Secangkir Teh dan Sebuah Tautan Hangat

Lantunan musik yang membuat telinga berdengung memenuhi setiap penjuru ruangan, melesak di antara padatnya khalayak. Kombinasi dari dua suasana yang Aiko benci tengah menggurungnya sekarang; ramai dan berisik. Aiko berusaha untuk menepis masygul yang melanda, namun adegan yang tertangkap oleh lensa matanya menimbulkan percikan api dalam dada.

“Samperin, ege,” celetuk Hera yang berada di samping Aiko.

Kedua orang yang tengah menjadi pusat perhatian Aiko sibuk dengan dunia yang mereka ciptakan, bahkan sebuah tatapan nyalang yang dilemparkan oleh Aiko tak mereka gubris.

“Lihatin aja dulu, kalau ampe lebih intim, baru gua obrak-abrik nih tempat.” Oza lantas meneguk tequila miliknya dengan bringas.

Kesal, tentu saja. Oza merasa sosok yang tertawa renyah sedang mempermainkan Aiko. Seumpama hanya dirinya yang menyaksikan Mikael yang bercengkerama mesra dengan orang lain, sebuah pukulan keras mungkin sudah mendarat tepat di wajah Mikael saat itu juga. Bila perlu, Oza akan membuat hidung bangir Mikael patah.

“Kiko, lu sama bang Ael tuh pernah ada sesuatu gak sih?” Hera tiba-tiba bertanya, menarik atensi Aiko dan Oza.

“Maksud lo?” tanya Aiko, mempertahankan ekspresi datarnya.

“Yaaa maksud gua tuh kayak apa, ya? Lu sama bang Ael kelihatan udah kenal lama. Gua gak tau emang gua yang halu apa gimana, tapi lu tuh seems comfortable whenever bang Ael’s around,” jelas Hera sembari mencari potongan jeli dalam gelas yang berisi mojito.

“Gua ngerasa beda gitu ketika lihat interaksi lu sama bang Augy. Walaupun gua ngerasa lu nyaman juga sama bang Augy, tapi beda aja gitu. Gak tau dah, kadang gua merasa sangat sotoy,” lanjut Hera.

Aiko dan Oza saling melemparkan pandangan. Keheningan yang menyelimuti membuat Hera mendongak, kemudian menoleh pada Aiko dan Oza secara bergantian.

“Kenapa?” tanya Hera kebingungan dengan tingkah dua orang temannya.

Merasa tak perlu menyembunyikannya lagi dari Hera, sosok yang dibalut oleh kaus berwarna putih polos dan celana dark jeans bersuara, “Sebenernya Ael sama gue pernah pacaran.”

“HAH?!”

Bola mata yang membelalak dengan mulut yang menganga lebar hampir membuat Oza mati-matian menahan tawanya.

“Lu jelek banget anying,” ejek Oza yang dihadiahi tamparan keras di lengan atas.

OOT lu!” omel Hera kesal.

Perdebatan yang tengah berlangsung tak mengubris Aiko yang kini memerhatikan kembali interaksi Mikael dengan Lio. Dengusan kasar terdengar tatkala ia menyaksikan Mikael yang mengusap surai lawan bicaranya.

“Gue cerita nanti, mau ke toilet dulu,” ujar Aiko datar, yang kemudian melanglang pergi tanpa menunggu reaksi dari Oza dan Hera.

Kedua temannya yang saling menjabak menoleh pada Aiko.

“Kiko!” panggil Oza kencang.

“Biarin aja.” Hera menarik Oza untuk kembali duduk.

“Tapi—“

“Percaya sama gua, Ja,” potong Hera meyakinkan.

Ditepisnya tangan Hera yang berada di pundaknya. “Ogah, percaya sama lu mah musyrik.”

“Yeee, si tai.”


Berbincang dengan Hera mengenai banyak hal membuat Oza lupa jika Aiko belum juga menampakkan batang hidungnya setelah pamit menuju kamar kecil semenjak tiga puluh menit yang lalu. Kepergian Hera yang beranjak keluar kelab untuk mengangkat panggilan telepon meninggalkan Oza dalam kesendirian.

Tak kuasa menahan dirinya untuk menunggu Aiko, akhirnya Oza memutuskan untuk mencari sosok tersebut. Tungkai kakinya melangkah dengan sepasang manik mata yang menelisik sekitar, mencari keberadaan Aiko.

