Ikatan Enigmatis
Goresan hitam ujung karbon di atas lembar kayu menghasilkan bunyi yang memecah kesenyapan. Ruangan bernuansa krem dibiarkan menjadi gelap seiring dengan perjalanan mentari yang segera usai. Abstraksi dari kumpulan garis asal seakan menggambarkan benang kusut yang mengerubungi pikiran. Aiko, tak mengidahkan rasa lapar yang menghampiri. Ia hanya ingin duduk seraya mencoret kertas tanpa tujuan yang pasti.
Amarah yang mengebu bukan disebabkan oleh orang lain, melainkan dirinya sendiri. Berandai-andai jika ia menjadi pribadi yang jauh lebih baik, sehingga banyak ekspektasi yang dapat ia penuhi. Meskipun Aiko sudah tahu jika ia akan kalah di pemilihan ketua dan wakil ketua BEM, rasa sebal dan kecewa terhadap dirinya sendiri tak bisa pergi begitu saja. Aiko telah kalah telak, bahkan di hari ketika ia tanpa tahu malu mencalonkan diri tanpa mendapatkan dukungan dari ‘Petinggi Neo’.
Secarik kertas hasil luapan emosi ditarik hingga terpisah dari buku. Aiko membuat bola kertas yang kemudian ia lempar sembarang. Perasaan dongkolnya menjalar tatkala teringat akan Mikael dan tingkah lakunya yang menyebalkan.
“Kenapa semua orang hari ini nyebelin banget?” monolog Aiko seraya mendengus.
Punggung lebar miliknya bersandar pada kursi dengan kedua tangan yang dilipat di dada. Langit-langit kamar yang kosong ia tatap, seolah-olah mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri.
Kala benak yang dipenuhi oleh berbagai perkara, suara nyaring dari tumbukan kaca oleh benda lain terdengar, membawa Aiko kembali pada butala yang dipijak. Aiko berdecak, bertanya-tanya orang jahil mana yang melemparkan sesuatu ke pintu kacanya. Suara itu terus menerus terdengar, membuat Aiko semakin kesal.
Kaki tanpa alas melangkah dengan tergesa, sesekali ia menghentak dengan penuh gejolak dalam dada. Pintu kaca yang lebar ia geser secara kasar. Semilir angin sore yang menyapa diabaikan begitu saja, memilih untuk berjalan menuju balkon kecil. Netra yang menelisik sekitar dipenuhi kobaran api, mencari tersangka manusia yang ingin ia pukul dengan penuh emosi.
Tuk
Ribuan kata sial terucap repetitif dalam hati. Aiko mengumpat seraya mengusap pipi yang bersilaturahmi dengan kerikil kecil. Dada yang bergerak naik turun menjadi tanda bahwa ia telah berada dalam ambang batas kesabaran, hingga manik matanya menangkap sosok Mikael yang tengah menunjukkan deretan giginya yang rapi.
“Bangsat lo, Mikael,” umpat Aiko, sebelum masuk ke kamarnya.
Aiko mengambil kaleng kopi yang tergeletak di lantai, kemudian berlari kembali menuju balkoni. Mikael yang masih mendongakkan wajah terlihat menaikan kedua alisnya ketika melihat Aiko yang berancang seperti atlet baseball. Di atas sana, Aiko melemparkan kaleng dalam genggaman dengan penuh kekuatan, hingga mendarat tepat di kening Mikael.
Bunyi nyaring yang terdengar membuat Aiko berkata, “Rasain lo.”
Satu sama.
Mikael mengaduh kesakitan, kening yang menjadi korban lemparan Aiko ia usap. Netra kelamnya menatap Aiko dengan sebal.
“Sini, turun!” seru Mikael, suaranya terdengar lantang. Aiko dapat bertaruh jika tetangga kosannya yang lain dapat mendengar suara dari sosok yang berada di bawah.
“Cepetan turun sebelum gua teriak,” titah Mikael absolut.
Perasaan malas yang membalut setiap jengkal tubuh Aiko dilawan oleh rasa yang lebih malas, yaitu rasa malas untuk mendengarkan desas-desus aneh mengenai dirinya dan Mikael. Kali ini, Aiko menuruti perintah Mikael tanpa protes. Keluar dari kamarnya dengan atasan piyama bermotif pinguin dan celana kolor abu yang tidak cocok sama sekali untuk dipadukan bersama piyama birunya.
“Apa?!” bentak Aiko setelah ia membuka gerbang.
