jennoonaa

dedicated to myself and nominist

Kepala Jose menyembul di balik pintu guna memeriksa keadaan sekitar. Merasa tidak menemukan eksistensi Aby, sosok yang membawa kucing dalam gendongan berjalan keluar. Netranya sibuk berkelana, memastikan jika tak ada tanda-tanda keberadaan siapapun selain dirinya di sana

Tungkai kaki Jose melangkah terburu-buru menuju lobi. Ia takut presensinya diketahui oleh Aby, meskipun hatinya sangat menginginkan untuk bertemu sosok yang sering bersemayam di benaknya itu. Jose menepis keinginannya untuk bertemu Aby, saat ini, ia harus berusaha menghindari Aby, bagaimanapun caranya.

“Mocca, lu gak laper apa? Dari tadi perasaan tidur mulu,” tanya Jose pada kucing dalam gendongannya yang ia namai sendiri tanpa persetujuan sang pemilik.

“Meow.” Kucing yang kini tengah dielus oleh Jose memberikan respons.

“Oh iya, lu kan udah ngabisin stok sosis kanzler gua.” Jose masih sibuk berceloteh, wajahnya tertunduk untuk melihat Mocca.

Jemari Jose sibuk mengelus dagu Mocca, membuat kucing kecil itu memejamkan mata.

“Abis ini kita makan,” ujar Jose sebelum mendongakkan kepala.

Perlu beberapa detik bagi Jose untuk mencerna kejadian yang sedang menimpanya. Ketika semua pandangan mata tertuju pada dirinya, Jose membeku di tempat.

Sejak kapan lobi menjadi seramai ini?

Pandangan Jose tertuju pada satu sosok yang paling menarik atensinya. Tatkala manik mata mereka bertemu, Jose kembali dibawa untuk mengingat kecupan singkat yang diberikan oleh Aby. Bagaimana bibir Aby menyentuh bibirnya, kemudian memberikan gigitan kecil di sana.

“DOMBA MINI!!!!!” Teriakan yang menggema memecahkan lamunan Jose.

“Gua kira Domba Mini udah mati.” Salah satu dari kumpulan orang yang berada di lobi terlihat seperti habis menangis. Tentu saja itu Azriel yang sangat dramatis.

Sosok jangkung dengan mata sembab berjalan ke arah Jose. “Kak Jose kenapa gak bilang kalau Domba Mini ketemu?” tanya Azriel parau.

“Ini rame begini buat nyariin Mocca?” Jose balik bertanya, masih sedikit linglung.

“Kasih makan sana.” Suara Aby yang tertangkap oleh indera pendengarannya membuat Jose bergerak kaku saat Azriel mengambil Mocca dalam gendongannya.

Apa yang harus Jose lakukan sekarang? Kakinya sudah siap untuk berlari, namun perutnya tengah melayangkan aksi demo besar-besaran hingga terdengar bunyi yang memalukan.

“Kucing yang satu ini juga laper ternyata,” celetuk Aby yang menciptakan rona merah yang menjalar di pipi Jose hingga ke telinga.

Jose malu setengah mati. Bibir bawahnya menjadi korban atas rasa malu Jose, digigit sekencang mungkin dengan tujuan menghapus sedikit rasa malu yang menimpanya.

“Mau makan apa?” Aby bertanya seraya meraih dagu Jose, mengangkat wajah yang sibuk tertunduk untuk mempertemukan netra mereka.

“Are you edible?” tanya Jose, pandangan matanya turun ke bawah, tepat pada bibir Aby.

Detik berikutnya, Aby mendekatkan wajah, memperpendek jarak di antara mereka. “I guess so, wanna try?” bisik Aby.

“Tapi kali ini jangan ditampar,” lanjut Aby sembari menjauhkan wajahnya.

Senyuman manis terpatri di wajah Aby hingga matanya ikut membentuk lengkungan bulan sabit.

“Makan dulu makanan beneran. We can talk about it later,” titahnya sebelum menarik tangan Jose.

Pintu yang dibuka secara hati-hati hingga menimbulkan sedikit bunyi. Jose mengintip di balik pintu kamar mandi, mencari keberadaan Aby. Sepasang netra bulatnya berkelana, menyapu kamar Aby yang tertata rapi.

Merasa tidak menemukan keberadaan dari sosok yang dicari, Jose lantas keluar seperti pencuri. Kaki telanjangnya sedikit berjinjit, mengendap layaknya tokoh Swiper Dora the Explorer. Perjalanan menuju pintu kamar Aby bagi Jose saat ini terasa begitu lama. Adrlenalin yang memicu detak jantungnya berdetak lebih cepat mulai berkurang ketika pintu sudah berada di depan mata.

Belum sempat Jose menyentuh kenop, pintu dibuka dari luar. Tubuh yang hanya dibalut mantel mandi membeku seketika. Presensi Aby yang ditangkap oleh indra pengelihatannya membuat Jose menahan napas.

“Mau kemana?” Aby bertanya seraya melangkah masuk.

Tubuh yang bergeming di tempat selama beberapa detik akhirnya bergerak dengan gerakan kaku. Mundur perlahan untuk mempersilahkan Aby.

“Gua lupa bawa baju ganti,” jawab Jose.

“Pake baju gua dulu aja.” Tawaran yang diberikan oleh Aby menciptakan kerutan halus pada kening Jose yang lantas menggeleng.

“Gak usah. Gua ke kamar aja sekarang.” Jose tentu saja menolak walaupun hatinya meronta ingin memakai pakaian Aby.

Membayangkan potongan kain milik Aby membalut tubuhnya dengan semerbak aroma tubuh milik Aby yang memanjakan hidung Jose hampir membuatnya berteriak kencang.

“Di luar hujan. Mending lu pake baju gua dulu.”

Penolakan Jose berakhir sia-sia, namun ia tidak kecewa sama sekali. Bibirnya terasa begitu gatal ingin menyunggingkan senyum.

“Yaudah.”


Lebih dari sepuluh menit Jose terdiam seraya mengamati pantulan dirinya di cermin. Tersenyum lebar dengan durasi yang lama hingga pipinya menjadi kaku. Jose ingin tinggal di dalam kamar Aby lebih lama, kendati ia tengah berdiam diri di kamar mandi.

Netra eloknya menghilang di balik kelopak mata, terpejam untuk beberapa saat sebelum berjalan pergi. Jose mengatur napasnya seraya melangkahkan kaki.

“Udah?” Suara Aby menyambut tepat ketika Jose keluar dari kamar mandi. Jose hanya membalas dengan anggukan singkat.

Gelagat Jose yang berubah menjadi pendiam bukan karena Jose ingin jual mahal. Ia sedang meredakan jantungnya yang berdetak tak karuan.

“Mau teh?”

Bibir ranum yang tertutup rapat digigit oleh sang empunya, menimang tawaran Aby. Kali ini, Jose tak tahu peringai apa yang harus ia tunjukkan.

Apakah Jose harus membuat Aby menyesal seperti yang dikatakan oleh Dicky atau bersikap layaknya seekor kucing garong seperti yang dikatakan Dzacky?

“Mau,” jawab Jose pada akhirnya, tidak ingin menyesal untuk kali kedua.

Jose kemudian menarik kursi di depan meja yang tertutup kain bermotif bunga. Manik matanya menelisik sekitar, mengamati detail kamar Aby yang belum sempat ia lihat di awal kedatangannya.

Ukuran kamar Aby sama dengan kamar yang ditempati Jose. Perbedaannya terletak pada furnitur yang digunakan. Pandangan Jose lantas terhenti ketika menemukan foto-foto Aby yang Jose yakini bersama keluarganya. Ia menemukan Gladys di sana.

Kedatangan Aby dengan dua cangkir teh dan cookies di atas nampan mengalihkan atensi Jose.

“Thank you,” ujar Jose ketika Aby memberikan cangkir berisi teh kepadanya.

Setelah Aby duduk di hadapan Jose, tak ada yang memulai pembicaraan. Rintik hujan di luar sana menjadi satu-satunya yang memecah hening. Keduanya sibuk dengan kecamuk pikiran masing-masing.

“Lu benci sama gua?” Satu pertanyaan keluar begitu saja dari mulut Jose.

