Setitik Dorongan

Secarik senyuman terpatri tatkala ingatannya ditarik kembali pada kejadian yang belum lama terjadi. Sepasang netra yang membulat lucu masih terputar dengan jelas di benak Mikael. Presensi Mikael di rapat kepantiaan kampus mampu membut Aiko terkesiap, sebab Aiko tak mengetahui jika Mikael menjadi salah satu anggota kepanitiaan yang tengah ia ketuai.

“Aiko keren banget deh,” celetuk Catalina, menyentak Mikael dari lamunan.

“Emang.” Mikael menjawab seraya mengangguk penuh rasa bangga.

“Pembawaannya tenang banget. Kalau gua lihat ada anak yang asik bercanda waktu rapat udah gua gundulin kali kepalanya.” Kerutan halus hadir di kening Catalina ketika mengingat potongan memori yang belum lama berlangsung.

“Alay lu.”

Tawa keduanya pecah, membuat banyak pasang mata yang memerhatikan.

“Lu bilang gitu kayak yang bisa marah aja,” ujar Mikael yang dibalas dengan senyuman simpul.

“Noh, datang anaknya!” seru Catalina, mengalihkan atensi Mikael.

Pintu kaca terbuka, menampakkan Aiko yang berjalan dengan dua orang mengekor di belakang. Manik mata yang terus tertuju pada Aiko akhirnya bersirobok dengan sepasang netra milik sosok rupawan. Tanpa diduga, Aiko melangkahkan kakinya menuju Mikael, membuat Catalina bergerak heboh.

“Kita lanjut rapatnya setelah makan ya,” siar Aiko kepada seluruh anggota kepanitiaan setelah berdiri di depan meja Mikael dan Catalina.

Pandangan Aiko bergerak turun. Ia lantas menatap Catalina dan Mikael secara bergantian.

“Kak, gue izin ke luar lagi ya, mau nyebat. Nanti tolong panggil aja kalau makanannya udah datang,” izin Aiko.

Catalina mengangguk sembari tersenyum. “Ael, temenin Aiai ya. Takut diculik,” titahnya pada Mikael.

“Gak bakal diculik. Penculiknya juga takut kalau sama Aiko,” jawab Mikael yang kemudian beranjak berdiri.

“Ayo.” Mikael mengajak Aiko yang tengah terdiam memantung.

Sosok yang lebih tua berjalan terlebih dahulu. Aiko menundukkan kepalanya untuk berpamitan dengan Catalina. Kemudian, ia menyusul Mikael yang sedang menunggunya.

Tak ada yang membuka percakapan di antara mereka. Keduanya mengatup rapat bibir masing-masing, memilih untuk terlarut dalam selubung pikiran. Udara hangat menyapa saat tungkai kaki mereka melangkah keluar. Mikael menyimpan tangannya di pagar balkon seraya memerhatikan pemandangan di sekitar.

Asap putih yang mengaburkan penglihatan membuat Mikael menoleh pada Aiko yang berada di sampingnya. Sosok yang tengah menghisap rokok elektrik menatap dirgantara yang dipenuhi gegana. Sisi wajah yang tampak begitu elok di mata Mikael menghasilkan rapalan kagum dalam hati yang tak dapat berhenti.

“Lu marahin anak dua yang tadi gimana?” Sekonyong-konyong Mikael bertanya, memecah senyap yang melanda.

“Gue gak marahin siapa-siapa. Cuman ngingetin aja biar saling menghargai. Kalau ada orang yang lagi ngomong harus didengerin, jangan malah asik bercanda sama yang lain,” jawab Aiko.

“Kenapa gak lu tegur langsung di depan semua orang?” Mikael kembali bertanya, netra kelam miliknya masih sibuk memerhatikan paras Aiko.

“Ngapain? Mau buat mereka malu?” Aiko balik bertanya.

“Gue gak mau ngebuat mereka gak nyaman. Kalau gue negur mereka langsung di depan semua anggota, malu yang mereka tanggung lebih banyak. Kedepannya juga mungkin mereka bakal dicap jelek sama anggota lain. Kalau cuman gue yang negur tanpa ada orang lain yang lihat kan mereka malunya cuman sama gue doang,” jelas Aiko yang kemudian kembali menyesap cerutunya.

Eksplanasi dari si lawan bicara membuat Mikael mengangguk paham. Lalu keheningan kembali menyelimuti kedua insan yang menyelam ke dalam lamunan.

“Gue ngerasa lo punya banyak hal yang pengen lo omongin ke gue.” Aiko membuka suara, menarik fokus Mikael.

“Tapi lo seakan gak bisa buat mengungkapkan itu semua.” Terdapat sebuah jeda saat Aiko beralih membalas tatapan sepasang netra yang kelam.

“Gue bakal nyari tau semuanya, so don’t push me away,” ujar Aiko berterus terang.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Mikael. Sekadar pandangan lurus yang tak dapat Aiko artikan. Kelopak mata Aiko melebar ketika Mikael tiba-tiba mendekatkan diri, hingga wajah keduanya hanya dipisahkan oleh sedikit jarak. Mikael mengendus tepat di depan bibir ranum kemerahan dengan tatapan mata yang terus tertuju pada Aiko.

“It smells different, did you change your liquid?” tanya Mikael seraya menjauhkan wajahnya.

“Iya,” jawab Aiko.

Rokok elektrik yang berada dalam genggamannya dihisap sekali lagi. Kali ini, giliran Aiko yang menghapus jarak di antara keduanya. Embusan asap keluar ketika bibir Aiko terbuka. Kepala Aiko yang dimiringkan membuat mereka terlihat seolah akan berciuman.

“Guess what?” tanya Aiko, netranya mengunci pergerakan dari netra Mikael.

“Caramel?” tebak Mikael dengan pandangan yang menggelap.

“Salted caramel.” Aiko berbisik untuk mengoreksi Mikael.

Pandangan mata Mikael perlahan turun menuju bibir Aiko, hingga menciptakan senyuman manis di wajah sang empunya. Aiko hampir mendekatkan diri, sebelum suara Catalina menginterupsi.