Semilir angin yang membawa debu di bawah teriknya matahari menerpa tubuh kurus sosok yang tengah duduk di atas trotoar. Wajah kusamnya selalu diterpa asap kendaraan yang melewatinya. Mata kecil itu menatap lurus kumpulan transportasi dengan pikiran yang kosong.
Mari kita bahas tentang penampilannya. Dimulai dari surai yang telah lepek karena keringat, baju putih tulang compang camping, celana kain berwana hitam kebesaran, hingga kaki tanpa alas. Ditambah dengan ekspresi wajah yang memelas sangat menggambarkan betapa menyedihkannya sosok tersebut.
“Buset, Sam. Sedih banget dah gue liatnya.” Sebuah suara mengalihkan atensinya.
Terlihat Hamsa yang datang dengan plastik berisi cimol dalam genggaman. Di sampingnya, terdapat Jeanath yang tengah memandangnya penuh rasa hina.
“Anjir.” Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Natha.
Kedua sosok lain ikut mendudukkan diri mereka di samping Sam dengan Jeanath yang berada di sisi kiri dan Hamsa di sisi kanan.
“Mau dong,” ucap Sam pada Hamsa.
Ketika Hamsa mengulurkan tangannya, Sam membuka mulut, menerima satu cimol yang diberikan sosok itu. Sembari mengunyah, pandangan Sam kembali tertuju pada jalanan. Memerhatikan lalu lalang kendaraan.
“Nath, pinjem duit dong.” Sam bersuara di tengah kegiatan merenungnya.
Alih-alih membalas perkataan Sam, Jeanath menggambil plastik cimol Hamsa dan memakannya tanpa permisi.
“Kagak punya duit dia ego. Suntikan dananya udah gak ada, udah bangkrut,” ucap Hamsa dengan mata yang mengikuti pergerakan sebuah bus.
“Kan gue udah bilang tobat, Sam. Jangan main judi mulu lo.” Kali ini Jeanath bersuara.
“Ya gue kira bakal menang, taunya kalah.” Terdengar nada sedih pada ucapan Sam.
“Gue ada sih duit, tapi duit warisan nenek gue. Mau gue pake buat kuliah.” Jeanath berkata dengan mulut penuh cimol.
Melihat Sam yang tengah memelas seraya menghela napas, Hamsa dan Jeanath saling melemparkan pandangan. Direbutnya kembali plastik cimol yang berada di tangan Jeanath sebelum Hamsa bangkit berdiri.
“Mending ngamen dah daripada lo ngemis. Kayak gak bisa kerja aja,” ujar Hamsa yang setelahnya melahap cimol yang tersisa.
Jeanath ikut bangkit dari posisi duduknya. Netranya berkelana untuk mencari sesuatu yang dapat ia gunakan. Ia meraih kerikil kecil dan memasukkannya pada botol kosong.
Tangan Jeanath terulur untuk memberikan botol yang berisi kerikil. “Nih,” ucapnya pada Sam.
“Hamsa yang nyanyi, lo kecrak kecrek pake ini. Terus gue bagian yang tepuk tangan,” lanjut Jeanath.
Manik mata Sam menatap botol itu beberapa detik sebelum berdiri dan menerimanya.
“Yuk dah.”