Hampir tiga minggu Karl menginap di rumah sakit. Beberapa organ dalamnya rusak sehingga mengharuskannya melewati proses penyembuhan yang lama. Tubuh yang terlihat lebih kurus itu duduk di atas ranjang pasien. Netranya memandang keluar jendela. Berusaha menemukan sesuatu yang menarik di sana dan menekan segala pikiran negatif yang memenuhi kepala.
Suara pintu yang berdecit tak membuatnya mengalihkan padangan. “Udah gue bilangin jangan ke sini lagi,” gerutunya pada sosok yang ia pikir Bima.
“Masa?” Manik mata Karl melebar, suara yang belum ia dengar selama tiga minggu ke belakang itu akhirnya menarik atensinya.
Terlihat Theo yang masuk ke dalam ruangannya dengan bunga aster dalam genggaman. Sosok yang mengenakan baju putih polos dengan celana jeans terlihat tak acuh. Berjalan dengan tenang menuju nakas di samping ranjang, lalu menaruh bunga yang ia bawa pada vas yang kosong.
Merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Karl mengambil bantal dan melemparkannya pada Theo.
“Aduh!” seru Theo. Ia meringgis, sebelum menoleh pada Karl yang tengah melemparkan tatapan tajam. “Kok akunya dilemparin bantal?” tanyanya.
Karl mengembuskan napas dengan kasar. Ia lantas mengalihkan pandangan tanpa bersuara. Hanya deru napas yang terdengar berat yang menjadi jawaban.
Tak mengerti akan amarah Karl, akhirnya Theo duduk di tepi ranjang. “Kitten,” panggilnya.
Keterdiaman Karl membuat Theo mencolek pipi sosok itu. Ditepisnya tangan Theo dengan kasar hingga sang empunya terbelalak.
“Karl, kamu kenapa?” tanya Theo seraya berusaha membuat Karl menatapnya.
“Hey,” panggil Theo sekali lagi. Kali ini ia meraup pipi Karl untuk mempertemukan kedua mata mereka.
“Kenapa sih?” Theo kembali bertanya.
“Masih tanya kenapa?!” omel Karl dengan suara yang keras.
Mendapat bentakan dari kekasihnya, Theo mengerjapkan mata.
“Kamu tiga minggu ini ilang kemana?! Gak ada kabar sama sekali. Terus tiba-tiba datang seolah gak ada apa-apa,” ucap Karl, kini suaranya terdengar bergetar.
Melihat netra Karl yang berkaca-kaca, Theo bergerak panik. Diraihnya kedua pipi Karl, kemudian mengusapnya dengan lembut.
“Bima gak ngasih tau apa-apa ke kamu?” tanya Theo yang dijawab dengan gelengan kecil.
Terdengar umpatan yang keluar dari mulut Theo. Ia memejamkan mata sejenak sebelum kembali menatap Karl. Pandangannya melunak walaupun ia tengah menahan emosi.
“Aku abis kena penalti, ngegantiin kamu,” jelas Theo, membuat Karl mengerjapkan matanya.
“Jadi selama ini kamu ilang gara-gara kena penalti? Disuruh ngapain aja?” tanya Karl.
“Bikin laporan, bersihin mess dari siang sampai sore. Terus aku juga gak boleh pegang Hp. Ini Bima beneran gak ngasih tau apa-apa?” Theo kembali bertanya sebab ia sangat ingat menitipkan pesan pada Bima untuk memberitahu kekasihnya.
Karl menggeleng, mengundang helaan napas berat yang dikeluarkan oleh Theo. Namun, Theo tak ingin menunjukkan amarahnya di hadapan Karl. Jadi yang ia lakukan adalah mendekap tubuh Karl karena rasa rindu yang menyeruak.
“Aku setiap hari selalu main sama kucing karena kangen sama kamu banget,” ucap Theo seraya mengusap punggung Karl.
“Aku juga setiap hari ngitungin daun yang jatuh sambil mikirin kamu,” balas Karl dalam dekapan Theo.
Theo merenggangkan pelukan mereka. Menatap Karl seraya tersenyum hingga kedua matanya menyipit. Senyuman itu membuat Karl terkekeh.
“Sini cium,” ucap Theo setelahnya.
Bibir Karl mengerucut, mengundang tawa Theo sebelum sosok itu mengecupnya. Dari mulai bibir hingga seluruh bagian wajah Karl ia cium satu persatu. Memberikan rasa geli dan senang secara bersamaan.
Terakhir, Theo mengecup sepasang netra yang dihiasi oleh bulu mata yang lentik.
“It’s already over.” Theo menjauhkan wajahnya. Kedua tangan yang masih menempel pada pipi Karl itu memberikan usapan dengan ibu jarinya.
Karl mengangguk pelan, sebelum bergerak memeluk Theo kembali.
“Nanti temenin aku ke makam Kak Ella, ya?” Usapan pada pucuk surainya membuat sosok itu memejamkan mata.
“Pasti.”