Awal Pertemuan Menuju Selamanya

Kala itu, sosok dengan tubuh kecil yang selalu menjauh dari keramaian tak peduli terhadap banyak hal. Ia hanya berangkat sekolah untuk belajar, kemudian bergegas pulang tanpa rasa enggan berpisah dengan teman sebaya. Aiko tak mendapatkan deskriminasi dalam bentuk apapun, hanya dirinya yang membuat tembok kokoh yang menjadi sebuah batas agar orang lain segan untuk mendekat.

Aiko, baru menginjakkan kaki di kelas dua pada tinggkat sekolah dasar dan masih belum memiliki niat berteman dengan orang lain.

“Mamah Naya udah tau belum? Anak kelas 3 yang baru pindah ke sini ganteng banget! Saya jadi penasaran sama wajah ayahnya.”

“Ih! Saya udah lihat anaknya loh bund! Meni kasep pisan (ganteng banget), kayak artis Korea yang main di drama Dae Jang Geum.”

“Anaknya juga baik banget, tapi ya, di kelas 3 teh kan ada anak-anak yang bengal. Jadi kata si kakak mah suka dijailin anak barunya.”

Eleuh, kasihan atuh (yaampun, kasihan dong). Udah dilaporin ke guru?”

“Ih udah, tapi teh tetep weh kayak gitu (tetep aja kayak gitu).”

Langkah kaki kecil yang melewati pintu kelas tak menghiraukan sekitar. Desas desus yang terdengar begitu keras tatkala ia melewati kumpulan orang tua murid kelas 1 yang sedang menunggu anaknya keluar kelas dianggap sebagai angin lalu.

Tubuh mungilnya berjalan tegak, pandangan matanya lurus dengan wajah yang datar. Aiko harus cepat-cepat sampai rumah jika tidak ingin tertinggal animasi favoritnya di televisi.

“Ambil tasnya!”

“Tadi aku lihat dia punya banyak euy!

“Cepet ambil tasnya!”

“Eh, jangan! Itu uang buat beli jepit rambut bunda aku.”

“HAHAHAHA DASAR ANAK MAMI.”

“Sini cepet kasih ke kita!”

Telinga Aiko menangkap suara bising di belakang toilet. Awalnya, ia tak peduli. Anak-anak seusianya memang suka bercanda berlebihan. Dari apa yang Aiko lihat, biasanya harus ada salah satu yang menanggis sebelum saling meminta maaf.

“Jangan! Aku janji bakal kasih kalian uang, tapi nanti, ya?”

“CEPETAN AMBIL PAKSA!”

Sepasang netra tanpa ekspresi berubah menjadi nyalang. Dengan napas yang berburu, Aiko melangkah cepat menuju sumber suara. Di sana, terdapat empat orang anak yang tengah memojokkan seseorang yang mendekap erat tasnya.

Menjadi saksi pemandangan yang tidak menyenangkan, Aiko mendengus. Adegan yang sedang berlangsung merupakan adegan yang paling Aiko benci tatkala ia menonton animasi kesukaannya.

“Pukul aja!” seru salah satu dari mereka.

Kesabaran Aiko telah habis sepenuhnya. Bak seorang pahlawan yang muncul pada kartun superhero, Aiko melemparkan tasnya pada empat orang anak nakal tersebut.

Tanpa menunggu lebih lama, Aiko segera berlari untuk melindungi anak yang menjadi korban perisakan. Aiko menyembunyikan sosok itu di balik punggung kecilnya.

“Aduh!”

“Ai maneh saha?!”

Kamu siapa?!

Tak ada jawaban. Aiko terdiam seraya menatap anak-anak nakal dengan pandangan menusuk. Sosok yang memiliki tubuh paling tinggi di antara mereka berjalan mendekat pada Aiko, berancang untuk menghajar Aiko. Namun, Aiko lebih dulu memberikan pukulan tepat di wajahnya.

Suara detuman hasil dari tumbukan kepalan tangan Aiko dengan wajah si anak nakal membuat suasana hening seketika.

“Galih!” seru temannya ketika melihat tubuh sang ketua geng tumbang.