Tak mendapatkan respons, Jose mendongak. Netranya bersirobok dengan netra Aby.

“Alasannya?” Tanpa diduga, Aby balik bertanya.

“Karena gua nyebelin atau karena gua kelihatan kasar, gak tau malu, manja misalnya.” Jose menjawab seraya memalingkan wajah.

“Siapa yang bilang?”

Terdapat jeda yang diisi oleh senyap. Jose mengerjapkan mata, sedikit terkejut atas respons Aby.

“Banyak,” ucap Jose.

I mean, lu tau kan gua aktor problematik. Lots of people terutama di Twitter karena gua aktif di sana bilang kalau gua kayak gitu. I have so many controversies and most of it because of my bad behaviour,” jelas Jose sebelum menyesap kembali tehnya.

“Makanya sekarang gua log out semua media sosial resmi gua. Sebenernya bukan ide gua sih, itu ide manajer gua dan dia bikin password baru biar gua gak bisa buka akun gua sekarang,” lanjutnya diakhiri dengan senyuman.

Teringat Jordy yang mungkin masih menikmati durian di Thailand sana. Meskipun Jordy menyebalkan, ia tetap memerhatikan Jose dengan baik. Jose sebenarnya enggan mengakui, tapi ia bersyukur Jordy membawanya ke vila milik Aby.

“Sorry.” Permintaan maaf dari Aby membuat Jose menautkan alis.

“Buat?”

“Bilang lu problematik. Waktu itu gua gak tau alasannya.”

Senyuman Jose kembali mengembang. “That’s okay. Lagian lu kan emang gak kenal gua.”

“Gua juga gak menyalahkan orang lain sih. Emang bener gua problematik, buktinya gua berulah mulu,” tambahnya.

“Tapi kan lu punya alasan sendiri dibalik tindakan lu yang dianggap buruk sama orang lain,” bela Aby.

But people don’t care about it. They’ll just hate me whatever of the reasons are. Gua tetep dicap punya perilaku yang buruk walaupun posisinya gua saat itu lagi defending myself. People hate me because they want to hate me. Bahkan orang bisa benci siapapun cuman karena firasat atau karena ‘wajahnya kelihatan nyebelin’, ‘dari wajahnya sih kelihatan kayak orang gak bener’, dan masih banyak lagi. That’s why people are so scary,” ungkap Jose, masih mempertahankan senyuman.

Merasa terlalu banyak berbicara, Jose berdeham. Teh miliknya yang mulai dingin diminum hingga habis. Ia kemudian mengambil cookies dan melahapnya ganas.

Sorry, gua malah jadi curhat,” ujar Jose dengan pipi yang mengembung.

“Gak papa. Lu bisa curhat ke gua sepuasnya. Tapi gua cuman bisa dengerin doang. I’m sucks at communicating with people.

Tawa Jose pecah, mengisi ruangan yang sunyi kala rintik hujan perlahan berhenti.

“Wajah lu sekarang aja nunjukin kalau lu lagi kebingungan mau respon apa. Tapi makasih tawarannya.” Entah sudah berapa kali Jose tersenyum hari ini. Ia tak menduga jika harinya akan berubah menjadi lebih menyenangkan.

“Berarti lu gak benci kan sama gua?” tanya Jose yang sontak dijawab dengan gelengan kepala.

“I like you.”

Pengakuan Aby yang tiba-tiba membuat Jose tak berkutik di tempat. Otaknya bekerja dengan lambat layaknya seekor kura-kura.

“Gua suka sama lu, Jose,” ulang Aby dengan tegas.

“Bohong. Lu gak mungkin fans gua,” sanggah Jose, menyakinkan dirinya sendiri.

“Emang bukan. I like you in a romantic way.

“Proof it then, with a kiss.”

Jose, meyakinkan dirinya bahwa ia tengah bermimpi. Bahkan ketika Aby datang menghampiri, memberikan sebuah kecupan singkat tepat di bibir, Jose masih berpikir semuanya tidak nyata.

“Wow. It’s the most beautiful dream I’ve ever had. I don’t even wanna get up,” gumam Jose.

Kemudian Aby, terkekeh kecil sebelum kembali mempertemukan bibir mereka. Memberikan gigitan di bibir Jose untuk menyadarkannya jika ia tidak sedang berada di alam mimpi.

Pintu yang dibuka secara hati-hati hingga menimbulkan sedikit bunyi. Jose mengintip di balik pintu kamar mandi, mencari keberadaan Aby. Sepasang netra bulatnya berkelana, menyapu kamar Aby yang tertata rapi.

Merasa tidak menemukan keberadaan dari sosok yang dicari, Jose lantas keluar seperti pencuri. Kaki telanjangnya sedikit berjinjit, mengendap layaknya tokoh Swiper Dora the Explorer. Perjalanan menuju pintu kamar Aby bagi Jose saat ini terasa begitu lama. Adrlenalin yang memicu detak jantungnya berdetak lebih cepat mulai berkurang ketika pintu sudah berada di depan mata.

Belum sempat Jose menyentuh kenop, pintu dibuka dari luar. Tubuh yang hanya dibalut mantel mandi membeku seketika. Presensi Aby yang ditangkap oleh indra pengelihatannya membuat Jose menahan napas.

“Mau kemana?” Aby bertanya seraya melangkah masuk.

Tubuh yang bergeming di tempat selama beberapa detik akhirnya bergerak dengan gerakan kaku. Mundur perlahan untuk mempersilahkan Aby.

“Gua lupa bawa baju ganti,” jawab Jose.

“Pake baju gua dulu aja.” Tawaran yang diberikan oleh Aby menciptakan kerutan halus pada kening Jose yang lantas menggeleng.

“Gak usah. Gua ke kamar aja sekarang.” Jose tentu saja menolak walaupun hatinya meronta ingin memakai pakaian Aby.

Membayangkan potongan kain milik Aby membalut tubuhnya dengan semerbak aroma tubuh milik Aby yang memanjakan hidung Jose hampir membuatnya berteriak kencang.

“Di luar hujan. Mending lu pake baju gua dulu.”

Penolakan Jose berakhir sia-sia, namun ia tidak kecewa sama sekali. Bibirnya terasa begitu gatal ingin menyunggingkan senyum.

“Yaudah.”


Lebih dari sepuluh menit Jose terdiam seraya mengamati pantulan dirinya di cermin. Tersenyum lebar dengan durasi yang lama hingga pipinya menjadi kaku. Jose ingin tinggal di dalam kamar Aby lebih lama, kendati ia tengah berdiam diri di kamar mandi.

Netra eloknya menghilang di balik kelopak mata, terpejam untuk beberapa saat sebelum berjalan pergi. Jose mengatur napasnya seraya melangkahkan kaki.

“Udah?” Suara Aby menyambut tepat ketika Jose keluar dari kamar mandi. Jose hanya membalas dengan anggukan singkat.

Gelagat Jose yang berubah menjadi pendiam bukan karena Jose ingin jual mahal. Ia sedang meredakan jantungnya yang berdetak tak karuan.

“Mau teh?”

Bibir ranum yang tertutup rapat digigit oleh sang empunya, menimang tawaran Aby. Kali ini, Jose tak tahu peringai apa yang harus ia tunjukkan.

Apakah Jose harus membuat Aby menyesal seperti yang dikatakan oleh Dicky atau bersikap layaknya seekor kucing garong seperti yang dikatakan Dzacky?

“Mau,” jawab Jose pada akhirnya, tidak ingin menyesal untuk kali kedua.

Jose kemudian menarik kursi di depan meja yang tertutup kain bermotif bunga. Manik matanya menelisik sekitar, mengamati detail kamar Aby yang belum sempat ia lihat di awal kedatangannya.

Ukuran kamar Aby sama dengan kamar yang ditempati Jose. Perbedaannya terletak pada furnitur yang digunakan. Pandangan Jose lantas terhenti ketika menemukan foto-foto Aby yang Jose yakini bersama keluarganya. Ia menemukan Gladys di sana.

Kedatangan Aby dengan dua cangkir teh dan cookies di atas nampan mengalihkan atensi Jose.

“Thank you,” ujar Jose ketika Aby memberikan cangkir berisi teh kepadanya.