“Ikutin gua.” Mikael, sepertinya sangat suka memerintah orang lain dan Aiko, masih memilih untuk mengikuti kemauan Mikael.
Sosok yang memakai kaus polo hitam dan jeans berwarna putih berjalan di depan. Bak anak bebek, Aiko membuntuti Mikael dengan bibir yang maju beberapa senti.
“Jangan cepet-cepet! Kaki gue sakit!” seru Aiko.
Tungkai kaki yang melangkah secara perlahan menurunkan tempo kecepatannya, membiarkan sosok di belakang berjalan tanpa terburu-buru. Mikael berhenti tepat di sebuah taman yang biasa menjadi tempat bermain anak kecil. Namun, karena matahari hampir tenggelam, tidak ada siapapun di sana kecuali keberadaan kedua orang yang bahkan tak saling memandang.
Aiko berjalan menuju ayunan, netranya menatap langit jingga. Ia enggan menatap Mikael yang sekarang tengah memerhatikannya. Sosok yang lebih tua lantas mendekat, ikut duduk pada ayunan yang berada tepat di samping Aiko.
“Buat lu.” Mikael memecah keheningan, mengundang netra Aiko untuk menatapnya.
Sebuah kotak makanan bening yang berisi brownies diberikan kepada Aiko. Tanpa berterima kasih, Aiko mengambil kotak tersebut dari Mikael.
“Ini gak basi, kan?” tanya Aiko, jemarinya sibuk membuka kotak yang berisi potongan kecil brownies.
“Cobain aja, kalau lu mati berarti basi,” jawab Mikael.
Satu potongan brownies Aiko ambil dengan garpu yang tersedia, kemudian ia langsung melahapnya habis. Sesi kegiatan makan berlangsung dengan begitu khusyu dan penuh keseriusan, hingga Aiko tersentak tatkala merasakan sebuah sentuhan hangat. Mikael, entah sejak kapan berlutut di hadapannya, hendak menempelkan plester pereda rasa nyeri di paha kanan Aiko.
“Atasan dikit,” ucap Aiko mengarahkan.
Sisa brownies yang berada dalam mulutnya Aiko telan. Kini, fokus Aiko hanya berada pada Mikael. Dengusan terdengar ketika sosok yang berada dalam ayunan melihat Mikael mengeluarkan pena dengan tinta yang tebal, menggambarkan seekor kelinci pada plester putih.
“Lo pikir gue bocah?” Aiko merengut sebal.
“Lu bayi,” sahut Mikael.
Di bawah lembayung yang menghiasi cakrawala, lentera sang surya menjadi satu-satunya penerang. Sepasang netra kelam berwarna hitam berubah menjadi sedikit kecoklatan, menatap netra lain yang terpaku padanya.
“Apa yang lo bilang ke gue sebelumnya sama perlakuan lo ke gue setelahnya itu beda ya? Kadang gue bingung maksud lo yang asli tuh yang mana.” Aiko berkata terang-terangan, pusatnya masih berada pada manik mata Mikael.
“Kalau lu gimana? Katanya lu suka Rava? Sejak kapan lu suka sama dia?” Tak ada yang dapat Aiko baca dari pandangan yang meredup.
“Gue cuman ngikutin lo,” balas Aiko seraya mengedikkan bahu.
“Lagian gue gak pernah ngeiyain kalau gue suka sama Rava. They just guessed it wrong,” lanjutnya.
Kontak mata yang terputus disebabkan oleh Mikael yang mengalihkan pandangan. Ia beranjak berdiri, merenggangkan otot-ototnya, sebelum kembali menatap Aiko. Pucuk surai hitam yang berayun karena terpaan angin diusap dengan lembut.
“Whatever. Gua ke sini cuman mau bilang you’re doing good. Walaupun lawan lu punya backing-an Petinggi Neo, tapi lu bisa dapetin suara yang banyak untuk seukuran calon modal nekat,” ujar Mikael, tangannya masih ia simpan di kepala Aiko.
“Yeah, I know. I’m cooler than anyone else.”
Sebuah cubitan di pipi Aiko adalah jawaban Mikael atas perkataan yang terlampau percaya diri.
“By the way, lu kayaknya lupa buat lock account wibu lu itu, jangan lupa gembok soalnya udah gua intip sedikit,” ucap Mikael seraya berjalan mendahului.
Perlu waktu yang cukup lama, sebelum Aiko melemparkan sandalnya pada kepala Mikael.
“LO UDAH LIHAT SAMPAI MANA?!”