jennoonaa

dedicated to myself and nominist

Alih-alih menemukan pangeran berkuda putih, Jose justru menemukan Azriel yang tampak kusut. Keringatnya bercucuran kemana-mana, bahkan membasahi kaus biru yang ia kenakan. Senyum yang menghiasi wajahnya hilang, digantikan oleh sebuah ekspresi masam dan bercak tanah.

“Kenapa?” Jose bertanya, tak dapat menahan rasa penasarannya.

“Ada kuda yang talinya lepas,” jawab Azriel lesu.

“Emang di sini ada kuda?” Pertanyaan yang terdengar konyol, padahal Jose sendiri mendengar suara kuda. Jawabannya sudah pasti ada.

Sosok yang berjalan lemas ke arah Jose mengangguk tanpa semangat.

“Di sini banyak aneka hewan. Ada kuda, ayam yang berisik tiap pagi juga itu punya vila, terus ada ikan hias, ikan lele juga ada. Terus populasi paling banyak di sini selain ikan itu ada kucing, mana kucingnya preman semua suka maling ikan lele di kolam belakang.”

“Buset, banyak bener. Ini vila apa penangkaran hewan?”

Bahu Azriel terangkat. Mengejar kuda yang kabur membuat energinya terkuras banyak.

“Makanya gua bingung. Gua ini sebenernya pegawai vila atau keeper?“ tanya Azriel, sepertinya ia tengah dilanda krisis identitas.

“Tapi masih mending sih, daripada diem aja makan gaji buta. Ini vila jarang banget ada pengunjung.“

“Jangan bilang kalau sekarang tamu kalian cuman gua?”

Belum sempat menjawab, suara yang agak gaduh terdengar. Jose mengedarkan pandangan, netranya membulat tatkala melihat sang pemilik vila yang menggiring seekor kuda. Ada bercak air di kaus yang ia kenakan dan rambutnya sedikit basah.

“Lu tungguin Elizabeth berjemur. Gua mau mandiin yang lain,” titah sosok yang namanya masih belum diketahui.

“Siap bos!” Entah darimana datangnya semangat Azriel.

“Buset, namanya keren amat.” Di sisi lain, Jose bergumam. Ia memandang sinis kuda putih yang tampak bersih.

Netra yang tadi memandang sinis seekor kuda tak sengaja menangkap netra lain yang tertuju padanya.

“Lu ikut gua.”

“Hah?”

“Bantuin gua mandiin kuda.”

Sebentar. Otak Jose yang bergerak seperti kura-kura masih belum dapat mencerna untaian kata yang masuk ke dalam telinga.

Kenapa jadi Jose yang disuruh memandikan kuda?

Seumur hidupnya, Jose belum pernah memandikan hewan bahkan kucing sekalipun. Jose tak menyukai binatang. Alasannya hanya Jose yang tahu.

“Tapi bos, ini kan tamu kita?” Azriel yang berdiri di sebelah Jose protes.

Jose ingin menolak. Namun, ia mendapatkan sebuah penawaran yang mungkin hanya ia dapatkan seumur hidup.

Karena terlalu banyak berpikir, Jose kehilangan sosok yang memerintah. Ia panik hingga tungkai kakinya bergerak secara impulsif menuju kandang kuda.

Bukankah ini waktu yang tepat untuk Jose berkenalan lebih ekhem, intim dengan sang pemilik vila.

Senyum Jose terukir, ia berterima kasih kepada dirinya sendiri yang bangun sangat pagi. Jika tidak, mungkin kini ia tengah menyesal setengah mati.

“THE FUCK?!” Langkah kaki Jose berhenti tiba-tiba.

Matanya memelotot ketika melihat pemandangan di sekitarnya. Kotor. Penuh tanah merah. Begitupun dengan kuda yang dipegang oleh sosok pria tanpa nama.

Fokus Jose sempat hilang karena biseps yang terpampang akibat lengan baju yang dilipat ke atas.

“Kenapa diem aja?” Suara yang memecah imajinasi indah Jose membuatnya mengejapkan mata.

“Lu nyuruh gua mandiin dia?” Jose bertanya skeptis.

“Kalau gak mau tinggal pergi.”

Tentu saja Jose ingin pergi. Namun, lagi-lagi, Jose berpikir jika ia akan menyesal tidak ikut memandikan kuda.

Sembari menguatkan tekadnya, Jose berjalan mendekati seekor kuda berwarna cokelat yang mengibaskan ekor

“Karena gua baik, gua bakal bantu—“

Tubuh Jose terhuyung ketika ia dihantam seember air.


Gemeletuk gigi yang saling bertabrakan terdengar. Tubuh kurus yang basah kuyup menggigil meskipun ia dibalut selimut. Secangkir susu hangat dengan campuran jahe disuguhkan.

Azriel menunduk, memohon untuk dimaafkan walau ia tidak salah.

Beruntung terik matahari muncul untuk menghangatkan tubuh Jose. Meredakan sedikit rasa dingin di sekujur tubuh.

“Maaf, ya. Bang Gyan emang suka jahil.”

Tanya perlu repot bertanya, Jose sudah mendapatkan nama yang sangat ingin ia ketahui.

“Namanya Gian?”

“Gabriel Abyyan, Aby pake Y. Y-nya ada dua. Dipanggil Gyan pake Y dari Gabriel abYyan,” jelas Azriel rinci.

“Kenapa gak dipanggil Aby?”

“Katanya cuman calon pacar Bang Gyan aja yang boleh manggil dia Aby.”

Bingo.

Sudut bibir Jose berkedut, berusaha menahan senyuman.

“Minum dulu, biar tambah anget,” ujar Azriel dengan suara yang pelan.

Jemari Jose yang menjadi keriput dan bergetar meraih cangkir di atas meja. Ia tengah berada di lobi, berjemur seperti kuda-kuda yang sudah dimandikan.

“Zriel, bikinin jus tomat!”

“UHUK UHUK!” Jose tersedak susu hangat yang ia minum.

Sosok yang membuatnya menderita datang. Tak ada yang spesial dari penampilannya. Ia hanya menggunakan kaus hitam yang dipadukan ripped jeans. Kecuali mungkin rambutnya yang mengkilap basah.

Azriel berancang untuk membantu Jose, namun Jose menolak.

“Lu bikinin bos lu itu jus tomat aja,” titah Jose, netranya memandang sinis pria tanpa nama yang kini berdiri tak jauh di depannya.

Untuk saat ini, Jose tak akan luluh pada sosok yang menyebalkan itu. Lihat saja balasan yang akan Jose berikan nanti.

“Selimut gua ntar balikin.”

Oh?

Oh.

OHHHHHHHHHHHHHH.

“Pantesan bau busuk,” gerutu Jose seraya mengontrol detak jantungnya.

“Lu marahnya kayak Elizabeth,” ujar Aby.

Seekor kuda????? Seorang Jose disamakan dengan seekor kuda?

Tak lama, Azriel datang membawa jus tomat.

“Elizabeth tuh kalau marah gini,” timpal Azriel.

Kemudian, ia mengikuti pergerakan hidung Elizabeth yang kembang-kempis ketika marah. Membuat Jose hampir melemparkan cangkirnya.

Pemandangan asri menyapa tatkala Jose keluar dari tempurung hangat yang akan menjadi kamar tidurnya selama beberapa hari ke depan. Kemarin malam, ia belum sempat menelisik sekitar. Dengan langkah kaki yang kecil, Jose berjalan sembari melihat suasana vila.

Ada hamparan hijau luas di atas bukit yang mungkin diisi oleh tanaman teh atau entah apa itu. Jose tidak ingin tahu lebih lanjut. Lebih tepatnya, ia terlalu malas berpikir di pagi hari.

“Selamat pagi! Ada yang bisa saya bantu?”

Sapaan yang terdengar sangat riang membuat Jose hampir meloncat kaget. Matanya membulat ketika meihat sosok pemuda jangkung yang tersenyum padanya.

Jose berdeham, sebelum berjalan mendekat meja resepsionis.

“Kalau mau sarapan di mana?” tanya Jose, kepalanya menoleh kanan-kiri.

“Di sebelah sana,” tunjuk salah satu pegawai vila pada deretan meja dan kursi yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Sepasang netra yang sedikit kecokelatan akibat sinar matahari melirik pemuda dengan ukiran nama ‘Azriel’ di kemeja putihnya. Pandangan matanya penuh ragu-ragu karena Jose tidak menemukan keberadaan manusia lain di tempat yang Azriel tunjuk.

“Makanannya pesen apa gimana?” tanya Jose lagi.

“Betul. Nanti diantar oleh pramusaji kami!“

Semangat Azriel yang mengebu membuat Jose yakin jika ia adalah satu-satunya tamu di sini. Ekspresi Azriel yang sumringah dengan senyuman lebar menjelaskan bahwa ia sudah lama tidak mendapatkan tamu sehingga ia bekerja dengan penuh semangat.

“Kalau gitu mau wagyu a5 well-done, ya,” ujar Jose yang kemudian hendak bergegas untuk duduk.

Tak mendapatkan respon, Jose menoleh. Tampak Azriel yang mengejapkan mata dengan senyum yang menipis.

“Mohon maaf, kalau wagyu gak ada.“ Bibir yang menyunggingkan senyum memucat.

“Adanya apa?”

“Nasi goreng!”

Jose mengangguk pasrah. “Yaudah, nasi goreng.”

“Baik! Nasi goreng satu, minumnya?“

“Teh aja.”

“Baik!”

Dalam hati, Jose bertanya-tanya apakah pegawai villa yang ia tak tahu namanya dilatih bak militer? Melihat dari gelagat Azriel yang meresponnya selalu menegakkan tubuh seraya menghentakkan kaki kanannya.

“Mau camomile. Tehnya jangan terlalu pekat,” pesan Jose pada Azriel.

“Camomile?” ulang Azriel kebingungan.

“Tapi di sini adanya teh cap botol aja.”

Mulut Jose terbuka, hampir merapalkan kata sebelum sosok lain menimpal.

“Kasih aja. Kotak tehnya yang warna kuning di kamar gua.”

Buru-buru Jose menoleh pada sumber suara. Kinerja otak Jose melambat saat manik matanya bersirobok dengan sosok yang ia pikirkan sepanjang malam.

Paginya berubah menjadi indah.

Jose hampir saja kehilangan sosok yang memakai kaus putih polos yang dipadukan jeans berwarna biru. Ia sontak menghampiri sosok yang namanya masih menjadi rahasia.

“Tunggu!” seru Jose lantang ketika melihat sang pemilik vila hendak berjalan.

Degup jantung Jose terdengar menggema dalam rongga dada. Jose ingin berteriak kegirangan, namun ia dapat dengan mudah menyembunyikan segala macam ekspresi yang ingin ditunjukkan. Inilah yang menjadi alasan mengapa ia sukses di bidang akting.

“Gua rasa lu perlu minta maaf.” Jose berdiri tegak di hadapan mr. perfectly fine yang akan segera diketahui namanya oleh Jose.

“Buat?”

Damn even his voice sounds hella attractive.

“Yang kemaren malem,” ujar Jose, menunjukkan ekspresi angkuh kendati hati kecilnya meronta sembari mengibarkan bendera putih.

“Sikap lu dan juga wajah lu itu gak mencerminkan kalau lu pemilik vila yang baik,” lanjut Jose.

Terselip jeda keheningan di antara mereka. Sosok yang berada di hadapan Jose melangkah mendekat hingga ujung sepatu mereka bersentuhan. Di dalam rongga dada, jantung Jose berteriak kencang, memberitahu pada pemiliknya bahwa ia tak kuat menghadapi situasi yang tengah terjadi.

“Emang wajah gua kayak gimana?” tanya sosok itu, memancing Jose.

“Let me see.”

Dengan keberanian yang entah datang dari mana, Jose mencondongkan tubuh ke depan. Mengamati wajah sosok di hadapannya dari jarak yang sangat dekat. Dimulai dari sepasang netra yang dihiasi bintik hitam kecil di bawahnya, hidung bak perosotan yang menjulang tinggi, dan berakhir pada bibir tipis yang menyempurnakan pahatan dari rupa sosok tersebut.

“Kayak orang paling menyebalkan sedunia,” ujar Jose seraya menarik diri.

Tak menunggu respon dari lawan bicaranya, ia bergegas pergi. Beruntung kamarnya berada tak jauh dari lobby. Setelah pintu tertutup rapat, Jose melemparkan dirinya ke atas kasur. Berguling-guling di sana seraya berteriak histeris.

“GANTENG BANGET AAAAAAAAAAAA.”

“FIX DIA JODOH GUA. KALI INI GUA YAKIN!”

Hingga ia terjatuh dan menghantam lantai kayu.