Setelah Aby duduk di hadapan Jose, tak ada yang memulai pembicaraan. Rintik hujan di luar sana menjadi satu-satunya yang memecah hening. Keduanya sibuk dengan kecamuk pikiran masing-masing.

“Lu benci sama gua?” Satu pertanyaan keluar begitu saja dari mulut Jose.

Tak mendapatkan respons, Jose mendongak. Netranya bersirobok dengan netra Aby.

“Alasannya?” Tanpa diduga, Aby balik bertanya.

“Karena gua nyebelin atau karena gua kelihatan kasar, gak tau malu, manja misalnya.” Jose menjawab seraya memalingkan wajah.

“Siapa yang bilang?”

Terdapat jeda yang diisi oleh senyap. Jose mengerjapkan mata, sedikit terkejut atas respons Aby.

“Banyak,” ucap Jose.

I mean, lu tau kan gua aktor problematik. Lots of people terutama di Twitter karena gua aktif di sana bilang kalau gua kayak gitu. I have so many controversies and most of it because of my bad behaviour,” jelas Jose sebelum menyesap kembali tehnya.

“Makanya sekarang gua log out semua media sosial resmi gua. Sebenernya bukan ide gua sih, itu ide manajer gua dan dia bikin password baru biar gua gak bisa buka akun gua sekarang,” lanjutnya diakhiri dengan senyuman.

Teringat Jordy yang mungkin masih menikmati durian di Thailand sana. Meskipun Jordy menyebalkan, ia tetap memerhatikan Jose dengan baik. Jose sebenarnya enggan mengakui, tapi ia bersyukur Jordy membawanya ke vila milik Aby.

“Sorry.” Permintaan maaf dari Aby membuat Jose menautkan alis.

“Buat?”

“Bilang lu problematik. Waktu itu gua gak tau alasannya.”

Senyuman Jose kembali mengembang. “That’s okay. Lagian lu kan emang gak kenal gua.”

“Gua juga gak menyalahkan orang lain sih. Emang bener gua problematik, buktinya gua berulah mulu,” tambahnya.

“Tapi kan lu punya alasan sendiri dibalik tindakan lu yang dianggap buruk sama orang lain,” bela Aby.

But people don’t care about it. They’ll just hate me whatever of the reasons are. Gua tetep dicap punya perilaku yang buruk walaupun posisinya gua saat itu lagi defencing myself. People hate me because they want to hate me. Bahkan orang bisa benci siapapun cuman karena firasat atau karena ‘wajahnya kelihatan nyebelin’, ‘dari wajahnya sih kelihatan kayak orang gak bener’, dan masih banyak lagi. That’s why people are so scary,” ungkap Jose, masih mempertahankan senyuman.

Merasa terlalu banyak berbicara, Jose berdeham. Teh miliknya yang mulai dingin diminum hingga habis. Ia kemudian mengambil cookies dan melahapnya ganas.

Sorry, gua malah jadi curhat,” ujar Jose dengan pipi yang mengembung.

“Gak papa. Lu bisa curhat ke gua sepuasnya. Tapi gua cuman bisa dengerin doang. I’m sucks at communicating with people.

Tawa Jose pecah, mengisi ruangan yang sunyi kala rintik hujan perlahan berhenti.

“Wajah lu sekarang aja nunjukin kalau lu lagi kebingungan mau respon apa. Tapi makasih tawarannya.” Entah sudah berapa kali Jose tersenyum hari ini. Ia tak menduga jika harinya akan berubah menjadi lebih menyenangkan.

“Berarti lu gak benci kan sama gua?” tanya Jose yang sontak dijawab dengan gelengan kepala.

“I like you.”

Pengakuan Aby yang tiba-tiba membuat Jose tak berkutik di tempat. Otaknya bekerja dengan lambat layaknya seekor kura-kura.

“Gua suka sama lu, Jose,” ulang Aby dengan tegas.

“Bohong. Lu gak mungkin fans gua,” sanggah Jose, menyakinkan dirinya sendiri.

“Emang bukan. I like you in a romantic way.

“Proof it then, with a kiss.”

Jose, meyakinkan dirinya bahwa ia tengah bermimpi. Bahkan ketika Aby datang menghampiri, memberikan sebuah kecupan singkat tepat di bibir, Jose masih berpikir semuanya tidak nyata.

“Wow. It’s the most beautiful dream I’ve ever had. I don’t even wanna get up,” gumam Jose.

Kemudian Aby, terkekeh kecil sebelum kembali mempertemukan bibir mereka. Memberikan gigitan di bibir Jose untuk menyadarkannya jika ia tidak berada di alam mimpi.

Kali kedua pintu terbuka untuk menyambut kedatangan Azriel, kali kedua pula sosok lain yang bukan Azriel muncul di hadapan Jose. Entah harus berapa kali Jose memperlihatkan kepayahan dirinya pada Aby. Baju yang baru saja ia kenakan basah, belum lagi manik mata yang memerah akibat ingin menangis walau pada akhirnya gagal.

Kaki yang dibalut celana pendek melangkah mundur. Jose mempersilahkan Aby masuk tanpa suara.

“Waktu gua coba buka, kerannya malah copot semua,” ujar Jose serak, tenggorokannya terasa kering.

Setelah Aby masuk ke dalam, Jose bergegas berjalan menuju kamar mandi. Menunjuk keran yang mengeluarkan air dengan deras.

Pandangan Jose berada di bawah, menatap sendal vila yang ia kenakan. Ia tak ingin melihat Aby. Mulai sekarang, Jose akan menghapus jejak Aby dalam hatinya tanpa tersisa.

“Lu ganti baju dulu. Nanti malah sakit lagi.” Aby membuka suara.

“Nanti aja.”

Langkah kaki yang kemudian terdengar tak lama setelahnya membuat Jose menghela napas lega. Aby, yang pada dasarnya hanya memberikan sedikit kekhawatiran pada Jose tak perlu repot memaksa Jose untuk melakukan hal yang berkaitan dengan kebaikan Jose.

“Keringin dulu pake handuk,” titah Aby sembari melemparkan handuk pada tubuh yang masih memantung.

Beruntung Jose memiliki refleks yang baik. Tangannya menangkap handuk yang dilemparkan Aby dengan sigap.

Mau tak mau, Jose menyimpan handuk di bahu. Membalut tubuh bagian atasnya yang basah. Jose menunggu Aby dalam diam. Menyelam ke dalam lautan pikiran tanpa dasar hingga suara Aby kembali terdengar.

“Jose?”

Pertama kalinya nama Jose keluar dari mulut Aby, menarik Jose dari lamunan. Sepasang netra yang redup lantas terbelalak.

“Ya?”

Tatkala Aby melangkah untuk mendekat, pada sekon berikutnya Jose melangkah mundur.

“Lu gak denger gua bilang apa?” Jose menggeleng.

Jantung yang berdetak lebih cepat menimbulkan rasa sesak di rongga dada. Jose terus melangkah mundur dengan posisi yang siaga. Pertahanannya tak boleh lemah. Ia tak boleh menyukai Aby lagi.

“Jose.”

Panggilan itu lagi. Bila terus seperti ini, Jose akan membenci namanya sendiri.

“Gladys bukan istri gua.”

Omong kosong. Jose tahu pasti ada sesuatu di antara mereka.

“Stop it right there, Aby,” tegas Jose.

“She’s my sister.”

Pada sekon berikutnya, Jose membeku. Bukan hanya satu fakta yang ia dengar dari Aby, melainkan tepat ketika tangan Aby melingkar pada pinggangnya. Menahan tubuh Jose agar tidak terbentur meja.

“She’s your sister?” ulang Jose, sedikit tak percaya atas apa yang ia dengar.

“Gladys kakak gua,” jawab Aby.

Hening menyela di antara mereka. Tak ada yang berniat berbicara. Keduanya saling bercengkerama melalui tatapan mata, terhanyut ke dalam masing-masing iris.

“Would you like to have dinner with me?”

Aby menjadi yang pertama memecah senyap.

Sebelum membuka pintu, Jose membuat suara batuk yang terdengar sedramatis mungkin. Ia meraih kenop pintu sembari berlagak seperti orang sakit.

“Uhuk, lu kenapa udah uhuk, ke sini? Uhuk, uhuk. Katanya mau malem, uhuk,” tanya Jose, punggungnya membungkuk tanpa memandang sang tamu.

