Pendar di Antara Gelita
Lagi dan lagi, sosok yang sibuk memutar gelas berhasil membawa Aiko pergi ke kelab malam. Menariknya menuju kerumuan, berjalan di antara desakkan tubuh dan lantunan gemuruh, hingga menepi pada meja kosong. Mengasingkan diri dari lautan manusia, namun Aiko, terjerembab dalam kecanggungan yang tak menentu.
Setitik binar pada netra hadir bukan karena perasaan senang, melainkan pendar penerangan yang membantu pengamatan dari gerak-gerik manik mata, sebab Rava masih sibuk terdiam.
Aiko, sebenarnya sudah dapat menebak hal apa yang ingin Rava sampaikan padanya.
Pada benak sosok yang memandang kosong gelas margarita, hanya terdapat satu nama yang bersemayam di sana.
“Rav,” panggil Aiko, mencoba keluar dari suasana senyap di antara mereka. “Lo mau ngomongin apa?” Aiko lanjut bertanya.
Sepasang netra sayu yang menatap Aiko memancarkan kesedihan yang ditunjukan secara gamblang. “I know he started to like you,” racau Rava di bawah kendali alkohol.
“Cara dia mandang lo itu sama kayak waktu dia natap gue dulu.” Sisa likuid putih kekuningan yang berada dalam gelas diminum secara perlahan.
Tatkala kedua pasang netra bertemu, terdapat satu tubuh yang beranjak mendekat, menghapus jarak yang menjadi pemisah. Aiko, terdiam dengan segala perlakuan Rava padanya, sibuk menilik manik mata yang penuh sendu.
Sentuhan yang terasa menyengat mengalihkan atensi Aiko. Permukaan tangannya yang dingin mendapatkan kehangatan dari jemari Rava yang menggenggamnya erat.
“Gue boleh minta tolong?” Bahkan jika Aiko menolak, Rava akan tetap memaksanya. Selalu seperti itu.
“Gue gak bakal marah tentang Ael yang tertarik sama lo dan gue minta tolong buat bikin Ael nyesel ninggalin gue,” ucap Rava seraya bergerak lebih dekat.
“Can you break his heart until he realises that I'm the only one for him. I’m the only one who loves him and would never hurt him. I’ll give you everything, Aik. Bahkan kalau lo mau gue jadi pacar lo, gue bakal ngelakuin itu semua.”
Bibir tipis milik Aiko enggan untuk terbuka. Manik matanya berpusat pada bola hitam yang dipenuhi harapan. Wajah yang kian mendekat membuat Aiko lantas memejamkan kedua mata.
Tepat ketika embusan napas keluar, kelopak yang menyembunyikan netra elok terbuka lebar. Aiko mendorong tubuh Rava dengan sedikit kasar, hingga sosok itu terlentang di atas sofa.
“I’ll break him anyway, even if you didn’t ask for me to do so,” bisik Aiko, sebelum beranjak pergi.
“Orang mabok selalu nyusahin,” gurutunya yang diiringi dengan decakan sebal.
Kaki yang dibalut jeans hitam melangkah menuju tempat bartender berada. Aiko merogoh saku jaket denim sepinggangnya, mengambil ponsel yang ia simpan.
From: oja lu kalau mabok telfon gua, biar gua jemput
Deretan kata yang terpatri pada layar ponsel membuat Aiko mendengus.
gue ga bakal mabok, lo tidur aja. Sent.
Benda persegi panjang miliknya ia simpan kembali. Kemudian, Aiko mengedarkan pandangan, mengamati suasana kelab yang tidak terlalu penuh hari ini.
“Batavia satu,” ujar Aiko ketika berada di hadapan bartender.
Tak ada yang Aiko lakukan selain membidik netranya asal. Jenuh menyeruak di sekujur tubuh menginginkan kehangatan selimut yang membungkus diri. Namun, Aiko perlu sedikit menenggak alkohol sebelum beranjak pergi.
Botol wiski dan gelas yang diberikan oleh bartender Aiko ambil. “Thanks,” ucapnya yang kemudian kembali melangkahkan kaki.
Aiko duduk di salah satu meja kosong yang menyendiri. Tak ingin berbaur dengan kelimun yang membuat kepalanya semakin berdenyut nyeri.
“Satjamara!”
“Satéja Madya Rarti!”
Kegiatan menuangkan minuman keras ke dalam gelas terhenti seketika. Aiko mendongak, mencari sumber suara yang mengalihkan seluruh atensinya.