Lantunan musik yang membuat telinga berdengung memenuhi setiap penjuru ruangan, melesak di antara padatnya khalayak. Kombinasi dari dua suasana yang Aiko benci tengah menggurungnya sekarang; ramai dan berisik. Aiko berusaha untuk menepis masygul yang melanda, namun adegan yang tertangkap oleh lensa matanya menimbulkan percikan api dalam dada.

“Samperin, ege,” celetuk Hera yang berada di samping Aiko.

Kedua orang yang tengah menjadi pusat perhatian Aiko sibuk dengan dunia yang mereka ciptakan, bahkan sebuah tatapan nyalang yang dilemparkan oleh Aiko tak mereka gubris.

“Lihatin aja dulu, kalau ampe lebih intim, baru gua obrak-abrik nih tempat.” Oza lantas meneguk tequila miliknya dengan bringas.

Kesal, tentu saja. Oza merasa sosok yang tertawa renyah sedang mempermainkan Aiko. Seumpama hanya dirinya yang menyaksikan Mikael yang bercengkerama mesra dengan orang lain, sebuah pukulan keras mungkin sudah mendarat tepat di wajah Mikael saat itu juga. Bila perlu, Oza akan membuat hidung bangir Mikael patah.

“Kiko, lu sama bang Ael tuh pernah ada sesuatu gak sih?” Hera tiba-tiba bertanya, menarik atensi Aiko dan Oza.

“Maksud lo?” tanya Aiko, mempertahankan ekspresi datarnya.

“Yaaa maksud gua tuh kayak apa, ya? Lu sama bang Ael kelihatan udah kenal lama. Gua gak tau emang gua yang halu apa gimana, tapi lu tuh seems comfortable whenever bang Ael’s around,” jelas Hera sembari mencari potongan jeli dalam gelas yang berisi mojito.

“Gua ngerasa beda gitu ketika lihat interaksi lu sama bang Augy. Walaupun gua ngerasa lu nyaman juga sama bang Augy, tapi beda aja gitu. Gak tau dah, kadang gua merasa sangat sotoy,” lanjut Hera.

Aiko dan Oza saling melemparkan pandangan. Keheningan yang menyelimuti membuat Hera mendongak, kemudian menoleh pada Aiko dan Oza secara bergantian.

“Kenapa?” tanya Hera kebingungan dengan tingkah dua orang temannya.

Merasa tak perlu menyembunyikannya lagi dari Hera, sosok yang dibalut oleh kaus berwarna putih polos dan celana dark jeans bersuara, “Sebenernya Ael sama gue pernah pacaran.”

“HAH?!”

Bola mata yang membelalak dengan mulut yang menganga lebar hampir membuat Oza mati-matian menahan tawanya.

“Lu jelek banget anying,” ejek Oza yang dihadiahi tamparan keras di lengan atas.

OOT lu!” omel Hera kesal.

Perdebatan yang tengah berlangsung tak mengubris Aiko yang kini memerhatikan kembali interaksi Mikael dengan Lio. Dengusan kasar terdengar tatkala ia menyaksikan Mikael yang mengusap surai lawan bicaranya.

“Gue cerita nanti, mau ke toilet dulu,” ujar Aiko datar, yang kemudian melanglang pergi tanpa menunggu reaksi dari Oza dan Hera.

Kedua temannya yang saling menjabak menoleh pada Aiko.

“Kiko!” panggil Oza kencang.

“Biarin aja.” Hera menarik Oza untuk kembali duduk.

“Tapi—“

“Percaya sama gua, Ja,” potong Hera meyakinkan.

Ditepisnya tangan Hera yang berada di pundaknya. “Ogah, percaya sama lu mah musyrik.”

“Yeee, si tai.”


Berbincang dengan Hera mengenai banyak hal membuat Oza lupa jika Aiko belum juga menampakkan batang hidungnya setelah pamit menuju kamar kecil semenjak tiga puluh menit yang lalu. Kepergian Hera yang beranjak keluar kelab untuk mengangkat panggilan telepon meninggalkan Oza dalam kesendirian.

Tak kuasa menahan dirinya untuk menunggu Aiko, akhirnya Oza memutuskan untuk mencari sosok tersebut. Tungkai kakinya melangkah dengan sepasang manik mata yang menelisik sekitar, mencari keberadaan Aiko.

“Bang Ael di mana?” Oza memasang telinganya baik-baik.

“Tadi gua lihat keluar.”

Sekilas informasi yang ia dengar membuatnya bergegas untuk pergi menjauh dari kelimun. Terpaan angin malam menyambutnya tatkala pintu kelab terbuka. Oza kembali mengedarkan pandangan, namun hasilnya tetap nihil. Ia tak dapat menemukan Aiko di sana.

“Nyari Aiko?” Sebuah suara familiar merebak, memecah heningnya malam.

Dengan sedikit kegugupan, Oza menoleh pada sosok yang duduk di atas motor. Kumpulan asap putih keluar bersamaan dengan bibir yang sedikit terbuka. Wajahnya mendongak, menatap kelamnya sang bumantara.

Oza mengangguk kecil. “Iya,” jawabnya singkat.

“Lagi sama Ael,” jelas Januar.

“Kemana?”

“Ke tempatnya Ael.”

Satu kalimat yang berhasil memancing amarah Oza. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan sumpah serapah. Oza mencela Mikael yang tanpa tahu diri membawa Aiko setelah apa yang ia perbuat. Dilanjutkan dengan memaki Aiko yang bersedia untuk dipermainkan.

“Lu suka, ya? Sama Aiko?” Pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Januar meluluhlantakkan kecamuk pikiran Oza.

“Hah?”

“Lu kelihatan kayak sayang banget sama Aiko.” Januar menginjak puntung dari cerutu yang telah ia hisap.

Manik matanya lantas tertuju pada Oza. “Perlakuan lu ke Aiko sama ke Rava terlalu jomplang,” lanjut Januar.

“Ngaco,” respons Oza, tak habis pikir dengan pemikiran Januar.

“Gua gak membenarkan kelakuan Rava yang terobsesi sama Ael atau kelakuan nyelenehnya yang lain, cuman pernah gak lu mikir perasaan Rava yang jarang lu sama Aiko libatin di pertemanan kalian?” Januar bertanya sembari melipat kedua tangannya di dada.

“Bukannya gua gak mau ngelibatin Rava, masalahnya, Rava yang selalu ngasih batas pertemanan. Gua lebih deket sama Aiko karena kita saling terbuka,” jelas Oza, menyangkal tuduhannya sebagai “Sosok Teman yang Tidak Baik” yang diberikan oleh Januar secara tersirat.

“Lu pikir gua gak ada usaha buat bikin Rava terbuka sama gua?” Volume suara Oza mengeras, ia telah membuang semua rasa takutnya.

“Santai,” balas Januar.

“Gua gak lagi ngajak berantem,” lanjutnya yang semakin memancing amarah Oza.

“Lu pernah gak mikir kenapa Rava tertutup sama lu?”

“Karena Rava gak sepenuhnya percaya sama gua,” jawab Oza penuh dengan keyakinan.

“Lu gak pernah mikir kalau ternyata selama ini Rava gak pernah punya temen deket? What if he’s never befriend with anyone before, so he doesn’t know how friendship works?

Keterdiaman Oza membuat Januar mendengus kasar.

“Lu gak usah khawatir sama temen kesayangan lu itu. Ael gak bakal nyakitin dia.” Januar kembali memecah senyap yang melanda.

“Gak bakal nyakitin Aiko? Siapa? Ael?“ cecar Oza setelah tersadar dari lamunan.

“Terus selama ini dia ngapain Aiko kalau bukan nyakitin temen gua?” Oza bertanya dengan sinis.

“Ael just wants to protect his lover,” jawab Januar datar.

Tawa Oza menggema, ia tak dapat menahan dirinya untuk mencemooh lelucon paling lucu yang ia dengar hari ini.

“Protect him from what?” Oza mengusap sedikit air mata yang menumpuk di sudut kelopaknya.

Januar mengedikkan bahunya tak acuh. “From an unfortunate disaster,” jawab Januar yang berhasil membungkam Oza.


“Lo gak mau ngejelasin apa gitu ke gue?” Aiko bertanya dengan nada datar, manik matanya terus tertuju pada Mikael yang sibuk sendiri di mini bar.

“Mau teh atau kopi?” tanya Mikael mengalihkan topik pembicaraan.

Keheningan menghinggapi ruangan luas yang dipenuhi oleh furnitur mewah, yang lantas dipecah oleh dentingan sendok. Setelah ditarik paksa oleh Mikael, sosok yang kini duduk di salah satu kursi mini bar menginjakkan kakinya di tempat Mikael tinggal. Pada sebuah penthouse megah yang Aiko skeptis jika ia dapat membelinya walaupun telah bekerja setengah mati.

Secangkir teh hangat kini tersaji di hadapan Aiko. Diliriknya kotak teh yang berada tak begitu jauh.

“It’s 2 a.m and you just served me English breakfast tea, what a beautiful morning,” sindir Aiko, yang kemudian menyesap tehnya.

Mikael terkekeh sembari berjalan memutari mini bar. Tujuannya untuk menghampiri Aiko sehingga keduanya dapat berhadapan tanpa ada meja sebagai pembatas di antara mereka.

“Gue orang keberapa yang lo bawa ke sini?” tanya Aiko setelah menyimpan cangkir di atas lepek.

“Gua gak inget,” jawab Mikael yang kini berdiri di samping kanan Aiko.

Kursi yang tengah Aiko duduki berputar, membuatnya dapat bersemuka dengan Mikael. Ada perasaan kecewa yang tengah Aiko sembunyikan saat mendengar jawaban dari sosok yang menatapnya dalam.

“Tapi kalau ‘orang’ yang lo maksud itu Rava dan yang lainnya, gua gak pernah ngajak mereka ke sini.” Mikael melanjutkan ucapannya sembari tersenyum.

“Sounds like bullshit to me,” sarkas Aiko.

“You can ask them if you want.”

“I don’t wanna waste my time.”

Kontak mata yang terjalin terputus begitu Aiko memutar kusinya untuk menyeruput tehnya kembali.

“Do you really wanna play a game, right?” Dentuman nyaring yang terdengar tak lantas mengalihkan perhatian Mikael dari Aiko.

“Do you want me to guess without saying anything to me? That’s pretty hard, I almost want to give up.” Aiko menyandarkan tubuhnya ke meja, netranya tertuju pada sosok yang tak bergeming di tempat.

“How many people do you want to involve in the game we play?” tanya Aiko tanpa ekspresi.

“As much as possible, so he wouldn’t know that I’m just into you.” Jawaban yang diberikan Mikael membuat kepingan dari bongkahan beban Aiko terlepas.

Tidak banyak, namun cukup untuk menjadi sebuah petunjuk yang menggiring Aiko pada sebuah fakta yang masih belum terkuak.

“I see,” ujar Aiko pelan.

“Now I wanna know, how many times did you think of me while you’re kissing someone else?” Aiko bertanya tanpa beban.

Tubuh yang berdiam diri kini membungkuk guna mensejajarkan wajahnya dengan wajah Aiko. Kedua tangannya memegang pinggiran meja, mengungkung sosok yang memandangnya sayu.

“The answer is the same as the times you daydream about kissing me,” jawab Mikael pelan.

Belaian dari jemari Aiko yang menyentuh permukaan bibirnya membuat napas Mikael memburu.

“Kiss me,” parau Aiko, kemudian mengalungkan tangannya di leher Mikael.

Bibir yang saling menempel menciptakan sengatan asing di tubuh Aiko. Netra sayu milik Aiko memandang wajah Mikael yang tengah menciumnya, sebelum ia ikut memejamkan mata. Menikmati lumatan yang diberikan oleh Mikael yang lantas Aiko balas dengan sedikit tergesa.

Lidah Mikael yang bermain di rongga mulutnya terasa menggelitik hingga lenguhan halus terdengar. Tatkala pasokan udara di dada menipis, Mikael memutus tautan mereka. Kening keduanya saling menempel dengan deru napas yang saling bersahutan.

Bibir Aiko tampak mengkilap akibat campuran saliva yang membasahi. Mikael kembali bergerak untuk mencium Aiko, sebelum Aiko membekap mulutnya.

“The tea is getting colder,” ujar Aiko seraya menjauhkan wajah Mikael.

Gelagat Aiko yang seakan tak acuh dengan kegiatan intim mereka membut Mikael berdecak sebal. Aiko, menyesap tehnya dengan sebuah senyuman yang menghiasi.

Lantunan musik yang membuat telinga berdengung memenuhi setiap penjuru ruangan, melesak di antara padatnya khalayak. Kombinasi dari dua suasana yang Aiko benci tengah menggurungnya sekarang; ramai dan berisik. Aiko berusaha untuk menepis masygul yang melanda, namun adegan yang tertangkap oleh lensa matanya menimbulkan percikan api dalam dada.

“Samperin, ege,” celetuk Hera yang berada di samping Aiko.

