Himpunan Harapan yang Melebur

Di bawah rimbun pepohonan yang menjulang tinggi, terik mentari yang berada di atas kepala hanya memberikan sengatan kecil pada kulit. Sebuah bangunan besar yang sederhana diamati dengan lekat sembari menerka-nerka, sebab Aiko tak tahu di belahan bentala mana kakinya tengah berpijak. Pemandangan asri dari halaman luas yang disajikan membuat belenggu pikiran mengangkasa bersama dengan terpaan angin yang menggelitik.

Tungkai kaki yang berjalan mendekat berhenti tepat di samping Aiko. Manik matanya menatap sosok yang masih termangu. Mikael lantas tersenyum, sebelum menggenggam tangan Aiko dan menariknya untuk melangkah masuk menuju pekarangan yang dipenuhi berbagai jenis tanaman. Ranum merah muda masih terkatup rapat akibat sang empunya sibuk memerhatikan sekitar.

“Abaaaaaang!” Seruan nyaring terdengar, mengalihkan atensi Aiko.

Pintu yang menjulang tinggi terbuka lebar, menampakkan dua sosok asing. Lambaian tangan yang penuh semangat dengan senyuman lebar di wajah salah satu dari mereka menyambut, sebelum ia berlari kencang.

Netra bulat penuh binar menatap Aiko ketika langkahnya terhenti. Pandangan yang menelisik membuat Aiko mengalihkan tatapannya ke sembarang arah, menghindari untuk bersirobok dengan netra dari sosok yang penuh energi.

“Ai, kenalin, ini En—“

“Enzo! Kakaknya pasti kak Ai, kan?” tebak Enzo seraya tersenyum lebar.

Menyaksikan Enzo yang tengah berapi-api, Mikael hanya dapat menggeleng pelan. Di sebelahnya, Aiko tengah tersenyum canggung. Ia lantas mengeratkan mencengkeram tangan Mikael dalam genggaman, masih kebingungan atas kejadian yang tengah menimpanya.

“Aku Enzo, anak didiknya bang Ael. Baru mau masuk SMA tahun ini.” Enzo kembali memperkenalkan diri, kali ini lebih detail.

Tautan jemari terputus ketika Enzo meraih tangan Aiko untuk bersalaman. Enzo membalikkan tubuh, lalu menunjuk satu sosok yang tengah berjalan tanpa semangat. “Kalau itu namanya Kiki, temen aku. Sama dia juga baru mau masuk SMA tahun ini,” lanjut Enzo, memperkenalkan temannya.

“Ki, loyo amat.” Aiko menoleh pada Mikael yang kini menghampiri Kiki.

Bang Ael talks a lot about you! I thought he was lying when he said kak Ai has the prettiest eyes ever, ternyata beneran,” ujar Enzo seraya terkikik, sementara Aiko masih mengejapkan mata.

“Enzo! Kiki! Sini bantuin—Oh? Ael udah di sini?” Sosok lain datang, yakni seorang perempuan yang menggenakan pakaian rapi yang berjalan mendekat.

“Ael, bantuin saya buat ngatur kursi dong.” Manik mata yang tak sengaja menemukan presensi Aiko membulat.

“Ini siapa?” tanyanya kepada Mikael.

Alih-alih menjawab, Mikael hanya tersenyum simpul, membuat sosok yang bertanya ikut menarik sudut bibirnya ke atas.

“Aiko, ya? Kenalin saya Emma, salah satu perawat di sini.” Kemudian, Emma mendekati Aiko.

Uluran tangan di depannya Aiko balas, kepalanya sedikit menunduk untuk memberikan hormat. “Hallo kak Emma,” sapa Aiko, senyumam kaku tercetak di wajahnya.

“Kamu nanti jangan aneh ya kalau banyak anak-anak yang kenal sama kamu sebelum kamu ngenalin diri, soalnya Ael selalu nyeritain kamu non-stop kalau dia ke sini,” jelas Emma.

“Nah, sekarang karena di dalem masih agak berantakan, Enzo bawa kak Aiko buat nyuruh Ella yang lagi mainin kucing di taman buat masuk. Ael sama Kiki bantuin saya beres-beres di dalem!” Perbedaan nada di akhir perkataan Emma membuat Mikael dan Kiki cemberut.

“Zo, titip ya!” seru Mikael sebelum menyeret Kiki masuk ke dalam.

“Siap, abang!!” Enzo mengangkat tangan, menunjukan sikap hormat layaknya tengah berada di tengah lapangan upacara.

“Saya pamit dulu ya, Aiko,” pamit Emma yang dijawab dengan anggukan kecil.

“Ayo, kak Ai!” ajak Enzo yang tanpa tahu malu menggandeng lengan Aiko.

Enzo membawa Aiko menuju taman yang membentang luas. Dari kejauhan, Aiko dapat melihat seorang anak kecil yang tengah memainkan kucing.

“Ellaaaaa!” Teriakan Enzo membuat sosok yang dipanggil menoleh.

Senyuman manis terpatri pada wajah pucatnya. “Kak Enzooooo!” Tangan Ella melambai di udara.

“Tebak aku bawa siapa?!” Nada riang selalu terselip di setiap kata yang Enzo ucapkan. Aiko, tak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum.

