Manik mata Karl memandang lurus Theo yang tengah terlelap. Sesekali ia melirik jam yang berada di pergelangan tangannya. Suara jarum jam yang terdengar nyaring ketika bergerak membuat Karl menghela napas. Ia tersenyum sekilas melihat wajah Theo yang terlibat damai. Jemarinya megusap surai Theo, kemudian memberikan sebuah kecupan pada keningnya.
Mungkin, ini terakhir kalinya mereka bertemu.
Ada perasaan berasalah yang menjalar pada relung dada, namun Karl telah memutuskan hal ini sejak lama. Sekarang, ia harus bergerak tanpa kedua rekan timnya. Menanggung semuanya sendirian untuk membalaskan dendam yang tak pernah tertelan masa.
Dengan senyuman yang tak kunjung pudar, Karl lantas mengecup bibir Theo. “Sleep tight,” bisiknya pelan.
Setelah itu, Karl melangkahkan kakinya untuk pergi keluar dari kamar. Di ruang tengah, terlihat Bima yang juga tertidur lelap dengan telinga yang ditutupi oleh headphone pemberiannya. Ia menaikan selimut Bima, sebelum benar-benar pergi.
Hari ini, Karl akan meninggalkan semuanya.
Jemari yang tertutup oleh sarung tangan itu mengotak-atik senjata api miliknya, menimbulkan bunyi yang nyaring di tengah ruangan kosong. Dirasa semua perlengkapannya telah lengkap, Karl kembali menatap layar laptop. Mengencangkan sabuk dari seragam tempur yang ia kenakan terlebih dahulu, kemudian bergerak untuk memulai aksi pelacakannya.
Netra Karl bergerak turun ketika melihat deretan kode yang tertera di layar. Keheningan yang menyelimuti membuat deru napas dan pergerakan tangannya di atas papan tuts terdengar saling bersahutan.
Found
Warna hijau yang terpampang pada layar membuat ia segera menyimpan kedua pistol miliknya. Mata yang bergerak intens itu berfokus pada titik merah yang tengah terdiam. Ia menghitung mundur waktu dan terus mengamati layar laptopnya.
Dirasa sang target telah cukup lama berdiam diri, Karl menutup satu-satunya benda elektronik yang ia bawa. Menyimpan dalam ransel, lalu meninggalkannya begitu saja.
Tinggal sebentar lagi.
Karl membuka pintu di hadapannya dengan pelan tanpa menimbulkan suara. Setelah pintu terbuka, ia masuk dengan langkah kaki yang berlindung di balik kesunyian. Matanya berkelana untuk menyapu sebuah ruangan kerja dengan penerangan minim.
Kosong
Tak ada siapapun di sana. Ekor matanya melirik sekitar dengan penuh kewaspadaan. Dengan konsentrasi yang penuh, Karl dapat merasakan kehadiran sosok selain dirinya.
Di belakang.
Tangan Karl bergerak penuh kehati-hatian untuk mengambil pistol miliknya. Mengambil benda itu sebelum berbalik dengan cepat.
Trang
Pistol pada tangan kanannya terlempar. Karl mulai merasakan nyeri pada pergelangan tangan yang ditendang oleh sosok di hadapannya. Sebelum sosok itu berhasil menangkap tangan kiri untuk mengambil pistol yang tersisa, Karl menarik tangannya, lalu berputar untuk menjauh.
Karl kembali menodongkan pistolnya tepat pada target. Melihat senyuman yang terpatri di wajah sang target, napas Karl memburu. Giginya saling menggemeluk, menahan emosi yang berkobar.
“K.” Sosok itu berjalan mendekat ke arah Karl, membuat Karl menarik pelatuk pistol, bersiap untuk menembak kapanpun ia mau.
“Agen K? Dulu tinggi lu masih sepinggang gua. Gak kerasa sekarang udah gede.” Karl memicingkan mata, berancang untuk menekan pemicu pistol.