Kedua orang yang tengah menjadi pusat perhatian Aiko sibuk dengan dunia yang mereka ciptakan, bahkan sebuah tatapan nyalang yang dilemparkan oleh Aiko tak mereka gubris.

“Lihatin aja dulu, kalau ampe lebih intim, baru gua obrak-abrik nih tempat.” Oza lantas meneguk tequila miliknya dengan bringas.

Kesal, tentu saja. Oza merasa sosok yang tertawa renyah sedang mempermainkan Aiko. Seumpama hanya dirinya yang menyaksikan Mikael yang bercengkerama mesra dengan orang lain, sebuah pukulan keras mungkin sudah mendarat tepat di wajah Mikael saat itu juga. Bila perlu, Oza akan membuat hidung bangir Mikael patah.

“Kiko, lu sama bang Ael tuh pernah ada sesuatu gak sih?” Hera tiba-tiba bertanya, menarik atensi Aiko dan Oza.

“Maksud lo?” tanya Aiko, mempertahankan ekspresi datarnya.

“Yaaa maksud gua tuh kayak apa, ya? Lu sama bang Ael kelihatan udah kenal lama. Gua gak tau emang gua yang halu apa gimana, tapi lu tuh seems comfortable whenever bang Ael’s around,” jelas Hera sembari mencari potongan jeli dalam gelas yang berisi mojito.

“Gua ngerasa beda gitu ketika lihat interaksi lu sama bang Augy. Walaupun gua ngerasa lu nyaman juga sama bang Augy, tapi beda aja gitu. Gak tau dah, kadang gua merasa sangat sotoy,” lanjut Hera.

Aiko dan Oza saling melemparkan pandangan. Keheningan yang menyelimuti membuat Hera mendongak, kemudian menoleh pada Aiko dan Oza secara bergantian.

“Kenapa?” tanya Hera kebingungan dengan tingkah dua orang temannya.

Merasa tak perlu menyembunyikannya lagi dari Hera, sosok yang dibalut oleh kaus berwarna putih polos dan celana dark jeans bersuara, “Sebenernya Ael sama gue pernah pacaran.”

“HAH?!”

Bola mata yang membelalak dengan mulut yang menganga lebar hampir membuat Oza mati-matian menahan tawanya.

“Lu jelek banget anying,” ejek Oza yang dihadiahi tamparan keras di lengan atas.

OOT lu!” omel Hera kesal.

Perdebatan yang tengah berlangsung tak mengubris Aiko yang kini memerhatikan kembali interaksi Mikael dengan Lio. Dengusan kasar terdengar tatkala ia menyaksikan Mikael yang mengusap surai lawan bicaranya.

“Gue cerita nanti, mau ke toilet dulu,” ujar Aiko datar, yang kemudian melanglang pergi tanpa menunggu reaksi dari Oza dan Hera.

Kedua temannya yang saling menjabak menoleh pada Aiko.

“Kiko!” panggil Oza kencang.

“Biarin aja.” Hera menarik Oza untuk kembali duduk.

“Tapi—“

“Percaya sama gua, Ja,” potong Hera meyakinkan.

Ditepisnya tangan Hera yang berada di pundaknya. “Ogah, percaya sama lu mah musyrik.”

“Yeee, si tai.”


Berbincang dengan Hera mengenai banyak hal membuat Oza lupa jika Aiko belum juga menampakkan batang hidungnya setelah pamit menuju kamar kecil semenjak tiga puluh menit yang lalu. Kepergian Hera yang beranjak keluar kelab untuk mengangkat panggilan telepon meninggalkan Oza dalam kesendirian.

Tak kuasa menahan dirinya untuk menunggu Aiko, akhirnya Oza memutuskan untuk mencari sosok tersebut. Tungkai kakinya melangkah dengan sepasang manik mata yang menelisik sekitar, mencari keberadaan Aiko.

“Bang Ael di mana?” Oza memasang telinganya baik-baik.

“Tadi gua lihat keluar.”

Sekilas informasi yang ia dengar membuatnya bergegas untuk pergi menjauh dari kelimun. Terpaan angin malam menyambutnya tatkala pintu kelab terbuka. Oza kembali mengedarkan pandangan, namun hasilnya tetap nihil. Ia tak dapat menemukan Aiko di sana.

“Nyari Aiko?” Sebuah suara familiar merebak, memecah heningnya malam.

Dengan sedikit kegugupan, Oza menoleh pada sosok yang duduk di atas motor. Kumpulan asap putih keluar bersamaan dengan bibir yang sedikit terbuka. Wajahnya mendongak, menatap kelamnya sang bumantara.

Oza mengangguk kecil. “Iya,” jawabnya singkat.

“Lagi sama Ael,” jelas Januar.

“Kemana?”

“Ke tempatnya Ael.”

Satu kalimat yang berhasil memancing amarah Oza. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan sumpah serapah. Oza mencela Mikael yang tanpa tahu diri membawa Aiko setelah apa yang ia perbuat. Dilanjutkan dengan memaki Aiko yang bersedia untuk dipermainkan.

“Lu suka, ya? Sama Aiko?” Pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Januar meluluhlantakkan kecamuk pikiran Oza.

“Hah?”

“Lu kelihatan kayak sayang banget sama Aiko.” Januar menginjak puntung dari cerutu yang telah ia hisap.

Manik matanya lantas tertuju pada Oza. “Perlakuan lu ke Aiko sama ke Rava terlalu jomplang,” lanjut Januar.

“Ngaco,” respons Oza, tak habis pikir dengan pemikiran Januar.

“Gua gak membenarkan kelakuan Rava yang terobsesi sama Ael atau kelakuan nyelenehnya yang lain, cuman pernah gak lu mikir perasaan Rava yang jarang lu sama Aiko libatin di pertemanan kalian?” Januar bertanya sembari melipat kedua tangannya di dada.

“Bukannya gua gak mau ngelibatin Rava, masalahnya, Rava yang selalu ngasih batas pertemanan. Gua lebih deket sama Aiko karena kita saling terbuka,” jelas Oza, menyangkal tuduhannya sebagai “Sosok Teman yang Tidak Baik” yang diberikan oleh Januar secara tersirat.

“Lu pikir gua gak ada usaha buat bikin Rava terbuka sama gua?” Volume suara Oza mengeras, ia telah membuang semua rasa takutnya.

“Santai,” balas Januar.

“Gua gak lagi ngajak berantem,” lanjutnya yang semakin memancing amarah Oza.

“Lu pernah gak mikir kenapa Rava tertutup sama lu?”

“Karena Rava gak sepenuhnya percaya sama gua,” jawab Oza penuh dengan keyakinan.

“Lu gak pernah mikir kalau ternyata selama ini Rava gak pernah punya temen deket? What if he’s never befriend with anyone before, so he doesn’t know how friendship works?

Keterdiaman Oza membuat Januar mendengus kasar.

“Lu gak usah khawatir sama temen kesayangan lu itu. Ael gak bakal nyakitin dia.” Januar kembali memecah senyap yang melanda.

“Gak bakal nyakitin Aiko? Siapa? Ael?“ cecar Oza setelah tersadar dari lamunan.

“Terus selama ini dia ngapain Aiko kalau bukan nyakitin temen gua?” Oza bertanya dengan sinis.

“Ael just wants to protect his lover,” jawab Januar datar.

Tawa Oza menggema, ia tak dapat menahan dirinya untuk mencemooh lelucon paling lucu yang ia dengar hari ini.

“Protect him from what?” Oza mengusap sedikit air mata yang menumpuk di sudut kelopaknya.

Januar mengedikkan bahunya tak acuh. “From an unfortunate disaster,” jawab Januar yang berhasil membungkam Oza.


“Lo gak mau ngejelasin apa gitu ke gue?” Aiko bertanya dengan nada datar, manik matanya terus tertuju pada Mikael yang sibuk sendiri di mini bar.

“Mau teh atau kopi?” tanya Mikael mengalihkan topik pembicaraan.

Keheningan menghinggapi ruangan luas yang dipenuhi oleh furnitur mewah, yang lantas dipecah oleh dentingan sendok. Setelah ditarik paksa oleh Mikael, sosok yang kini duduk di salah satu kursi mini bar menginjakkan kakinya di tempat Mikael tinggal. Pada sebuah penthouse megah yang Aiko skeptis jika ia dapat membelinya walaupun telah bekerja setengah mati.

Secangkir teh hangat kini tersaji di hadapan Aiko. Diliriknya kotak teh yang berada tak begitu jauh.

“It’s 2 a.m and you just served me English breakfast tea, what a beautiful morning,” sindir Aiko, yang kemudian menyesap tehnya.

Mikael terkekeh sembari berjalan memutari mini bar. Tujuannya untuk menghampiri Aiko sehingga keduanya dapat berhadapan tanpa ada meja sebagai pembatas di antara mereka.

“Gue orang keberapa yang lo bawa ke sini?” tanya Aiko setelah menyimpan cangkir di atas lepek.

“Gua gak inget,” jawab Mikael yang kini berdiri di samping kanan Aiko.

Kursi yang tengah Aiko duduki berputar, membuatnya dapat bersemuka dengan Mikael. Ada perasaan kecewa yang tengah Aiko sembunyikan saat mendengar jawaban dari sosok yang menatapnya dalam.

“Tapi kalau ‘orang’ yang lo maksud itu Rava dan yang lainnya, gua gak pernah ngajak mereka ke sini.” Mikael melanjutkan ucapannya sembari tersenyum.

“Sounds like bullshit to me,” sarkas Aiko.

“You can ask them if you want.”

“I don’t wanna waste my time.”

Kontak mata yang terjalin terputus begitu Aiko memutar kusinya untuk menyeruput tehnya kembali.

“Do you really wanna play a game, right?” Dentuman nyaring yang terdengar tak lantas mengalihkan perhatian Mikael dari Aiko.

“Do you want me to guess without saying anything to me? That’s pretty hard, I almost want to give up.” Aiko menyandarkan tubuhnya ke meja, netranya tertuju pada sosok yang tak bergeming di tempat.

“How many people do you want to involve in the game we play?” tanya Aiko tanpa ekspresi.

“As much as possible, so he wouldn’t know that I’m just into you.” Jawaban yang diberikan Mikael membuat kepingan dari bongkahan beban Aiko terlepas.

Tidak banyak, namun cukup untuk menjadi sebuah petunjuk yang menggiring Aiko pada sebuah fakta yang masih belum terkuak.

“I see,” ujar Aiko pelan.

“Now I wanna know, how many times did you think of me while you’re kissing someone else?” Aiko bertanya tanpa beban.

Tubuh yang berdiam diri kini membungkuk guna mensejajarkan wajahnya dengan wajah Aiko. Kedua tangannya memegang pinggiran meja, mengungkung sosok yang memandangnya sayu.

“The answer is the same as the times you daydream kissing me,” jawab Mikael pelan.

Belaian dari jemari Aiko yang menyentuh permukaan bibirnya membuat napas Mikael memburu.

“Kiss me,” parau Aiko, kemudian mengalungkan tangannya di leher Mikael.

Bibir yang saling menempel menciptakan sengatan asing di tubuh Aiko. Netra sayu milik Aiko memandang wajah Mikael yang tengah menciumnya, sebelum ia ikut memejamkan mata. Menikmati lumatan yang diberikan oleh Mikael yang lantas Aiko balas dengan sedikit tergesa.

Lidah Mikael yang bermain di rongga mulutnya terasa menggelitik hingga lenguhan halus terdengar. Tatkala pasokan udara di dada menipis, Mikael memutus tautan mereka. Kening keduanya saling menempel dengan deru napas yang saling bersahutan.

Bibir Aiko tampak mengkilap akibat campuran saliva yang membasahi. Mikael kembali bergerak untuk mencium Aiko, sebelum Aiko membekap mulutnya.

“The tea is getting colder,” ujar Aiko seraya menjauhkan wajah Mikael.

Gelagat Aiko yang seakan tak acuh dengan kegiatan intim mereka membut Mikael berdecak sebal. Aiko, menyesap tehnya dengan sebuah senyuman yang menghiasi.

Lantunan musik yang membuat telinga berdengung memenuhi setiap penjuru ruangan, melesak di antara padatnya khalayak. Kombinasi dari dua suasana yang Aiko benci tengah menggurungnya sekarang; ramai dan berisik. Aiko berusaha untuk menepis masygul yang melanda, namun adegan yang tertangkap oleh lensa matanya menimbulkan percikan api dalam dada.

“Samperin, ege,” celetuk Hera yang berada di samping Aiko.

Kedua orang yang tengah menjadi pusat perhatian Aiko sibuk dengan dunia yang mereka ciptakan, bahkan sebuah tatapan nyalang yang dilemparkan oleh Aiko tak mereka gubris.

“Lihatin aja dulu, kalau ampe lebih intim, baru gua obrak-abrik nih tempat.” Oza lantas meneguk tequila miliknya dengan bringas.