Ketiga teman dari sosok yang bernama Galih hampir mendekat, namun niatnya terurung saat melihat wajah dingin Aiko. Anak-anak nakal yang tersisa kemudian melarikan diri, meninggalkan Galih yang menangis kesakitan seraya berusaha bangkit.

“Masa gitu aja nangis? Dasar anak mami,” ucap Aiko malas.

“Aku aduin kamu ke mama hueeeee.” Setelah itu, Galih berjalan pergi.

“Mmm, halo?” Aiko menoleh ke belakang, netranya menangkap sosok asing.

Merasa tak memiliki kepentingan dengan sosok yang ia tolong, Aiko tak mengubris sapaannya. Memilih untuk berjalan guna menggambil tas yang ia lempar. Di belakangnya, sosok tadi mengekor layaknya anak bebek yang mengikuti sang induk.

“Makasih ya udah bantuin aku, tapi kata bunda aku, kita gak boleh mukul orang loh.”

Tak mendapatkan respon, sosok dengan nama Keinaan Mikael yang tertulis pada name tag-nya melangkah mendekat.

“Bunda aku bilang, kalau kita dijahatin, kita gak boleh ngejahatin balik.” Ia masih berusaha untuk mengajak Aiko mengobrol.

Lantas, Aiko membalikkan tubuh, menghadap pada sosok yang lebih tua setahun darinya.

“Tapi mama aku bilang kalau ada yang mau mukul aku, aku harus mukul dia duluan,” jawab Aiko datar.

Netra Mikael membulat. “Kalau gitu, kamu mau gak jadi temen aku?”

Binar pada mata bulat Mikael hadir dengan penuh harap. Namun, Aiko hanya menatap Mikael sekilas tanpa ekspresi.

“Gak,” tolak Aiko, sebelum melenggang pergi.


Terhitung sudah tiga puluh menit Aiko berjalan dengan arah yang berlawan dari rumah. Ia sengaja melakukannya agar sosok yang sedari tadi berjalan membuntuti di belakang menyerah untuk mengikutinya. Namun, sosok tersebut tidak menunjukan tanda-tanda ingin berhenti.

Aiko menghela napasnya dengan kasar. Langkahnya terhenti seketika, begitu pula dengan sosok yang berada di belakang. Kemudian, Aiko membalikkan tubuh.

“Rumah kamu ada di mana?” Aiko bersuara setelah sekian lama terdiam.

Sosok yang membuntuti terdiam, irisnya bergerak gelisah. “Di depan sana,” tunjuk Mikael pada jalanan yang berada di depannya.

“Tapi itu jalan buat ke kuburan,” ujar Aiko.

Keterdiaman sosok di hadapannya membuat Aiko berdecak kesal.

“Kamu anak baru itu ya?” tanya Aiko, dibalas dengan anggukkan kecil.

“Lupa jalan pulang?” Sekali lagi, Mikael mengangguk.

“Terus gimana? Aku kan gak tau rumah kamu dimana.”

Tangan Mikael bergerak mengambil sesuatu di dalam saku bajunya. “Ini alamat rumah aku,” ucapnya seraya memberikan secarik kertas kecil pada Aiko.

Mau tak mau, Aiko mengambil kertas tersebut.

“Kenapa gak minta orang lain buat nganterin kamu?” tanya Aiko.

“Aku pengen dianterin sama kamu,” jawab Mikael jujur.

“Kenapa?”

Kelopak mata Mikael mengerjap lucu. “Soalnya aku pengen jadi temen kamu,” ujarnya berterus terang.

“Kenapa?” Aiko bertanya kembali.

“Kamu orangnya baik.”

“Darimana kamu tau aku baik?”

“Kamu kan tadi bantuin aku.”

“Tapi aku gak mau jadi temen kamu.”

Seri pada wajah Mikael hilang, digantikan oleh ekspresi sendu. Bibirnya melengkung ke bawah.

“Kamu minta ke orang lain aja, aku gak mau nganterin kamu.” Aiko mengembalikan kertas milik Mikael.