“Kabar kakak lu gimana sekarang? Masih di dalam liang kubur?” Kesabaran Karl telah terkuras sepenuhnya.
Saat ia akan menembak sosok yang tengah tersenyum, sesuatu terasa menacap pada lehernya. Padangan Karl mengabur seiring dengan tawa yang tengah menggema.
Kelopak mata yang terpejam kini perlahan terbuka. Ia mengernyit tatkala merasakan kepalanya yang terasa berat. Wajahnya terangkat, dengan pandangan yang masih kabur, Karl menatap sekeliling hingga menemukan sosok yang duduk di hadapannya. Sosok itu melirik jam tangan miliknya, kemudian menatap Karl.
“Karlheinz Evangel. Dua puluh satu tahun. Salah satu agen rahasia terbaik organisasi Magari,” ujar sosok yang tengah menatap Karl seraya tersenyum.
Fernando, kakak tiri dari Alvaro itu berdiri. Melangkahkan kakinya menuju Karl yang tengah diikat pada kursi. “Gua gak suka cowok, tapi lu mirip banget sama Briella.”
“Don’t fucking call her name with your filthy mouth.” Kalimat penuh umpatan yang keluar dari mulut Karl membuat Fernando tertawa renyah.
“Well, this mouth.” Fernando menunjuk bibirnya. “Had bitten every single inch of your sister’s body,” lanjut Fernando.
Melihat Karl yang terlihat menahan emosi, sosok itu berjongkok di hadapan Karl. Tangannya menarik dagu Karl, mempertemukan netra mereka.
“Fucking rapist,” ucap Karl dengan mata yang memerah.
“Gua jadi penasaran sama reaksi pacar cowok lu kalau tau gua ngelakuin hal yang sama kayak apa yang pernah gua lakuin ke Briella.” Suara milik Fernando menjadi lebih pelan, lalu ia menyeringai.
“You’re so pretty and remind me of Briella so much. Do you know how bad I miss her? If only she enjoyed our sex session, I wouldn’t kill her.”
Mata Fernando terpejam ketika merasakan cairan basah yang menempel pada pipinya dan Karl adalah sosok yang meludah di sana. Dengan napas yang memburu, Fernando bangkit. Ia menjambak surai Karl, lalu memberikan pukulan keras tepat di wajah Karl hingga sosok itu terhuyung dan jatuh.
Tak merasa puas, sosok yang mengenakan setelan formal berwana hitam itu menginjak kepala Karl. “Udah banyak agen yang ngejar gua. Lu pikir udah sepinter apa lu buat nyerang gua sendirian?” tanya Fernando seraya menggesekkan ujung sepatu pentofelnya di atas kepala Karl.
“Dan pacar lu, jangan kira nyembunyiin dia di ruang bawah tanah bakal tempat yang aman. Orang-orang gua lagi ke sana dan kirimin paket spesial khusus buat dia,” lanjutnya.
Merasa bosan, Fernando mengangkat kakinya. “Lepasin talinya,” titah Fernando pada bawahan yang sedari tadi hanya menyaksikan.
Netra kelam milik Fernando memerhatikan bagaimana bawahannya mengangkat kursi Karl hingga mereka melepaskan tali yang mengungkung sosok tersebut. Melihat Karl yang bersiap langsung menyerangnya, Fernando mengambil sebuah suntikan di saku celana. Kemudian ia menusukkan suntikan itu pada leher Karl dan pergi menjauh.
Tangan Karl yang terbebas mencabut jarum suntik yang menempel pada lehernya. Ia berlari menuju Fernando yang santai berkeliling. Ketika tangannya hendak mengambil pistol dalam celananya, pergerakan Karl terhenti.
“Nyari ini?” tanya Fernando, menunjukkan pistol milik Karl.