Tubuh mungil Ella berlari kecil. Gaun putih yang ia kenakan menambah kesan manis padanya. Netra bulat yang mengamati Aiko bergerak dari atas ke bawah.

“Aku tau! Kak Ai yang sering diceritain sama kak Ael, kan?” tebak Ella.

Kepala Aiko dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang bercabang, namun inti dari semuanya hanya satu; apa saja yang Mikael ceritakan hingga semua orang yang ia temui dapat mengenalinya dengan cepat?

“Pinter!” Enzo mengelus surai Ella.

“Halo, kak Ai! Aku Ella! Umur aku sebentar lagi tujuh?” Ella menghitung jemari kecilnya.

“Tujuh tahun!” Serunya lantang setelah selesai menghitung.

Bibir Aiko berkedut, berusaha mengulum senyuman yang pada akhirnya gagal. Aiko lantas membungkuk, telapak tangannya ikut mengusap surai kecoklatan Ella. Senyuman pada wajah Aiko menghilang perlahan ketika ia menyadari jika Ella memakai sebuah wig. Namun, Aiko segera menarik sudut bibirnya kembali, berusaha menepis lara yang datang.

Kini, Aiko dapat menebak di mana kakinya menumpu, pada sebuah rumah singgah anak penderita kanker.

“Halo, Ella! Aku Aiko! Salam kenal, ya!” Aiko meniru ucapan Ella, membuat Ella dan Enzo terkekeh.

Lengan kiri Aiko didekap erat, sehingga Aiko berada di tengah kedua anak yang jauh lebih muda darinya.

“Kak Aiko harus tau deh! Kita selalu nyiapin soft cookies di setiap acara biar kapanpun kak Ai datang, kak Ai bisa langsung makan banyak soft cookies! Bang Ael bilang katanya kak Ai suka banget sama soft cookies terus nyuruh kita semua buat selalu nyediain soft cookies. Dia bilang katanya siapa tau kak Ai bakal datang ke sini.” Enzo bercerita di sela perjalanan mereka.

“Iya! Ella sampai bosen makan soft cookies mulu gara-gara kak Ai gak datang-datang. Tapi akhirnya kak Ai datang juga! Jadi aku gak perlu makanin soft cookies lagi di bulan ini!” timpal Ella.

Tutur kata yang penuh dengan kejujuran membuat Aiko tertawa pelan.

“Maaf ya, Ella. Nanti kak Ai bakal sering datang ke sini buat ngabisin soft cookies-nya,” respons Aiko yang sedang menahan gemas tatkala melihat mata bulat milik Ella.

“Asik!” pekik Ella senang.

Ketiga insan yang berjalan beringan masuk ke dalam bagunan besar. Aiko disambut dengan suasana ramai yang dipenuhi oleh anak-anak. Netranya menangkap sosok Mikael yang tengah berjongkok di depan salah satu anak.

Ella melepaskan rangkulannya pada lengan Aiko. Kemudian, ia berjalan untuk menghampiri Mikael.

“Kak Ael,” panggil Ella, tangannya menepuk bahu Mikael untuk mendapatkan atensi.

Mikael menoleh, mengelus pucuk kepala Ella, sebelum beranjak berdiri.

“Ella duduk di sini ya, di sebelah Pandu,” ucap Mikael lembut.

Manik mata Aiko tak dapat lepas dari Mikael yang kini menjadi satu-satunya atensi. Aiko bahkan tak sadar jika Enzo telah pergi untuk membantu menata makanan. Merasa tengah diperhatikan, Mikael menoleh pada sang pelaku. Netra yang saling bertemu menerbitkan senyuman manis di wajah Mikael. Tungkai kaki jenjang melangkah untuk menghampiri sosok yang memantung.

Pandangan Aiko bergerak turun, menatap telapak tangan Mikael yang terjulur. Dengan senang hati, Aiko menerima uluran tangan Mikael yang membawanya ke dalam genggaman hangat.

“Anak-anak, kak Ael mau ngenalin guru kalian hari ini! Udah pada tau belum siapa?” Mikael bertanya pada kumpulan anak yang telah duduk manis di kursinya masing-masing.

“Kak Ai!” Jawaban serentak memenuhi ruangan, membuat Aiko tersenyum lebar.

Ibu jari Mikael terangkat tinggi sebagai respon. “Kak Ai ini bakal ngajarin kalian bahasa Jepang yang bahkan kak Ael aja gak bisa loh!” Aiko mengejapkan mata atas ucapan Mikael.

Setelah dibawa tanpa diberi penjelasan, kini Mikael bertingkah seenak jidat menjadikannya guru bahasa Jepang dadakan. Aiko hendak mengeluarkan protes, sebelum ia melihat reaksi antusias di sekitarnya.

“Aku mau nanya!” Seorang anak perempuan yang mengenakan bennie mengacungkan tangan.

“Iya, kenapa Daisy?” Mikael mempersilahkan.

“Kak Ai itu siapanya kak Ael, ya?” Pertanyaan polos yang keluar dari bibir munggilnya menciptakan suasana yang ramai.

Mikael tersenyum canggung, ia lantas melirik Aiko di sampingnya. Seri pada wajah Aiko membuatnya terlihat lebih rupawan di mata Mikael.

“Halo, Daisy! Kenalin, aku Aiko. Calon pacarnya kak Ael.”