Kesal, tentu saja. Oza merasa sosok yang tertawa renyah sedang mempermainkan Aiko. Seumpama hanya dirinya yang menyaksikan Mikael yang bercengkerama mesra dengan orang lain, sebuah pukulan keras mungkin sudah mendarat tepat di wajah Mikael saat itu juga. Bila perlu, Oza akan membuat hidung bangir Mikael patah.

“Kiko, lu sama bang Ael tuh pernah ada sesuatu gak sih?” Hera tiba-tiba bertanya, menarik atensi Aiko dan Oza.

“Maksud lo?” tanya Aiko, mempertahankan ekspresi datarnya.

“Yaaa maksud gua tuh kayak apa, ya? Lu sama bang Ael kelihatan udah kenal lama. Gua gak tau emang gua yang halu apa gimana, tapi lu tuh seems comfortable whenever bang Ael’s around,” jelas Hera sembari mencari potongan jeli dalam gelas yang berisi mojito.

“Gua ngerasa beda gitu ketika lihat interaksi lu sama bang Augy. Walaupun gua ngerasa lu nyaman juga sama bang Augy, tapi beda aja gitu. Gak tau dah, kadang gua merasa sangat sotoy,” lanjut Hera.

Aiko dan Oza saling melemparkan pandangan. Keheningan yang menyelimuti membuat Hera mendongak, kemudian menoleh pada Aiko dan Oza secara bergantian.

“Kenapa?” tanya Hera kebingungan dengan tingkah dua orang temannya.

Merasa tak perlu menyembunyikannya lagi dari Hera, sosok yang dibalut oleh kaus berwarna putih polos dan celana dark jeans bersuara, “Sebenernya Ael sama gue pernah pacaran.”

“HAH?!”

Bola mata yang membelalak dengan mulut yang menganga lebar hampir membuat Oza mati-matian menahan tawanya.

“Lu jelek banget anying,” ejek Oza yang dihadiahi tamparan keras di lengan atas.

OOT lu!” omel Hera kesal.

Perdebatan yang tengah berlangsung tak mengubris Aiko yang kini memerhatikan kembali interaksi Mikael dengan Lio. Dengusan kasar terdengar tatkala ia menyaksikan Mikael yang mengusap surai lawan bicaranya.

“Gue cerita nanti, mau ke toilet dulu,” ujar Aiko datar, yang kemudian melanglang pergi tanpa menunggu reaksi dari Oza dan Hera.

Kedua temannya yang saling menjabak menoleh pada Aiko.

“Kiko!” panggil Oza kencang.

“Biarin aja.” Hera menarik Oza untuk kembali duduk.

“Tapi—“

“Percaya sama gua, Ja,” potong Hera meyakinkan.

Ditepisnya tangan Hera yang berada di pundaknya. “Ogah, percaya sama lu mah musyrik.”

“Yeee, si tai.”


Berbincang dengan Hera mengenai banyak hal membuat Oza lupa jika Aiko belum juga menampakkan batang hidungnya setelah pamit menuju kamar kecil semenjak tiga puluh menit yang lalu. Kepergian Hera yang beranjak keluar kelab untuk mengangkat panggilan telepon meninggalkan Oza dalam kesendirian.

Tak kuasa menahan dirinya untuk menunggu Aiko, akhirnya Oza memutuskan untuk mencari sosok tersebut. Tungkai kakinya melangkah dengan sepasang manik mata yang menelisik sekitar, mencari keberadaan Aiko.

“Bang Ael di mana?” Oza memasang telinganya baik-baik.

“Tadi gua lihat keluar.”

Sekilas informasi yang ia dengar membuatnya bergegas untuk pergi menjauh dari kelimun. Terpaan angin malam menyambutnya tatkala pintu kelab terbuka. Oza kembali mengedarkan pandangan, namun hasilnya tetap nihil. Ia tak dapat menemukan Aiko di sana.

“Nyari Aiko?” Sebuah suara familiar merebak, memecah heningnya malam.

Dengan sedikit kegugupan, Oza menoleh pada sosok yang duduk di atas motor. Kumpulan asap putih keluar bersamaan dengan bibir yang sedikit terbuka. Wajahnya mendongak, menatap kelamnya sang bumantara.

Oza mengangguk kecil. “Iya,” jawabnya singkat.

“Lagi sama Ael,” jelas Januar.

“Kemana?”

“Ke tempatnya Ael.”

Satu kalimat yang berhasil memancing amarah Oza. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan sumpah serapah. Oza mencela Mikael yang tanpa tahu diri membawa Aiko setelah apa yang ia perbuat. Dilanjutkan dengan memaki Aiko yang bersedia untuk dipermainkan.

“Lu suka, ya? Sama Aiko?” Pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Januar meluluhlantakkan kecamuk pikiran Oza.

“Hah?”

“Lu kelihatan kayak sayang banget sama Aiko.” Januar menginjak puntung dari cerutu yang telah ia hisap.

Manik matanya lantas tertuju pada Oza. “Perlakuan lu ke Aiko sama ke Rava terlalu jomplang,” lanjut Januar.

“Ngaco,” respons Oza, tak habis pikir dengan pemikiran Januar.

“Gua gak membenarkan kelakuan Rava yang terobsesi sama Ael atau kelakuan nyelenehnya yang lain, cuman pernah gak lu mikir perasaan Rava yang jarang lu sama Aiko libatin di pertemanan kalian?” Januar bertanya sembari melipat kedua tangannya di dada.

“Bukannya gua gak mau ngelibatin Rava, masalahnya, Rava yang selalu ngasih batas pertemanan. Gua lebih deket sama Aiko karena kita saling terbuka,” jelas Oza, menyangkal tuduhannya sebagai “Sosok Teman yang Tidak Baik” yang diberikan oleh Januar secara tersirat.

“Lu pikir gua gak ada usaha buat bikin Rava terbuka sama gua?” Volume suara Oza mengeras, ia telah membuang semua rasa takutnya.

“Santai,” balas Januar.

“Gua gak lagi ngajak berantem,” lanjutnya yang semakin memancing amarah Oza.

“Lu pernah gak mikir kenapa Rava tertutup sama lu?”

“Karena Rava gak sepenuhnya percaya sama gua,” jawab Oza penuh dengan keyakinan.

“Lu gak pernah mikir kalau ternyata selama ini Rava gak pernah punya temen deket? What if he’s never befriend with anyone before, so he doesn’t know how friendship works?

Keterdiaman Oza membuat Januar mendengus kasar.

“Lu gak usah khawatir sama temen kesayangan lu itu. Ael gak bakal nyakitin dia.” Januar kembali memecah senyap yang melanda.

“Gak bakal nyakitin Aiko? Siapa? Ael?“ cecar Oza setelah tersadar dari lamunan.

“Terus selama ini dia ngapain Aiko kalau bukan nyakitin temen gua?” Oza bertanya dengan sinis.

“Ael just wants to protect his lover,” jawab Januar datar.

Tawa Oza menggema, ia tak dapat menahan dirinya untuk mencemooh lelucon paling lucu yang ia dengar hari ini.

“Protect him from what?” Oza mengusap sedikit air mata yang menumpuk di sudut kelopaknya.

Januar mengedikkan bahunya tak acuh. “From an unfortunate disaster,” jawab Januar yang berhasil membungkam Oza.


“Lo gak mau ngejelasin apa gitu ke gue?” Aiko bertanya dengan nada datar, manik matanya terus tertuju pada Mikael yang sibuk sendiri di mini bar.

“Mau teh atau kopi?” tanya Mikael mengalihkan topik pembicaraan.

Keheningan menghinggapi ruangan luas yang dipenuhi oleh furnitur mewah, yang lantas dipecah oleh dentingan sendok. Setelah ditarik paksa oleh Mikael, sosok yang kini duduk di salah satu kursi mini bar menginjakkan kakinya di tempat Mikael tinggal. Pada sebuah penthouse megah yang Aiko skeptis jika ia dapat membelinya walaupun telah bekerja setengah mati.

Secangkir teh hangat kini tersaji di hadapan Aiko. Diliriknya kotak teh yang berada tak begitu jauh.

“It’s 2 a.m and you just served me English breakfast tea, what a beautiful morning,” sindir Aiko, yang kemudian menyesap tehnya.

Mikael terkekeh sembari berjalan memutari mini bar. Tujuannya untuk menghampiri Aiko sehingga keduanya dapat berhadapan tanpa ada meja sebagai pembatas di antara mereka.

“Gue orang keberapa yang lo bawa ke sini?” tanya Aiko setelah menyimpan cangkir di atas lepek.

“Gua gak inget,” jawab Mikael yang kini berdiri di samping kanan Aiko.

Kursi yang tengah Aiko duduki berputar, membuatnya dapat bersemuka dengan Mikael. Ada perasaan kecewa yang tengah Aiko sembunyikan saat mendengar jawaban dari sosok yang menatapnya dalam.

“Tapi kalau ‘orang’ yang lo maksud itu Rava dan yang lainnya, gua gak pernah ngajak mereka ke sini.” Mikael melanjutkan ucapannya sembari tersenyum.

“Sounds like bullshit to me,” sarkas Aiko.

“You can ask them if you want.”

“I don’t wanna waste my time.”

Kontak mata yang terjalin terputus begitu Aiko memutar kusinya untuk menyeruput tehnya kembali.

“Do you really wanna play a game, right?” Dentuman nyaring yang terdengar tak lantas mengalihkan perhatian Mikael dari Aiko.

“Do you want me to guess without saying anything to me? That’s pretty hard, I almost want to give up.” Aiko menyandarkan tubuhnya ke meja, netranya tertuju pada sosok yang tak bergeming di tempat.

“How many people do you want to involve in the game we play?” tanya Aiko tanpa ekspresi.

_“As much as possible, so he wouldn’t know that I’m just into you.”_ Jawaban yang diberikan Mikael membuat kepingan dari bongkahan beban Aiko terlepas.

Tidak banyak, namun cukup untuk menjadi sebuah petunjuk yang menggiring Aiko pada sebuah fakta yang masih belum terkuak.

“I see,” ujar Aiko pelan.

“Now I wanna know, how many times did you think of me while you’re kissing someone else?” Aiko bertanya tanpa beban.

Tubuh yang berdiam diri kini membungkuk guna mensejajarkan wajahnya dengan wajah Aiko. Kedua tangannya memegang pinggiran meja, mengungkung sosok yang memandangnya sayu.

“The answer is the same as the times you daydream kissing me,” jawab Mikael pelan.

Belaian dari jemari Aiko yang menyentuh permukaan bibirnya membuat napas Mikael memburu.

“Kiss me,” parau Aiko, kemudian mengalungkan tangannya di leher Mikael.

Bibir yang saling menempel menciptakan sengatan asing di tubuh Aiko. Netra sayu milik Aiko memandang wajah Mikael yang tengah menciumnya, sebelum ia ikut memejamkan mata. Menikmati lumatan yang diberikan oleh Mikael yang lantas Aiko balas dengan sedikit tergesa.

Lidah Mikael yang bermain di rongga mulutnya terasa menggelitik hingga lenguhan halus terdengar. Tatkala pasokan udara di dada menipis, Mikael memutus tautan mereka. Kening keduanya saling menempel dengan deru napas yang saling bersahutan.

Bibir Aiko tampak mengkilap akibat campuran saliva yang membasahi. Mikael kembali bergerak untuk mencium Aiko, sebelum Aiko membekap mulutnya.

“The tea is getting colder,” ujar Aiko seraya menjauhkan wajah Mikael.

Gelagat Aiko yang seakan tak acuh dengan kegiatan intim mereka membut Mikael berdecak sebal. Aiko, menyesap tehnya dengan sebuah senyuman yang menghiasi.

Lantunan musik yang membuat telinga berdengung memenuhi setiap penjuru ruangan, melesak di antara padatnya khalayak. Kombinasi dari dua suasana yang Aiko benci tengah menggurungnya sekarang; ramai dan berisik. Aiko berusaha untuk menepis masygul yang melanda, namun adegan yang tertangkap oleh lensa matanya menimbulkan percikan api dalam dada.

“Samperin, ege,” celetuk Hera yang berada di samping Aiko.

Kedua orang yang tengah menjadi pusat perhatian Aiko sibuk dengan dunia yang mereka ciptakan, bahkan sebuah tatapan nyalang yang dilemparkan oleh Aiko tak mereka gubris.

“Lihatin aja dulu, kalau ampe lebih intim, baru gua obrak-abrik nih tempat.” Oza lantas meneguk tequila miliknya dengan bringas.

Kesal, tentu saja. Oza merasa sosok yang tertawa renyah sedang mempermainkan Aiko. Seumpama hanya dirinya yang menyaksikan Mikael yang bercengkerama mesra dengan orang lain, sebuah pukulan keras mungkin sudah mendarat tepat di wajah Mikael saat itu juga. Bila perlu, Oza akan membuat hidung bangir Mikael patah.

