An infinite journey and i’ll be there
Gelombang suara yang mengetuk daun telinga membuat susunan kerangka bekerja secara instuitif. Telapak kaki berpijak dengan tekanan yang keras hingga langkahnya menimbulkan dentuman. Tanpa perlu melihat sang tamu melalui monitor, Jeanath membuka pintu. Menyambutnya dengan senyuman manis.
Lupakan semua hal yang terjadi pada mereka sebelumnya. Tak ada rasa kesal yang menekan rongga dada hingga pembuluh darah menyempit yang lantas mengganggu kemampuan berpikir jernih. Ketika dua pasang netra itu bertemu, hanya kebahagiaan yang hadir. Kemudian, ambang pintu menjadi saksi bagaimana keduanya saling terkekeh.
Jeanath menarik tangan Jaziel, membawanya masuk seraya menutup pintu. Manik matanya memerhatikan bagaimana Jaziel menyimpan sepatu pada rak yang berdiam diri di dekat sana. Setelah postur tubuh Jaziel kembali tegak, Jeanath menubrukkan dirinya, memeluk sosok yang ia rindukan dengan erat.
Pelukan itu menerbitkan sebuah senyuman di wajah Jaziel. Ia membalas pelukan Jeanath, lalu mengayunkan tubuh mereka. Dalam pelukannya, Jeanath mendongakkan wajah.
“How was your day?” Netranya menelisik pada obsidian, menerka-nerka apa yang Jaziel lakukan hari ini.
Jemari Jaziel menyisir surai Jeanath, sebelum bersuara. “Just so so. How about you?” tanyanya.
Sebuah kerutan halus tercipta pada kening Jeanath. Pikirannya ditarik pada serangkai kejadian hari ini, yang bahkan Jeanath sudah lupa hal apa yang telah dilakukannya. Kecuali fakta bahwa suasana hati yang tak baik dengan kerinduan yang terselip.
“Not good.” Rasa kesal yang mendatanginya membuat Jeanath mengerucutkan bibir.
Sinyal yang terpancar dari akumulasi endapan masygur ditangkap dengan baik oleh Jaziel. Jemari yang bersentuhan langsung dengan kulit kepala kini terangkat untuk mengelus rambut Jeanath, berusaha meredakan kekesalan yang menggerogoti hati.
“Aku bawa bubur kacang ijo,” ujar Jaziel seraya meregangkan pelukan mereka, mengangkat tangan kirinya untuk memperlihatkan sebuah kantung plastik pada Jeanath.
“Ngobrolnya sambil makan ini, ya?” Usulan Jaziel membuat Jeanath mengangguk senang.
Setelah melepaskan pelukannya dari pinggang Jaziel, tangan Jeanath bergerak untuk bertaut dengan jemari Jaziel, meniciptakan genggaman. Jeanath duduk di atas karpet beludru miliknya, sedangkan Jaziel bergegas menuju dapur, mengambil peralatan makan mereka. Seraya menunggu, Jeanath berkutat dengan televisi di depannya.
Langkah kaki yang terdengar tak lantas mengalihkan atensi Jeanath, sibuk memilih hiburan untuk ditonton, walaupun pilihannya pasti akan berakhir pada The Secret Life of Pets.
“Nonton Snowball aja ya?” Telunjuk Jeanath menekan tombol remot yang membuat film terputar secara direk.
“Thank you,” ucap Jeanath ketika sadar Jaziel memberikannya mangkuk yang berisi bubur kacang ijo.
Jaziel duduk tepat di samping Jeanath, menaruh mangkuknya di atas meja dan mulai ikut menonton. “Gimana tadi di sekolah? Ngapain aja?” tanya Jaziel.
“Belajar, terus apalagi ya? Gak tau lupa.” Jeanath menjawab dengan netra yang terus memandang layar televisi.
“Kamu ngapain aja? Foto yang di-upload di Twitter itu di mana? Lagi apa?” Atensi Jeanath akhirnya berpusat pada Jaziel.
“Sama Jian, minta diajarin fisika sambil sekalian minta PJ,” jawab Jaziel.
Alis Jeanath saling bertaut ketika mendengar nama yang asing di telinganya. Pada dasarnya, ingatan Jeanath terhadap nama sangatlah buruk.
“Jian tuh yang mana?” Jeanath bertanya seraya berpikir, berusaha menemukan sebuah folder daftar nama orang yang ia kenal pada data di otak.
“Ketua kelas aku, yang kepalanya segede gini.” Sendok yang berisi kacang ijo itu dijulurkan oleh Jaziel.
Rasanya Jeanath mulai mengingat sosok dengan ukuran kepala yang digambarkan seperti kacang oleh Jaziel itu.
“Oh! Yang ganteng?!” Nada riang dalam suaranya membuat wajah Jaziel tertekuk.
“Enggak. Gantengan aku.” Kemudian Jaziel melahap makanan milikinya dengan kasar.
Menangkap sebuah kecemburuan, Jeanath tersenyum geli. Tangannya terangkat, lalu mengusap surai Jaziel lembut. Perlakuan itu membuat Jaziel menoleh, mendapati senyuman Jeanath yang mengonversi setitik rasa cemburu menjadi sebuah kehangatan pada relung dada.