Kumpulan orang-orang yang berbaur menjadi kerumunan beberapa meter di hadapannya berhasil menimbulkan kembali suara decakan yang keluar dari bibir tipis Aiko. Tangannya mengambil gelas yang berisi likuid di atas meja, sedangkan netranya berkelana untuk mencari hal menarik di antara kerumunan.
Tepat ketika tiba pada destinasi, Aiko meneguk cairan hasil fermentasi dengan rakus. Seakan dahaga telah menunggunya begitu lama, hingga ia perlu membasahi kerongkongannya yang kering.
Di antara banyak manusia yang menunjukan presensinya di sana, hanya terdapat satu yang menjadi seluruh pusat Aiko saat ini. Sosok yang tengah tertawa di tempatnya duduk dengan kaus hitam tanpa lengan yang membalut tubuh.
Satu gelas, dua gelas, tiga, hingga Aiko lupa sudah berapa banyak tenggakkan yang ia minum. Berat yang bertumpu di kepala membuat Aiko meringis. Ia membungkuk untuk menuangkan gelasnya kembali.
Wiski yang berada dalam gelas bergoyang tatkala Aiko mengambilnya. Ketika gelas itu berada tepat di depan bibirnya, seseorang lebih dulu mengambil gelas milik Aiko, meminumnya tanpa permisi.
“Robbers,” gumam Aiko, manik matanya memandang Mikael dengan tajam.
“Impas,” respons Mikael seraya mengedikan bahu.
“Gua nyuri minuman lu, sedangkan lu udah nyuri hati gua,” lanjutnya santai.
“Bullshit.” Aiko mengumpat, netranya masih menatap Mikael dengan nyalang. “Lo gak tau malu banget nonggol di depan gue seakan gue gak nyuruh lo apa-apa. I said fuck off, asshole.”
Remangnya pencahayaan tak lantas membuat pandangan Mikael memburuk. Ia dapat dengan jelas melihat bagaimana wajah Aiko memerah di bawah kilau lampu yang terus berganti warna. Tangan kanan Mikael meraih dagu yang terangkat. Bibir yang selalu melayangkan umpatan padanya ia usap perlahan.
“I like the way you cursed, but I don’t like it if you always curse at me in every chance.” Netra kelamnya yang menatap bibir Aiko bergerak ke atas untuk melihat sepasang netra rupawan.
“And who the fuck are you telling me what to do?” tanya Aiko.
Salah satu alis Mikael terangkat. “Your future boyfriend, what else?” Pertanyaan berbalik arah diberikan ketika Mikael menarik tangannya dari wajah Aiko.
Tawa Aiko pecah, mengalun bersama dengan gema musik yang menekan gendang telinga. Namun, hanya alunan tawa Aiko yang dapat Mikael dengar.
“Really? Lo bahkan gak mau pacaran. Tell me another joke, so I can get over this bore,” ucap Aiko, ekspresi wajahnya berubah seketika tatkala tawanya reda.
“Gua gak begitu jago buat jokes,” respons Mikael.
Sebuah seringai di wajah Aiko tercipta, menimbulkan gelenyar dalam rongga dada pada sosok yang setahun lebih tua.
“You should make lots of jokes if you want me. Try to stole my heart as much as you can, Ael.”
Tubuh Mikael memantung, manik matanya menatap Aiko dengan kosong.
“Say my name again,” titah Mikael dengan suara yang sedikit tercekat.
Aiko menggerling, kini tak ada tatapan yang menunjukan kebencian. Hanya terdapat rayuan dalam netra bulat yang tertuju pada manik mata lain. Senyuman manis tercipta seolah penuh ketulusan.
“Ael,” ulang Aiko.
“God damn,” umpat Mikael seraya merendahkan tubuh.
Jarak yang terhapus membuat Mikael dapat melihat bagaimana bulu mata lentik itu bersemayam pada kelopak milik rupa yang elok. Dengan wajah yang datar, ia menjentikan jemarinya di kening Aiko hingga sang empunya mengaduh keras.
“You’re drunk.” Mikael menjauhkan wajahnya.
Tanpa menunggu persetujuan, Mikael mengangkat tubuh Aiko, membawanya ke dalam dekapan.
“Gua anter pulang.”
Tak ada protes yang keluar dari mulut Aiko. Semilir aroma tubuh Mikael yang tercium, membuat mata Aiko memberat. Lengan yang melingkar di leher Mikael menimbulkan secarik senyuman tipis.