Tak mendapatkan respon, Jose mendongak. Kelopak matanya melebar tatkala menemukan sosok Aby yang berdiri di hadapannya.

“Lu ngapain di sini?!” Ekspresi wajah Jose berubah sepenuhnya, ia terlalu terkejut dengan kedatangan Aby.

Alih-alih menjawab, Aby mengeluarkan termometer. Menyimpannya tepat di depan kening Jose.

“37.5,” gumam Aby.

Tangan Jose secara impulsif menutupi keningnya. Lagi-lagi kebohongannya terbongkar oleh termometer. Tanpa mempersilahkan Aby masuk, Jose melenggang pergi. Air muka Jose kini menjadi masam.

“Lu kalau gak mau minjemin barang ke gua dari awal mending gak usah minjemin. Lagian gua gak minta lu buat minjemin sesuatu ke gua. Terus ini jaket sejak kapan ada di gua?” cecar Jose sebal.

“Lu berisik banget.”

Satu kalimat yang keluar dari mulut Aby berhasil membuat Jose membalikkan tubuh. Sepasang netra bulat miliknya memandang Aby tajam.

“Kalau berisik gak usah di—“ Bibir Jose terkatup rapat, tepat ketika jemari Aby meraih dagunya.

Alarm di kepala Jose menyala, berbunyi nyaring akibat dari degupan jantungnya yang menggila.

Manik mata yang tertuju pada Aby mengejap. Ia merasakan jika Aby mengusap pucuk hidungnya. Jose memantung di tempat. Kesadarannya datang kembali saat Aby menarik tangannya dari hidung Jose.

Meskipun ia jarang menggunakan otaknya untuk berpikir, namun Jose dengan cepat memproses untaian kejadian yang tengah terjadi hingga menarik kesimpulan. Jose lantas menahan tangan Aby sebelum sang pemilik melihat ibu jarinya.

Tadi, Jose sempat mengoleskan blush di hidung dan di pipinya untuk menambah kesan “sakit”.

Di sisi lain, Aby berusaha melepaskan genggaman Jose. Tak ingin kalah, Jose menggunakan satu tangannya lagi untuk menahan Aby. Berakhirlah keduang saling tarik menarik. Kemudian Aby, tanpa diduga melemaskan otot-ototnya, membuat Jose terdorong ke belakang.

Waktu seakan menjadi lebih lambat. Jose berusaha memegang tangan Aby. Ia menduga Aby akan menolongnya. Membawa Jose ke dalam dekapan sebelum terjatuh ke lantai. Persis adegan drama yang Jose sukai.

Hingga suara gaduh terdengar. Pantat Jose yang dibalut celana piyama satin mencium lantai.

Tolong ingatkan Jose agar berhenti berharap pada Aby.

Sosok yang berada di hadapan Jose hanya terdiam tanpa berniat membantu. Jose meringgis kesakitan seraya mendelik pada Aby.

“Brengsek,” umpat Jose yang kemudian beranjak berdiri.

“Bentar, gua cariin dulu jaket lu. Tadi gua lupa nyimpennya di mana.”

Tak ada respon dari Aby. Rasanya Jose ingin memakan Aby hidup-hidup. Bagaimana bisa Jose menyukai sosok yang begitu menyebalkan?

“Perasaan di sini. Kok sekarang gak ada?” monolog Jose, tangannya sibuk mencari jaket Aby di atas kasur.

“Masa di wc?” Jose berbalik, ia hendak menuju kamar mandi.

Genggaman pada pergelangan tangan Jose membuat langkahnya terhenti. Jose menoleh pada Aby yang bersandar di kursi.

“Di sini,” ujar Aby singkat.

Oh.

Ternyata jaket milik Aby tengah Jose pakai. Jangan tanya sejak kapan Jose mengenakannya, ia pun tak ingat.

Dengan buru-buru, Jose melepaskan jaket Aby. Ia melimpatnya asal, lalu menyimpannya di atas meja.

“Udah kan? Lu cepetan pergi,” usir Jose, meski hatinya berteriak kencang menyuruh Aby tinggal lebih lama.

“Lain kali kalau gak mau ketemu gua, gak usah bilang lu lagi sakit. Lu udah bikin Azriel panik.” Aby menatap Jose datar.

“Lu kayaknya seneng banget ngebohong.”

Dalam hati yang tengah dilanda nyeri, Jose tertawa getir. Ia ingin menangis, tetapi air matanya sudah kering layaknya gurun sahara.

“Iya. Yang keluar dari mulut gua ini, semuanya cuman bohongan,” ujar Jose menyetujui.

Tubuh yang bersandar pada kursi kini berdiri tegak. Aby lantas mengangguk.

“Termasuk yang kemarin?” tanya Aby.

“Ya,” jawab Jose hambar.

Keheningan melanda di tengah kedua sosok yang saling melemparkan pandangan.

“Udah kan?” Jose memecah sunyi.

Bibir yang terlihat agak pucat digigit keras. Jose berusaha untuk tak mengalihkan pandangan dari netra Aby. Jantungnya kembali menggila tatkala Aby berjalan mendekat.

“Lu mimisan,” ujar Aby seraya meraih dagu Jose.

Sontak, Jose mengejapkan mata. Pantas ia merasakan sesuatu keluar dari hidungnya. Jose sempat mengira itu ingus.

Sosok yang kebingungan sembari menatap Aby tidak menunjukkan rasa panik sama sekali. Kerutan di kening Aby membuat Jose bertanya-tanya, apa yang sedang Aby pikirkan?

Jose tak bergeming di tempat. Netranya tertuju pada Aby yang sibuk sendiri. Sosok yang dimati terlihat mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

“Halo?” Pandangan mereka kembali bertemu saat sambungan telepon terhubung.

“Tadi suhunya masih normal. Sekarang mimisan. Gua cek lagi suhunya….”

Suara termometer terdengar tak lama setelah Aby menyimpannya di depan kening Jose untuk yang kedua kali.

“38.1.”

Kemudian, Aby menarik Jose untuk duduk di pinggiran ranjang. Salah satu tangannya membersihkan noda darah yang keluar dari hidung Jose.

“Jadi gua kasih itu dulu? Besok lu bisa ke sini gak?”

“Okay, thanks.”

Ketika sambungan telepon terputus, Aby langsung menyimpan ponselnya. Diraihnya dagu Jose untuk memastikan perdarahan telah terhenti.

“Lu sejak kapan bawa itu? Tadi perasaan gua gak lihat,” celetuk Jose sembari menunjuk kotak peralatan medis milik Aby yang berada di atas meja.

“Pusing gak kepalanya?” Aby tak mengidahkan pertanyaan Jose.

“Sedikit.”

“Udah makan?”

Nada lembut yang keluar dari mulut Aby membuat Jose merasakan tubuhnya memanas (padahal Jose memang sedang demam).

“Udah.”

“Jam berapa? Makan sama apa?”

Mengapa Aby jadi banyak tanya?

“Sekitar jam 3, sama roti.”

“Minum obat dulu abis ini tidur, ya?”

Tak ada jawaban dari Jose. Sosok yang tengah duduk menatap Aby tanpa berkedip.

“Abis gua minum obat, lu bakal pergi?” tanya Jose, berharap Aby akan menemaninya.

Aby merendahkan tubuhnya di hadapan Jose, membuat tinggi keduanya sejajar. Jemari Aby kembali mengusap noda darah yang tersisa di bawah hidung Jose.

“I’ll stay here.”

Sudah berapa kali Jose berkata bahwa ia benci dingin?

Dewi fortuna agaknya enggan mendatangi Jose hingga sosok yang kini memeluk dirinya dengan erat tengah menggigil akibat angin kencang yang mererpa. Jose bukannya tidak ingin menaikkan kaca jendela mobil, namun ia tidak bisa. Kaca jendela mobil pick up yang tengah Aby kemudikan itu tidak dapat Jose naikkan karena rusak.

Tidak ada yang dapat Jose lakukan selain menyesali keputusannya untuk ikut Aby berbelanja.

Lagipula untuk apa Jose ikut berbelanja jika Aby saja tidak menganggap eksistensinya?

