Wondering why it tasted so sweet

Sepasang netra terus menatap dua ikan peliharaannya. Sesekali ia berceloteh dengan keheningan sebagai balasan. Merasa lelah, Jeanath mengembuskan napasnya kasar. Melirik sosok yang masih sibuk bercengkrama dengan buku dalam genggaman.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam lebih. Namun, sosok yang terdiam sembari duduk manis di atas karpet itu agaknya enggan menghentikan aktivitasnya. Memilih menciptakan dunia yang tak tersentuh, bahkan oleh sang bunga hati.

Eksistensi yang tak diacuhkan itu bergejolak, menginginkan sebuah atensi. Berlandaskan dorongan agregasi dari afeksi, ia pergi. Berkelana untuk mencari kesenangan diri.

Langkahnya tertarik menuju kamar, membuat suara bising di sana, sebelum kembali dengan perkakas tempur yang dimiliki. Kali ini, Jeanath tak boleh kalah dari buku tebal yang menjadi pusat atensi Jaziel. Berjalan dengan penuh semangat untuk menghampiri kekasihnya.

Disimpannya kursi yang ia bawa tepat di belakang Jaziel, kemudian mulai menjalankan aksinya. Jeanath mengeluarkan sisir, merapikan rambut Jaziel tanpa bersuara.

Perlakuan Jeanath itu membuat sudut bibir Jaziel berkedut, menahan senyuman.

“Mau dipotong pake model apa, Pak?” tanya Jeanath tiba-tiba.

Jaziel mengulum bibirnya, sebelum menjawab, “Terserah Masnya aja.”

“Dibotakin, mau?” Jeanath kembali bertanya. Kali ini ia memajukan wajahnya, bersemayan tepat di sebelah telinga kanan Jaziel.

“Boleh,” kata Jaziel setuju seraya mengangguk singkat.

Jeanath menarik dirinya, kembali duduk tegak. Tangannya meraih helai rambut Jaziel. “Wah, saya gak punya alat cukurnya, Pak. Diiket aja ya rambutnya,” ucap Jeanath dengan tangan kiri yang sibuk mencari tali rambut.

Dasar barbershop abal-abal.

Absensi dari lawan bicara membuat Jeanath lebih fokus. Bibirnya maju tanpa sadar, kerutan halus di kening tercipta, memperlihatkan keseriusannya dalam melakukan pekerjaan bohongannya sebagai tukang pangkas rambut dadakan.

Sebuah senyuman terbit pada wajah Jeanath tatkala melihat karya yang ia buat.

Apple hair tepat di tengah surai milik Jaziel.

“Mau lihat wajahnya dong, Pak. Nengok bentar aja.” Telapak tangan Jeanath menepuk bahu Jaziel. Sedikit keras dengan adanya sedikit paksaan.

Alih-alih menoleh, Jaziel mengadah untuk mempertemukan netra mereka. Dengan Jeanath yang tertunduk, keduanya spontan bertatapan. Ada sebuah tarikan yang kuat hingga Jeanath tak dapat melepaskan pandangannya dari wajah Jaziel. Menelusuri setiap lekukan di sana, sebelum memberikan kecupan singkat pada hidung kekasihnya.

Perlakuan yang tidak diantipasi oleh Jaziel itu membuatnya terbelalak.

“Halo? Pak? Kok bengong?” tanya Jeanath seraya menusuk pelan pipi Jaziel dengan telunjuknya.

Masih tak mendapatkan respon, Jeanath melambaikan tangan tepat di atas mata Jaziel.

“Senon?” panggil Jeanath.

Akhirnya, Jaziel mengedipkan mata. Ia kemudian menganggkat wajahnya dan duduk seperti semula. Berdeham seraya menahan jantung yang ingin meloncat dari rongga dada.

“Senon?” Jeanath kembali memanggil namanya. Sosok itu merangkak turun dari kursi, lalu menempatkan dirinya di sebelah Jaziel.

Jaziel menoleh, menemukan Jeanath yang menatapnya bingung.

“Kaget,” jelas Jaziel singkat, suaranya sedikit serak.

Alis Jeanath saling bertaut. “Padahal mau ngajak ciuman bibir,” ucap Jeanath pelan.

Baik perbuatan maupun perkataan Jeanath, semuanya tak baik untuk kesehatan jantung Jaziel.

“Belajar, Na.” Jaziel mengalihkan pembicaraan. Diraihnya buku yang sempat ia tinggal.

“Udah jam 12! Masa masih belajar?! Mending tidur!” seru Jeanath kesal.

Tak habis pikir dengan Jaziel dan kegemarannya, ralat, obsesinya dalam belajar.

“Tapi sebelum tidur ciuman dulu,” lanjut Jeanath. Ditariknya lengan baju Jaziel, membuat sang empunya menghela napas.

Kacamata yang bertengger manis pada hidung Jaziel kini dilepas. Jaziel memijat pangkal hidungnya, sebelum kembali menaruh atensi pada Jeanath. Berniat menolak permintaan Jeanath dengan tegas, namun ketika netranya menangkap ekspresi cemberut, di mana bibir itu mengerucut, tekadnya pecah begitu saja. Terurai oleh keinginan yang sama dengan Jeanath.

“Sebentar aja, ya?” ucap Jaziel pada akhirnya. menelan tujuan untuk menolak.

Jeanath mengangguk seraya tersenyum lebar. Kelopak mata itu bergerak untuk menutupi netranya. Bersiap menerima ciuman dari Jaziel. Melihat itu, Jaziel merapalkan doa dalam hati. Bertelepati dengan langit untuk mengigatkannya agar tak bertindak terlalu jauh.

Jarak yang memisahkan mereka terkikis tatkala Jaziel mulai mendekatkan wajahnya. Ia memerhatikan bagaimana bulu mata Jeanath berdiam diri dengan indahnya di wajah sang pemilik. Pandangannya turun ke bawah, pada bibir ranum yang sudah lama tak ia kecup.

Diselimuti perasaan yang campur aduk, Jaziel mulai menempelkan bibir mereka. Menimbang apakah ia harus berhenti di sini atau bergerak lebih jauh.

Pada akhirnya, Jaziel memilih jalan tengah; bergerak sedikit lebih jauh. Hanya memberikan lumatan kecil di awal, sebelum menjadi sebuah candu, sebab hadirnya rasa manis setiap kali bibir itu tercicipi.

Kan, ini alasan Jaziel tidak mau diajak ciuman. Takut tak bisa menahan hormon remajanya yang masih mengebu. Tapi tenang saja, ia masih punya banyak kesadaran untuk tidak bertindak lebih jauh.

Sementara Udin dan Adin kembali menjadi saksi kegiatan yang tertutupi kabut asmara.