Melihat wajah yang terlelap dengan damai, Theo terkekeh pelan. Ia membungkuk, memberikan kecupan di kening Karl, sebelum duduk di atas ranjang. Diusapnya pipi kanan Karl dengan lembut, berniat membangunkan sosok yang sedang asyik berkelana di alam mimpi. Tak mendapat respon, Theo menggelengkan kepala. Ia lantas mendekatkan wajahnya, mengecup Karl tepat pada puncak hidung dan bergerak menggigitnya.

“Mmm!” Lagi-lagi Theo terkekeh, kekasihnya itu tengah merengut akibat merasakan gigitan pada hidungnya.

Tubuh milik Karl menggeliat di balik selimut. Dengan mata yang terpejam, alisnya saling bertaut dan bibirnya mengerucut.

“Wake up, Kitty!” Theo mencubit gemas hidung Karl, membuat Karl menggerakkan kepala, menghilangkan rasa tak nyaman yang terasa.

Merasa Karl tak akan kunjung bangun, Theo akhirnya mengangkat tubuh itu dengan kedua tangannya. Membawa Karl pada gendongan, hingga sosok yang masih memenjamkan mata bergerak mengalunkan tangannya pada leher Theo. Menempatkan wajahnya pada dada Theo dan melanjutkan mengejar bunga tidur di sana.

“Makan dulu, ya? Udah siang. Kasian perutnya nanti nangis,” ujar Theo.

Kepala Karl bergerak, mencari posisi yang nyaman seraya bergumam. Entah mendengar ujaran Theo atau tidak, ia tak bisa memertahankan kesadarannya. Seakan terdapat beban yang begitu berat pada kelopak matanya hingga enggan memperlihatkan netra indah di baliknya.

Setelah sampai di ruang makan, Theo mendorong salah satu kursi dengan sikunya. Kemudian ia menempatkan Karl di sana, membiarkannya duduk. Tubuh dari sosok yang masih ingin tertidur itu terhuyung ke samping. Hampir terjerembap jika Theo tidak menahannya.

“Sayang,” panggil Theo, berharap sosok yang tak kunjung membuka mata akhirnya bangun dari tidurnya.

Walaupun Theo tak tega membangunkan Karl yang kelelahan, ia tak bisa membiarkan perut kekasihnya kosong.

“Udah hampir jam 3, loh.” Masih tidak ada jawaban.

Pipi yang sedikit berisi itu dicubit dengan sedikit keras hingga sang empunya menggerutu. Namun, kedua matanya masih tertutup.

“Kamu harus aku apain sih biar bangun?” tanya Theo yang mulai kehabisan cara untuk membangunkan Karl.

Diusapnya pipi Karl yang ia cubit. Theo merendahkan tubuh, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Karl, kemudian mengecup bibir yang sedikit cemberut itu. Satu kecupan, dua, tiga, hingga Theo tak dapat menghitungnya lagi.

“Theo, diem!”

Nah, bangun juga.

“Buka dulu matanya, Kitty. Terus makan sebentar aja. Aku suapin ayo, tapi kamunya harus bangun dulu.” Theo memerintah dengan lembut.

Kelopak mata yang tertutup rapat kini terbuka secara perlahan. Karl mengerjapkan matanya yang terasa berat. Tubuhnya lemas dan pegal akibat diinvasi oleh Theo semalam. Ia lantas mencebik sebal mengigat Theo yang membuatnya seperti ini.

“Ya aku gini juga kan gara-gara kamu.” Akhirnya manik mata Karl terbuka lebar.

Mendapatkan omelan dari Karl, sosok yang sedang menyajikan makanan itu mengangguk. “Iya, iya salah aku. Sekarang makan dulu,” ucap Theo.

Setelah mengambil makanan dengan sendok, Theo lantas memberikannya pada Karl. Menyuapi sosok tersebut terlebih dahulu sebelum ikut duduk di sebelahnya.

“Udah ada kabar?” tanya Karl di sela kegiatan mengunyah.

Theo menggeleng. “Belum.” Lalu kembali menyuapi Karl.

“Lama banget. Udah hampir 5 bulan,” gerutu Karl dengan mulut yang dipenuhi makanan.

“Telen dulu, nanti keselek,” tegur Theo.

Lagi-lagi Karl mengerucutkan bibir. Namun, ia tetap mendengarkan teguran Theo dengan baik. Melihat wajah Karl yang cemberut, Theo tersenyum. Kemudian, ia merapikan surai Karl yang berantakan.

“Kayaknya sebentar lagi.” Perkataan Theo membuat Karl menoleh.

Ia kemudian menyipitkan matanya. “Tau dari mana?” tanya Karl, wajahnya dipenuhi ekspresi curiga.

Theo mencubit pipi Karl dengan gemas. “Soalnya aku lihat Varo lagi di perusahaan papanya,” jelas Theo sambil memainkan pipi Karl.

“So, we almost there.” Manik mata Karl memandang kosong ke depan dengan sesaat, lalu ia membuang napasnya kasar.

Paham akan suasana hati Karl yang memburuk, Theo mengusap pucuk kepala sosok itu. “Would you be sad?” tanya Theo yang menarik atensi Karl.

“Karena?” Karl balik bertanya, suaranya terdengar hampa.

“Abis misi ini selesai, kita gak akan pernah ketemu mereka lagi,” jawab Theo.

Mereka.

Ah, empat orang itu.

Karl mengalihkan padangannya dari Theo. “Dari awal niat aku bukan buat temenan. Mereka cuman alat yang kita manfaatin buat ngejar target.”

“Both of us never had friends before, Karl. Even we just acted like they were our friends because of the mission, they aren’t that bad. They are actually good people.” Telah banyak misi yang mereka lakukan hingga saat ini, tetapi perpisahan dengan orang-orang di sekitar mereka tak pernah menyenangkan.

Pandangan Theo melembut tatkala melihat bibir Karl yang melengkung ke bawah. “That’s okay to be sad, Karl.” Theo melanjutkan ucapannya.

“Even though you’re an angel without wings, your feelings are valid.”

Atensi Karl beralih pada Theo, ketika melihat senyuman tulus yang menyambut, ujung bibi Karl tertarik ke atas. Tersenyum tipis atas perkataan kekasihnya.

Theo paham dengan konsekuensi mereka yang tak boleh terikat banyak orang. Bagaimanapun, keduanya adalah agen rahasia dari sebuah organisasi swasta. Ketika misi yang mereka jalankan selesai, mereka akan menghilang seolah tak pernah hadir menjadi bagian dari dunia. Meninggalkan segala memori yang telah terlewati sebelumnya.

“Abisin dulu makanannya, abis ini kita movie date.” Meskipun ia tak bisa menghapus rasa sedih Karl, setidaknya ia dapat membuat suasana hatinya lebih baik.

Senyuman di wajah Karl melebar. Ia mengangguk senang. Bahkan kakinya ikut terayun, membuat Theo tertawa kecil. Lantas, theo meraup kedua pipi Karl, mengecup bibir Karl sebelum menyuapinya kembali.