Obat yang terinjeksi ke dalam tubuh Karl mulai bereaksi. Karl merasakan tubuhnya melemas, namun ia tetap berdiri tegak. Tatkala Fernando menodongkan pistol ke arahnya, Karl lantas membuka sabuk yang melekat pada pinggang. Menariknya secepat mungkin, lalu melemparkannya pada tangan Fernando.
Sosok itu meringgis. Pistol yang berada dalam tangannya terlempar. Karl mengambil kesempatan untuk menyerang Fernando. Jika saja tubuhnya tidak dalam pengaruh obat, ia telah melemparkan tinjunya pada sosok yang sekarang tengah tertawa. Fernando berhasil menghindari pukulan Karl. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Karl memutar tubuhnya dan memberikan tendangan tepat pada wajah Fernando.
Setelahnya, Karl terjatuh. Tubuhnya tidak dapat lagi berdiri. Langkah kaki yang terdengar memekakkan telinga membuat Karl mendongak, melihat Fernando yang berjalan ke arahnya seraya memegangi wajah.
Tepat di depan Karl, ia berjongkok. Karl melemparkan tatapan tajam, sebelum sesuatu dalam dirinya merasakan sakit yang luar biasa. Perutnya merasakan kontraksi, lalu ia memuntahkan darah.
“Gua jadi berubah pikiran,” ujar Fernando seraya mengangkat dagu Karl.
Perlahan, pandangannya turun pada baju yang Karl kenakan. Ia lantas membuka baju itu hingga bahu polos Karl terekspos. Merasakan sentuhan menjijikan dari lidah Fernando di bahunya, Karl menggeram.
“Gimana kalau setalah lu mati, gua bakal nelanjangin lu dan ngegantung lu di tempat yang banyak orang. Kira-kira pacar lu bakal bereaksi kayak gimana ya?” tanyanya seraya menjauhkan wajah dari bahu Karl.
“Kalau gue mati, gue gak bakal mati sendirian karena lo bakal ikut gue ke neraka.” Netra yang tengah bertahan untuk terus terbuka menatap Fernando penuh rasa benci.
Mendengar ucapan Karl, Fernando terbahak. “Emang gimana cara lu bawa gua ke neraka?” tanyanya.
Kali ini Karl tersenyum meremehkan. “Lo pikir gue gak tau ini dimana?”
Kemudian, bunyi nyaring dari bom yang tengah menghitung mundur menggema. Melihat ekspresi Fernando yang terkejut, Karl menyeringai. Ia tak boleh mati sendirian. Tidak hingga dendamnya terbalaskan.
“Gue juga udah nyiapin hadiah terakhir gue buat Alvaro. Kira-kira, gimana reaksinya kalau tau selama ini ibunya meninggal karena lo bunuh?” tanya Karl
Dalam hati, Karl ikut menghitung mundur. Detik-detik yang akan membawanya pada kematian itu tak boleh Karl lewatkan. Pada akhirnya, ia akan melakukan segala cara untuk membunuh sosok yang telah melecehkan kakak perempuannya hingga merenggut nyawa sosok tersebut.
Karl mengedipkan mata ketika tak lagi mendengar suara dari timer bom yang ia pasang. Ia lantas menatap Fernando yang sedang tersenyum lebar.
Sialan
Apakah ia harus benar-benar mati sendirian?
Ketika Karl sudah tak dapat mempertahankan kesadarannya, sayup-sayup ia mendengar banyak suara yang berdatangan. Tubuh yang mulai terhuyung itu menatap lurus ke depan dengan pandangan kabur sebelum ia dapat mendengar suara tembakan yang mengenai Fernando.
“Karl!”
Theo
Tubuh Karl yang hampir menabrak lantai tertahan ketika Theo mendekapnya. Diambang kesadaran, Karl tersenyum tatkala mendengar teriakan Theo.
“Lu kalau gak bisa nyelamatin pacar gua, tau kan konsekuensinya apa?!”
Setelah itu, pandangan Karl menjadi gelap.