a naughty kitten

Suasana ramai yang diselingi oleh lantunan musik menjadi latar obrolan orang-orang di sekelilingnya. Botol vodka, asap rokok, dan canda tawa mengelilingi sosok yang sedari tadi terdiam. Ekor matanya sesekali melirik pada sosok lain yang duduk di seberangnya.

Gio mengembuskan napas, mengeluarkan asap dari cerutu yang ia isap. Masih memerhatikan bagaimana teman-temannya yang berbincang dengan volume lantang.

“Lu gimana caranya kenal sama Lilly, Than?” Dhavin adalah pemilik suara yang paling lantang di antara mereka.

Mendengar pertanyaan Dhavin, sosok yang ditanya mengerutkan alisnya. Ia duduk di kursi panjang, dihimpit oleh Dhavin dan Reagan. Sembari memikirkan jawaban atas pertanyaan yang dituju, Othan menatap ke depan, mempertemukan netranya dengan obsidian milik Gio.

“Ketemu di kepanitiaan kalau gak salah. Lupa gue,” jawab Othan yang mengundang protes dari teman-temannya.

Lantas, Othan terkekeh kecil. Ia mengambil rokok di atas meja, menyalakan pematik sebelum menghisapnya. Di sela asap rokok yang keluar seiring dengan embusan napasnya, ia kembali menatap ke depan.

Di sebelahnya, Reagan mengambil gelas yang berisi tequila. Menegaknya pelan, lalu menatap Gio dan Othan secara bergantian.

Seraya memainkan gelas tequila yang berada di genggamannya, Reagan berkata, “Gue aneh sama kalian berdua.”

Seluruh atensi kini berada pada Reagan. Bahkan, Ariel yang sibuk dengan nintendonya ikut menatap sosok itu.

“Yang satu suka banget gonta-ganti cewek, sedangkan yang satunya lagi gak pernah keliatan demen cewek sama sekali.” Reagan meneguk habis tequila yang tersisa.

Setuju atas perkataan Reagan, Dhavin mengangguk. Di sisi lain, Alvaro mengangkat alisnya. Tangan kanan yang ia pakai untuk menompang pelipis disimpan pada kepala sofa yang tengah diduduki. Ia memerhatikan Gio dalam diam.

“Lu gak ada niat buat ngedeketin cowok gitu, Yo?” Alvaro bertanya tiba-tiba, membuat Gio menoleh padanya.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya, Gio melirik sekilas Othan yang sedang menatapnya. Seolah sosok itu menunggu jawaban dari Gio.

“Gak ada,” jawab Gio singkat.

“Kalau sama cowok suka gak?” tanya Ariel yang sedari tadi terdiam.

Meja yang di kelilingi oleh enam orang itu senyap seketika atas pertanyaan Ariel.

Dibalas dengan keheningan, Ariel menengok kanan-kirinya. “Kok pada diem?” tanya sosok yang masih memegang nintendo.

“Gua jadi kepikiran, kalau selama ini ternyata Gio suka sama Othan,” celetuk Dhavin, membuat atmosfer di sana menjadi lebih canggung.

Gio membuang ujung rokok miliknya di atas asbak, sebelum menatap Dhavin. “Alasannya?” tanya Gio yang terdengar tenang.

“Gua ngasal sih,” jawab Dhavin.

Dengan pandangan yang tertuju pada Othan, ia melanjutkan ucapannya. “Jangan-jangan lu yang suka sama Gio? Secara lu yang selalu keliatan canggung sama dia. Padahal Gionya biasa aja sama lu.”

Perkataan yang keluar dari mulut Dhavin mengalir begitu tenang, seakan tak ada yang salah dengan tutur kata yang terucap. Othan lantas mengerutkan alisnya, kemudian menatap Dhavin seraya menyipitkan mata.

“Tapi gue kan gak suka cowok, Pin,” jawab Othan.

Bahu Dhavin terangkat. “Ya siapa tau gitu kan.” Sosok itu lantas menuangkan botol vodka pada gelas kosong.

“Kalau menurut gue sih ya.” Reagan membuka suara, pandangannya lurus pada Gio yang masih merokok.

Netra milik Reagan beralih menatap Dhavin yang kini meminum vodka dalam satu tegukan. “Yang suka sama Gio tuh Dhavin,” ucapnya.

“Soalnya Dhavin sering banget muji Gio ganteng,” lanjut Reagan.

Tertarik dengan topik obrolan teman-temannya, Ariel menyimpan nintendo yang sedari tadi ia mainkan. Kaki yang terlipat di atas sofa kini turun tatkala ia mengambil gelas yang berisi mojito.

Sontak, Reagan menertawakan Ariel atas ketidaksukaannya terhadap minuman beralkohol dan berakhir memesan mojito tanpa kandungan alkohol. Namun, sosok itu tak acuh karena ia sudah terbiasa diolok-olok oleh Reagan.

“Kalau emang Dhavin demen sama cowok, gua rasa dia bakal suka Alvaro sih.” Mendengar namanya disebut, Alvaro menatap Ariel dengan pandangan horor.

“Tapi Alvaronya suka sama Reagan, sedangkan Reagan sukanya sama gua.” Ariel melanjutkan ucapannya setelah meneguk mojito miliknya.

Melihat Reagan dan Dhavin yang mulai berdiri, Ariel menyimpan gelasnya di atas meja dengan cepat, sebelum mempersiapkan sebuah tameng yang melindunginya dari dua sosok tersebut.

“Minta dihajar nih bocil.” Dhavin mengangguk setuju atas perkataan Reagan.