“Kiko, lu sama bang Ael tuh pernah ada sesuatu gak sih?” Hera tiba-tiba bertanya, menarik atensi Aiko dan Oza.

“Maksud lo?” tanya Aiko, mempertahankan ekspresi datarnya.

“Yaaa maksud gua tuh kayak apa, ya? Lu sama bang Ael kelihatan udah kenal lama. Gua gak tau emang gua yang halu apa gimana, tapi lu tuh seems comfortable whenever bang Ael around,” jelas Hera sembari mencari potongan jeli dalam gelas yang berisi mojito.

“Gua ngerasa beda gitu ketika lihat interaksi lu sama bang Augy. Walaupun gua ngerasa lu nyaman juga sama bang Augy, tapi beda aja gitu. Gak tau dah, kadang gua merasa sangat sotoy,” lanjut Hera.

Aiko dan Oza saling melemparkan pandangan. Keheningan yang menyelimuti membuat Hera mendongak, kemudian menoleh pada Aiko dan Oza secara bergantian.

“Kenapa?” tanya Hera kebingungan dengan tingkah dua orang temannya.

Merasa tak perlu menyembunyikannya lagi dari Hera, sosok yang dibalut oleh kaus berwarna putih polos dan celana dark jeans bersuara, “Sebenernya Ael sama gue pernah pacaran.”

“HAH?!”

Bola mata yang membelalak dengan mulut yang menganga lebar hampir membuat Oza mati-matian menahan tawanya.

“Lu jelek banget anying,” ejek Oza yang dihadiahi tamparan keras di lengan atas.

OOT lu!” omel Hera kesal.

Perdebatan yang tengah berlangsung tak mengubris Aiko yang kini memerhatikan kembali interaksi Mikael dengan Lio. Dengusan kasar terdengar tatkala ia menyaksikan Mikael yang mengusap surai lawan bicaranya.

“Gue cerita nanti, mau ke toilet dulu,” ujar Aiko datar, yang kemudian melanglang pergi tanpa menunggu reaksi dari Oza dan Hera.

Kedua temannya yang saling menjabak menoleh pada Aiko.

“Kiko!” panggil Oza kencang.

“Biarin aja.” Hera menarik Oza untuk kembali duduk.

“Tapi—“

“Percaya sama gua, Ja,” potong Hera meyakinkan.

Ditepisnya tangan Hera yang berada di pundaknya. “Ogah, percaya sama lu mah musyrik.”

“Yeee, si tai.”


Berbincang dengan Hera mengenai banyak hal membuat Oza lupa jika Aiko belum juga menampakkan batang hidungnya setelah pamit menuju kamar kecil semenjak tiga puluh menit yang lalu. Kepergian Hera yang beranjak keluar kelab untuk mengangkat panggilan telepon meninggalkan Oza dalam kesendirian.

Tak kuasa menahan dirinya untuk menunggu Aiko, akhirnya Oza memutuskan untuk mencari sosok tersebut. Tungkai kakinya melangkah dengan sepasang manik mata yang menelisik sekitar, mencari keberadaan Aiko.

“Bang Ael di mana?” Oza memasang telinganya baik-baik.

“Tadi gua lihat keluar.”

Sekilas informasi yang ia dengar membuatnya bergegas untuk pergi menjauh dari kelimun. Terpaan angin malam menyambutnya tatkala pintu kelab terbuka. Oza kembali mengedarkan pandangan, namun hasilnya tetap nihil. Ia tak dapat menemukan Aiko di sana.

“Nyari Aiko?” Sebuah suara familiar merebak, memecah heningnya malam.

Dengan sedikit kegugupan, Oza menoleh pada sosok yang duduk di atas motor. Kumpulan asap putih keluar bersamaan dengan bibir yang sedikit terbuka. Wajahnya mendongak, menatap kelamnya sang bumantara.

Oza mengangguk kecil. “Iya,” jawabnya singkat.

“Lagi sama Ael,” jelas Januar.

“Kemana?”

“Ke tempatnya Ael.”

Satu kalimat yang berhasil memancing amarah Oza. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan sumpah serapah. Oza mencela Mikael yang tanpa tahu diri membawa Aiko setelah apa yang ia perbuat. Dilanjutkan dengan memaki Aiko yang bersedia untuk dipermainkan.

“Lu suka, ya? Sama Aiko?” Pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Januar meluluhlantakkan kecamuk pikiran Oza.

“Hah?”

“Lu kelihatan kayak sayang banget sama Aiko.” Januar menginjak puntung dari cerutu yang telah ia hisap.

Manik matanya lantas tertuju pada Oza. “Perlakuan lu ke Aiko sama ke Rava terlalu jomplang,” lanjut Januar.

“Ngaco,” respons Oza, tak habis pikir dengan pemikiran Januar.

“Gua gak membenarkan kelakuan Rava yang terobsesi sama Ael atau kelakuan nyelenehnya yang lain, cuman pernah gak lu mikir perasaan Rava yang jarang lu sama Aiko libatin di pertemanan kalian?” Januar bertanya sembari melipat kedua tangannya di dada.

“Bukannya gua gak mau ngelibatin Rava, masalahnya, Rava yang selalu ngasih batas pertemanan. Gua lebih deket sama Aiko karena kita saling terbuka,” jelas Oza, menyangkal tuduhannya sebagai “Sosok Teman yang Tidak Baik” yang diberikan oleh Januar secara tersirat.

“Lu pikir gua gak ada usaha buat bikin Rava terbuka sama gua?” Volume suara Oza mengeras, ia telah membuang semua rasa takutnya.

“Santai,” balas Januar.

“Gua gak lagi ngajak berantem,” lanjutnya yang semakin memancing amarah Oza.

“Lu pernah gak mikir kenapa Rava tertutup sama lu?”

“Karena Rava gak sepenuhnya percaya sama gua,” jawab Oza penuh dengan keyakinan.

“Lu gak pernah mikir kalau ternyata selama ini Rava gak pernah punya temen deket? What if he’s never befriend with anyone before, so he doesn’t know how friendship works?

Keterdiaman Oza membuat Januar mendengus kasar.

“Lu gak usah khawatir sama temen kesayangan lu itu. Ael gak bakal nyakitin dia.” Januar kembali memecah senyap yang melanda.

“Gak bakal nyakitin Aiko? Siapa? Ael?“ cecar Oza setelah tersadar dari lamunan.

“Terus selama ini dia ngapain Aiko kalau bukan nyakitin temen gua?” Oza bertanya dengan sinis.

“Ael just wants to protect his lover,” jawab Januar datar.

Tawa Oza menggema, ia tak dapat menahan dirinya untuk mencemooh lelucon paling lucu yang ia dengar hari ini.

“Protect him from what?” Oza mengusap sedikit air mata yang menumpuk di sudut kelopaknya.

Januar mengedikkan bahunya tak acuh. “From an unfortunate disaster,” jawab Januar yang berhasil membungkam Oza.


“Lo gak mau ngejelasin apa gitu ke gue?” Aiko bertanya dengan nada datar, manik matanya terus tertuju pada Mikael yang sibuk sendiri di mini bar.

“Mau teh atau kopi?” tanya Mikael mengalihkan topik pembicaraan.

Keheningan menghinggapi ruangan luas yang dipenuhi oleh furnitur mewah, yang lantas dipecah oleh dentingan sendok. Setelah ditarik paksa oleh Mikael, sosok yang kini duduk di salah satu kursi mini bar menginjakkan kakinya di tempat Mikael tinggal. Pada sebuah penthouse megah yang Aiko skeptis jika ia dapat membelinya walaupun telah bekerja setengah mati.

Secangkir teh hangat kini tersaji di hadapan Aiko. Diliriknya kotak teh yang berada tak begitu jauh.

“It’s 2 a.m and you just served me English breakfast tea, what a beautiful morning,” sindir Aiko, yang kemudian menyesap tehnya.

Mikael terkekeh sembari berjalan memutari mini bar. Tujuannya untuk menghampiri Aiko sehingga keduanya dapat berhadapan tanpa ada meja sebagai pembatas di antara mereka.

“Gue orang keberapa yang lo bawa ke sini?” tanya Aiko setelah menyimpan cangkir di atas lepek.

“Gua gak inget,” jawab Mikael yang kini berdiri di samping kanan Aiko.

Kursi yang tengah Aiko duduki berputar, membuatnya dapat bersemuka dengan Mikael. Ada perasaan kecewa yang tengah Aiko sembunyikan saat mendengar jawaban dari sosok yang menatapnya dalam.

“Tapi kalau ‘orang’ yang lo maksud itu Rava dan yang lainnya, gua gak pernah ngajak mereka ke sini.” Mikael melanjutkan ucapannya sembari tersenyum.

“Sounds like bullshit to me,” sarkas Aiko.

“You can ask them if you want.”

“I don’t wanna waste my time.”

Kontak mata yang terjalin terputus begitu Aiko memutar kusinya untuk menyeruput tehnya kembali.

“Do you really wanna play a game, right?” Dentuman nyaring yang terdengar tak lantas mengalihkan perhatian Mikael dari Aiko.

“Do you want me to guess without saying anything to me? That’s pretty hard, I almost want to give up.” Aiko menyandarkan tubuhnya ke meja, netranya tertuju pada sosok yang tak bergeming di tempat.

“How many people do you want to involve in the game we play?” tanya Aiko tanpa ekspresi.

_“As much as possible, so he wouldn’t know that I’m just into you.”_ Jawaban yang diberikan Mikael membuat kepingan dari bongkahan beban Aiko terlepas.

Tidak banyak, namun cukup untuk menjadi sebuah petunjuk yang menggiring Aiko pada sebuah fakta yang masih belum terkuak.

“I see,” ujar Aiko pelan.

“Now I wanna know, how many times did you think of me while you’re kissing someone else?” Aiko bertanya tanpa beban.

Tubuh yang berdiam diri kini membungkuk guna mensejajarkan wajahnya dengan wajah Aiko. Kedua tangannya memegang pinggiran meja, mengungkung sosok yang memandangnya sayu.

“The answer is the same as the times you daydream kissing me,” jawab Mikael pelan.

Belaian dari jemari Aiko yang menyentuh permukaan bibirnya membuat napas Mikael memburu.

“Kiss me,” parau Aiko, kemudian mengalungkan tangannya di leher Mikael.

Bibir yang saling menempel menciptakan sengatan asing di tubuh Aiko. Netra sayu milik Aiko memandang wajah Mikael yang tengah menciumnya, sebelum ia ikut memejamkan mata. Menikmati lumatan yang diberikan oleh Mikael yang lantas Aiko balas dengan sedikit tergesa.

Lidah Mikael yang bermain di rongga mulutnya terasa menggelitik hingga lenguhan halus terdengar. Tatkala pasokan udara di dada menipis, Mikael memutus tautan mereka. Kening keduanya saling menempel dengan deru napas yang saling bersahutan.

Bibir Aiko tampak mengkilap akibat campuran saliva yang membasahi. Mikael kembali bergerak untuk mencium Aiko, sebelum Aiko membekap mulutnya.

“The tea is getting colder,” ujar Aiko seraya menjauhkan wajah Mikael.

Gelagat Aiko yang seakan tak acuh dengan kegiatan intim mereka membut Mikael berdecak sebal. Aiko, menyesap tehnya dengan sebuah senyuman yang menghiasi.

Lantunan musik yang membuat telinga berdengung memenuhi setiap penjuru ruangan, melesak di antara padatnya khalayak. Kombinasi dari dua suasana yang Aiko benci tengah menggurungnya sekarang; ramai dan berisik. Aiko berusaha untuk menepis masygul yang melanda, namun adegan yang tertangkap oleh lensa matanya menimbulkan percikan api dalam dada.

“Samperin, ege,” celetuk Hera yang berada di samping Aiko.

Kedua orang yang tengah menjadi pusat perhatian Aiko sibuk dengan dunia yang mereka ciptakan, bahkan sebuah tatapan nyalang yang dilemparkan oleh Aiko tak mereka gubris.

“Lihatin aja dulu, kalau ampe lebih intim, baru gua obrak-abrik nih tempat.” Oza lantas meneguk tequila miliknya dengan bringas.

Kesal, tentu saja. Oza merasa sosok yang tertawa renyah sedang mempermainkan Aiko. Seumpama hanya dirinya yang menyaksikan Mikael yang bercengkerama mesra dengan orang lain, sebuah pukulan keras mungkin sudah mendarat tepat di wajah Mikael saat itu juga. Bila perlu, Oza akan membuat hidung bangir Mikael patah.

“Kiko, lu sama bang Ael tuh pernah ada sesuatu gak sih?” Hera tiba-tiba bertanya, menarik atensi Aiko dan Oza.

