Jose Sakit (Real)

Sebelum membuka pintu, Jose membuat suara batuk yang terdengar sedramatis mungkin. Ia meraih kenop pintu sembari berlagak seperti orang sakit.

“Uhuk, lu kenapa udah uhuk, ke sini? Uhuk, uhuk. Katanya mau malem, uhuk,” tanya Jose, punggungnya membungkuk tanpa memandang sang tamu.

Tak mendapatkan respon, Jose mendongak. Kelopak matanya melebar tatkala menemukan sosok Aby yang berdiri di hadapannya.

“Lu ngapain di sini?!” Ekspresi wajah Jose berubah sepenuhnya, ia terlalu terkejut dengan kedatangan Aby.

Alih-alih menjawab, Aby mengeluarkan termometer. Menyimpannya tepat di depan kening Jose.

“37.5,” gumam Aby.

Tangan Jose secara impulsif menutupi keningnya. Lagi-lagi kebohongannya terbongkar oleh termometer. Tanpa mempersilahkan Aby masuk, Jose melenggang pergi. Air muka Jose kini menjadi masam.

“Lu kalau gak mau minjemin barang ke gua dari awal mending gak usah minjemin. Lagian gua gak minta lu buat minjemin sesuatu ke gua. Terus ini jaket sejak kapan ada di gua?” cecar Jose sebal.

“Lu berisik banget.”

Satu kalimat yang keluar dari mulut Aby berhasil membuat Jose membalikkan tubuh. Sepasang netra bulat miliknya memandang Aby tajam.

“Kalau berisik gak usah di—“ Bibir Jose terkatup rapat, tepat ketika jemari Aby meraih dagunya.

Alarm di kepala Jose menyala, berbunyi nyaring akibat dari degupan jantungnya yang menggila.

Manik mata yang tertuju pada Aby mengejap. Ia merasakan jika Aby mengusap pucuk hidungnya. Jose memantung di tempat. Kesadarannya datang kembali saat Aby menarik tangannya dari hidung Jose.

Meskipun ia jarang menggunakan otaknya untuk berpikir, namun Jose dengan cepat memproses untaian kejadian yang tengah terjadi hingga menarik kesimpulan. Jose lantas menahan tangan Aby sebelum sang pemilik melihat ibu jarinya.

Tadi, Jose sempat mengoleskan blush di hidung dan di pipinya untuk menambah kesan “sakit”.

Di sisi lain, Aby berusaha melepaskan genggaman Jose. Tak ingin kalah, Jose menggunakan satu tangannya lagi untuk menahan Aby. Berakhirlah keduang saling tarik menarik. Kemudian Aby, tanpa diduga melemaskan otot-ototnya, membuat Jose terdorong ke belakang.

Waktu seakan menjadi lebih lambat. Jose berusaha memegang tangan Aby. Ia menduga Aby akan menolongnya. Membawa Jose ke dalam dekapan sebelum terjatuh ke lantai. Persis adegan drama yang Jose sukai.

Hingga suara gaduh terdengar. Pantat Jose yang dibalut celana piyama satin mencium lantai.

Tolong ingatkan Jose agar berhenti berharap pada Aby.

Sosok yang berada di hadapan Jose hanya terdiam tanpa berniat membantu. Jose meringgis kesakitan seraya mendelik pada Aby.

“Brengsek,” umpat Jose yang kemudian beranjak berdiri.

“Bentar, gua cariin dulu jaket lu. Tadi gua lupa nyimpennya di mana.”

Tak ada respon dari Aby. Rasanya Jose ingin memakan Aby hidup-hidup. Bagaimana bisa Jose menyukai sosok yang begitu menyebalkan?

“Perasaan di sini. Kok sekarang gak ada?” monolog Jose, tangannya sibuk mencari jaket Aby di atas kasur.

“Masa di wc?” Jose berbalik, ia hendak menuju kamar mandi.

Genggaman pada pergelangan tangan Jose membuat langkahnya terhenti. Jose menoleh pada Aby yang bersandar di kursi.

