Kelab Malam, Dua Tahun Yang Lalu

Ingar-bingar dari musik yang memekakkan telinga perlahan terdengar lebih pelan tatkala langkah kakinya menjauh dari sumber suara. Satu persatu anak tangga ia naiki dengan netra yang memandang sekitar. Mencari sosok teman yang mungkin sekarang terkulai lemas akibat efek dari minuman keras.

“KIKOOOO!” Di tengah kebisingan, Aiko dapat mendengar Oza yang memanggil namanya.

Penampilan kusut yang berbanding jauh ketika pertama kali sosok itu menginjakkan kaki di kelab malam berhasil membuat Aiko berdecak. Sekarang, Oza terlihat lebih mirip seperti orang gila. Surai madunya mencuat ke atas, memperlihatkan keningnya yang memerah.

“Jidat lo kenapa anjir?” tanya Aiko begitu berada di hadapan Oza.

Sebuah kerutan tipis hadir pada kening Oza yang memerah, tangannya lantas memegang kening miliknya sendiri. “Ini? Kayaknya tadi gua kepentok pintu wc hihihi.” Sosok yang duduk di sofa kemudian terkikik geli hingga merebahkan dirinya tanpa malu.

“Yang bener aja lo, Oja.” Aiko mengembuskan napas dengan kasar. “Ayo turun, kita balik,” titahnya pada Oza.

Masih terlentang di atas sofa, Oza mengernyitkan alis. “Kaki gua lemes kayak jeli. Jangan-jangan gua dikutuk jadi siluman yupi.”

Gelagat serius Oza yang menyikapi omong kosongnya menguras kesabaran Aiko yang pada dasarnya bukanlah sosok penyabar. Jika tiang pole dance dapat ia ambil, mungkin Oza kini sudah Aiko pukul dengan benda tersebut.

“Yaudah cepet sini gue gendong. Abis ini kita cari Rava,” ucap Aiko yang membuat senyuman Oza mengembang. “Asik!!! Naik odong-odong terbang,” riang Oza seraya bertepuk tangan.

“Lo mabok apa lagi simulasi jadi orang gila?” tanya Aiko gemas, ingin menampar pipi Oza bolak-balik.

Tak mengindahkan lawan bicaranya, Oza menjulurkan kedua tangan. Bersiap untuk digendong. Aiko kembali mengembuskan napasnya kasar, sebelum menggendong temannya yang sangat merepotkan.

“Anjinggg. Lo berat banget bangsat.” Sosok yang memakai kemeja hitam penuh corak menggerutu kesal. Meski otot-otot Aiko berkembang dengan baik, ia tetap merasa kesulitan menganggkat tubuh Oza.

“Lo kayaknya berat sama dosa,” ucap Aiko begitu berhasil menggendong temannya yang tak tahu diri.

Suasana di lantai dua lebih tenang. Beberapa dari khalayak memilih untuk menegak minuman beralkohol seraya menghisap vape mereka. Asap yang berkumpul menjadi satu membuat Aiko kesulitan memandang sekitar.

“Lu pada ada yang lihat Mars kagak?” Samar-samar, Aiko dapat mendengarkan percakapan kumpulan orang yang berada pada meja di sampingnya.

Sosok lain dengan suara familiar menyahuti. “Gua tadi lihat Mars pergi bareng Ael.”

“Oja! Tangan lo nyekek gue anjir!” seru Aiko seraya membenarkan tubuh Oza yang melorot di balik punggungnya, mengalihkan atensi Aiko dari konversasi yang sempat ia kuping.

“Longgarin dikit!” Oza yang terpejam masih memiliki kesadaran yang tersisa dalam skala begitu kecil. Ia menuruti perkataan Aiko tanpa bersuara.

Dengan penuh perjuangan, Aiko menuruni tangga kelab malam yang tidak menyediakan lift. Seolah-olah sengaja membiarkannya sengsara. Dalam hati, Aiko mengumpati Oza yang tidur nyaman, sedangkan ia harus berjerih payah membawa beban berat di punggungnya. Padahal, Aiko masih belum menjadi tulang punggung keluarga. Namun, ia telah merasakan beban berat di sana. Semuanya salah Oza.

Saat kakinya berhasil melewati anak tangga yang terakhir, Aiko menghela napasnya lega. Ia berjalan tergesa menuju salah satu sofa kosong di lantai bawah. Membanting tubuh yang ia gendong hingga terbangun dari tidur.

“Lo diem di sini. Jangan kemana-mana! Gue mau cari Rava dulu.” Perintah Aiko pada Oza yang sedang mengerjapkan mata dengan kedua alis yang saling bertaut.

Si pemilik surai madu itu memberikan ibu jari tangan kanannya sebagai jawaban, sebelum kembali terlelap. Aiko mereganggkan otot-otot bahunya sebentar, lalu berjalan untuk mencari keberadaan Rava. Manik matanya melihat sekeliling. Sesekali ia berusaha menghubungi Rava melalui sambungan telepon.

Alunan musik yang keras membuat telinganya sedikit berdengung. Langkah kaki Aiko berhenti ketika ia mencoba kembali menghubungi Rava. Memeriksa ponselnya, sebelum menekan tombol dial sekali lagi. Sepasang netra sayu berusaha untuk mencari keberadaan sosok temannya di tengah lalu-lalang manusia.

Kala waktu terasa berjalan lamban, pada tempo itulah manik matanya bersirobok dengan netra lain. Sebuah pandangan tanpa ekspresi yang terasa begitu asing. Tatkala suara di sekitar perlahan tak terdengar, atensinya terus berpusat pada netra kelam yang menarik kesadarannya untuk hanyut dalam lautan gelita.

Aiko dapat melihat secara gamblang bagaimana sosok itu menyeringai di tengah pagutan panasnya dengan sosok lain.

Manik mata yang menyaksikan adegan intim itu mengerjap ketika kontak dari netra yang saling memandang terputus. Dari tempatnya berada, ia memerhatikan sosok yang berada dalam dekapan si pemilik netra kelam yang sedang mendongakkan wajah. Tersenyum saat merasakan sentuhan dari jemari yang mengusap bibirnya halus.

Malam ini, Aiko menjadi saksi bisu hubungan percintaan orang lain.

Suasana hatinya lantas memburuk dan ia hanya ingin pulang detik itu juga. Kebisingan kembali terdengar oleh indera pendengaran serentak dengan dirinya yang membalikkan tubuh. Berjalan tergesa menghampiri Oza yang ia tinggal sendirian.

“Kikooo! Rapanya udah ketemuu,” teriak Oza dari kejauhan.

Namun, bukan Rava yang Aiko temukan. Melainkan sosok asing yang tengah berusaha melepaskan gandengan Oza.