Kata Aby Tau

Sudah berapa kali Jose berkata bahwa ia benci dingin?

Dewi fortuna agaknya enggan mendatangi Jose hingga sosok yang kini memeluk dirinya dengan erat tengah menggigil akibat angin kencang yang mererpa. Jose bukannya tidak ingin menaikkan kaca jendela mobil, namun ia tidak bisa. Kaca jendela mobil pick up yang tengah Aby kemudikan itu tidak dapat Jose naikkan karena rusak.

Tidak ada yang dapat Jose lakukan selain menyesali keputusannya untuk ikut Aby berbelanja.

Lagipula untuk apa Jose ikut berbelanja jika Aby saja tidak menganggap eksistensinya?

Dari mulai bertemu di lobby hingga berada di perjalanan selama sekitar dua puluh menit, Aby sama sekali tidak membuka mulut. Jangankan membuka mulut, menatap Jose saja tidak.

Laju mobil yang mulai melambat menyadarkan Jose dari lamunan. Suara khalayak yang terdengar membuat Jose memandang sekitar. Akhirnya ia dapat menemukan banyak manusia setelah sekian lama.

Mesin mobil berhenti. Jose masih tak bergeming di tempatnya. Ia tengah meredakan bekas usapan angin yang masih terasa di permukaan kulit.

Tubuh Jose yang sedikit bersandar di pintu mobil terhuyung ketika seseorang membukanya dengan tiba-tiba. Kelopak mata Jose melebar dengan jantung yang berdegup kencang. Ia hampir mencium tanah jika Aby tidak menahan tubuhnya.

“Mau diem sampai kapan?” Suara Aby yang terdengar sangat jelas di telinga Jose membuat Jose mendongak.

Sepasang netra Jose terpaku pada netra Aby yang memandangnya datar.

“Gua tau kalau gua ganteng, tapi cepetan turun soalnya tangan gua mulai kebas.”

Sontak, Jose menjauhkan dirinya dari dekapan Aby. Ia berdeham, sebelum beranjak turun. Jose dapat merasakan kakinya lemas saat ia menapak pada tanah. Bahaya sekali. Aby tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

Dengan sekuat tenaga, Jose menahan senyum yang ingin merekah. Jose juga tengah menahan keinginannya untuk melompat-lompat akibat rasa senang yang melanda.

Ternyata dewi fortuna tidak seenggan itu datang kepada Jose


Buruk sekali. Isi dompet Jose. Sangat buruk. Hanya ada tiga lembar uang berwarna pink di sana. Jose bahkan tidak tahu sampai kapan ia akan tinggal di negeri entah berantah itu dan manajer sialannya hanya memberikan Jose uang tiga ratus ribu?

“Jordy brengsek,” umpat Jose sembari menggembalikan camilan keripik kentang dengan sosok berkumis di bungkusnya.

Rasa kesalnya bukan hanya karena Jordy, tapi juga karena Aby yang tengah memberikan senyuman manis pada kasir. Di balik rak yang berisi camilan, Jose memincingkan mata, mengamati cengkerama Aby dengan sang kasir.

“Mana pernah dia senyum gitu ke gua,” gerutu Jose, bibirnya cemberut.

Hanya perlu waktu yang sebentar untuk membuat suasana hati Jose berantakan. Jose kembali menyesali keputusannya ikut berbelanja.

“Mana cakep lagi kasirnya.” Lagi-lagi Jose menggerutu, pandangannya tak lepas dari Aby.

Sudah cukup. Jose ingin segera pergi. Jika bisa, ia ingin pulang ke rumahnya. Namun, Jose saja tidak tahu di mana ia berada. Jangankan jalan pulang, jalan menuju vila pun ia tak tahu.

Jose berjalan ke arah kasir dengan wajah masam. Tanpa memedulikan Aby, ia menaruh belanjaannya di meja kasir. Seakan Aby tidak ada di sana.

Tak mendapatkan respon, Jose menatap sang kasir. Memberikan sinyal bahwa ia sudah selesai berbelanja dan ingin segera membayar.

“Kardusnya ada di sebelah kanan, nyalain aja lampunya, Mas Gyan.”

Apa katanya tadi?

Mas?

Mas??????

Seperti yang Jose duga, Aby tak peduli dengan kehadirannya dan melenggang pergi begitu saja.

“Totalnya jadi 192.700.”

Sialan.

Uangnya sebentar lagi habis.

Meskipun sedikit enggan, Jose mengeluarkan dua lembar uang dari dompetnya.

“Uangnya 200.000 rupiah, untuk—“

“Ya.”

Sosok perempuan yang berada di depan Jose terdiam sesaat.

“Baik, terima kasih. Kembaliannya 7000 rupiah, ya Kak.”

“Ya. Makasih.”

Sebelum mendengar ucapan kasir selanjutnya, Jose buru-buru pergi. Akhirnya Jose dapat menghirup udara segar di luar toko swalayan. Dada yang terasa sesak kini berangsur-angsur membaik. Manik mata Jose menatap sekitar, mengamati lalu lalang manusia.

Hingga ia menemukan sosok anak kecil di seberang jalan yang terlihat kebingungan. Jose lantas berjalan menghampiri. Suasana jalan cukup ramai dengan kendaraan dan ia merasa jika anak tersebut ingin menyeberang.

“Adeknya mau nyeberang?” tanya Jose.

Tak ada respon.

Apakah Jose transparan?

Ditepuknya bahu sosok anak perempuan dengan pelan.

“Mau nyeberang?” ulang Jose.

Kali ini, anak perempuan yang mungkin berusia enam sampai tujuh tahun memandang Jose. Hanya sekadar memandang, tanpa membalas pertanyaan Jose.

Tubuh Jose membeku untuk beberapa saat. Setelah kesadarannya kembali, Jose lantas berjongkok. Tangannya bergerak, membuat satu kalimat.

“Kamu mau menyeberang?”

Senyuman Jose mengembang tatkala sosok kecil yang berada di hadapannya mengangguk.

”Kakak antar, ya.”

”Terima kasih.”

Kemudian, Jose membawa tangan kecil ke dalam genggaman. Membantu sosok lain untuk menyeberang.

Sosok tersebut langsung berlari ketika mereka sampai di seberang, menghampiri perempuan paruh baya di sana.

”Terima kasih.”

”Sama-sama.”

Perempuan paruh baya menganggukkan kepalanya sebagai terima kasih, membuat Jose ikut mengangguk sekilas.

“Lu bisa Bisindo?”

Mendengar suara yang tak asing, Jose membalikkan badan. Ia menemukan Aby yang tengah bersandar pada mobil seraya menyilangkan tangan di dada.

“Sedikit,” jawab Jose.

”Aku suka kamu.”

”Tau.”