Dari mulai bertemu di lobby hingga berada di perjalanan selama sekitar dua puluh menit, Aby sama sekali tidak membuka mulut. Jangankan membuka mulut, menatap Jose saja tidak.

Laju mobil yang mulai melambat menyadarkan Jose dari lamunan. Suara khalayak yang terdengar membuat Jose memandang sekitar. Akhirnya ia dapat menemukan banyak manusia setelah sekian lama.

Mesin mobil berhenti. Jose masih tak bergeming di tempatnya. Ia tengah meredakan bekas usapan angin yang masih terasa di permukaan kulit.

Tubuh Jose yang sedikit bersandar di pintu mobil terhuyung ketika seseorang membukanya dengan tiba-tiba. Kelopak mata Jose melebar dengan jantung yang berdegup kencang. Ia hampir mencium tanah jika Aby tidak menahan tubuhnya.

“Mau diem sampai kapan?” Suara Aby yang terdengar sangat jelas di telinga Jose membuat Jose mendongak.

Sepasang netra Jose terpaku pada netra Aby yang memandangnya datar.

“Gua tau kalau gua ganteng, tapi cepetan turun soalnya tangan gua mulai kebas.”

Sontak, Jose menjauhkan dirinya dari dekapan Aby. Ia berdeham, sebelum beranjak turun. Jose dapat merasakan kakinya lemas saat ia menapak pada tanah. Bahaya sekali. Aby tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

Dengan sekuat tenaga, Jose menahan senyum yang ingin merekah. Jose juga tengah menahan keinginannya untuk melompat-lompat akibat rasa senang yang melanda.

Ternyata dewi fortuna tidak seenggan itu datang kepada Jose


Buruk sekali. Isi dompet Jose. Sangat buruk. Hanya ada tiga lembar uang berwarna pink di sana. Jose bahkan tidak tahu sampai kapan ia akan tinggal di negeri entah berantah itu dan manajer sialannya hanya memberikan Jose uang tiga ratus ribu?

“Jordy brengsek,” umpat Jose sembari menggembalikan camilan keripik kentang dengan sosok berkumis di bungkusnya.

Rasa kesalnya bukan hanya karena Jordy, tapi juga karena Aby yang tengah memberikan senyuman manis pada kasir. Di balik rak yang berisi camilan, Jose memincingkan mata, mengamati cengkerama Aby dengan sang kasir.

“Mana pernah dia senyum gitu ke gua,” gerutu Jose, bibirnya cemberut.

Hanya perlu waktu yang sebentar untuk membuat suasana hati Jose berantakan. Jose kembali menyesali keputusannya ikut berbelanja.

“Mana cakep lagi kasirnya.” Lagi-lagi Jose menggerutu, pandangannya tak lepas dari Aby.

Sudah cukup. Jose ingin segera pergi. Jika bisa, ia ingin pulang ke rumahnya. Namun, Jose saja tidak tahu di mana ia berada. Jangankan jalan pulang, jalan menuju vila pun ia tak tahu.

Jose berjalan ke arah kasir dengan wajah masam. Tanpa memedulikan Aby, ia menaruh belanjaannya di meja kasir. Seakan Aby tidak ada di sana.

Tak mendapatkan respon, Jose menatap sang kasir. Memberikan sinyal bahwa ia sudah selesai berbelanja dan ingin segera membayar.

“Kardusnya ada di sebelah kanan, nyalain aja lampunya, Mas Gyan.”

Apa katanya tadi?

Mas?

Mas??????

Seperti yang Jose duga, Aby tak peduli dengan kehadirannya dan melenggang pergi begitu saja.

“Totalnya jadi 192.700.”

Sialan.

Uangnya sebentar lagi habis.

Meskipun sedikit enggan, Jose mengeluarkan dua lembar uang dari dompetnya.

“Uangnya 200.000 rupiah, untuk—“

“Ya.”

Sosok perempuan yang berada di depan Jose terdiam sesaat.

“Baik, terima kasih. Kembaliannya 7000 rupiah, ya Kak.”

“Ya. Makasih.”

Sebelum mendengar ucapan kasir selanjutnya, Jose buru-buru pergi. Akhirnya Jose dapat menghirup udara segar di luar toko swalayan. Dada yang terasa sesak kini berangsur-angsur membaik. Manik mata Jose menatap sekitar, mengamati lalu lalang manusia.

Hingga ia menemukan sosok anak kecil di seberang jalan yang terlihat kebingungan. Jose lantas berjalan menghampiri. Suasana jalan cukup ramai dengan kendaraan dan ia merasa jika anak tersebut ingin menyeberang.

“Adeknya mau nyeberang?” tanya Jose.

Tak ada respon.

Apakah Jose transparan?

Ditepuknya bahu sosok anak perempuan dengan pelan.

“Mau nyeberang?” ulang Jose.

Kali ini, anak perempuan yang mungkin berusia enam sampai tujuh tahun memandang Jose. Hanya sekadar memandang, tanpa membalas pertanyaan Jose.

Tubuh Jose membeku untuk beberapa saat. Setelah kesadarannya kembali, Jose lantas berjongkok. Tangannya bergerak, membuat satu kalimat.

“Kamu mau menyeberang?”

Senyuman Jose mengembang tatkala sosok kecil yang berada di hadapannya mengangguk.

”Kakak antar, ya.”

”Terima kasih.”

Kemudian, Jose membawa tangan kecil ke dalam genggaman. Membantu sosok lain untuk menyeberang.

Sosok tersebut langsung berlari ketika mereka sampai di seberang, menghampiri perempuan paruh baya di sana.

”Terima kasih.”

”Sama-sama.”

Perempuan paruh baya menganggukkan kepalanya sebagai terima kasih, membuat Jose ikut mengangguk sekilas.

“Lu bisa Bisindo?”

Mendengar suara yang tak asing, Jose membalikkan badan. Ia menemukan Aby yang tengah bersandar pada mobil seraya menyilangkan tangan di dada.

“Sedikit,” jawab Jose.

Sosok yang menenteng kantung plastik sempat terdiam, sebelum menggerakkan tangannya.

”Aku suka kamu.”

”Tau.”

Sudah berapa kali Jose berkata bahwa ia benci dingin?

Dewi fortuna agaknya enggan mendatangi Jose hingga sosok yang kini memeluk dirinya dengan erat tengah menggigil akibat angin kencang yang mererpa. Jose bukannya tidak ingin menaikkan kaca jendela mobil, namun ia tidak bisa. Kaca jendela mobil pick up yang tengah Aby kemudikan itu tidak dapat Jose naikkan karena rusak.

Tidak ada yang dapat Jose lakukan selain menyesali keputusannya untuk ikut Aby berbelanja.

Lagipula untuk apa Jose ikut berbelanja jika Aby saja tidak menganggap eksistensinya?

Dari mulai bertemu di lobby hingga berada di perjalanan selama sekitar dua puluh menit, Aby sama sekali tidak membuka mulut. Jangankan membuka mulut, menatap Jose saja tidak.

Laju mobil yang mulai melambat menyadarkan Jose dari lamunan. Suara khalayak yang terdengar membuat Jose memandang sekitar. Akhirnya ia dapat menemukan banyak manusia setelah sekian lama.

Mesin mobil berhenti. Jose masih tak bergeming di tempatnya. Ia tengah meredakan bekas usapan angin yang masih terasa di permukaan kulit.

Tubuh Jose yang sedikit bersandar di pintu mobil terhuyung ketika seseorang membukanya dengan tiba-tiba. Kelopak mata Jose melebar dengan jantung yang berdegup kencang. Ia hampir mencium tanah jika Aby tidak menahan tubuhnya.

“Mau diem sampai kapan?” Suara Aby yang terdengar sangat jelas di telinga Jose membuat Jose mendongak.

Sepasang netra Jose terpaku pada netra Aby yang memandangnya datar.

“Gua tau kalau gua ganteng, tapi cepetan turun soalnya tangan gua mulai kebas.”

Sontak, Jose menjauhkan dirinya dari dekapan Aby. Ia berdeham, sebelum beranjak turun. Jose dapat merasakan kakinya lemas saat ia menapak pada tanah. Bahaya sekali. Aby tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

Dengan sekuat tenaga, Jose menahan senyum yang ingin merekah. Jose juga tengah menahan keinginannya untuk melompat-lompat akibat rasa senang yang melanda.