“Bang Ael di mana?” Oza memasang telinganya baik-baik.

“Tadi gua lihat keluar.”

Sekilas informasi yang ia dengar membuatnya bergegas untuk pergi menjauh dari kelimun. Terpaan angin malam menyambutnya tatkala pintu kelab terbuka. Oza kembali mengedarkan pandangan, namun hasilnya tetap nihil. Ia tak dapat menemukan Aiko di sana.

“Nyari Aiko?” Sebuah suara familiar merebak, memecah heningnya malam.

Dengan sedikit kegugupan, Oza menoleh pada sosok yang duduk di atas motor. Kumpulan asap putih keluar bersamaan dengan bibir yang sedikit terbuka. Wajahnya mendongak, menatap kelamnya sang bumantara.

Oza mengangguk kecil. “Iya,” jawabnya singkat.

“Lagi sama Ael,” jelas Januar.

“Kemana?”

“Ke tempatnya Ael.”

Satu kalimat yang berhasil memancing amarah Oza. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan sumpah serapah. Oza mencela Mikael yang tanpa tahu diri membawa Aiko setelah apa yang ia perbuat. Dilanjutkan dengan memaki Aiko yang bersedia untuk dipermainkan.

“Lu suka, ya? Sama Aiko?” Pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Januar meluluhlantakkan kecamuk pikiran Oza.

“Hah?”

“Lu kelihatan kayak sayang banget sama Aiko.” Januar menginjak puntung dari cerutu yang telah ia hisap.

Manik matanya lantas tertuju pada Oza. “Perlakuan lu ke Aiko sama ke Rava terlalu jomplang,” lanjut Januar.

“Ngaco,” respons Oza, tak habis pikir dengan pemikiran Januar.

“Gua gak membenarkan kelakuan Rava yang terobsesi sama Ael atau kelakuan nyelenehnya yang lain, cuman pernah gak lu mikir perasaan Rava yang jarang lu sama Aiko libatin di pertemanan kalian?” Januar bertanya sembari melipat kedua tangannya di dada.

“Bukannya gua gak mau ngelibatin Rava, masalahnya, Rava yang selalu ngasih batas pertemanan. Gua lebih deket sama Aiko karena kita saling terbuka,” jelas Oza, menyangkal tuduhannya sebagai “Sosok Teman yang Tidak Baik” yang diberikan oleh Januar secara tersirat.

“Lu pikir gua gak ada usaha buat bikin Rava terbuka sama gua?” Volume suara Oza mengeras, ia telah membuang semua rasa takutnya.

“Santai,” balas Januar.

“Gua gak lagi ngajak berantem,” lanjutnya yang semakin memancing amarah Oza.

“Lu pernah gak mikir kenapa Rava tertutup sama lu?”

“Karena Rava gak sepenuhnya percaya sama gua,” jawab Oza penuh dengan keyakinan.

“Lu gak pernah mikir kalau ternyata selama ini Rava gak pernah punya temen deket? What if he’s never befriend with anyone before, so he doesn’t know how friendship works?

Keterdiaman Oza membuat Januar mendengus kasar.

“Lu gak usah khawatir sama temen kesayangan lu itu. Ael gak bakal nyakitin dia.” Januar kembali memecah senyap yang melanda.

“Gak bakal nyakitin Aiko? Siapa? Ael?“ cecar Oza setelah tersadar dari lamunan.

“Terus selama ini dia ngapain Aiko kalau bukan nyakitin temen gua?” Oza bertanya dengan sinis.

“Ael just wants to protect his lover,” jawab Januar datar.

Tawa Oza menggema, ia tak dapat menahan dirinya untuk mencemooh lelucon paling lucu yang ia dengar hari ini.

“Protect him from what?” Oza mengusap sedikit air mata yang menumpuk di sudut kelopaknya.

Januar mengedikkan bahunya tak acuh. “From an unfortunate disaster,” jawab Januar yang berhasil membungkam Oza.


“Lo gak mau ngejelasin apa gitu ke gue?” Aiko bertanya dengan nada datar, manik matanya terus tertuju pada Mikael yang sibuk sendiri di mini bar.

“Mau teh atau kopi?” tanya Mikael mengalihkan topik pembicaraan.