“Maksud lo?” tanya Aiko, mempertahankan ekspresi datarnya.

“Yaaa maksud gua tuh kayak apa, ya? Lu sama bang Ael kelihatan udah kenal lama. Gua gak tau emang gua yang halu apa gimana, tapi lu tuh seems comfortable whenever bang Ael around,” jelas Hera sembari mencari potongan jeli dalam gelas yang berisi mojito.

“Gua ngerasa beda gitu ketika lihat interaksi lu sama bang Augy. Walaupun gua ngerasa lu nyaman juga sama bang Augy, tapi beda aja gitu. Gak tau dah, kadang gua merasa sangat sotoy,” lanjut Hera.

Aiko dan Oza saling melemparkan pandangan. Keheningan yang menyelimuti membuat Hera mendongak, kemudian menoleh pada Aiko dan Oza secara bergantian.

“Kenapa?” tanya Hera kebingungan dengan tingkah dua orang temannya.

Merasa tak perlu menyembunyikannya lagi dari Hera, sosok yang dibalut oleh kaus berwarna putih polos dan celana dark jeans bersuara, “Sebenernya Ael sama gue pernah pacaran.”

“HAH?!”

Bola mata yang membelalak dengan mulut yang menganga lebar hampir membuat Oza mati-matian menahan tawanya.

“Lu jelek banget anying,” ejek Oza yang dihadiahi tamparan keras di lengan atas.

OOT lu!” omel Hera kesal.

Perdebatan yang tengah berlangsung tak mengubris Aiko yang kini memerhatikan kembali interaksi Mikael dengan Lio. Dengusan kasar terdengar tatkala ia menyaksikan Mikael yang mengusap surai lawan bicaranya.

“Gue cerita nanti, mau ke toilet dulu,” ujar Aiko datar, yang kemudian melanglang pergi tanpa menunggu reaksi dari Oza dan Hera.

Kedua temannya yang saling menjabak menoleh pada Aiko.

“Kiko!” panggil Oza kencang.

“Biarin aja.” Hera menarik Oza untuk kembali duduk.

“Tapi—“

“Percaya sama gua, Ja,” potong Hera meyakinkan.

Ditepisnya tangan Hera yang berada di pundaknya. “Ogah, percaya sama lu mah musyrik.”

“Ye si tai.”

—-

Berbincang dengan Hera mengenai banyak hal membuat Oza lupa jika Aiko belum juga menampakkan batang hidungnya setelah pamit menuju kamar kecil semenjak tiga puluh menit yang lalu. Kepergian Hera yang beranjak keluar kelab untuk mengangkat panggilan telepon meninggalkan Oza dalam kesendirian.

Tak kuasa menahan dirinya untuk menunggu Aiko, akhirnya Oza memutuskan untuk mencari sosok tersebut. Tungkai kakinya melangkah dengan sepasang manik mata yang menelisik sekitar, mencari keberadaan Aiko.

“Bang Ael di mana?” Oza memasang telinganya baik-baik.

“Tadi gua lihat keluar.”

Sekilas informasi yang ia dengar membuatnya bergegas untuk pergi menjauh dari kelimun. Terpaan angin malam menyambutnya tatkala pintu kelab terbuka. Oza kembali mengedarkan pandangan, namun hasilnya tetap nihil. Ia tak dapat menemukan Aiko di sana.

“Nyari Aiko?” Sebuah suara familiar merebak, memecah heningnya malam.

Dengan sedikit kegugupan, Oza menoleh pada sosok yang duduk di atas motor. Kumpulan asap putih keluar bersamaan dengan bibir yang sedikit terbuka. Wajahnya mendongak, menatap kelamnya sang bumantara.

Oza mengangguk kecil. “Iya,” jawabnya singkat.

“Lagi sama Ael,” jelas Januar.

“Kemana?”

“Ke tempatnya Ael.”

Satu kalimat yang berhasil memancing amarah Oza. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan sumpah serapah. Oza mencela Mikael yang tanpa tahu diri membawa Aiko setelah apa yang ia perbuat. Dilanjutkan dengan memaki Aiko yang bersedia untuk dipermainkan.

“Lu suka, ya? Sama Aiko?” Pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Januar meluluhlantakkan kecamuk pikiran Oza.

“Hah?”

“Lu kelihatan kayak sayang banget sama Aiko.” Januar menginjak puntung dari cerutu yang telah ia hisap.

Manik matanya lantas tertuju pada Oza. “Perlakuan lu ke Aiko sama ke Rava terlalu jomplang,” lanjut Januar.

“Ngaco,” respons Oza, tak habis pikir dengan pemikiran Januar.

“Gua gak membenarkan kelakuan Rava yang terobsesi sama Ael atau kelakuan nyelenehnya yang lain, cuman pernah gak lu mikir perasaan Rava yang jarang lu sama Aiko libatin di pertemanan kalian?” Januar bertanya sembari melipat kedua tangannya di dada.

“Bukannya gua gak mau ngelibatin Rava, masalahnya, Rava yang selalu ngasih batas pertemanan. Gua lebih deket sama Aiko karena kita saling terbuka,” jelas Oza, menyangkal tuduhannya sebagai “Sosok Teman yang Tidak Baik” yang diberikan oleh Januar secara tersirat.

“Lu pikir gua gak ada usaha buat bikin Rava terbuka sama gua?” Volume suara Oza mengeras, ia telah membuang semua rasa takutnya.

“Santai,” balas Januar.

“Gua gak lagi ngajak berantem,” lanjutnya yang semakin memancing amarah Oza.

“Lu pernah gak mikir kenapa Rava tertutup sama lu?”

“Karena Rava gak sepenuhnya percaya sama gua,” jawab Oza penuh dengan keyakinan.

“Lu gak pernah mikir kalau ternyata selama ini Rava gak pernah punya temen deket? What if he’s never befriend with anyone before, so he doesn’t know how friendship works?

Keterdiaman Oza membuat Januar mendengus kasar.

“Lu gak usah khawatir sama temen kesayangan lu itu. Ael gak bakal nyakitin dia.” Januar kembali memecah senyap yang melanda.

“Gak bakal nyakitin Aiko? Siapa? Ael?“ cecar Oza setelah tersadar dari lamunan.

“Terus selama ini dia ngapain Aiko kalau bukan nyakitin temen gua?” Oza bertanya dengan sinis.

“Ael just wants to protect his lover,” jawab Januar datar.

Tawa Oza menggema, ia tak dapat menahan dirinya untuk mencemooh lelucon paling lucu yang ia dengar hari ini.

“Protect him from what?” Oza mengusap sedikit air mata yang menumpuk di sudut kelopaknya.

Januar mengedikkan bahunya tak acuh. “From an unfortunate disaster,” jawab Januar yang berhasil membungkam Oza.

—-

“Lo gak mau ngejelasin apa gitu ke gue?” Aiko bertanya dengan nada datar, manik matanya terus tertuju pada Mikael yang sibuk sendiri di mini bar.

“Mau teh atau kopi?” tanya Mikael mengalihkan topik pembicaraan.

Keheningan menghinggapi ruangan luas yang dipenuhi oleh furnitur mewah, yang lantas dipecah oleh dentingan sendok. Setelah ditarik paksa oleh Mikael, sosok yang kini duduk di salah satu kursi mini bar menginjakkan kakinya di tempat Mikael tinggal. Pada sebuah penthouse megah yang Aiko skeptis jika ia dapat membelinya walaupun telah bekerja setengah mati.

Secangkir teh hangat kini tersaji di hadapan Aiko. Diliriknya kotak teh yang berada tak begitu jauh.

“It’s 2 a.m and you just served me English breakfast tea, what a beautiful morning,” sindir Aiko, yang kemudian menyesap tehnya.

Mikael terkekeh sembari berjalan memutari mini bar. Tujuannya untuk menghampiri Aiko sehingga keduanya dapat berhadapan tanpa ada meja sebagai pembatas di antara mereka.

“Gue orang keberapa yang lo bawa ke sini?” tanya Aiko setelah menyimpan cangkir di atas lepek.

“Gua gak inget,” jawab Mikael yang kini berdiri di samping kanan Aiko.

Kursi yang tengah Aiko duduki berputar, membuatnya dapat bersemuka dengan Mikael. Ada perasaan kecewa yang tengah Aiko sembunyikan saat mendengar jawaban dari sosok yang menatapnya dalam.

“Tapi kalau ‘orang’ yang lo maksud itu Rava dan yang lainnya, gua gak pernah ngajak mereka ke sini.” Mikael melanjutkan ucapannya sembari tersenyum.

“Sounds like bullshit to me,” sarkas Aiko.

“You can ask them if you want.”

“I don’t wanna waste my time.”

Kontak mata yang terjalin terputus begitu Aiko memutar kusinya untuk menyeruput tehnya kembali.

“Do you really wanna play a game, right?” Dentuman nyaring yang terdengar tak lantas mengalihkan perhatian Mikael dari Aiko.

“Do you want me to guess without saying anything to me? That’s pretty hard, I almost want to give up.” Aiko menyandarkan tubuhnya ke meja, netranya tertuju pada sosok yang tak bergeming di tempat.

“How many people do you want to involve in the game we play?” tanya Aiko tanpa ekspresi.

_“As much as possible, so he wouldn’t know that I’m just into you.”_ Jawaban yang diberikan Mikael membuat kepingan dari bongkahan beban Aiko terlepas.

Tidak banyak, namun cukup untuk menjadi sebuah petunjuk yang menggiring Aiko pada sebuah fakta yang masih belum terkuak.

“I see,” ujar Aiko pelan.

“Now I wanna know, how many times did you think of me while you’re kissing someone else?” Aiko bertanya tanpa beban.

Tubuh yang berdiam diri kini membungkuk guna mensejajarkan wajahnya dengan wajah Aiko. Kedua tangannya memegang pinggiran meja, mengungkung sosok yang memandangnya sayu.

“The answer is the same as the times you daydream kissing me,” jawab Mikael pelan.

Belaian dari jemari Aiko yang menyentuh permukaan bibirnya membuat napas Mikael memburu.

“Kiss me,” parau Aiko, kemudian mengalungkan tangannya di leher Mikael.

Bibir yang saling menempel menciptakan sengatan asing di tubuh Aiko. Netra sayu milik Aiko memandang wajah Mikael yang tengah menciumnya, sebelum ia ikut memejamkan mata. Menikmati lumatan yang diberikan oleh Mikael yang lantas Aiko balas dengan sedikit tergesa.

Lidah Mikael yang bermain di rongga mulutnya terasa menggelitik hingga lenguhan halus terdengar. Tatkala pasokan udara di dada menipis, Mikael memutus tautan mereka. Kening keduanya saling menempel dengan deru napas yang saling bersahutan.

Bibir Aiko tampak mengkilap akibat campuran saliva yang membasahi. Mikael kembali bergerak untuk mencium Aiko, sebelum Aiko membekap mulutnya.

“The tea is getting colder,” ujar Aiko seraya menjauhkan wajah Mikael.

Gelagat Aiko yang seakan tak acuh dengan kegiatan intim mereka membut Mikael berdecak sebal. Aiko, menyesap tehnya dengan sebuah senyuman yang menghiasi.

Secarik senyuman terpatri tatkala ingatannya ditarik kembali pada kejadian yang belum lama terjadi. Sepasang netra yang membulat lucu masih terputar dengan jelas di benak Mikael. Presensi Mikael di rapat kepantiaan kampus mampu membut Aiko terkesiap, sebab Aiko tak mengetahui jika Mikael menjadi salah satu anggota kepanitiaan yang tengah ia ketuai.

“Aiko keren banget deh,” celetuk Catalina, menyentak Mikael dari lamunan.

“Emang.” Mikael menjawab seraya mengangguk penuh rasa bangga.

“Pembawaannya tenang banget. Kalau gua lihat ada anak yang asik bercanda waktu rapat udah gua gundulin kali kepalanya.” Kerutan halus hadir di kening Catalina ketika mengingat potongan memori yang belum lama berlangsung.

“Alay lu.”

Tawa keduanya pecah, membuat banyak pasang mata yang memerhatikan.

“Lu bilang gitu kayak yang bisa marah aja,” ujar Mikael yang dibalas dengan senyuman simpul.

“Noh, datang anaknya!” seru Catalina, mengalihkan atensi Mikael.

Pintu kaca terbuka, menampakkan Aiko yang berjalan dengan dua orang mengekor di belakang. Manik mata yang terus tertuju pada Aiko akhirnya bersirobok dengan sepasang netra milik sosok rupawan. Tanpa diduga, Aiko melangkahkan kakinya menuju Mikael, membuat Catalina bergerak heboh.

“Kita lanjut rapatnya setelah makan ya,” siar Aiko kepada seluruh anggota kepanitiaan setelah berdiri di depan meja Mikael dan Catalina.

Pandangan Aiko bergerak turun. Ia lantas menatap Catalina dan Mikael secara bergantian.