Ternyata dewi fortuna tidak seenggan itu datang kepada Jose


Buruk sekali. Isi dompet Jose. Sangat buruk. Hanya ada tiga lembar uang berwarna pink di sana. Jose bahkan tidak tahu sampai kapan ia akan tinggal di negeri entah berantah itu dan manajer sialannya hanya memberikan Jose uang tiga ratus ribu?

“Jordy brengsek,” umpat Jose sembari menggembalikan camilan keripik kentang dengan sosok berkumis di bungkusnya.

Rasa kesalnya bukan hanya karena Jordy, tapi juga karena Aby yang tengah memberikan senyuman manis pada kasir. Di balik rak yang berisi camilan, Jose memincingkan mata, mengamati cengkerama Aby dengan sang kasir.

“Mana pernah dia senyum gitu ke gua,” gerutu Jose, bibirnya cemberut.

Hanya perlu waktu yang sebentar untuk membuat suasana hati Jose berantakan. Jose kembali menyesali keputusannya ikut berbelanja.

“Mana cakep lagi kasirnya.” Lagi-lagi Jose menggerutu, pandangannya tak lepas dari Aby.

Sudah cukup. Jose ingin segera pergi. Jika bisa, ia ingin pulang ke rumahnya. Namun, Jose saja tidak tahu di mana ia berada. Jangankan jalan pulang, jalan menuju vila pun ia tak tahu.

Jose berjalan ke arah kasir dengan wajah masam. Tanpa memedulikan Aby, ia menaruh belanjaannya di meja kasir. Seakan Aby tidak ada di sana.

Tak mendapatkan respon, Jose menatap sang kasir. Memberikan sinyal bahwa ia sudah selesai berbelanja dan ingin segera membayar.

“Kardusnya ada di sebelah kanan, nyalain aja lampunya, Mas Gyan.”

Apa katanya tadi?

Mas?

Mas??????

Seperti yang Jose duga, Aby tak peduli dengan kehadirannya dan melenggang pergi begitu saja.

“Totalnya jadi 192.700.”

Sialan.

Uangnya sebentar lagi habis.

Meskipun sedikit enggan, Jose mengeluarkan dua lembar uang dari dompetnya.

“Uangnya 200.000 rupiah, untuk—“

“Ya.”

Sosok perempuan yang berada di depan Jose terdiam sesaat.

“Baik, terima kasih. Kembaliannya 7000 rupiah, ya Kak.”

“Ya. Makasih.”

Sebelum mendengar ucapan kasir selanjutnya, Jose buru-buru pergi. Akhirnya Jose dapat menghirup udara segar di luar toko swalayan. Dada yang terasa sesak kini berangsur-angsur membaik. Manik mata Jose menatap sekitar, mengamati lalu lalang manusia.

Hingga ia menemukan sosok anak kecil di seberang jalan yang terlihat kebingungan. Jose lantas berjalan menghampiri. Suasana jalan cukup ramai dengan kendaraan dan ia merasa jika anak tersebut ingin menyeberang.

“Adeknya mau nyeberang?” tanya Jose.

Tak ada respon.

Apakah Jose transparan?

Ditepuknya bahu sosok anak perempuan dengan pelan.

“Mau nyeberang?” ulang Jose.

Kali ini, anak perempuan yang mungkin berusia enam sampai tujuh tahun memandang Jose. Hanya sekadar memandang, tanpa membalas pertanyaan Jose.

Tubuh Jose membeku untuk beberapa saat. Setelah kesadarannya kembali, Jose lantas berjongkok. Tangannya bergerak, membuat satu kalimat.

“Kamu mau menyeberang?”

Senyuman Jose mengembang tatkala sosok kecil yang berada di hadapannya mengangguk.

”Kakak antar, ya.”

”Terima kasih.”

Kemudian, Jose membawa tangan kecil ke dalam genggaman. Membantu sosok lain untuk menyeberang.

Sosok tersebut langsung berlari ketika mereka sampai di seberang, menghampiri perempuan paruh baya di sana.

”Terima kasih.”

”Sama-sama.”

Perempuan paruh baya menganggukkan kepalanya sebagai terima kasih, membuat Jose ikut mengangguk sekilas.

“Lu bisa Bisindo?”

Mendengar suara yang tak asing, Jose membalikkan badan. Ia menemukan Aby yang tengah bersandar pada mobil seraya menyilangkan tangan di dada.

“Sedikit,” jawab Jose.

”Aku suka kamu.”

”Tau.”

Sudah berapa kali Jose berkata bahwa ia benci dingin?

Dewi fortuna agaknya enggan mendatangi Jose hingga sosok yang kini memeluk dirinya dengan erat tengah menggigil akibat angin kencang yang mererpa. Jose bukannya tidak ingin menaikkan kaca jendela mobil, namun ia tidak bisa. Kaca jendela mobil pick up yang tengah Aby kemudikan itu tidak dapat Jose naikkan karena rusak.

Tidak ada yang dapat Jose lakukan selain menyesali keputusannya untuk ikut Aby berbelanja.

Lagipula untuk apa Jose ikut berbelanja jika Aby saja tidak menganggap eksistensinya?

Dari mulai bertemu di lobby hingga berada di perjalanan selama sekitar dua puluh menit, Aby sama sekali tidak membuka mulut. Jangankan membuka mulut, menatap Jose saja tidak.

Laju mobil yang mulai melambat menyadarkan Jose dari lamunan. Suara khalayak yang terdengar membuat Jose memandang sekitar. Akhirnya ia dapat menemukan banyak manusia setelah sekian lama.

Mesin mobil berhenti. Jose masih tak bergeming di tempatnya. Ia tengah meredakan bekas usapan angin yang masih terasa di permukaan kulit.

Tubuh Jose yang sedikit bersandar di pintu mobil terhuyung ketika seseorang membukanya dengan tiba-tiba. Kelopak mata Jose melebar dengan jantung yang berdegup kencang. Ia hampir mencium tanah jika Aby tidak menahan tubuhnya.

“Mau diem sampai kapan?” Suara Aby yang terdengar sangat jelas di telinga Jose membuat Jose mendongak.

Sepasang netra Jose terpaku pada netra Aby yang memandangnya datar.

“Gua tau kalau gua ganteng, tapi cepetan turun soalnya tangan gua mulai kebas.”

Sontak, Jose menjauhkan dirinya dari dekapan Aby. Ia berdeham, sebelum beranjak turun. Jose dapat merasakan kakinya lemas saat ia menapak pada tanah. Bahaya sekali. Aby tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

Dengan sekuat tenaga, Jose menahan senyum yang ingin merekah. Jose juga tengah menahan keinginannya untuk melompat-lompat akibat rasa senang yang melanda.

Ternyata dewi fortuna tidak seenggan itu datang kepada Jose

—-

Buruk sekali. Isi dompet Jose. Sangat buruk. Hanya ada tiga lembar uang berwarna pink di sana. Jose bahkan tidak tahu sampai kapan ia akan tinggal di negeri entah berantah itu dan manajer sialannya hanya memberikan Jose uang tiga ratus ribu?

“Jordy brengsek,” umpat Jose sembari menggembalikan camilan keripik kentang dengan sosok berkumis di bungkusnya.

Rasa kesalnya bukan hanya karena Jordy, tapi juga karena Aby yang tengah memberikan senyuman manis pada kasir. Di balik rak yang berisi camilan, Jose memincingkan mata, mengamati cengkerama Aby dengan sang kasir.

“Mana pernah dia senyum gitu ke gua,” gerutu Jose, bibirnya cemberut.

Hanya perlu waktu yang sebentar untuk membuat suasana hati Jose berantakan. Jose kembali menyesali keputusannya ikut berbelanja.

“Mana cakep lagi kasirnya.” Lagi-lagi Jose menggerutu, pandangannya tak lepas dari Aby.

Sudah cukup. Jose ingin segera pergi. Jika bisa, ia ingin pulang ke rumahnya. Namun, Jose saja tidak tahu di mana ia berada. Jangankan jalan pulang, jalan menuju vila pun ia tak tahu.