“Di sini,” ujar Aby singkat.

Oh.

Ternyata jaket milik Aby tengah Jose pakai. Jangan tanya sejak kapan Jose mengenakannya, ia pun tak ingat.

Dengan buru-buru, Jose melepaskan jaket Aby. Ia melimpatnya asal, lalu menyimpannya di atas meja.

“Udah kan? Lu cepetan pergi,” usir Jose, meski hatinya berteriak kencang menyuruh Aby tinggal lebih lama.

“Lain kali kalau gak mau ketemu gua, gak usah bilang lu lagi sakit. Lu udah bikin Azriel panik.” Aby menatap Jose datar.

“Lu kayaknya seneng banget ngebohong.”

Dalam hati yang tengah dilanda nyeri, Jose tertawa getir. Ia ingin menangis, tetapi air matanya sudah kering layaknya gurun sahara.

“Iya. Yang keluar dari mulut gua ini, semuanya cuman bohongan,” ujar Jose menyetujui.

Tubuh yang bersandar pada kursi kini berdiri tegak. Aby lantas mengangguk.

“Termasuk yang kemarin?” tanya Aby.

“Ya,” jawab Jose hambar.

Keheningan melanda di tengah kedua sosok yang saling melemparkan pandangan.

“Udah kan?” Jose memecah sunyi.

Bibir yang terlihat agak pucat digigit keras. Jose berusaha untuk tak mengalihkan pandangan dari netra Aby. Jantungnya kembali menggila tatkala Aby berjalan mendekat.

“Lu mimisan,” ujar Aby seraya meraih dagu Jose.

Sontak, Jose mengejapkan mata. Pantas ia merasakan sesuatu keluar dari hidungnya. Jose sempat mengira itu ingus.

Sosok yang kebingungan sembari menatap Aby tidak menunjukkan rasa panik sama sekali. Kerutan di kening Aby membuat Jose bertanya-tanya, apa yang sedang Aby pikirkan?

Jose tak bergeming di tempat. Netranya tertuju pada Aby yang sibuk sendiri. Sosok yang dimati terlihat mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

“Halo?” Pandangan mereka kembali bertemu saat sambungan telepon terhubung.

“Tadi suhunya masih normal. Sekarang mimisan. Gua cek lagi suhunya….”

Suara termometer terdengar tak lama setelah Aby menyimpannya di depan kening Jose untuk yang kedua kali.

“38.1.”

Kemudian, Aby menarik Jose untuk duduk di pinggiran ranjang. Salah satu tangannya membersihkan noda darah yang keluar dari hidung Jose.

“Jadi gua kasih itu dulu? Besok lu bisa ke sini gak?”

“Okay, thanks.”

Ketika sambungan telepon terputus, Aby langsung menyimpan ponselnya. Diraihnya dagu Jose untuk memastikan perdarahan telah terhenti.

“Lu sejak kapan bawa itu? Tadi perasaan gua gak lihat,” celetuk Jose sembari menunjuk kotak peralatan medis milik Aby yang berada di atas meja.

“Pusing gak kepalanya?” Aby tak mengidahkan pertanyaan Jose.

“Sedikit.”

“Udah makan?”

Nada lembut yang keluar dari mulut Aby membuat Jose merasakan tubuhnya memanas (padahal Jose memang sedang demam).

“Udah.”

“Jam berapa? Makan sama apa?”

Mengapa Aby jadi banyak tanya?

“Sekitar jam 3, sama roti.”

“Minum obat dulu abis ini tidur, ya?”

Tak ada jawaban dari Jose. Sosok yang tengah duduk menatap Aby tanpa berkedip.

“Abis gua minum obat, lu bakal pergi?” tanya Jose, berharap Aby akan menemaninya.

Aby merendahkan tubuhnya di hadapan Jose, membuat tinggi keduanya sejajar. Jemari Aby kembali mengusap noda darah yang tersisa di bawah hidung Jose.

“I’ll stay here.”