“Kak, gue izin ke luar lagi ya, mau nyebat. Nanti tolong panggil aja kalau makanannya udah datang,” izin Aiko.

Catalina mengangguk sembari tersenyum. “Ael, temenin Aiai ya. Takut diculik,” titahnya pada Mikael.

“Gak bakal diculik. Penculiknya juga takut kalau sama Aiko,” jawab Mikael yang kemudian beranjak berdiri.

“Ayo.” Mikael mengajak Aiko yang tengah terdiam memantung.

Sosok yang lebih tua berjalan terlebih dahulu. Aiko menundukkan kepalanya untuk berpamitan dengan Catalina. Kemudian, ia menyusul Mikael yang sedang menunggunya.

Tak ada yang membuka percakapan di antara mereka. Keduanya mengatup rapat bibir masing-masing, memilih untuk terlarut dalam selubung pikiran. Udara hangat menyapa saat tungkai kaki mereka melangkah keluar. Mikael menyimpan tangannya di pagar balkon seraya memerhatikan pemandangan di sekitar.

Asap putih yang mengaburkan penglihatan membuat Mikael menoleh pada Aiko yang berada di sampingnya. Sosok yang tengah menghisap rokok elektrik menatap dirgantara yang dipenuhi gegana. Sisi wajah yang tampak begitu elok di mata Mikael menghasilkan rapalan kagum dalam hati yang tak dapat berhenti.

“Lu marahin anak dua yang tadi gimana?” Sekonyong-konyong Mikael bertanya, memecah senyap yang melanda.

“Gue gak marahin siapa-siapa. Cuman ngingetin aja biar saling menghargai. Kalau ada orang yang lagi ngomong harus didengerin, jangan malah asik bercanda sama yang lain,” jawab Aiko.

“Kenapa gak lu tegur langsung di depan semua orang?” Mikael kembali bertanya, netra kelam miliknya masih sibuk memerhatikan paras Aiko.

“Ngapain? Mau buat mereka malu?” Aiko balik bertanya.

“Gue gak mau ngebuat mereka gak nyaman. Kalau gue negur mereka langsung di depan semua anggota, malu yang mereka tanggung lebih banyak. Kedepannya juga mungkin mereka bakal dicap jelek sama anggota lain. Kalau cuman gue yang negur tanpa ada orang lain yang lihat kan mereka malunya cuman sama gue doang,” jelas Aiko yang kemudian kembali menyesap cerutunya.

Eksplanasi dari si lawan bicara membuat Mikael mengangguk paham. Lalu keheningan kembali menyelimuti kedua insan yang menyelam ke dalam lamunan.

“Gue ngerasa lo punya banyak hal yang pengen lo omongin ke gue.” Aiko membuka suara, menarik fokus Mikael.

“Tapi lo seakan gak bisa buat mengungkapkan itu semua.” Terdapat sebuah jeda saat Aiko beralih membalas tatapan sepasang netra yang kelam.

“Gue bakal nyari tau semuanya, so don’t push me away,” ujar Aiko berterus terang.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Mikael. Sekadar pandangan lurus yang tak dapat Aiko artikan. Kelopak mata Aiko melebar ketika Mikael tiba-tiba mendekatkan diri, hingga wajah keduanya hanya dipisahkan oleh sedikit jarak. Mikael mengendus tepat di depan bibir ranum kemerahan dengan tatapan mata yang terus tertuju pada Aiko.

“It smells different, did you change your liquid?” tanya Mikael seraya menjauhkan wajahnya.

“Iya,” jawab Aiko.

Rokok elektrik yang berada dalam genggamannya dihisap sekali lagi. Kali ini, giliran Aiko yang menghapus jarak di antara keduanya. Embusan asap keluar ketika bibir Aiko terbuka. Kepala Aiko yang dimiringkan membuat mereka terlihat seolah akan berciuman.

“Guess what?” tanya Aiko, netranya mengunci pergerakan dari netra Mikael.

“Caramel?” tebak Mikael dengan pandangan yang menggelap.

“Salted caramel.” Aiko berbisik untuk mengoreksi Mikael.

Pandangan mata Mikael perlahan turun menuju bibir Aiko, hingga menciptakan senyuman manis di wajah sang empunya. Aiko hampir mendekatkan diri, sebelum suara Catalina menginterupsi.

Di bawah rimbun pepohonan yang menjulang tinggi, terik mentari yang berada di atas kepala hanya memberikan sengatan kecil pada kulit. Sebuah bangunan besar yang sederhana diamati dengan lekat sembari menerka-nerka, sebab Aiko tak tahu di belahan bentala mana kakinya tengah berpijak. Pemandangan asri dari halaman luas yang disajikan membuat belenggu pikiran mengangkasa bersama dengan terpaan angin yang menggelitik.

Tungkai kaki yang berjalan mendekat berhenti tepat di samping Aiko. Manik matanya menatap sosok yang masih termangu. Mikael lantas tersenyum, sebelum menggenggam tangan Aiko dan menariknya untuk melangkah masuk menuju pekarangan yang dipenuhi berbagai jenis tanaman. Ranum merah muda masih terkatup rapat akibat sang empunya sibuk memerhatikan sekitar.

“Abaaaaaang!” Seruan nyaring terdengar, mengalihkan atensi Aiko.

Pintu yang menjulang tinggi terbuka lebar, menampakkan dua sosok asing. Lambaian tangan yang penuh semangat dengan senyuman lebar di wajah salah satu dari mereka menyambut, sebelum ia berlari kencang.

Netra bulat penuh binar menatap Aiko ketika langkahnya terhenti. Pandangan yang menelisik membuat Aiko mengalihkan tatapannya ke sembarang arah, menghindari untuk bersirobok dengan netra dari sosok yang penuh energi.

“Ai, kenalin, ini En—“

“Enzo! Kakaknya pasti kak Ai, kan?” tebak Enzo seraya tersenyum lebar.

Menyaksikan Enzo yang tengah berapi-api, Mikael hanya dapat menggeleng pelan. Di sebelahnya, Aiko tengah tersenyum canggung. Ia lantas mengeratkan mencengkeram tangan Mikael dalam genggaman, masih kebingungan atas kejadian yang tengah menimpanya.

“Aku Enzo, anak didiknya bang Ael. Baru mau masuk SMA tahun ini.” Enzo kembali memperkenalkan diri, kali ini lebih detail.

Tautan jemari terputus ketika Enzo meraih tangan Aiko untuk bersalaman. Enzo membalikkan tubuh, lalu menunjuk satu sosok yang tengah berjalan tanpa semangat. “Kalau itu namanya Kiki, temen aku. Sama dia juga baru mau masuk SMA tahun ini,” lanjut Enzo, memperkenalkan temannya.

“Ki, loyo amat.” Aiko menoleh pada Mikael yang kini menghampiri Kiki.

Bang Ael talks a lot about you! I thought he was lying when he said kak Ai has the prettiest eyes ever, ternyata beneran,” ujar Enzo seraya terkikik, sementara Aiko masih mengejapkan mata.

“Enzo! Kiki! Sini bantuin—Oh? Ael udah di sini?” Sosok lain datang, yakni seorang perempuan yang menggenakan pakaian rapi yang berjalan mendekat.

“Ael, bantuin saya buat ngatur kursi dong.” Manik mata yang tak sengaja menemukan presensi Aiko membulat.

“Ini siapa?” tanyanya kepada Mikael.

Alih-alih menjawab, Mikael hanya tersenyum simpul, membuat sosok yang bertanya ikut menarik sudut bibirnya ke atas.

“Aiko, ya? Kenalin saya Emma, salah satu perawat di sini.” Kemudian, Emma mendekati Aiko.

Uluran tangan di depannya Aiko balas, kepalanya sedikit menunduk untuk memberikan hormat. “Hallo kak Emma,” sapa Aiko, senyumam kaku tercetak di wajahnya.

“Kamu nanti jangan aneh ya kalau banyak anak-anak yang kenal sama kamu sebelum kamu ngenalin diri, soalnya Ael selalu nyeritain kamu non-stop kalau dia ke sini,” jelas Emma.

“Nah, sekarang karena di dalem masih agak berantakan, Enzo bawa kak Aiko buat nyuruh Ella yang lagi mainin kucing di taman buat masuk. Ael sama Kiki bantuin saya beres-beres di dalem!” Perbedaan nada di akhir perkataan Emma membuat Mikael dan Kiki cemberut.

“Zo, titip ya!” seru Mikael sebelum menyeret Kiki masuk ke dalam.

“Siap, abang!!” Enzo mengangkat tangan, menunjukan sikap hormat layaknya tengah berada di tengah lapangan upacara.

“Saya pamit dulu ya, Aiko,” pamit Emma yang dijawab dengan anggukan kecil.

“Ayo, kak Ai!” ajak Enzo yang tanpa tahu malu menggandeng lengan Aiko.

Enzo membawa Aiko menuju taman yang membentang luas. Dari kejauhan, Aiko dapat melihat seorang anak kecil yang tengah memainkan kucing.

“Ellaaaaa!” Teriakan Enzo membuat sosok yang dipanggil menoleh.

Senyuman manis terpatri pada wajah pucatnya. “Kak Enzooooo!” Tangan Ella melambai di udara.

“Tebak aku bawa siapa?!” Nada riang selalu terselip di setiap kata yang Enzo ucapkan. Aiko, tak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum.

Tubuh mungil Ella berlari kecil. Gaun putih yang ia kenakan menambah kesan manis padanya. Netra bulat yang mengamati Aiko bergerak dari atas ke bawah.

“Aku tau! Kak Ai yang sering diceritain sama kak Ael, kan?” tebak Ella.

Kepala Aiko dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang bercabang, namun inti dari semuanya hanya satu; apa saja yang Mikael ceritakan hingga semua orang yang ia temui dapat mengenalinya dengan cepat?

“Pinter!” Enzo mengelus surai Ella.

“Halo, kak Ai! Aku Ella! Umur aku sebentar lagi tujuh?” Ella menghitung jemari kecilnya.

“Tujuh tahun!” Serunya lantang setelah selesai menghitung.

Bibir Aiko berkedut, berusaha mengulum senyuman yang pada akhirnya gagal. Aiko lantas membungkuk, telapak tangannya ikut mengusap surai kecoklatan Ella. Senyuman pada wajah Aiko menghilang perlahan ketika ia menyadari jika Ella memakai sebuah wig. Namun, Aiko segera menarik sudut bibirnya kembali, berusaha menepis lara yang datang.

Kini, Aiko dapat menebak di mana kakinya menumpu, pada sebuah rumah singgah anak penderita kanker.

“Halo, Ella! Aku Aiko! Salam kenal, ya!” Aiko meniru ucapan Ella, membuat Ella dan Enzo terkekeh.

Lengan kiri Aiko didekap erat, sehingga Aiko berada di tengah kedua anak yang jauh lebih muda darinya.

“Kak Aiko harus tau deh! Kita selalu nyiapin soft cookies di setiap acara biar kapanpun kak Ai datang, kak Ai bisa langsung makan banyak soft cookies! Bang Ael bilang katanya kak Ai suka banget sama soft cookies terus nyuruh kita semua buat selalu nyediain soft cookies. Dia bilang katanya siapa tau kak Ai bakal datang ke sini.” Enzo bercerita di sela perjalanan mereka.

“Iya! Ella sampai bosen makan soft cookies mulu gara-gara kak Ai gak datang-datang. Tapi akhirnya kak Ai datang juga! Jadi aku gak perlu makanin soft cookies lagi di bulan ini!” timpal Ella.

Tutur kata yang penuh dengan kejujuran membuat Aiko tertawa pelan.

“Maaf ya, Ella. Nanti kak Ai bakal sering datang ke sini buat ngabisin soft cookies-nya,” respons Aiko yang sedang menahan gemas tatkala melihat mata bulat milik Ella.

“Asik!” pekik Ella senang.

Ketiga insan yang berjalan beringan masuk ke dalam bagunan besar. Aiko disambut dengan suasana ramai yang dipenuhi oleh anak-anak. Netranya menangkap sosok Mikael yang tengah berjongkok di depan salah satu anak.

Ella melepaskan rangkulannya pada lengan Aiko. Kemudian, ia berjalan untuk menghampiri Mikael.

“Kak Ael,” panggil Ella, tangannya menepuk bahu Mikael untuk mendapatkan atensi.

Mikael menoleh, mengelus pucuk kepala Ella, sebelum beranjak berdiri.

“Ella duduk di sini ya, di sebelah Pandu,” ucap Mikael lembut.

Manik mata Aiko tak dapat lepas dari Mikael yang kini menjadi satu-satunya atensi. Aiko bahkan tak sadar jika Enzo telah pergi untuk membantu menata makanan. Merasa tengah diperhatikan, Mikael menoleh pada sang pelaku. Netra yang saling bertemu menerbitkan senyuman manis di wajah Mikael. Tungkai kaki jenjang melangkah untuk menghampiri sosok yang memantung.

