I would
Sorakan penonton memenuhi lapangan, berhasil memekakkan telinga, tetapi hanya rasa bangga yang menggelora. Di bawah sana, Axel tengah dikelilingi rekan satu timnya setelah memberikan three point pada detik-detik terakhir. Lagi-lagi mereka membawa kemenangan.
Axel mengedarkan pandangannya. Mencari satu sosok di antara lautan manusia yang berada di bangku penonton. Senyumnya mengembang tatkala menemukan keberadaan Elias yang tengah menatapnya tanpa berkedip. Hanya berselang sebentar, sebelum atensinya kembali kepada rekan-rekannya.
“Ayo turun,” ajak Virendra yang berada di samping Elias.
Lantas, Elias menoleh. Mengangguk atas ajakan Virendra dan berjalan di belakangnya untuk turun ke bawah. Di dalam dekapannya, terdapat botol minum milik Axel. Kerumuan orang di sekitar membuat Elias menggigit bibir bawahnya. Merasakan gelisah akibat keberadaan khalayak.
Ketika langkah Virendra terhenti, Elias mensejajarkan dirinya dengan sosok itu. Netranya mengikuti arah pandang Virendra dan menemukan Axel yang sedang mengobrol dengan Abi.
Sekonyong-konyong sosok perempuan yang tak asing bagi Elias berlari kecil menghampiri Axel. Dalam genggamannya terdapat kemasan air mineral dan Elias sudah dapat menduga tujuan dari sosok itu. Terlihat Axel yang melemparkan senyum sebelum mengatakan sesuatu.
Entah apa yang mereka obrolkan. Elias tak ingin menerka terlalu jauh.
Tak lama, Axel menoleh pada tempat Elias berada, mempertemukan netra mereka sebelum berjalan ke arahnya. Elias hanya terdiam memerhatikan Axel yang semakin mendekat. Tatkala Axel sudah berada di depannya, sosok itu mengulurkan tangan kanannya.
Elias mengerjapkan mata, lalu memberikan botol minum yang ia dekap pada pemilknya.
“Thank you,” ucap Axel yang setelahnya meneguk air dalam botol dengan rakus.
Atensi Elias beralih pada sosok kakak yang sudah berada di samping Axel. Tanpa tahu malu, Abi menarik lengan Virendra dan merangkulnya.
“Jangan deket-deket! Lo bau, anjir!” seru Virendra, berusaha menarik dirinya dari Abi.
Melihat itu, Elias berdecak. Beda halnya dengan Axel yang tertawa ringan.
“Sini.” Elias menoleh pada sumber suara, mendaptakan Axel yang menatapnya dengan tangan yang terulur.
Dengan menekan rasa gugup dalam dirinya, Elias menerima uluran tangan Axel. Ia menunduk ketika Axel menuntunnya pergi. Tak berani menatap keadaan di sekitar. Baru ketika langkah Axel terhenti, Elias menganggkat kepalanya.
“Xel, three pointnya tadi buat siapa?” goda salah satu anggota tim basket Fakultas Teknik yang melewati mereka.
“Orang paling spesial pokoknya,” jawab Axel, mengundang siulan dari rekan satu timnya.
Setelah sosok lain itu pergi, Axel menatap Elias yang termenung. Ia tersenyum gemas melihat Elias dengan ekspresi bingungnya.
“Iyas,” panggil Axel, membuyarkan lamunan Elias.
“Lihat ke depan,” titah Axel halus ketika Elias menoleh padanya.
Lantas, Elias menatap ke arah depan. Matanya membat tatkala melihat gerombolan orang yang tengah menganggkat sebuah banner besar.
Be my boyfriend, please?
“Gua tau mungkin ini terlalu cepet, tapi gua udah nunggu lu dari lama,” ujar Axel.
“Iyas.”
Panggilan itu, rasanya Elias sudah tidak lagi menapak pada bumi.
“Would you be mine?”
Gemuruh sorak yang menggema membuat Elias memantung.
“ELIAS AYO JAWAB.” Teriakan Karina yang berada dalam barisan terdepan memecahkan lamunan Elias.
Di sampingnya, Axel menunggu jawaban Elias dengan jantung yang berdegup kencang. Kedua alisnya terangkat ketika Elias menatapnya.
Tatapan itu tak berlangsung lama, sebab Elias membalikkan tubuhnya. Kemudian, ia berjongkok seraya menutup wajah. Tak berani menatap Axel dan orang lain di sana.
Axel mengerjapkan matanya kebingungan, sebelum melihat telinga Elias yang memerah. Ia tersenyum, lalu berjalan untuk menghadap pada Elias dan ikut berjongkok di depannya.
“Engga mau, ya?” Elias mendongak mendengar pertanyaan Axel.
Dihiasi pipi yang bersemu merah, Elias mengangguk kecil. “Mau,” jawabnya pelan.
dah abis