They do believe

Di tengah ingar-bingar yang mengelilingi, dua sosok itu terdiam. Tak ada yang memulai percakapan untuk memecah suasana canggung di antara mereka. Keduanya sibuk dengan dunia yang mereka buat, memberikan batas yang tak kasatmata. Salah satu sosok di sana, terlihat gelisah. Netra bulat milik Elias terus-terusan melirik roll cake red velvet di atas meja.

Lantas mulutnya terbuka, berniat untuk mengatakan sesuatu, namun kembali tertutup tanpa ada satu kata yang terucap. Pandangannya terus pada keik yang tersaji di depan mata. Tak lama, Elias menggelengkan kepala, mengubur pikiran yang tengah menghantui. Ia membuka tas miliknya, mengeluarkan sebuah buku kecil yang menarik atensi Axel.

“Gue mulai wawancaranya sekarang ya,” ucap Elias, sibuk dengan aktivitas membuka bukunya.

Ketika sampai pada lembar yang dituju, Elias mengalihkan padangannya pada Axel. Kedua mata yang saling bersirobok membuat Elias secara impulsif menahan napas. Ia lantas meneguk ludahnya dengan kasar, sebelum mengatur detak jantungnya.

“Pertanyaan pertama.” Elias menggantung ucapannya dengan mata yang kembali menatap potongan keik.

“Ini nanti kita split bill, kan?” tanya Elias sembari menatap kosong keik red velvet yang daritadi menarik atensinya.

Gelagar tawa mengalun, memasuki telinga dan terasa menggilitik di sana. Elias menoleh, mendapati Axel yang tengah tertawa.

“Itu buat lu.” Axel berujar setelah tawanya terhenti.

Sebuah senyuman tercetak pada wajahnya, sebelum kembali bersuara. “My treat,” lanjutnya.

Kepala Elias mendadak terasa ringan. Ditatapnya Axel dengan ekspresi kaget dan menunduk ketika melihat sepasang netra yang menatapnya seraya tersenyum.

“Thank you.” Suara yang pelan itu masih terdengar jelas oleh Axel.

Dengan jantung yang berguncang di relung dada, Elias mendongak. Berusaha terlihat setenang mungkin.

“Okay. Gue lanjut,” ucap Elias, manik matanya menatap pada tulisan yang tertera pada buku.

Alis Elias saling bertaut tatkala melihat pertanyaan paling atas. Ia melirik Axel yang tengah memerhatikannya.

“Sorry, ini pertanyaannya agak aneh. Kalau lo gak mau jawab juga gak apa-apa,” jelas Elias, ada nada sungkan yang terselip di sana.

Mendapatkan anggukan kecil dari sosok di hadapannya, Elias menggigit kecil bibir bawahnya.

“Denger-denger, katanya lo masih jomblo dari semenjak awal masuk kuliah. Emang lagi males pacaran gitu ya? Atau lagi nunggu seseorang?” Elias memulai sesi wawancara, matanya menatap lekat pada kertas yang berisi list pertanyaan.

Bukankah pertanyaan seperti ini akan membuat Axel tak nyaman? Mengapa ucapan Karina tempo lalu kontradiktif dengan pertanyaan yang dibuat oleh sosok tersebut?

“Kalau lo gak mau jawab juga boleh kok. Ini pertanyaan emang gak jelas.” Elias melanjutnya ucapannya. Netranya kini beralih menatap sebuah notes kecil yang terletak di bawah pertanyaan.

Kembangin lagi pertanyaannya. Kalau emang gak mau pacaran tanya alasannya sama tanya juga punya niat buat pacaran gak ke depannya.

“Sebenernya gua lagi nungguin seseorang.” Jawaban dari Axel membuat Elias membeku.

Shit

Bola mata Elias bergerak untuk menatap Axel. Pikirannya berkecamuk diiringi dengan rasa penyesalan yang amat besar.

Harusnya ia tidak di sini.

“Dari awal masuk kuliah?” tanya Elias, memilih untuk menyakit hatinya sendiri.

“Ya.” Satu kata yang mampu menggugurkan ribuan harapan Elias.

“Wow,” bisik Elias, menekan ringgisan yang memenuhi rongga dada.

“Kenapa gak dipacarin aja? Kalau semenjak masuk kuliah berarti udah lama banget dong.” Entah apa tujuan Elias untuk berujar demikian, ia pun tak tahu.

Di hadapannya, Axel melemparkan senyuman. Obsidian milik sosok itu mengunci pergerakan netra Elias.

“Gua gak terlalu kenal sama dia. Anaknya susah dideketin,” jawab Axel.

Seolah perkataan Axel tak berpengaruh padanya, Elias mengangguk. “Kalau gitu gimana caranya lo suka sama dia? Secara lo kan gak terlalu kenal gitu.” Elias bertanya kembali.

Senyuman di wajah Axel mengilang. Kini ia memasang ekspresi serius, membuat jantung Elias meronta ingin keluar dari tempatnya.

“Do you believe in love at the first sight?” Nada yang penuh kelembutan itu terngiang di kepala Elias, meluluhlantakkan pikirannya hingga saling berkecamuk.

“I do,” jawab Elias, suaranya sedikit serak.

Di tengah hiruk pikuk pagi kala itu, mereka kembali terdiam. Diselimuti oleh keheningan yang tercipta.

“Dua tahun yang lalu, gua pertama kali liat dia. Waktu itu gua lagi main ke apart dia karena gua temenan sama kakaknya. Kita ketemu gara-gara gua gak sengaja bangunin dia sampai gua dipukul. Dia ngira gua kakaknya,” ucap Axel tiba-tiba, menceritakan skenario yang telah berlalu.

Di tengah hiruk pikuk pagi kala itu, Elias memantung. Menatap netra yang terpaku padanya dengan sebuah senyuman kecil. Kala itu, jika Elias tak pergi menemui Axel, ia tak akan pernah tahu jika perasaannya terbalas.

Sebab, dua tahun yang lalu, Elias pernah memukul Axel karena mengiranya sebagai Abi.