Suasana kembali ribut, menyisakan Alvaro yang hanya terkekeh kecil, Gio yang masih tak bergeming, dan Othan yang menggeleng dengan senyuman pada wajahnya.

“Yo.” Panggilan Alvaro membuat Gio menoleh.

Terlihat Alvaro yang tengah fokus pada ponselnya. Ia mengotak-atik benda persegi panjang itu sebentar, kemudian memberikannya pada Gio.

“Kenalan gih sama dia. Temen gua itu. Anaknya cakep, baik, pinter lagi. Kemarin gua sempet post story bareng lu terus nanyain lu gitu,” jelas Alvaro.

Gio mengambil ponsel milik Alvaro, memerhatikan sosok perempuan cantik di sana.

Di tengah kegiatannya itu, sayup-sayup ia mendengar Alvaro memanggil Othan. Netranya masih terfokus pada layar ponsel, bahkan ketika terdengar langkah kaki yang mendekat ke arahnya.

“Coba lihat, lu pasti kenal,” ucap Alvaro pada Othan yang kini telah berdiri di depan Gio.

“Mana sini,” pinta Othan.

Wajah Gio terangkat, mendapatkan Othan yang memerhatikannya tanpa ekspresi. Ia lantas menggeser tubuhnya, memberikan Othan ruang untuk duduk. Sebelum mendudukkan diri, Othan mengambil buah ceri yang tersimpan utuh di atas kue tanpa pemilik.

Kemudian, ia duduk di sebelah Gio. Kursi yang diperuntukan hanya satu orang, kini diisi oleh dua orang. Alhasil, keduanya duduk tanpa ada jarak yang memisahkan, membuat keuda bahu yang lebar itu saling bertabrakan.

Othan merapatkan tubuhnya untuk melihat ponsel Alvaro yang berada dalam genggaman Gio. Kepalanya sekarang sejajar dengan dada Gio, hingga sang empunya dapat merasakan embusan napas halus milik Othan.

“Oh, gue tau. Anak HI itu kan?” tanya Othan seraya memainkan ceri di dalam mulutnya.

Ia menatap Alvaro yang tengah mengangguk, sebelum menarik diri.

Dengan mulut yang mengeluarkan suara basah akibat ceri yang masih ia mainkan, Othan beralih menatap Gio.

“Lo mau ngedeketin dia?” tanyanya.

“Depends,” jawab Gio tanpa menoleh pada lawan bicaranya, ia kemudian memberikan ponsel Alvaro pada sang pemilik.

Alvaro mengambil poselnya, ia seakan ingin mengucapkan sesuatu pada Gio, tetapi atensinya tertarik pada Ariel yang sekarang kepalanya terbungkus oleh plastik.

“Eh, itu mati dong nanti Arielnya!” seru Alvaro pada Reagan dan Dhavin yang sibuk memberikan pelajaran pada Ariel.

Kepergian Alvaro di dekat mereka membuat suasana di antara Gio dan Othan menjadi sunyi. Kedunya memerhatikan Alvaro yang menghampiri Ariel dan melerai sesi perkelahian yang tengah berlangsung.

Tak lama, Othan menoleh pada Gio, menarik atensi dari sosok yang tengah ditatap.

Tatkala netra mereka bertemu, Othan menggigit buah ceri dalam mulutnya. “Depends on what?” tanya Othan dengan pandangan yang terpaku pada obsidian milik Gio.

Tatapan Gio perlahan turun pada bibir Othan, memerhatikan bagaimana bibir bak buah ranum itu bergerak. Ia lantas memajukan tubuhnya, mendekat ke arah Othan. Pergerakkannya terhenti ketika bibirnya sejajar dengan telinga kanan Othan.

“It depends on your behaviour, Karl,” bisik Gio pelan.

Othan menahan rasa geli akibat embusan napas Gio sembari tersenyum manis. Lantas, ia beranjak dari posisi duduk, mengambil buah ceri lain pada meja di depannya.

Pinggul Othan yang terangkat tinggi disajikan tepat di hadapannya, menampakan sesuatu yang mampu membuat napas Gio memburu. Manik matanya menjadi kelam dan ia terus memerhatikan pergerakan Othan.

Ketika Othan duduk kembali, sosok itu menatap Gio. Memasukkan buah ceri yang diambil ke dalam mulutnya. Buah itu tersimpan di antara gigi serinya, sebelum ia gigit dengan perlahan.

Othan terkekeh kecil tatkala melihat Gio yang tengah memerhatikan bibirnya tanpa berkedip. Sontak, Othan berdiri. Menatap teman-temannya yang lain yang tengah sibuk beradu mulut.

Guys, gue mau cari mangsa dulu,” pamit Othan, sebelum ia pergi.

Tanpa menunggu reaksi dari teman-temannya, Othan berjalan menjauh. Sosok itu pergi begitu saja, bahkan ia tak memandang Gio barang sedikit pun.

“Et dah gercep banget perginya,” ucap Dhavin.

Gio meneguk vodkanya, kemudian mengambil ponsel yang ia simpan di saku. Sebuah notifikasi muncul tepat ketika ia membuka ponselnya.

kitten

Netranya terfokus pada sebuah foto yang tempampang di layar ponsel. Ia lantas menggeram rendah, lalu beranjak beridiri.

“Gua balik ya, kucing gua berulah lagi,” ujar Gio seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan.

“Lagi? Kucing lu nakal banget anjir.” Ucapan Dhavin itu disetujui oleh teman-temannya yang lain.

“He is.”