Pandangan Aiko bergerak turun, menatap telapak tangan Mikael yang terjulur. Dengan senang hati, Aiko menerima uluran tangan Mikael yang membawanya ke dalam genggaman hangat.

“Anak-anak, kak Ael mau ngenalin guru kalian hari ini! Udah pada tau belum siapa?” Mikael bertanya pada kumpulan anak yang telah duduk manis di kursinya masing-masing.

“Kak Ai!” Jawaban serentak memenuhi ruangan, membuat Aiko tersenyum lebar.

Ibu jari Mikael terangkat tinggi sebagai respon. “Kak Ai ini bakal ngajarin kalian bahasa Jepang yang bahkan kak Ael aja gak bisa loh!” Aiko mengejapkan mata atas ucapan Mikael.

Setelah dibawa tanpa diberi penjelasan, kini Mikael bertingkah seenak jidat menjadikannya guru bahasa Jepang dadakan. Aiko hendak mengeluarkan protes, sebelum ia melihat reaksi antusias di sekitarnya.

“Aku mau nanya!” Seorang anak perempuan yang mengenakan bennie mengacungkan tangan.

“Iya, kenapa Daisy?” Mikael mempersilahkan.

“Kak Ai itu siapanya kak Ael, ya?” Pertanyaan polos yang keluar dari bibir munggilnya menciptakan suasana yang ramai.

Mikael tersenyum canggung, ia lantas melirik Aiko di sampingnya. Seri pada wajah Aiko membuatnya terlihat lebih rupawan di mata Mikael.

“Halo, Daisy! Kenalin, aku Aiko. Calon pacarnya kak Ael.”

Ingar bingar menyapa serentak dengan kaki yang melangkah masuk ke dalam sebuah kafe. Sepasang netra yang sedikit membulat lantas mengedarkan pandangan, memerhatikan kelimun yang berlalu lalang. Atmosfer hangat yang mengelilingi membuat Aiko sedikit terkesiap, ia tidak pernah mengira bahwa sekumpulan manusia pecinta malam dapat menciptakan suasana yang berbanding terbalik dari biasanya.

Tatkala punggungnya bersandar pada kursi yang tengah ia duduki, manik matanya menelisik sekitar dengan teliti, seolah mencari sesuatu di tengah lautan manusia. Percakapan yang terdengar di sektiar tak Aiko hiraukan, memilih untuk menutup mulutnya.

“Stefany belum datang. Kayaknya masih tidur tuh anak.” Sebuah suara mengalihkan atensi Aiko, ia lantas menoleh pada Dean yang lebih sering dipanggil DJ.

“Lu jemput aja ke apartnya,” usul Augy yang duduk di samping kanan Aiko.

“Eh nanti bukannya ke sini, mereka malah berduaan di apartnya Fany,” timpal Anya, menciptakan bising pada meja yang mereka duduki dengan seketika.

“Bang DJ sama kak Fany beneran mantanan ya?” Aiko bertanya, tertarik atas topik yang tengah dibicarakan.

“Tau darimana lu?“ Dean balik bertanya.

Bahu Aiko terangkat, ekspresi wajahnya terlihat tak acuh. “Waktu zaman maba pernah denger kalian pacaran, terus setahun kemudian gue dapet kabar katanya lo sama kak Fany putus,” jawab Aiko.

“Emang bener, pernah pacaran mereka. Terus DJ sampai sekarang masih gamon.” Penjelasan dari Anya membuat Aiko mengangguk paham.

“Gua bukannya belum move on, tapi belum dapet yang pas aja,” sanggah Dean, perangai seriusnya terlihat jenaka di mata teman-temannya.

“Sama aja, nyet!” seru Augy seraya tertawa.

Senyuman di wajah Aiko perlahan redup, digantikan oleh ekspresi dingin tatkala ia merasakan sepasang mata yang memerhatikannya tajam. Di antara teman-teman Augy yang lain, terdapat satu sosok yang tak menerima kehadiran Aiko di sana.

“Noh, pak ketu datang,” sela Anya di tengah percakapan yang berlangsung.

Aiko dapat menangkap air muka Augy yang berubah cepat. Transisi sikap yang drastis dapat Aiko amati dengan baik. Setiap detail kecil dari Augy yang berusaha mengikis jarak antara dirinya dengan Aiko tak terlepas dari observasi Aiko.

“Udah kumpul semua belum?” Suasana dalam kafe hening seketika tatkala Mikael bertanya menggunakan mikrofon di atas panggung.

“Belom!” seru Dean. “Fany belom datang, kayaknya dia bakal datang siang,” lanjutnya.

“Yaudah, sekarang pada pesen makanan dulu. Acaranya bakal mulai 15 menit lagi,” ujar Mikael yang kemudian beranjak turun dari panggung.

Iris yang bergerak menuju ekor mata menangkap netra kelam yang menatapnya sekilas. Aiko kembali bersikap tak acuh, memilih untuk menimpali percakapan di sekitarnya.

“Gue mau ke toilet dulu,” pamit Aiko tiba-tiba.

“Mau gua anter?” Augy menawarkan dirinya.

“Gak usah, bang. Lo kata gue bocil,” jawab Aiko seraya terkekeh pelan.

“Yaaa siapa tau gak mau lepas dari gua.” Perkataan Augy membuat Aiko tersenyum tipis.

“Itu mah lo ke gue kali,” respons Aiko santai.

Gemuruh ejekan yang terlontar kepada Augy tak begitu Aiko hiraukan, ia berjalan bergegas menuju kamar kecil. Tujuannya bukan untuk mengurusi panggilan alam, melainkan tengah memancing seseorang yang terus memerhatikan gerak-geriknya dengan sepasang mata menusuk.

Gemercik air yang mengalir dari keran terdengar memenuhi ruangan yang sepi. Aiko mencuci tangan seraya menundukkan kepala. Derap langkah kaki yang mendekat tak lantas membuat aktivitasnya terhenti.

Tatkala Aiko mendongakkan wajah, pantulan sosok lain terlihat pada cermin. Aiko masih bersikap tak peduli, ia mengambil tisu dengan tenang.

“Lu tau kan kalau Mars sama Ael sebenernya gak suka ke lu?” tanya Haje yang bersandar pada tembok kamar mandi.

Tak mendapatkan respon dari Aiko, ia kembali membuka suara. “Lu gak usah kepedean. Jangan sampai ngerasa Mars sama Ael punya rasa ke lu, padahal mereka cuman manfaatin lu doang. Mau mereka cuman satu,” jelasnya sembari menekankan kalimat terakhir.

Bunyi nyaring dari tempat sampah yang ditutup kasar terdengar tepat ketika Haje menyelesaikan perkataannya. Ekspresi Aiko tak berubah, masih mempertahankan tampang dingin dengan manik mata yang terlihat datar.

Rasa kesal yang timbul akibat ketidakacuhan merebak dalam dada, membangkin gejolak emosi. Haje berjalan mendekat, meraih kerah baju Aiko saat telah berada di hadapan sosok tersebut.

“Lu pikir mereka bakal suka sama orang kayak lu?” tanya Haje yang diikuti dengan gemeletuk gigi yang saling bertumbuk.

Tak ada yang berubah dari gurat wajah Aiko, hingga mengundang datangnya amarah yang melimpah. Aiko mengangkat dagu, melemparkan pandangan datarnya pada Haje. Tangan yang menarik kerahnya Aiko genggam dengan erat, begitu erat hingga ringgisan kecil terdengar.

Let’s see, then. Kalau dua orang yang lo sebut akhirnya suka sama gue—“ Aiko menggantung ucapannya, memberikan tekanan yang lebih besar pada tangan Haje yang ia genggam.

“I’ll break this bone,” lanjut Aiko dengan manik mata yang berubah menjadi nyalang.

Tubuh tegap Haje didorong dengan keras, hingga cengkeraman pada kerah Aiko terlepas. Aiko lantas berjalan keluar seraya merapikan kerah yang kini menjasi kusut.

Notifikasi yang masuk membuat ponsel Aiko bergetar. Ponsel yang berada dalam saku celana ia ambil untuk melihat pesan yang terpampang di sana.

kiko sorry, gua pergi dulu sebentar. lu sama temen-temen gua dulu ya

Manik mata yang menatap malas kumpulan deret huruf bergerak mengayun ke atas. Aiko mengembuskan napas dengan kasar, sebelum kembali berjalan. Salah satu alis Aiko terangkat tatkala mendapati pemandangan yang berubah sangat jauh dibanding sebelumnya. Hanya terdapat segelintir orang yang duduk manis di tempat, sisanya berhamburan untuk mendekat pada panggung.

Tungkai kaki Aiko melangkah sedikit berat, enggan berbaur dengan khalayak. Namun, Aiko tetap menjadi satu di antara kumpulan manusia yang berdiri di dekat panggung. Sepasang netra tanpa ekspresi memandang lurus ke depan, tepat pada sosok yang kini duduk di atas panggung dengan sebuah gitar dalam dekapan.

Senar yang dipetik secara perlahan menghasilkan suara pelan, menimbulkan gemuruh atas tindakan kecil yang dilakukan.

“California sunshine.” Mikael mulai bernyanyi, teriakan yang terdengar membuat secarik senyuman hadir di wajahnya.

“But sometimes it's gonna rain. I wish it was always blue skies. But they can turn to gray.”

Alunan gitar yang dipadukan dengan suara yang sedikit parau menjadi sebuah kesatuan yang menggiring pada kata sempurna.

“Work yourself to the bone But sometimes you just can't win Life ain't about what you do It's who you do it with So let me know,

Would ya lend a hand to me if I needed help?”

Manik mata yang menggelap seakan sungkan untuk bergerak, terpaku pada Mikael yang bahkan tak membalas pandangannya.

“Would ya keep me company when I'm by myself?” Kalimat dalam bait terdengar seolah meminta jawaban pasti.

“And if heaven doesn't want us Would you go with me to hell?”

Mikael, tersiar layaknya betanya pada salah satu di antara lautan manusia yang terbuai suasana.

“Hope you know I don't want nobody else.”

Harapan dalam hati berteriak, meminta untuk menjadi seseorang yang tengah Mikael pikirkan saat ini.

Kemudian, nyanyian terhenti, digantikan oleh instrumen gitar yang mendominasi.

“Would ya lend a hand to me if I needed help? Would ya keep me company when I'm by myself? And if heaven doesn't want us Would ya go with me to hell? Hope you know I don't want nobody else.”

Kelopak mata sayu Aiko terasa sukar untuk sekadar berkedip.

“Would ya call me back in the middle of the night? Would ya kiss and make up after a stupid fight? If I share my darkest secrets Would you promise not to tell? Hope you know I'd do these things as well.”

Mikael kembali tersenyum, sebelum menyanyikan baris kalimat terakhir. Sepasang netra kelam kini membalas tatapan dari netra yang mulai meredup.

“Hope you know I don't want nobody else.”

Sorakan penonton menggema, melebur dengan tepuk tangan meriah. Mikael turun dari panggung yang kemudian disambut hangat oleh teman-temannya.

Sosok yang dikelilingi kelimun menjadi pusat yang selalu menarik orang-orang untuk mendekat. Mikael, selalu seperti itu, dan Aiko, selalu merasa semakin jauh. Potret yang tak ingin Aiko lihat membuatnya tertunduk. Di tengah segara yang penuh oleh manusia, Aiko memantung di tempat, memilih untuk menatap sepatu yang ia kenakan dalam kesendirian.

Hiruk pikuk yang perlahan mereda membuat langkah kaki yang mendekat terdengar jelas. Napas Aiko tercekat tatkala merasakan kehadiran seseorang yang berjalan melewatinya. Setitik harapan berubah menjadi sebongkah rasa kecewa yang menyeruak.

Aiko, layaknya seonggok kasat mata yang tak terlihat.

Beban yang berada di atas kepalanya menarik Aiko dari belenggu lamunan, manik matanya mengejap dengan cepat, berusaha memproses serangkai kejadian yang mendatangi. Ia lantas mendongak, seiring dengan hadirnya usapan lembut yang membelai surai miliknya.

Sebuah senyuman manis yang menyapa ditangkap oleh sepasang netra elok. Mikael, berdiri tepat di samping Aiko dengan senyuman yang menghiasi.

Tangan yang mengelus surai legam Aiko kini beranjak turun. Di bawah sana, kelingking keduanya saling bertaut, kemudian Mikael bergerak untuk membawa jemari Aiko ke dalam genggaman.

“Ayo.” Kelopak mata Aiko melebar atas ajakan Mikael.

“Kemana?” tanyanya dengan suara serak.

Senyuman kembali terbit di wajah Mikael, menenggelamkan netra dibaliknya.

“To somewhere that makes you feel alive.”