Bibir Mikael semakin tertarik ke bawah, bersiap untuk menangis. Melihat itu, Aiko lantas mengerjapkan matanya.

“Yaudah aku anterin,” ucap Aiko final.

Ekspresi Mikael sontak berubah menjadi ceria kembali. “Yeayyy!!!” serunya senang.

“Ayo kenalan, nama aku Keinaan Mikael, biasa dipanggil Ael.” Mikael memperkenalkan diri dengan tangan yang terulur.

“Udah tau, aku bisa baca name tag kamu,” respons Aiko.

“Kalau kamu siapa?” tanya Mikael tanpa mengubris respon Aiko.

“Kamu gak bisa baca?”

“Aku pengen denger langsung dari kamu.”

“Nama aku Celestial Aiko Ruby.“

“Oke, Ai. Sekarang kita temenan.”

Pada akhirnya, Aiko mengalah. Ia membalas uluran tangan Mikael.

“Udah kan? Ayo, aku anter pulang,” ajak Aiko, sebelum menarik tangan Mikael untuk berjalan.

Kala itu, Aiko kecil mendapatkan teman pertamanya. Di bawah sengatan matahari yang membuat pipi keduanya memerah dengan genggaman tangan yang berayun, mereka berjalan beringan.

Mikael, menjadi sosok yang paling banyak berbicara.

“Kita harus temenan selamanya!”

“Emang kamu tau selamanya itu berapa lama?”

“Tau dong! Lamaaaaa banget sampai kita jadi taburan bintang di langit!”

Aiko, tak dapat menahan senyumannya.


Taburan bintang di langit.

Sepasang netra yang terlihat lelah memandang keluar jendela, menerka-nerka rupa langit pada malam yang terasa panjang bagi Aiko. Pikirannya terbang menjelajah memori yang selalu ia simpan dengan baik. Aiko kemudian mengembuskan napas, mengalihkan atensinya pada ponsel yang ia genggam.

orang aneh online

Sudah genap sehari Aiko tidak bertemu dengan Mikael. Kadang, Aiko bertanya, kemana perginya Mikael? Mengapa ia selalu pergi tanpa pamit dan datang tanpa kabar? Aiko merasa jika dirinya tak tahu apa-apa tentang Mikael.

typing

masih belum tidur?

Jantung Aiko berdegup kencang, namun ia memilih untuk membiarkan pesan tersebut.

gua di depan kalau lu gak mau ketemu gak papa, cuman ngasih tau doang

Mana bisa. Aiko sudah terlanjur jatuh terlalu dalam, ia bahkan tak dapat menyelamatkan dirinya dari perasaan yang mungkin tak dapat Mikael balas untuk kedua kalinya.

Aiko bergegas berjalan keluar. Langkahnya sedikit tergesa. Hadirnya perasaan sesak dalam dada membuat emosinya bergejolak.

Tatkala netranya menemukan sosok yang berdiri seraya menatap gemerlap bumantara, Aiko memelankan langkah kakinya. Rindu yang bercampur dengan kesal menjadi satu, Aiko bahkan tidak tahu harus melakukan apa ketika ia berada di hadapan Mikael.

Wajah yang terlihat lelah dan senyuman tipis mengikis semua emosi yang terpendam.

“Kenapa?” Aiko bertanya, menyimpan pertanyaan lainnya yang muncul di benaknya seharian.

Alih-alih menjawab, Mikael menarik Aiko ke dalam dekapannya.

“Are you okay?”tanya Aiko seraya membalas pelukan Mikael.

“I don’t know.” Mikael menjawab, matanya terpejam seraya menghirup aroma tubuh Aiko.

Tangan Aiko bergerak mengusap punggung Mikael, memberikan rasa nyaman pada sosok yang menyimpan wajahnya di ceruk leher Aiko.

“I just need my pill,” lanjut Mikael.

“And where is it?” tanya Aiko.

“You’re my pill. The only medication that I want forever.” jawab Mikael dengan napas yang mulai teratur.

“Do you even know the meaning of the word forever is?”

Mikael terkekeh pelan. “I know, sampai kita jadi taburan bintang di langit, kan?”