat helaian rambut acak-acakan. Tubuh Mikael dibalut kemeja biru muda yang dikombinasikan dengan celana kain pendek berwarna hitam. Tas selempangnya disimpan di belakang. Pandangan Aiko turun ke bawah. Ia merasa sudah sangat bosan melihat sepatu nike air jordan hitam putih yang selalu Mikael pakai.

Kegiatan pindai-memindai terhenti ketika tangan Mikael melepaskan airpods yang berdiam diri pada telinga Aiko.

“Lu gak dimana-mana pake airpods mulu. Sekali-kali dengerin suara tahu bulat yang lagi lewat kek, atau suara susu murni nasional biar lu tambah enek sama susu.” Mikael dan mulut ajaibnya merupakan perpaduan yang ingin Aiko pisahkan.

“Protes mulu lo pengangguran,” gerutu Aiko.

Tak terima dilabeli pengangguran oleh sosok di hadapannya, Mikael melotot. “Enak aja lu,” protesnya.

“Ya emang pengangguran kan lo? Ngapain coba ke sini kalau ada kerjaan?” Aiko tak mau kalah.

“Gua mending jadi pengangguran sih daripada sok sibuk sampai ninggalin lu sendirian,” sindir Mikael pada sosok yang tak ada di sana.

“Maksud lo bang Augy? Bang Augy sibuk juga bukan sibuk gak jelas kayak lo. Dia megang banyak organisasi!” seru Aiko.

“Lu pikir Augy ninggalin lu di sini gara-gara ngurusin organisasi? Lu yakin?” tanya Mikael datar, tangannya ia simpan dalam saku celana.

Diamnya Aiko sebagai penanda bahwa sosok itu telah kalah telak. Mikael menghela napas, ia tak ingin menghabiskan waktunya dengan Aiko untuk beradu mulut. Tangannya melingkar pada bahu Aiko, merangkul tubuh sosok yang masih termenung.

“Mending lihat sunset,” ajak Mikael seraya melangkah pergi.

Mau tak mau, Aiko ikut berjalan di samping Mikael.

Tepat ketika langkah keduanya berhenti, Mikael bertanya, “Is it still blurry to you?”

Aiko tak menjawab.

“There are only two reasons why everything’s so blurry. Either it’s because you don’t focus on anything but the sadness inside your head that makes you forget about how delightful the things around you.” Mikael mengantung ucapannya, manik matanya memandang kumpulan burung yang terbang di atas jingga.

“Or you just held your tears, so you couldn’t see anything vividly,” lanjutnya seraya menoleh pada Aiko yang menatap lurus langit sore.

Sang surya hampir hilang di balik pandangan, terbenam untuk terbit pada bagian Bumi yang lain. Namun, Mikael, menerbitkan senyuman kecil pada belahan Bumi yang ditinggal mentari pergi.

“You should focus on yourself, Ai. Find your own happiness.” Bisikan halus terbang bersama dengan terpaan angin. Aiko mengalihkan atensinya yang kemudian disambut oleh sepasang netra milik Mikael.

“Kepala lo abis ketimpuk duren apa gimana?” tanya Aiko.

“Nggak, pengen aja gua jadi Mario Teguh dadakan,” jawab Mikael santai.

Di bawah layung angkasa kala baskara tengah terbenam, keduanya saling memandang. Sekonyong-konyong Mikael mengusap kelopak mata Aiko, memberikan sentuhan lembut di sana.

“The world seems more beautiful when I see it in your eyes, Ai.”