Jose berjalan ke arah kasir dengan wajah masam. Tanpa memedulikan Aby, ia menaruh belanjaannya di meja kasir. Seakan Aby tidak ada di sana.

Tak mendapatkan respon, Jose menatap sang kasir. Memberikan sinyal bahwa ia sudah selesai berbelanja dan ingin segera membayar.

“Kardusnya ada di sebelah kanan, nyalain aja lampunya, Mas Gyan.”

Apa katanya tadi?

Mas?

Mas??????

Seperti yang Jose duga, Aby tak peduli dengan kehadirannya dan melenggang pergi begitu saja.

“Totalnya jadi 192.700.”

Sialan.

Uangnya sebentar lagi habis.

Meskipun sedikit enggan, Jose mengeluarkan dua lembar uang dari dompetnya.

“Uangnya 200.000 rupiah, untuk—“

“Ya.”

Sosok perempuan yang berada di depan Jose terdiam sesaat.

“Baik, terima kasih. Kembaliannya 7000 rupiah, ya Kak.”

“Ya. Makasih.”

Sebelum mendengar ucapan kasir selanjutnya, Jose buru-buru pergi. Akhirnya Jose dapat menghirup udara segar di luar toko swalayan. Dada yang terasa sesak kini berangsur-angsur membaik. Manik mata Jose menatap sekitar, mengamati lalu lalang manusia.

Hingga ia menemukan sosok anak kecil di seberang jalan yang terlihat kebingungan. Jose lantas berjalan menghampiri. Suasana jalan cukup ramai dengan kendaraan dan ia merasa jika anak tersebut ingin menyeberang.

“Adeknya mau nyeberang?” tanya Jose.

Tak ada respon.

Apakah Jose transparan?

Ditepuknya bahu sosok anak perempuan dengan pelan.

“Mau nyeberang?” ulang Jose.

Kali ini, anak perempuan yang mungkin berusia enam sampai tujuh tahun memandang Jose. Hanya sekadar memandang, tanpa membalas pertanyaan Jose.

Tubuh Jose membeku untuk beberapa saat. Setelah kesadarannya kembali, Jose lantas berjongkok. Tangannya bergerak, membuat satu kalimat.

“Kamu mau menyeberang?”

Senyuman Jose mengembang tatkala sosok kecil yang berada di hadapannya mengangguk.

”Kakak antar, ya.”

”Terima kasih.”

Kemudian, Jose membawa tangan kecil ke dalam genggaman. Membantu sosok lain untuk menyeberang.

Sosok tersebut langsung berlari ketika mereka sampai di seberang, menghampiri perempuan paruh baya di sana.

”Terima kasih.”

”Sama-sama.”

Perempuan paruh baya menganggukkan kepalanya sebagai terima kasih, membuat Jose ikut mengangguk sekilas.

“Lu bisa Bisindo?”

Mendengar suara yang tak asing, Jose membalikkan badan. Ia menemukan Aby yang tengah bersandar pada mobil seraya menyilangkan tangan di dada.

“Sedikit,” jawab Jose.

”Aku suka kamu.”

”Tau.”

Hari sudah cukup siang untuk sang mentari bersinar tepat di atas kepala. Tak terlalu menyengat, namun mampu membuat pipi Jose sedikit memerah. Di bawah terik matahari, sepasang netra bulat milik Jose tertuju pada satu sosok yang berjalan ke arahnya.

“Loh? Lu lagi ngapain Bang di sini?” Azriel yang berdiri di samping Jose bersuara.

“Menurut lu?” Sosok itu, Aby, bertanya balik pada Azriel.

Bukan hanya Jose yang kebingungan atas eksistensi Aby di kebun anggur. Azriel pun terlihat sama bingungnya dengan Jose.

“Bos besar minta dikirim anggur,” jawab Aby.

Kini, Azriel mengangguk paham. Ternyata Aby bukan tanpa alasan datang ke kebun anggur.

“Bos besar itu ayahnya Bang Gyan,” ujar Azriel, memberikan informasi pada Jose yang bahkan tak bertanya.

Tak ada respon dari Jose. Ia terlalu fokus menatap Aby dengan pikiran yang melayang jauh. Mungkin akibat Jose yang tak melihat Aby selama tiga hari-hari berturut-turut, sosok yang masih dibalut piyama dengan motif miffy and friends berwarna kuning itu tak dapat melempaskan pandangannya dari Aby barang sedetik pun.

“Bantuin gua.”

“Tapi bang—“

“Lu juga.”

Kelopak mata yang dihiasi bulu mata lentik lantas mengejap. Terkejut ketika Aby menunjuknya.

“Bos! Tapi kan Kak Jose tamu di sini,” protes Azriel.

Meski Jose senang disuruh untuk menemani Aby memetik anggur, ia mengangguk atas perkataan Azriel. Dagunya sedikit naik, ingin terlihat angkuh. Ingat, ia harus play hard to get.

“Lu tuh kenapa sih suka banget nyuruh gua ikut kerja di sini? Gua kan tamu! Harusnya gua…” Suara Jose mengecil di akhir ucapannya hingga ia tak melanjutkan kalimat yang ingin dilontarkan.

Jantung Jose hampir loncat keluar dari rongga dada ketika Aby memasangkan bucket hat yang berwarna senada dengan piyamanya. Dari jarak yang begitu dekat, Jose dapat menghirup aroma tubuh Aby.

“Kenapa? Gak mau?” tanya Aby setelah memasangkan bucket hat berwarna kuning di atas kepala Jose.

“Mau,” cicit Jose pelan.


Tak ada yang menyaingi sinar yang dipancarkan oleh Jose. Bahkan sang mentari pun enggan untuk bersaing dengan Jose yang memancarkan warna kuning dari ujung kepala hingga ujung kaki (kecuali sendal vila yang berwarna putih).

Sosok yang berjongkok di bawah pohon anggur menyeka keringat yang menumpuk sebesar biji jagung di keningnya. Pipi Jose sekarang sudah sangat merah, persis buah tomat yang matang dan siap disantap.

“Jadi, sebenernya, vila ini tuh lebih ke apa ya namanya? Vila milik keluarga? Atau apalah itu namanya. Makanya di sini sepi karena ya yang ke sini paling keluarga besar Bang Gyan aja. Kalau gak ya kerabat atau relasi dari keluarga Bang Gyan. Biasanya di sini penuh kalau lagi musim liburan anak sekolah. Makanya sekarang cuman Kak Jose doang yang jadi tamu di sini,” jelas Azriel sembari sibuk memetik anggur.

Hadir kerutan tipis di kening Jose. Dalam hati, ia bertanya-tanya bagaimana Jordy bisa mengetahui keberadaan vila yang terletak di ujung dunia ini.

“Berarti di sini jarang ada tamu yang gak kenal sama keluarganya Aby?” tanya Jose, wajahnya sedikit mendongak untuk melihat Azriel yang sedang berdiri.

“Jarang banget, sih. Dalam setahun paling cuman beberapa doang, bisa dihitung jari,” jawab Azriel.

Sosok jangkung yang masih menggunakan seragam putih hitam mendekat pada Jose. Lebih tepatnya, pada keranjang yang berada di sebelah Jose. Menyimpan angur-anggur yang ia petik di dalam sana.

Tak lama, Aby datang dengan keranjang besar yang telah dipenuhi anggur.

“Cepet amat,” celetuk Azriel sembari menghampiri bosnya.

“Lu kasih ini Putri. Suruh bersihin ini terus ambilin minum,” titah Aby pada Azriel.

“Siap, Bos!” seru Azriel penuh semangat.

“Kak Jose gua pergi dulu, ya. Kalau orang ini nyebelin laporin aja ke gua,” ujar Azriel sebelum beranjak pergi.

Meninggalkan Jose yang masih tak bergeming. Hening. Hanya terdengar suara angin yang berembus. Jose tak tahu apa yang harus ia lakukan selain menatap Aby.

Bahkan ketika Aby berjalan ke arahnya pun, Jose masih diam berjongkok seraya mengamati wajah Aby. Entah apa yang tengah ia cari, bibirnya sedikit cemberut.

“Tangan lu siniin,” ucap Aby sembari ikut berjongkok di depan Jose.