Keheningan menghinggapi ruangan luas yang dipenuhi oleh furnitur mewah, yang lantas dipecah oleh dentingan sendok. Setelah ditarik paksa oleh Mikael, sosok yang kini duduk di salah satu kursi mini bar menginjakkan kakinya di tempat Mikael tinggal. Pada sebuah penthouse megah yang Aiko skeptis jika ia dapat membelinya walaupun telah bekerja setengah mati.

Secangkir teh hangat kini tersaji di hadapan Aiko. Diliriknya kotak teh yang berada tak begitu jauh.

“It’s 2 a.m and you just served me English breakfast tea, what a beautiful morning,” sindir Aiko, yang kemudian menyesap tehnya.

Mikael terkekeh sembari berjalan memutari mini bar. Tujuannya untuk menghampiri Aiko sehingga keduanya dapat berhadapan tanpa ada meja sebagai pembatas di antara mereka.

“Gue orang keberapa yang lo bawa ke sini?” tanya Aiko setelah menyimpan cangkir di atas lepek.

“Gua gak inget,” jawab Mikael yang kini berdiri di samping kanan Aiko.

Kursi yang tengah Aiko duduki berputar, membuatnya dapat bersemuka dengan Mikael. Ada perasaan kecewa yang tengah Aiko sembunyikan saat mendengar jawaban dari sosok yang menatapnya dalam.

“Tapi kalau ‘orang’ yang lo maksud itu Rava dan yang lainnya, gua gak pernah ngajak mereka ke sini.” Mikael melanjutkan ucapannya sembari tersenyum.

“Sounds like bullshit to me,” sarkas Aiko.

“You can ask them if you want.”

“I don’t wanna waste my time.”

Kontak mata yang terjalin terputus begitu Aiko memutar kusinya untuk menyeruput tehnya kembali.

“Do you really wanna play a game, right?” Dentuman nyaring yang terdengar tak lantas mengalihkan perhatian Mikael dari Aiko.

“Do you want me to guess without saying anything to me? That’s pretty hard, I almost want to give up.” Aiko menyandarkan tubuhnya ke meja, netranya tertuju pada sosok yang tak bergeming di tempat.

“How many people do you want to involve in the game we play?” tanya Aiko tanpa ekspresi.

_“As much as possible, so he wouldn’t know that I’m just into you.”_ Jawaban yang diberikan Mikael membuat kepingan dari bongkahan beban Aiko terlepas.

Tidak banyak, namun cukup untuk menjadi sebuah petunjuk yang menggiring Aiko pada sebuah fakta yang masih belum terkuak.

“I see,” ujar Aiko pelan.

“Now I wanna know, how many times did you think of me while you’re kissing someone else?” Aiko bertanya tanpa beban.

Tubuh yang berdiam diri kini membungkuk guna mensejajarkan wajahnya dengan wajah Aiko. Kedua tangannya memegang pinggiran meja, mengungkung sosok yang memandangnya sayu.

“The answer is the same as the times you daydream kissing me,” jawab Mikael pelan.

Belaian dari jemari Aiko yang menyentuh permukaan bibirnya membuat napas Mikael memburu.

“Kiss me,” parau Aiko, kemudian mengalungkan tangannya di leher Mikael.

Bibir yang saling menempel menciptakan sengatan asing di tubuh Aiko. Netra sayu milik Aiko memandang wajah Mikael yang tengah menciumnya, sebelum ia ikut memejamkan mata. Menikmati lumatan yang diberikan oleh Mikael yang lantas Aiko balas dengan sedikit tergesa.

Lidah Mikael yang bermain di rongga mulutnya terasa menggelitik hingga lenguhan halus terdengar. Tatkala pasokan udara di dada menipis, Mikael memutus tautan mereka. Kening keduanya saling menempel dengan deru napas yang saling bersahutan.

Bibir Aiko tampak mengkilap akibat campuran saliva yang membasahi. Mikael kembali bergerak untuk mencium Aiko, sebelum Aiko membekap mulutnya.

“The tea is getting colder,” ujar Aiko seraya menjauhkan wajah Mikael.

Gelagat Aiko yang seakan tak acuh dengan kegiatan intim mereka membut Mikael berdecak sebal. Aiko, menyesap tehnya dengan sebuah senyuman yang menghiasi.