Dibalik kacamata yang Jaziel kenakan, ia dapat melihat kelelahan yang bersembunyi di balik binar mata Jeanath. Dielusnya kantung mata yang terlihat jelas, membuat sang empunya terpejam.
“Is that really hard? To think about your future? Am I pushing you too much?” tanya Jaziel, merasa bersalah atas perlakuannya terhadap Jeanath.
Sekonyong-konyong kelopak mata Jeanath terbuka. Menatap Jaziel sekilas, sebelum mengalihkan pandangan. Bagian dalam bibir bawahnya ia gigit dengan keras, ada sebuah alasan yang sulit terucap.
“I never think about that.” Suara Jeanath terdengar mengambang. Manik matanya menatap bahu Jaziel dengan kosong.
“I never think about my future before. Isn’t that scary? To think about the future? Thinking about the things that I wanna do and what kind of a person I wanna be. What kind of person I wanna be? I don’t know. People don’t have any expectations from me, so neither do I. I don’t even have an expectation for myself either,” jelas Jeanath.
Jaziel melebarkan matanya, setiap kata yang terucap berputar layaknya kaset rusak dalam kepala. Ada tekanan yang besar pada rongga dada, seolah menginginkan sesuatu keluar dari sana, tetapi tertahan sehingga menjadi divergen; menjadikannya sebuah rasa sesak.
“How about your dream? Do you have any dreams?” tanya Jaziel pelan, hampir berbisik.
Pupil yang diselimuti kebingungan itu bergerak menatap Jaziel, lalu menggeleng sebagai jawaban.
“Your childhood dream? What’s your dream job back then when you’re still a kid?” Jaziel kembali bertanya.
“A nurse I think? Because my grandma was sick and I want to take care of her. When I saw the nurses at the hospital, they’re really kind and treated my grandma so well.” Sekelebat bayangan tentang sang nenek membuat Jeanath tersenyum tipis.
Kemudian sekilas bayangan lainnya muncul, menghapus senyum Jeanath seketika.
“My mom was really mad when she knew I wanna be a nurse. First, she told me that i’m way too dumb to be one of them and then she said I couldn’t never be a ‘man’ if I were a nurse,” lanjutnya.
Menemukan Jaziel yang termangu, Jeanath meraih lengan sosok itu. Membawanya kembali pada dunia tempat mereka berdiam diri.
Sebuah konklusi tercapai, bahwa sumber ketakutan Jeanath berawal dari perkataan ibunya sendiri. Melekat dalam memori yang tak terhapus oleh waktu, menggoreskan sebuah luka pada hati yang kontinu. Atas tutur kata yang mungkin terucap tanpa dipikirkan terlebih dahulu, ia akan terus terbelenggu.
Jika Jaziel tidak menjunjung rasa hormat dan sopan santun, atau melupakan sebuah ikatan darah, mungkin sekarang ia sudah bergegas pergi untuk mengamuk di depan ibu Jeanath.
Atensi Jaziel kini sepenuhnya berada pada Jeanath. Perasaan bersalah semakin memenuhi ruang di hati. Seharusnya, ia mendorong Jeanath untuk memikirkan masa depannya dengan lebih baik. Bukan menyerahkan semuanya pada Jeanath tanpa membantu memberikan dukungan yang nyata.
Diraihnya tangan Jeanath dengan lembut, lalu memberikan belaian di atas punggung tangannya.
“You can be anything you want, Gianna. If you’re too scared to think about your future, that’s okay. But it doesn’t mean you don’t have to think about it. The future is an infinite room to step on, you can go anywhere you like, you can be anything, and do whatever you want. It’s only you and the dream you have arranged. If you think that you’ll never good to be anything, you’re wrong. You just haven’t realised the biggest potential in yourself yet. Let’s take baby steps, okay?” Rakangaian kalimat yang terucap mengalir dengan tenang, meyelami lautan pikiran yang tengah terombang-ambing.
“Bung Karno pernah bilang, bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang. Tapi, khusus buat Giannanya aku, kalau jatuh gak bakal jatuh di antara bintang-bintang. Soalnya ada aku yang selalu siap nangkap kamu kapapun kamu jatuh. Abis itu, kamunya sama aku dilempar lagi ke atas,” lanjut Jaziel yang diakhiri dengan gurauan. Tak sepenuhnya bergurau, hanya sedikit mengurai atmosfer menjadi lebih santai.
Hadirnya senyuman di wajah Jeanath membuat Jaziel ikut menarik bibirnya ke atas. Jeanath lantas berdiri, sebelum menempatkan dirinya di atas pangkuan Jaziel. Mengalunkan tangan di leher kekasihnya seraya memejamkan mata.
Jaziel mendekap sosok yang terpejam. Menaruh dagunya pada pucuk kepala Jeanath, sesekali memberikan kecupan kecil di sana.
“Mau dengerin cerita anak yang punya cita-cita jadi robot engineer gak?” tanya Jaziel seraya menggesekkan hidungnya pada kepala Jeanath.
Ketika Jeanath mengangguk, Jaziel tersenyum. Kemudian, ia mulai bercerita yang menjadi sebuah pengantar tidur hingga menuntun Jeanath pada alam mimpi.