Tanpa perlu disuruh dua kali, Jose langsung menjulurkan tangannya. Satu ikat anggur berukutan kecil diberikan pada Jose. Anggur-anggur yang sekarang berada di tangan Jose terlihat mengkilap karena air dan Jose menduga Aby telah membersihkannya.

Kedua alis Jose saling bertaut, memikirkan apa tujuan Aby memberikan anggur padanya. Apakah Aby meminta Jose untuk memakan anggur tersebut?

“Lu nyuruh gua buat makan ini?” tanya Jose kebingungan.

Tak ada jawaban. Maka Jose beranggapan bahwa Aby memang menyuruhnya untuk memakan anggur yang diberikan.

Satu buah anggur masuk sepenuhnya ke dalam mulut Jose. Belum sempat Jose mengunyah dan menikmati rasa anggur di mulutnya, Aby berceletuk,

“Itu abis disemprot pake kencingnya Elizabeth.”

Anggur yang telah masuk ke dalam mulut kemudian dikeluarkan kembali. Jose hampir menangis, bila saja tak mendengarkan ucapan Aby yang selanjutnya.

“Bercanda.”

Jose mendengus sebal. Ia lantas mengambil anggur yang lain dan langsung mengunyahnya ganas.

“Lagian gampang banget percaya sama gua.”

“Ya omongan lu masuk akal semua. Coba kalau lu omongannya gak masuk akal, gua juga gak bakal percaya,” sunggut Jose mengebu-ngebu dengan mulut yang terisi anggur.

“Omongan yang gak masuk akal tuh kayak gimana?” tanya Aby.

Jose terdiam sebentar untuk memikirkan jawaban.

“Kayak, ‘Sebenernya gua tuh fans lu nomor satu’. Gitu,” jawab Jose, netra yang sempat berkelana kembali menatap Aby yang berada di hadapannya.

Lawan bicara yang juga tengah memandangnya terdiam, membuat Jose gugup.

“Manis.”

“Hm?” gumam Jose, kelopak matanya melebar.

Sepasang netra milik Aby yang terpaku pada manik mata Jose bergerak turun ke bawah, menuju bibir Jose.

“Manis, kan? Rasanya?”

Mungkin maksud Aby adalah bertanya soal rasa anggur yang dimakan oleh Jose.

“Huum, lumayan,” jawab Jose seraya mengangguk kecil.

Terima kasih kepada ayam sialan yang telah membangunkan Jose. Di pagi hari yang tidak indah ini, Jose terlalu bersemangat untuk memarahi ayam yang berkokok, hingga ia menunjukkan wajah bantalnya pada Aby.

Jose memberikan pandangan mata yang menusuk untuk seekor ayam berwarna putih yang juga tengah menatapnya.

“Misi.”

Tubuh Jose yang dibalut hoodie kebesaran dan celana piyama melompat kaget. Ia menoleh ke belakang, menemukan sosok lain yang tak dikenal. Jose menduga jika sosok tersebut adalah salah satu pegawai vila.

“Jangan ngehalangin jalan dong.” Itu Aby yang sedaritadi sibuk dengan Elizabeth.

Dongkol. Jangan tanya suasana Jose saat ini. Semua orang dan semua makhluk agaknya suka membuat Jose badmood.

“Elizabeth mau disembelih?” Jose bertanyaan dengan alis yang bertaut.

Tentu saja Jose heran. Pasalnya, kuda putih yang kemarin baru dimandikan kini tengah disuntik oleh Aby.

“Lagi diobatin. Bang Gyan itu sebenernya dokter hewan gadungan.” Entah datang dari mana, Azriel sudah berada di samping Jose.

Mendengar informasi tersebut, Jose tiba-tiba batuk kencang. Wajah yang siap untuk menerkam seekor ayam digantikan oleh ekspresi lesu. Bahunya melorot turun.

“Uhuk, uhuk. Kayaknya gua sakit,” dusta Jose.

Tolong ingatkan Jose bahwa ia adalah manusia, bukan hewan sejenis Elizabeth.

Sosok yang berada di sampingnya tentu panik. Azriel sudah menduga jika Jose akan masuk angin atau terkena flu akibat diguyur oleh Aby kemarin.

“Termo yang itu,” ujar Aby pada lelaki misterius lain yang belum Jose ketahui namanya.

Melihat Aby berjalan mendekat, Jose semakin mendramatisir suasana. Suara batuknya semakin kencang.

“Uhuk, uhuk. Kayaknya gua demam gara-gara kemarin—“

Bunyi dari termometer yang ditempelkan di telinga terdengar. Jose lantas mengejapkan mata ketika Aby menunjukkan suhu tubuhnya.

36.8

Ekspresi datar yang diberikan Aby diinterpretasikan sebagai cemoohan oleh Jose.

“Lu sakit jiwa kali.”

Jika Jose mencium bibir Aby, mungkin bibir tipis yang terlihat seksi itu akan terasa pedas.

“Sembarangan!” seru Azriel sebagai suporter Jose.

Wajah Jose yang masih belum bertemu dengan air segar tertekuk. Suasana hatinya benar-benar buruk. Ia kembali menatap ayam yang masih tak bergeming di tempat, pandangan matanya tak terlepas dari Jose.

“Ini namanya siapa?” tanya Jose pada Azriel, tak menghiraukan Aby yang kembali sibuk dengan Elizabeth.

“Semua nama ayam di sini dinamain Bella.”

“Emang ada berapa biji ayamnya?”

“Banyak, mungkin 20? Lebih? 30?” Azriel terlihat menghitung 10 jarinya.

“Gimana cara ngebedain Bella satu sama Bella dua?”

Ada jeda, sebelum Azriel menjawab. “Dari kelakuannya. Ada yang introvert, ada yang suka terbang, oh! ini yang paling nyebelin. Bella Pacok namanya. Dia suka matuk kaki orang sebarangan.”

Jose mengangguk paham. Semoga ia tak dipertemukan dengan Bella Pacok. Ia tak ingin kakinya menjadi korban patuk ayam.

“Bella Pacok itu ciri-cirinya gimana?” Jose bertanya dengan manik mata yang mengamati ayam di hadapannya.

Kerutan tipis hadir di kening Jose tatkala melihat ayam tersebut melangkah mendekat.

“Dia suka ngelihatin orang yang mau dia patuk, terus gak lama nyamperin.”

Lagi-lagi Jose mengangguk, netranya masih terfokus pada seekor ayam.

“Terus abis gitu tuk matuk deh dia.”

Tak lama, teriakan Jose yang nyaring menggelegar. Berhasil mengusir burung-burung kecil yang berada di pohon.


Buruk sekali. Hari Jose benar-benar buruk hingga ia ingin pulang detik itu juga. Kakinya berdarah akibat ayam sialan yang tiba-tiba mematuk. Walau darah yang keluar hanya setitik.

Amarah yang mengebu-ngebu membuat Jose memiliki niat untuk memanggang Bella Pacok setelah lukanya sembuh.

“Cuman gini doang nangis.”

“Cuman?!” sungut Jose pada Aby yang tengah menempelkan plester di kakinya.

“Lu gak ada hak bilang ’cuman’ ke gua! Lagian gua gak nangis!”

Kini, Jose berada di dalam kamarnya. Duduk di pinggiran kasur. Sedangkan Aby, berjongkok tepat di hadapan Jose. Jika saja Jose tidak kesal, ia mungkin tengah berteriak kegirangan saat ini akibat posisi mereka yang terlihat seperti Jose sedang dilamar oleh Aby.

Bibir Jose mengerucut. Dalam benaknya, ia sudah merencakan aksi pembunuhan ayam bernama Bella itu. Lihat saja pembalasannya.

Sepasang netra yang memancarkan amarah membulat tatkala melihat Aby yang berancang pergi.

“Tunggu!” seru Jose, meski ia sendiri tidak tahu ingin berkata apa pada Aby.

Jose hanya ingin sedikit lebih lama berdua bersama Aby.

“Kenapa?”

Benak Jose mendadak kosong, tepat ketika Aby menatapnya. Jose dapat merasakan dadanya menjadi sesak akibat detak jantung yang menggila.

“Minta nomor Azriel.”

Tak ada yang dapat Jose pikirkan selain kalimat yang baru saja terucap dari mulutnya.